Jumat, 24 Desember 2021

Tentang Jiwa Petualang

Tentang Jiwa Petualang


Ketika dalam beberapa test, entah yang dilakukan di masa dulu saat-saat masih sekolah ataupun sekarang, hasil yang kerap muncul salah satunya adalah tentang bahwa saya petualang, bahwa saya senang  bertualang dan semacamnya.



Barangkali memang itulah jiwa yang tersembunyi. Bagaimana prakteknya? Kondisi fisik saya lebih banyak tidak mendukung. Makanya mungkin citra diri sebagai petualang itu lebih berupa jiwa yang berkelana. Sementara raga lebih sering tak ke mana-mana.


Dalam kegiatan menulis, saya juga tipe yang suka "berkelana" dari jenis tulisan satu ke lainnya. Banyak maunya memang si aku ini. Mulai dari ingin jadi penulis fiksi hingga non-fiksi. Lalu tergoda juga untuk menulis blog. Sungguh lumayan lama vakum menulis di sana, meski isinya masih gado-gado tak tentu, tapi tetap saja selalu muncul rasa rindu.


Sampai ketika ada Blogger FLP rasanya mengusik ingin menantang diri kembali. Terlebih saat ini saya aktif sebagai anggota FLP Cirebon. Dengan menulis blog, menjadi blogger FLP atau apapun, saya masih ingin meraih dan menemukan asa, mewujudkan jiwa petualang dan pengelana yang masih duduk merangkul lutut di sudut sana.


#BloggerFLP

#BloggerFLPOke

Jumat, 10 November 2017

Biru Langitku Cerah Masa Depanku


Sebab emisi pun polusi yang kadarnya sudah super tinggi sekali, bumi benar-benar dalam kondisi memprihatinkan. Hanya ada gedung-gedung sampah. Tanahnya gersang, tak terlihat rumput hijau barang sedikit juga. Apalagi pohon-pohon yang menjulang. Warna bumi menjadi dominan cokelat, hitam, kelabu, kelam dan kusam. Hijau saja tak ada, jangan tanyakan bebungaan merah, ungu, merah jambu, kuning dan lainnya. Pun termasuk langit biru. Sungguh tidak terdeteksi denyut kehidupan, kecuali suara mesin dari sebuah robot penggulung sampah yang tinggi tumpukannya serupa bangunan pencakar langit dan gedung-gedung tadi. Lalu, ke mana manusia? Mengungsi ke ruang angkasa. Hidup dan berkehidupan di dalam sebuah pesawat angkasa super besar.

Jika Sobat "ngeh", di atas itu adalah penggambaran kondisi dan situasi bumi yang sudah tidak bersahabat lagi dengan kehidupan manusia, di film garapan Disney bekerja sama dengan Pixar berjudul WALL-E.

Saya membayangkan jika semua itu sungguh terjadi, betapa mengerikannya hidup kita. Saking tak lagi aman untuk bernafas, tak lagi nyaman untuk kaki berpijak sampai-sampai manusia mesti terombang-ambing di ruang angkasa.

Bayangkan jika bumi kita seperti ini?

Global warming yang terus-terusan menghantam bumi, dan mengancam lapisan atmosfer ditambah manusia-manusia yang kurang peduli bahkan cenderung abai dengan semua pendukung penyebab hal tersebut, akan menjadi kombinasi yang benar-benar menyeramkan.

Kita sama-sama tahu ya, Sobat. Salah satu penyumbang polusi yang cukup besar adalah asap dari kendaraan bermotor. Lebih jelasnya adalah asap yang dihasilkan dari sisa pembakaran bahan bakar minyak untuk menggerakkan kendaraan. Belum lagi jika pengendara--seperti motor misalnya dan dari pengamatan sederhana saya ini yang paling banyak--memodifikasi knalpotnya. Ya, ampuuun bau dan bentuk asapnya semakin tidak keruan, kan? Dan pengendara di belakangnya hanya  bisa tutup hidung, tahan napas sambil tahan amarah juga, betul? Hehe.


Nah, Pertamina salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berkonsentrasi di bidang energi bumi dan berposisi sebagai pemroduksi bahan bakar minyak, kembali berusaha untuk menyediakan bahan bakar minyak (BBM) yang lebih baik lagi dari produk sebelumnya. Lebih aman, lebih ramah lingkungan.

Melalui Proyek Langit Biru Cilacap, Pertamina mencoba mewujudkan targetnya. Nama Langit Biru digunakan sesuai tujuan yang hendak dicapai; mengupayakan BBM yang lebih ramah lingkungan sehingga kualitas udara lebih terjaga, lebih sehat dan langit negeri pun tetap biru. Salah satu misinya adalah meningkatkan kualitas BBM; mengganti BBM jenis Premium ke BBM jenis Pertamax. Sedangkan Cilacap merujuk pada Kilang Cilacap di Jawa Timur. Proyek ini bahkan sudah dimulai sejak 2015 silam.

Dan hasil baca-baca berita juga artikel nih, saya baru tahu jika untuk menghasilkan BBM dengan kualitas lebih oke, ada satu hal yang mesti diurus, ditaklukkan. Yakni, meningkatkan jumlah RON. Apaan sih RON itu? Yang pasti bukan si RON Weasley sohibnya Harri Pottah ya. Deeuuuh, kok ya nyambungnya bisa ke sana.

RON singkatan dari Research Octane Number, yaitu angka yang mempresentasikan ketahanan bahan bakar terhadap kompresi di dalam mesin, tanpa meledak sendiri. Thus, mesin dengan kompresi tinggi membutuhkan bahan bakar dengan nilai oktan yang juga tinggi. Supaya sesuai. Sebab, jika tidak sesuai akan menyebabkan kerusakan sendiri bagi si mesin ke depannya. Asap sisa pembakaran yang dihasilkan pun jadi lebih buruk. Alhasil berpotensi lebih banyak merusak udara lingkungan.

Sebelum ini kita mengenal Premium yang juga dikenal dengan istilah RON 88. Sebutan tersebut artinya angka oktana yang terkandung dalam Premium sebesar 88. Bertahap Pertamina hendak meniadakan keberadaan Premium ini. Lalu, ditemukanlah Pertalite si RON 90-91. Bahan bakar berwarna hijau bening ini diklaim lebih aman dan ramah lingkungan dibanding Premium. Angka oktan yang terkandung juga lebih tinggi. Di atas Pertalite ada Pertamax, yang punya alias RON 92.






Proyek Langit Biru Cilacap

Sumber: Antara Foto

Apakah di antara Sobat ada yang sama bertanya-tanya juga? Mengapa proyek peningkatan kualitas BBM oleh Perta6mina ini berpusat di Kilang Cilacap? Begini ceritanya:

Indonesia sempat terpaksa mengimpor 50% dari total kebutuhan BBM, sebesar 1.6 juta barrel per hari. Pertamina merasa tidak mungkin jika kebutuhan BBM dalam negeri terus-terusan impor dari luar. Ditemukan solusinya adalah membuat kilang baru dan upgrading kilang-kilang existing (yang sudah ada). Lebih detil lagi, manfaat dari dua hal tersebut adalah:

1. Menjaga kedaulatan energi nasional. Jika tidak ada pembangunan kilang baru dan upgrading atau revitalisasi kilang lama untuk meningkatkan kapasitas kilang, ketergantungan impor BBM akan semakin besar. Ini tentu saja membahayakan kedaulatan energi nasional.

2. Mendorong perekonomian; menciptakan lapangan kerja. Pengadaan kilang baru maupun revitalisasi tentu membutuhkan banyak tenaga. Setidaknya 2000-an tenaga kerja diperlukan. Sehingga ini menjadi peluang adanya lapangan kerja.

3. Menghemat devisa negara. Hal ini otomatis berpengaruh pada nilai rupiah. Dengan membangun kilang baru dan revitalisasi--meskipun ini juga memerlukan biaya besar--diharapkan defisit neraca akan berkurang. Juga meredam pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar.

Sumber: bumn.go.id

Nah, Kilang Cilacap termasuk ke dalam daftar proyek kedua, yakni kilang yang di-revitalisasi. Dalam proyek ini, Pertamina bekerja sama dengan Saudi Aramco. Dan alasan berikut ini memaparkan mengapa Kilang Cilacap yang dipilih.

1. Kilang Cilacap merupakan 1 dari 7 unit pengolahan (UP) di Indonesia yang memiliki kapasitas produksi paling besar, yaitu 348.000 barrel per hari.

2. Kilang Cilacap disebut sebagai Unit Pengolahan terlengkap. Mensuplai 34% kebutuhan BBM Nasional dan 60% kebutuhan BBM di Pulau Jawa.

3. Kilang Cilacap ditargetkan Pertamina untuk menjadi kilang terbesar se-Asia Tenggara.


Semoga saja segala proyek Pertamina tersebut serta harapan-harapan yang melandasinya bisa lancar dan sukses, ya. Dan saya akan merasa bangga termasuk ke dalam Generasi Langit Biru. Sebab siapa yang tidak ingin lingkungan menjadi lebih bersih dan nyaman? Udara lebih segar? Kualitas hidup untuk masa depan juga lebih baik? Negeri tercinta lebih berdaulat? Kita semua tentu mengharapkan segala yang baik dan terbaik, bukan? Jika untuk kebaikan bersama tentu perlu kita dukung.

Lagipula, pihak Pertamina juga memiliki program bertajuk Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility). Sebagaimana yang dipaparkan di situs resminya. Bahwa, selaras dengan visi Pertamina sebagai perusahaan energi nasional kelas dunia, maka komitmen dan kepedulian Pertamina terhadap Tanggung Jawab Sosial merupakan kontribusi Pertamina secara maksimal terhadap masalah global yaitu Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development).

Pembangunan berkelanjutan tidak saja berkonsentrasi pada isu-isu lingkungan. Lebih luas daripada itu, pembangunan berkelanjutan mencakup 3 lingkup kebijakan: pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan (People, Profit dan Planet).

Sumber: www.pertamina.com

Dari berita terbaru, 4 November 2017 kemarin, Pertamina bekerja sama dengan Suaka Margasatwa Sindangkerta dalam program penangkaran satwa endemik, baru saja melepaskan Penyu Hijau (Chelonia Mydas), sebanyak 50 ekor dari 95 ekor. Dan banyak lagi program lainnya. Termasuk yang sudah berjalan lama adalah program beasiswa.

So, Sobat generasi milenium, kids zaman now sampai mamak-mamak zaman now semua, semoga kita bisa menjadi Generasi Langit Biru dengan turut berkontribusi melakukan kebaikan untuk sekitar, untuk lingkungan. Birunya langit kita, kan cerahkan masa depan kita dan generasi bangsa selanjutnya.[]


#GenLangitBiru

#KobarkanKebaikan
#PertaminaBlogdanVlogCompetition2017


*

Sumber tulisan:
1. www.pertamina.com
2. Www. wikipedia.com
3. Www.blogmechanical.com
4. www.kaskus.com
5. www.sikerok.com

Selasa, 10 Oktober 2017

Dengan Lactacyd Baby Herpes pun Pergi!



Sejak lahir, begitu keluar dari Rumah Sakit Ibu Anak, Kaizen tinggal sementara di rumah neneknya. Lalu, saat dia berusia sekitar 6 bulan, kami pun pindah. Dua minggu pertama semua baik-baik saja. Setelah itu, mulailah terjadi gangguan pada kulit bayi laki-laki kami. Kaizen terkena herpes! Ada dua bulatan merah kehitaman di lengan kanannya. Saya sebagai ibunya otomatis jadi merenungi sesuatu. Ah, iya, rumah yang kami tempati ini komplek perumahan baru dan sumber airnya berasal dari sumur atau tanah. Langsung saja saya mencurigai jika Kaizen tidak cocok dengan air yang ada. Iya, sepertinya kulitnya sensitif. Terlebih bertemu hawa Cirebon yang saat itu tengah panas dan lembab.


Saya coba beberapa produk untuk mengobati herpesnya. Ditambah, belum juga soal herpes ini teratasi dia terkena ruam popok. Duuh! Sedih sekali melihatnya terganggu dengan dua hal tersebut. Berhubung herpes ada di lengannya, praktis dia tidak bisa berbuat apapun. Tapi tangannya bisa meraih pinggang dan—maaf—pantatnya yang terkena ruam popok. Tangan mungil itu tak bisa tahan untuk tidak menggaruknya. Saya yang hanya melihatnya saja merasa gramat-gremet di hati. Herpes dan ruam popoknya bahkan menguarkan hawa panas. Pantas baby Kaizen tak tahan.



Akhirnya melalui jaringan pesan pribadi saya tanya-tanya pada seorang teman, sesama ibu muda juga (uhuk), saya perlihatkan padanya foto lengan Kaizen yang terkena herpes. Di balasan berikutnya, teman saya tersebut segera menyebut Lactacyd Baby Liquid Soap. Segera juga saya meminta tolong pada suami yang hendak keluar agar mampir ke apotek untuk membeli Lactacyd Baby.

Begitu sudah di tangan, saya baca semua tulisan dan petunjuk yang tertera dalam kemasan. Bagaimana cara menggunakan Lactacyd Baby ini? Ternyata mudah. Saya siapkan air hangat dalam ember untuk Kaizen mandi. Lalu diberi sekitar 3-5 tetes Lactacyd Baby. Saya juga mengambil seujung jari untuk langsung diusap-usapkan serta digosokkan dengan lembut pada herpes dan ruam popoknya. Bagian badan lainnya juga saya usap dengan air ber-Lactacyd Baby tadi. Bahkan kepala pun tak ketinggalan. Setelah itu saya bilas dengan air hangat biasa.

Herpes yang meski kecil bikin gemes


Sebab tidak pedih di mata, Kaizen pun nyaman-nyaman saja, meski bershampo Lactacyd Baby. Wanginya pun lembut dan natural. Sesuai petunjuk dalam kemasan saya gunakan Lactacyd Baby ini sebagai pengganti sabun. Jadi setiap kali mandi memakai Lactacyd Baby sebagai sabun bahkan shampo-nya.



Wah, Alhamdulillah setelah sekian hari rutin, herpes di lengan Kaizen hilang tak berbekas. Bentol-bentol kecil di pinggang sebab ruam popok pun sembuh. Kulitnya kembali sehat, bersih dan putih. ^^



Rahasia Kulit Bayi Tetap Sehat, Mengapa Lactacyd Baby?

Lactacyd Baby merupakan brand internasional yang sudah terpercaya untuk menjaga kulit bayi dari iritasi ringan. Bahan-bahan yang digunakan untuk memproduksi pun dipilih yang alami. Bahan utamanya saja hanya air.

Kandungan alami dari ekstrak Susu serta formulasi dengan pH yang sesuai dengan kebutuhan kulit bayi. Fakta menyebutkan jika kadar pH kulit bayi ternyata lebih tinggi dari kulit orang dewasa. Yaitu sekitar 6-7. Sementara kulit dewasa memiliki pH antara 3-4. Jauh berbeda ya? Sebab inilah, juga sebab tekstur kulit bayi yang teramat halus, lembut dan masih cenderung rapuh, merawat kulit bayi tidak bisa dengan sembarang produk dan bahan.

Bagi yang memiliki alergi terhadap susu sapi tak perlu khawatir. Sebab alergi hanya akan terjadi bila dikonsumsi. Sedangkan produk Lactacyd Baby ini untuk pemakaian luar.

Lactacyd Baby tidak mengandung detergen. Sehingga tidak menghasilkan busa sebagaimana sabun kebanyakan. Aroma Lactacyd Baby pun berbeda dengan sabun, karena memang tidak mengandung parfum ataupun pengharum kimia.

Oleh karena semua itulah, Lactacyd Baby telah teruji secara dermatologi dan dapat digunakan setiap hari. Semua momies yang pernah menggunakan produk dari PT. Aventis Pharma yang satu ini pasti telah membuktikannya.

Terbukti, kemarin Kaizen saja tidak mengalami alergi atau efek samping membahayakan setelah memakai Lactacyd Baby meski setiap hari. Jadi memang insya Allah aman ya Momies. Justeru dengan Lactacyd Baby, si herpes pun pergi! Alhamdulillah. :)





Cirebon, Oktober 2017

Minggu, 17 September 2017

Dunia Literasi dan Tantangan Masa Kini

Dunia Literasi dan Tantangan Masa Kini




Kegiatan literasi di Indonesia dinilai masih jauh tertinggal dibanding negara-negara lain. Yang membuat sedih dan shok, bila di-ranking ternyata hanya menempati posisi kedua dari bawah. Finlandia-lah yang berada di posisi pertama.

Ah, memang apa pentingnya sih soal ranking dan minat baca ini? Membaca identik dengan berpengetahuan, berpendidikan, jadi sederhananya tingkat membaca bisa dijadikan ukuran bagaimanakah tingkat pendidikan suatu bangsa tersebut.


Tentang betapa rendahnya minat ini sempat saya dengar dulu saat masih berstatus “pencari ilmu” (meski sampai sekarang pun masih tetap cari ilmu yaa ^^).

Keterpurukan ini banyak sebab, yang bahkan beberapa di antaranya sejak dahulu pun sudah eksis dan mirisnya hingga tahunan berganti masih belum bisa disingkirkan. Sehingga tantangan terhadap dunia literasi masih tinggi. 


Televisi Masih Menguasai

Saya amati secara kasar, dalam artian tanpa perangkat survey, masyarakat kita memang masih candu dengan televisi. Ketimbang membaca, bagi sebagian besar masyarakat, menonton televisi lebih dipilih untuk mengisi waktu luang, sebagai teman bersantai dan sejenis itu. Kegiatan membaca masih mereka anggap dan kategorikan sebagai hobi orang-orang tertentu. Bukan kegiatan "semua orang semua kalangan".

Saya sempat dengar langsung dari sebutlah kawan ngobrol, saat mencoba menawarkan buku anak pertama, dia menolak dengan alasan anaknya tidak suka baca. Dan hal tersebut bukan suatu masalah besar baginya. Frasa "tidak suka baca" ini lumayan kerap juga saya dengar terlontar. Entah dengan raut wajah datar atau malah terang-terangan berekspresi "apa hebatnya dengan suka membaca?".


Fenomena Media Sosial

Lalu, datanglah masa di mana gadget dan media sosial bak menjadi Raja dan Ratu dalam kehidupan bersosial. Sebut instagram salah satunya. Saya sempat merasa takjub jika membuka aplikasi ini melalui ponsel. Entah barangkali disebabkan saya “suka baca”, sehingga (membuat otomatis) akun-akun instagram yang tertangkap di beranda saya adalah akun dan postingan soal buku. Book Giveaway, reading challange, membaca bareng atau lomba resensi, dan banyak lagi variasinya. Saya lihat pula buku-buku yang sedemikian cantik dan gaya foto-fotonya. Make me envy lah hashtag-nya.

Nah, melihat itu—melupakan rasa iri dan cemburu terhadap seabrek aktivitas “all things connect with book” para sobat instagram, saya mengira, sungguh-sungguh mengira, jika prosentase kegiatan literasi kita; minat baca bangsa Indonesia sudah membaik. Merangsek ke peringkat pertengahan lah setidaknya.

(tabel ranking literasi dunia, sumber: pustakawanjogja[dot]com)


Dan, malangnya, saya sudah salah kira. Mengetahui, rupanya Indonesia masih terpuruk soal ini. Sempat membuat bingung dan bertanya-tanya juga. Lho, serius nih? Lalu, bagaimana dengan apa yang saya lihat di medsos-medsos itu? Tentang betapa dicintainya buku-buku oleh warga net. Masa iya pencitraan? Bukan agaknya ya. Setelah saya renung-renung lagi, barangkali yang (tampak) sebejibun itulah dia yang 0.001 persen itu. Sementara 99% lainnya yang berarti jutaan lebih, masih abai dengan literasi atau sederhananya membaca buku.


Bisnis Perbukuan yang Gulung Tikar


Selain soal minat, ada pula kasus lain yang semakin membuat miris. Contoh dekatnya saja, kota tempat saya berada; Cirebon. Suatu hari saya bersama suami hendak ke toko buku. Satu toko buku yang amat terkenal dengan jargon “toko buku diskon”. Sobat barangkali tahu ya? Baik, lanjut lagi ceritanya, entah ada berapa kali kami menyusuri tepi jalan raya itu. Sebab, kami ingat betul, letak toko buku tersebut di pinggir jalan. Tersisip di antara gerai fashion dan food. Tapi, nihil. Tak ada. Di posisinya yang saya ingat, justeru berdiri gedung lain. Diketahui kemudian, toko buku diskon tersebut tutup. Gulung tikar. Sedih. Selanjutnya, baru beberapa bulan kemarin, satu persewaan buku juga tutup. Setelah sekian tahun mencoba bertahan, akhirnya mengikuti jejak beberapa persewaan buku lainnya yang juga tutup. Sedih lagi.

Persewaan buku yang disebut pertama adalah usaha yang dibuka kakak ipar bersama beberapa temannya sealmamater SMA. Jadi, mereka, saat berstatus sebagai alumni memutuskan untuk mendirikan persewaan buku. Salah satunya sebagai penghubung silaturahmi. Apa daya, kini upaya mereka berkontribusi di dunia membaca pun mesti usai. Saat kami ngobrol-ngobrol, konon sebab pengunjung yang semakin jarang datang hingga akhirnya benar-benar tak berkunjung itu curiga besar adalah gadget. Masih lebih mending, jika hanya beralih media baca. Seperti menjadi fan webtoon atau wattpad. Tapi jika kemudian media sosial hanya untuk sekadar chit chat, ini amat disayangkan.

Di dunia penulis, kabar duka juga datang dari beberapa media cetak yang memutuskan berhenti terbit. Ini berarti plus ruang literasi di dalamnya pun ikut raib. Sehingga sebabkan satu ruang ekspresi untuk penulis berkurang lagi.


Pajak

Bahasan terhangat di dunia literasi negeri belakangan hari ini. Setelah tahunan pajak cukup mencekik, menandai hari literasi, penulis sekelas Tere Liye dan Dee Lestari bersuara dan beraksi. Meminta keadilan mengenai pajak untuk penulis utamanya. Sebab, sudahlah royalti kecil mesti kena pajak juga.

Meskipun 'protes' ini mewakili suara penulis secara umum, bila ditilik lagi pada hakikatnya harapan agar pajak ini ditiadakan atau setidaknya diminimalisir, juga akan berimbas pada harga jual buku. Yang berarti pembaca pun tidak perlu lagi mengeluh harga mahal saat hendak membeli buku. Yang berujung jadi enggan beli buku, yang akhirnya memberi pengaruh terhadap minat baca.


Tentu saja untuk bahasan satu ini tidak semudah jari saya mengetikkannya. Perlu waktu, dan pemikiran dalam serta rinci dari para ahli di bidang terkait. Hanya pendapat sederhana, jangan sampai soal pajak membuat dunia literasi negeri yang sudah miris semakin mengikis.


Sumber: Facebook Tere Liye



Masih banyak PR kita untuk meningkatkan minat baca. Selain di atas, perihal bagaimana kita perlu memilihkan bahan bacaan yang tepat untuk anak; memahamkan juga mengarahkan pada adik-adik kecil dan atau anak-anak kita yang sudah mampu membaca tulisan agar membaca yang sesuai dengan usia mereka pun adalah pekerjaan rumah lainnya. Sebab memastikan mereka tidak kecolongan membaca bacaan jauh di atas usianya termasuk poin penting.[]


Cirebon, 17 September 2017

~~~~~



Tulisan ini diikutkan dalam Postingan Tematik (PosTem)


#PostinganTematik


#BloggerMuslimahIndonesia



Kamis, 31 Agustus 2017

Jangan Lakukan Ini

Jangan Lakukan Ini

Bismillah

Salaam Sobat,

Sore kemarin ceritanya saya membersihkan bagian freezer lemari es. Biasa, sebab alasnya sudah dipenuhi es. Lumayan tebal untuk ukuran lemari es saya yang kecil. Manapula dindingnya pun mulai dirembeti.

Setelah pengatur suhu saya putar ke "off" biasanya memang selalu saya tunggu hingga es mencair sendiri. Tapi, siangnya saya sempat beli daging ayam. Khawatir si ayam kelamaan di suhu kamar--setelah keluar dari boks es mang sayur, saya pun mulai tidak sabar. Belum lagi di kepala sudah mengantri apa-apa yang hendak dikerjakan lagi.

Akhirnya, saya kerahkan tangan, terutama kemudian jari telunjuk. Dingin? Pasti. Tapi, seolah sedang mengerjakan tantangan, saya terus bergerilya. Kuat lah, pikir saya. Sampai kemudian selesai juga acara bersih-bersih es itu.

Baru, saat cuci tangan, saya merasa ada perih di ujung telunjuk tangan kanan. Saya cek tak ada keluar darah. Namun, saat ditekan pun terasa sakit. Bahkan sampai saat saya mengetik ini. Sakitnya terletak di ujung, mepet ke kuku. Sepertinya, efek congkel mencongkel. Saat masih berurusan dengan es tidak terasa, sebab es jadi semacam 'suntik baal' atau alat kebal. Tapi, begitu menit demi menit tangan tidak terkena es lagi, maka "kekebalan" itu pun berangsur hilang. Muncul rasa sakit yang sebenarnya sebagai gantinya.

Gara-gara tidak sabaran, dan sok-sokan begini deh. Don't try this at home ya, Sobat. Lain kali agaknya di tiap lemari es bagian freezer, tidak hanya ada gambar peralatan tajam dan pandangannya, mesti ditambahi gambar telunjuk tangan disilang. Hehe. ^^


Cirebon, Agustus 2017

#ODOP30
#ODOP
#BloggerMuslimahIndonesia

Mempelajari Ujaran Orang Yogyakarta Eps. 2

Bismillah

Salaam Sobat,
Di sekian postingan lalu, saya ada membahas tentang kalimat 'negatif' di mana kata jangan bertemu dengan kata tidak, sehingga justeru menjadi positif. Nah, kali ini pengen sok-sokan membedah lagi. Tentang ucapan ketika anak sakit.

Kemarin, selama di Sleman-DIY, cukup sering saya mendengar para orangtua menyebut "baru sakit" ketika anak mereka sakit.

Kok, begitu saja dibuat aneh? Hehe, bukan aneh, hanya saja lagi-lagi ini terkait pengalaman saya pribadi. Di kota di mana saya tumbuh, sebutan yang kerap dilontarkan adalah, "sedang sakit". Nah, saya--seperti bedah kalimat sebelumnya--mulai berpikir dan mencoba mengulik apa perbedaannya secara maknawi.

Baru dan sedang, jelas kata yang berbeda. Lalu disambungkan dengan kata sakit, semakin berbeda tentunya.

"Baru sakit" dan "sedang sakit". Menyebut baru sakit, atau baru rewel yang saya amati lebih karena agar yang sakit dan atau rewel tersebut tidak berlanjut sakit terus. Sehingga, ketika ada yang bertanya--meskipun misalnya sudah sekitar 2/3 hari sakitnya--para orangtua tetap menjawab baru sakit.

Berbeda bila menggunakan "sedang sakit". Seolah bila terus menerus disebut demikian, berpegaruh juga terhadap kesembuhan dan kesehatan yang sakit. Lagi-lagi, pada akhirnya kembali ke soalan tentang bahwa ucapan adalah doa. Begitu kurang lebih.


Cirebon, Agustus 2017

#ODOP29
#ODOP
#BloggerMuslimahIndonesia





Rabu, 30 Agustus 2017

Mencemburui Ibadah Orang Lain

Mencemburui Ibadah Orang Lain



Kumelihat sekumpulan orang, gurat kefanaan dunia tak kentara di keningnya.  Berona segar sekaligus tegar, itu yang ada di wajah mereka. Sama berpeluh, sama bermata lelah, sama menguapnya. Tak sama suara rongga saat mengeluarkan si uap: mulutku ber"kaaak" terbuka lebar lalu sebulir dua, air menitik di sudut kornea. Sedang mereka, ada gerak punggung tangan yang sigap menutupnya.

Kumelihat sekumpulan orang, kekecewaan tak pernah hinggap lama di hatinya. Berpanjang-lebar pakaian, gamis, jilbab mereka. Tak berkeras ingin lekukan dada, pinggang dan pinggul dipuja-puji siapa juga. Tak beralasan sebabkan gerak menghambat. Sama bekerja, sama mencari rupiah. Tak sama gelombang di ubun-ubunnya. Kepala dan kepalanku tak pernah merasa cukup, merasa harus bisa mengendalikan hingga akhir. Sedang mereka, merasa cukup dengan yang dicoba, lalu melepas, berpasrah perihal akhirnya.

Aku cemburu pada mereka.


Cirebon, Agustus 2017

#ODOP28
#ODOP