Senin, 28 September 2015

Si Bentolang

[Kontes Kreasi Bento Rumahan] Si Bentolang - Beruang Bento (Enggak Jadi) Malang

Oleh: Dini Nurhayati


Wah, straight to the point saja. Gegara Kontes Kreasi Bento Rumahan ini, saya jadi mendadak kreatif. Memang sebelumnya tidak kreatif? He, kalau disebut tidak kreatif sih tidak juga (alias tidak mau ngaku, kan malu). Yaa, kreatifnya sedikit naik level, gitu. Terimakasih Bund Fitriani untuk event-nya. Saya jadi belajar berkreasi. ^_^




Belakangan ini, sejak terganggu batuk yang hilang-muncul-hilang, Bilal agak menurun kuantitas makan nasinya. Dibutuhkan sabar plus-plus. Harus sambil dirayu, disuapi (padahal sudah bisa makan sendiri), seringnya harus dalam keadaan asyik bermain mobil-mobilan atau nonton film kartun, atau apalah. Padahal konon, kegiatan makan itu kan tidak boleh dibarengi kegiatan lain. Betul begitu tidak ya, sesungguhnya?


Sebelum ada event ini, saya pernah sekian kali membawakan si kecil bekal nasi, selain air minum putih yang wajib. Sebab seringnya, di rumah tidak sempat sarapan (karena malas). Paling banter segelas susu hangat seduhan sendiri, atau kalau pas ibu penjual susu kedelai lewat, beli itu. Terkadang, karena si kecil merajuk, susunya ada dua macam. Susu coklat seduhan sendiri dan susu kedelai putih (yang asli tanpa perisa tambahan). Isi plus tatanan bekal pun biasa-biasa saja.


Yang jadi favorit, menunya adalah nasi goreng, plus goreng tempe atau telur. Nasi dihamparkan dalam ‘lunch box’. Lalu ditumpuk lauk. Di tetesi kecap, sudah deh. Aslinya ada dua cetakan, yang dulu sangat sengaja diincar saat beli satu merk susu, berbonus cetakan tersebut, dan bentuk yang dipilih yaitu kelinci dan mobil. Tapi, saya kehilangan jejak, lupa nyelip di mana. Dulu, sempat dipakai juga untuk mencetak nasi, ala bento, walau dimakannya di rumah. Dan, terhenti, sebab saya pikir waktu itu, balita saya termasuk yang mudah makannya.Sehingga makanannya tidak perlu dibentuk apa-apa. Eh, sekarang, malah kebalikannya.


Oke. Kembali ke bento. Kali ini, sembari dipersiapkan untuk kontes kreasi( :D ), saya sengaja membuat tampilan bento Bilal lebih keren sedikit. Tepat hari ini baru masuk sekolah lagi, paska libur lebaran Idul Adha. Tadinya sih, ingin mengkreasikan nasi bentuk mobil, cuma itu tadi tidak ketemu. Akhirnya pakai cetakan agar-agar bentuk beruang. Sibuklah saya di dapur, tumben. Disambi jerang air untuk mandi Bilal, seduh susu coklat untuk iming-iming supaya dia mau mandi, juga seduh teh manis hangat untuk ayahnya dan saya sendiri, he.


Setelah berkutat belasan menit, (atau bahkan puluhan), jadi deh “Nasi Beruang” ini. Berikut isinya yang sederhanaaa banget plus berdasar pengetahuan alakadarnya:



Pertama, yang jadi alas adalah dadar telur. Tidak pakai irisan bawang atau bahan apapun, semisal sayur atau daging, alias plain (iya bukan ini istilahnya, ya?). Bumbunya hanya sedikit garam.


Kedua, nasi biasa. Maksudnya dimasak seperti biasanya di magic com, bukan nasi uduk atau nasi goreng, sebagaimana yang kerap di-request Bilal. Cuma, memang, nasi ini perpaduan dari beras putih dan beras merah. Dengan perbandingan 3:1. Itulah sebabnya warna nasi sedikit bersemu merah.Lalu, nasi dimasukkan kecetakan agar-agar bentuk boneka beruang. Ditekan-tekan sampai padat. Terus dikeluarkan, taruh di atas “karpet telur dadar” tadi.




Berlanjut ke menghias si beruang. Lumayan lama juga waktu yang saya butuhkan, sebab ornamen pembentuk beruang itu ukurannya sangat kecil. Matanya saya bentuk dari wortel. Dilakukan secara manual: mengiris bagian merah wortel, dengan pisau dapur sambil diputar, supaya mendapatkan bentuk bulat. Jika ada yang runcing meski sedikit, dipotong lagi.


Hidungnya saya cuil dari dadar telur, dibuat bentuk bulat/lingkaran kecil lagi, dengan cara yang sama seperti tadi. Mulutnya, saya bentuk dari brokoli bagian daun, diiris berbentuk segitiga. Lalu saya ambil bagian telur dadar yang melengkung, (pas digoreng berbentuk bulat) yang berbeda dengan yang dijadikan alas. Diiris mengikuti lengkungan, sambil tahan napas agar lebarnya sama, hihi. Ini untuk dililitkan, memperjelas bentuk wajah dan perut boneka beruang. Bawang Bombay (hasil dari tumisan) yang sengaja saya iris bundar, dipsangkan di ujung kaki beruang.



Menu ketiga, yaitu perpaduan wortel, brokoli, dan bawang Bombay, yang ditumis atau dimasak ala capcay. Campurannya ada rebusan daging sapi, yang disuir agak besar(karena sudah sangat empuk) dan dipotong seperti batang korek api. Ada satu alasan khusus terkait hal ini. Jadi, walau sudah usia TK, Bilal masih belum bisa 'makan' daging—entah ayam, lebih-lebih sapi. Maka kalau makan daging harus disuir-suir dulu, ukurannya pun harus pas, karena kalau tidak nasinya bisa berhasil masuk lambung, sementara si daging masih dikunyah, padahal sudah lembek, tapi tidak mampu dia telan.



Bumbu menu ini lagi-lagi hanya garam. Itupun berasal dari brokoli yang sebelumnya direndam dalam air yang dicampur sedikit garam, dengan maksud mengeluarkan ulat-ulat kecil nan hijau yang bersembunyi, (pas beli kelihatan ada ulat menyembul malu-malu). Semoga cara ini tidak salah. Kalau ternyata salah, mudah-mudahan ada yang berkenan memberitahu ilmu yang benar. Oh, iya, batang brokoli pun, kalau masak, selalu saya sertakan, tidak dibuang. Di lunch box Bilal, bentuknya saya potong, lagi-lagi ibarat batang korek api. Menjadi pagar tempat suiran daging.


So, this is it (ikutan gaya chef handal)! Inilah penampilan akhirnya.




Aih, supaya si kecil mau membawanya saja, harus struggle. Ujung-ujungnya dititipkan ke ibu gurunya sih, sambil ada kalimat pengantar, “Tadi baru makan nasi sedikit. ”Memang di sekolah diberi jajanan serupa penganan kecil. Maka, jarang ada anak yang bawa bekal dalam kotak nasi dari rumah. Jadi ini, agak ‘gambling’ juga. Begitu diterima gurunya, beres deh. Tinggal menunggu penampakan akhir si Nasi Beruang pulang sekolah nanti. Kalau box-nya kosong atau setidaknya berkurang, itu pertanda bekal disantap. Pula sebaliknya.





Dan …


Akhirnya begini ternyata.


Si Beruang Bentolang dan segenap background-nya berbaur akrab.




Tak berbentuk. ;-(


Rupanya, tak dibuka sama sekali oleh si kecil. Saat saya meracik pun dia memang tidak tahu. Baru saat diperlihatkan hasil jepretan, seperti apa nasi itu sebelumnya, dia tertawa-tawa, “Hiii, koklucu.” Maka isi lunch box pun disantap di rumah, disuapi.-_\ Eits, jangan gede rasa dulu, tetap dengan bujuk ala Rayuan Pulau Jawa.


Bekal belum habis, tapi ada request baru, “Bikin nasi yang pesawat terbang …,” ucapnya sambil mengacungkan cetakan agar-agar bentuk pesawat terbang.

Perjuangan belum berakhir, Bund. Tapi, minimal dari permintaan si baby boy satu itu agaknya kegiatan kreasi bento ini akan berlanjut, tidak hari ini saja …. Entahlah :D


Berita terakhir, Bentolang - Beruang Bento Malang itu akhirnya tidak jadi mengalami kemalangan. Alhamdulillah habis juga. :D




*Fin


#KontesKreasiBentoRumahan


“Postingan ini diikutkan dalam Kontes Kreasi Bento Rumahan” yang diselenggarakan oleh Fitriani Firmansyah

[Fiksi Mini]

:: Asep dan Ngadimin ::
Oleh: KW


"Mpun, Bu, rasah disendoki. Nganggo puniki mawon,"
Ngadimin menghentikan gerak ibu pemilik warteg, yang hendak menaruh sendok di atas piring pesanannya. Tiga jari Ngadimin diangkat ke udara; membuat gerakan mencapit. Hidangan di depan mata. Ngadimin menaikkan kaki kiri ke atas bangku kayu panjang.

"Nasi, Bu. Rames," ujar seseorang yang baru datang. Langsung memesan.

"Heee, njenengan, tho? Dhahar ...," Ngadimin memberi isyarat.

"Eh, Mas Ngadimin di sini juga ternyata. Sumuhun, Mas. Mangga duluan,"

"Piye, Kang Asep sampun lapor Pak RT?"

"Teu acan, sibuk keneh beberes geuning, Mas,"

"Hooo ... yo jo sui-sui lapor warga barunya tapi, Kang. Eh, njenengan gawene opo tho?"

"Aaah, tukang servis TV, radio, kipas angin ... sabangsa barang elektronik kitu lah, Mas Ngadimin." Asep menyuapkan sendok pertama yang sedari tadi menggantung.

"Weeeh, pas banget nek ngunu. TV-ku rusak. Aku jaluk tulung diservis, yo? Ora mahal-mahal biayane, lho! Karo tonggo dhewek kok yo ...,"

"Hehehe ... eta mah kumaha panyawatna si TV, Mas ...,"

"Hei, Kang Asep wes tho manut. Ben aman omah karo bojomu!" Ngadimin menepuk bahu Asep, matanya berkedip. "Mengko sore TV-ku tak terke,"

"Ng-nggih, Mas ...," Asep kikuk.

"Bu! Biasa yo ...," tangan pria kekar itu berisyarat seolah menulis sesuatu. Lalu, "eh, sik, Kang Asep bayari madangku yo? Perkenalan ...," bahu Asep ditepuk lagi. "Bu, sing wau dibayari Mase iki lho! Yuuk, suwun yoo ...."
Ngadimin melangkahi bangku panjang. Tangannya menarik celana jeans naik ke dekat perut yang buncit.

"Ari kitu sabaraha tadi, Bu? Habis berapa?" tanya Asep hati-hati.

"35.000 eh, Mas. Wong nambah pindo. Jadi habis tiga porsi sendiri tadi."
Asep meneguk ludah. Kemudian diraihnya segelas air putih, minum. Tapi tenggorokannya tetap kering. Ia ingat uang yang dikantongi hanya 50.000 rupiah. Ditambah makannya barusan, entah berapa total nanti. Istrinya sudah mewanti-wanti pula, untuk membeli beras barang sekilo.


Sleman, 7 Agustus 2015

Sabtu, 05 September 2015

Lukisan Hujan

Oleh: Kirana Winata

Sebetulnya aku sudah bosan berada di sini. Sebuah ruangan yang catnya dominan putih. Untung hordengnya berwarna hijau, jadi tidak terlalu seram. Tak ada bau yang sedap sama sekali, kecuali saat seorang kakak atau tante atau ibu dan seorang om atau bapak yang sama-sama berjas putih, menghampiri ranjangku. Tubuh mereka wangi membuatku malu dengan diri sendiri yang sepertinya telah berhari-hari tidak mandi.


Tak pernah ada sosok lain kulihat selain orang-orang itu. Bahkan wajahnya pun seringnya tertutupi masker hijau. Dulu aku baik-baik saja. Tapi, saat sedang asyik mengamen tiba-tiba aku diajak seseorang.

"Langka nih. Jarang yang cakep begini, pasti laku mahal."

Aku mendengar kalimat tadi dengan bingung. Lalu sejak itu aku berpindah-pindah dari tangan ke tangan orang berbeda. Hingga akhirnya aku sampai di kota yang sering berkabut ini.


"Dik Azzam sedang mikirin apa? Kok melamun?"

Kak Harum--aku tidak tahu namanya, mungkin dua jejer kata di dada sebelah kirinya adalah namanya. Tapi aku belum bisa baca, jadi kusebut saja dengan Kak Harum--sudah ada di samping ranjang. Tatapanku masih mencoba menerobos ke balik jendela yang buram. Di luar terintip gelap, kelam, kelabu; semua berkabut. Membuat tidak jelas, apa itu pagi, siang atau malam.


"Azzam mau main ke luar. Di sini bosan," jawabku belum menoleh.

"Tapi di luar masih gelap. Semua orang masih pakai masker ...," kata seseorang yang baru datang. Aku menyebut dia Om Wangi.


"Sampai kapan, dong?" tanyaku tak sabar.

"Sampai hujan turun. Semoga saja itu tidak lama lagi," Kak Harum tersenyum. Aku juga berusaha tersenyum. Tapi mungkin gerak bibirku tertutupi selang transparan yang melintang di bawah lubang hidung. Dan tiba-tiba aku punya ide cemerlang, menurutku.

***


"Itu lukisan hujan. Bagus enggak?" tanyaku lemah, ketika mereka datang lagi di kunjungan selanjutnya. Aku takjub sendiri menatapi kaca jendela di dekat ranjangku persis.


Sepanjang mereka tak ada, kutempeli jendela itu dengan kertas-kertas putih yang kusobek kecil-kecil dari buku tulis yang diberikan untukku berhari lalu. "Biar hujannya cepat datang. Terus asapnya hilang semua ... deh ...," tambahku. Dan aku langsung terpejam, mungkin karena terlalu lelah. Aku ingin tidur dulu. Siapa tahu besok, saat kubuka mata, pemandangan di luar jernih kembali. Sebab semua asap terguyur hujan.[]



*Tulisan ini diikutkan dalam GA yang diadakan kaylamubara.blogspot.co.id bekerja sama dengan LovRinz Publishing*


Judul buku yang diambil inspirasi:
Hujan di Atas Kertas dan Melukis Ka'bah

Rabu, 02 September 2015

[Resensi] Fesbuk dan Kumpulan Fragmen Kehidupan

Fesbuk dan Kumpulan Fragmen Kehidupan
Oleh: Kirana Winata



Judul buku : Fesbuk, Kumpulan Cerpen
Penulis : Muhammaad Subhan dan Aliya Nurlela
Penerbit : FAM Publishing
Cetakan : II, Agustus 2014
ISBN : 978-602-17404-8-4





Disajikan oleh dua penulis, kumpulan cerpen dalam buku ’Fesbuk’ ini mengusung banyak tema yang coba diungkapkan. Dari judul mulanya saya berpraduga cerita-cerita yang akan disampaikan oleh Muhammad Subhan dan Aliya Nurlela sama-sama berkaitan dengan media sosial yang paling digandrungi sekarang ini, Facebook. Tapi rupanya tidak.



Ada 12 cerpen di buku ini, yang menarik saya pada kesimpulan untuk menyebutkan bahwa cerita-cerita itu serupa fragmen kehidupan banyak manusia. Tentang cinta, sosial, reliji, hingga soal rasa entah bernama apa.


Pada cerpen Fesbuk, yang judulnya dipakai pula sebagai judul buku ini, saya cukup terkecoh. Mengira kalau di dalamnya adalah kisah tentang hubungan manusia yang kemungkinan besarnya seputar cinta via facebook. Ternyata adalah tuturan ‘tempat rajukan yang balik merajuk’. Meskipun banyak yang sudah mafhum, soal asal mula terkenalnya facebook dan hal lainnya, cukup informatif juga untuk pembaca. Mengambil sudut pandang si facebook sendiri yang bercerita, membuat cerpen ini unik dibanding cerpen lainnya, dari segi point of view. Sama halnya dengan PoV pada cerpen “Darah, Oh, Darah” yang mengusung tema kemanusiaan.



Lelaki Majnun”, mirip hikayat klasik tentang penggembala kambing yang suka berbohong tentang kedatangan serigala. Hanya setting tempat cerita ini adalah salah satu kampung di Sumatera Barat, konon. Plot dan alur pun serta merta mudah ditebak. Dan yang sedikit mengganggu sekadar pengulangan kata ‘dagang’ di paragraph-paragraf awal. Selebihnya hingga bagian ending, cerita si Boneng ini tetap enak dinikmati.



Dari 12 cerita yang tersaji beberapa cerpen yang begitu selesai membaca menimbulkan pertanyaan adalah pertama “Tukang Cerita”: membuat penasaran pada kisah sesungguhnya, bertanya-tanya siapa gerangan nama penulis yang dialiaskan ‘Abdul Hakim’ tersebut; novel apakah itu yang ditulis diangkat dari kisah nyata seorang ‘Soraya’? Kedua, “Cerita Tentang Senja di Pantai Padang”. Di sana Muhammad Subhan pandai menggiring pembaca dengan paparan setting tempatnya. Ujung dari membaca kisah ini pun sama, rasa penasaran terhadap gadis yang menantikan selalu kedatangan si lelaki laut. Benarkah kisah ini adanya? Entahlah. Berikutnya, “Rinai di Matamu Aliya”—suka dengan sad-ending-nya yang logis dan “Bells’ Palsy”. Saya dengan iseng menduga-duga bila dua cerpen ini sedikit menyinggung atau ada keterkaitan dengan fragmen yang sebenar dialami penulis, walau entah di bagian mananya.




Sementara cerpen yang kurang greget—tentu menurut saya pribadi—adalah “Selamanya Aishiteru”. Berkisah tentang sepasang kakak adik yang saling mengagumi; pula tidak saling tahu bila sesungguhnya mereka bukan saudara seayah dan atau seibu. Lanjaran perihal ini kurang. Sehingga saat ending-nya mereka menikah, kesannya 'drama' sekali. Hal yang dapat diambil manfaat dari cerpen ini yaitu soal kegigihan belajar atau menuntut ilmu sekurang apapun kondisi kita.




Selain beberapa cerpen yang disebut dan sedikit diulas di atas ada cerpen-cerpen lain yang sayang kalau dilewatkan. Terpenjara Luka, Kupu-kupu di Ruang Tamu, Nei dan Suatu Hari di Masjid Rumah Sakit. Kesemuanya merupakan kisah-kisah—meski bersahaja--yang dapat memberi inspirasi dan pelajaran bagi pembaca. Misalnya pembaca penasaran dapat bisa memastikan dengan membaca sendiri kisahnya. Lalu bila kita berbeda pendapat, dapatlah kita duduk bersama membedahnya. :)




Secara fisik buku, kertas yang digunakan cukup tepat. Tidak menyisakan kertas ataupun sampul yang ‘menganga’ saat selesai membuka lembaran demi lembarannya. Kekurangan dari buku Kumpulan Cerpen Fesbuk ini barangkali pada tampilan sampul depannya. Di antara buku-buku terbitan FAM Publishing agaknya ini yang terkesan sepi warna, sehingga kurang menarik pandangan netra (menurut saya yang selalu menyukai komposisi warna yang dinamis, terleih untuk kaver buku). Sebab hanya dominan biru. Jadi bila nanti buku ini cetak ulang—dan saya rasa cukup layak untuk itu—alangkah baiknya bila tampilan sampul depannya lebih berwarna.[]




Sleman, 30 Juli 2015