Selasa, 27 Oktober 2015

So Happy Kalau Dapat Souvenir Begini

Bismillah.

Assalamu'alaikum, Sobat!

Cuap-cuap kali ini tentang pernikahan, Wabil khusus tentang souvenirnya. Tapi mungkin sambil sekalian saya tumpah-ruahkan sesuatu yang lain, yang belum tahu apaan itu, kita saksikan nanti ya :D

Sobat, pengen tahu nih, coba siapa yang belum pernah kondangan? Aww, istilahnya merakyat sekali, tho? Agaknya bagi yang sudah hidup di dunia sekitar 20+ pasti mengalami lah, entah cuma sekali.

Nah, apa yang asik dan seru dari acara kondangan coba?

Yup! Kamu betul, deh. Iya, kamu, yang barusan teriak (dalam hati), "Makan-makannya!", tuh kan senyum. Aih, ndak usah malu, semua sama kok, sama dengan saya maksudnya. Makan gratis masa enggak mau. Hehe, duh ketahuan deh senengnya sama yang gretongan. Etapi, kan kita ngamplop, ya? #PwissAh ^^v


Tapi, Sob, kalau saya senang ini juga nih ... koleksi souvenirnya! Iya, dong, kan tulisan saya ini tentang "souvenir pernikahan", jadi pembahasan harus digiring ke arah situ. Hihihi, jujur lagi. Dan, di sinilah saya akan jelaskan soal judul tulisan di atas. Saya senang kalau pas kondangan souvenir yang diberikan sohibul hajat bisa saya gunakan, (bukan yang nantinya cuma diemut terus hilang di dalam perut), kepake alias bermanfaat. Dan barangkali semua acara hajat, khususnya pernikahan, masa kini "saling berlomba" untuk memberikan souvenir yang bermanfaat. Seperti beberapa contoh berikut dalam gambar.



punya
Contoh Souvenir Pernikahan (koleksi pribadi)

Sobat yang sedang merencanakan menikah, barangkali bisa menjadikan tulisan ini referensi kecil. ;) Begini, kalau menurut saya, souvenir yang ketika kita pulang dari acara walimahan (dan lain sebagainya) berdaya guna (istilah kerennya), bisa selalu kita pakai, mungkin akan ada pahala kebaikan juga yang mengalir ke penggelar acara atau shohibul hajat. Lebih-lebih kalau digunakan untuk hal kebaikan, misal kipas, bukan buat mentung lalat. Soalnya lebih mantap pakai sapu lidi. Ups.

Kipas, yang biasanya berjodo dengan udara panas :)


Jadi, meskipun itu sebuah benda yang ala kadarnya, bila tetap diniatkan berbagi manfaat, insya Allah sampai. Malah ada beberapa pengantin yang souvenir pernikahan mereka salah satunya berupa kumpulan doa pagi-sore eksklusif atau yang biasa disebut Al Ma'tsurat. Bahkan ada pula yang souvenirnya Al Quran ukuran sedang. Waaah, saya cuma bisa berdecak kagum, karena tentunya--tak dapat dipungkiri--ada rupiah lebih yang mesti dialokasikan. Dan, bagi saya itu sesuatu yang wonderful. Bayangkan bila Al Quran itu oleh pemiliknya nanti rajin dibaca? Sepasang pengantin dan jajaran sohibul hajat lainnya insya Allah terciprati juga pahala dari membaca Al Quran itu.



Sekian tahun lalu, saat hendak menikah, saya juga bercita-cita, untuk mengoleh-olehi para tamu undangan dengan souvenir pernikahan yang bermanfaat. Walau mungkin harga benda itu tidak seberapa, tapi tentu juga bukan yang tidak 'seberapa', he, maaf muter-muter. Sepertinya saya masih ingat benda-benda itu, semisal: sumpit, dompet kulit imitasi kecil, gunting kuku dan steples.



Kalau Sobat punya ketertarikan atau kecenderungan pada tema-tema tertentu bisa juga disisipkan. Contoh, waktu itu saya yang masih gandrung dengan semua hal berbau Jepang, ingin sekali ada satu dua benda yang mewakili ala Jepang. So desu ne ...



"Mau dong yang ala Jepang, apa gitu." Kurang lebih beginilah saat saya ngobrol dengan kakak pertama. Waktu nikahan saya, segala souvenir di-handle kakak. Dan dapatlah dia sumpit, bergambar orang bentuk kartun menggunakan kimono dengan huruf hiragana yang turut meramaikan. Aroma Jepang juga diwakili oleh dompet. Walau kalau tak salah lebih tepatnya dompet itu bernuansa Korea, sebab tulisan yang tersisip bukan hiragana melainkan hangul (betul begini bukan ya nulisnya?). Dompet tersebut sampai sekian bulan lalu masih bisa saya pakai. Untuk diisi uang misal mau ke warung, terkadang saya pakai untuk menyimpan flashdisk dan modem internet. Terasa sekali manfaatnya, awet pula, (berarti sekitar 4 tahunan umurnya, hwiii). Makanya, insya Allah tidak menyesal dengan memilih souvenir semacam ini. Juga terasa happy. Bahagia itu kan bisa karena hal-hal kecil. Seperti punya benda sederhana, tapi useful.



Well, itu sebagai contoh kecil saja dalam memilih souvenir bagi Sobat yang sedang dalam perencanaan menikah. Dari tema hingga warna bisa saja diserasikan. Barangkali Sobat bisa juga mencoba Souvenir Photobooth. Kalau dulu, saya belum mengenal tentang souvenir photobooth ini. Sepertinya belum marak alias booming, eh atau sayanya saja yang kudet, ya? He.



Memilih souvenir berupa gantungan kunci, kayaknya masih belum 'punah' ya, Sobat? Saya masukkan juga si ganci ini ke kelompok souvenir yang bermanfaat. Siapa sih, yang tidak kenal kunci. Kalau mau hitung pintu dalam satu rumah, antara 2 hingga 4 sih ada kali ya? Pintu depan, samping atau belakang terus pintu kamar. Kalau anak kosan setidaknya tentu kamarnya berpintu satu. Nah, pintu-pinu itu pasti berkunci. Dan, saya sepakat kalau misalnya ada hasil pollling (siapa yang kira-kira ngadain nih?) yang menyebut bahwa hampir setiap kunci butuh gantungan kunci. Soalnya kalau cuma kunci itu thok, gundul gitu, agak sulit untuk diidentifikasi keberadaanya. Kalau dicantolin ganci jadi ada ciri lah setidaknya. Ganci juga bisa untuk kunci motor. Siapa di Indonesia ini yang warganya tidak bermotor? Satu rumah minimal satu mesti ada deh. Terus, kalau motor kita sama dengan tetangga, pasti kuncinya sama juga dong. Nah, lagi-lagi si ganci selain jadi ciri juga sebagai pembeda, kalau tertukar. Misal pas ada kejadian nongkrong bareng, terus si kunci sama-sama tergeletak di tempat tongkrongan . Hehe, misal aja ini sih.



"Maaf, Pak, kunci saya yang gantungannya mobil-mobilan itu."
"Eh, iya ya, Mas? Maaf, maaf."


Percakapan di atas hanya ilustrasi lho, ya. Jangan menyangka kejadian sebenarnya yang saya alami. :)



Contoh Gantungan Kunci for souvenir


Nah, yang berikutnya yaitu gunting kuku. Tidak perlu saya berpanjang lebar kan ya, kegunaan dari gunting kuku ini. Terkadang keberadaannya bisa menggantikan posisi gunting. Khusus yang saya alami, seperti ketika perlu untuk melepas tali/benang (gantungan atau apa sih nama tepatnya) brand dan harga suatu priduk, saya sering ngandelin gunting kuku. Khusus saat dijadikan sebagai souvenir, si ganci ini biasanya dikreasikan sehingga lebih menarik. Jadi seperti di bawah ini misalnya. Lucu kan? ^^


Cutie Ganci



Souvenir berupa dompet, (seperti yang sempat disebut sebelumnya) boleh juga, Sobat. Seperti di bawah ini nih. Ini dompet home-hand made bila saya perhatikan. Terbuat dari kertas karton ketebalan sedang. Sisi karton yang akan menjadi bagian dalam dompet dilapisi kain puring tipis hitam, seperti untuk daleman tas. Sedang bagian luarnya dilapisi kain bercorak, yang ingin mengekspresikan kecintaan pada budaya Indonesia, bisa memakai kain yang bercorak batik, atau something ethnic. Pasangkan kancing, seru juga, nih. Aih, kok seolah saya yang buat ya, bisa memaparkan begini? Padahal ini hanya prakiraan. Berati sebetulnya saya juga bisa kali ya buat sendiri. (Oke, mimpi dulu sah-sah aja, kan?)



 



Pesta pernikahan barangkali bukan soal souvenirnya saja. Satu hal lain bagi sang penganting yang pasti adalah pengambilan gambar tiap-tiap momennya. Pasti tidak ada pengantin yang ingin precious time kala itu terlewat untuk diabadikan. 


Saya terlahir di Bandung, tapi waktu nikah di Cirebon. Terus adik-adik saya yang fotonya di bawah ini, tinggal (untuk bekerja) di Bandung, tapi juga resepsinya kemarin di Kuningan. So, what kitu? Hehe, kalau domisili Sobat di Bandung dan sekitarnya, ada Foto Wedding Bandung cenah. Sok atuhlah mangga dicobi. Happy happy days ya, Sob!



Doc. Litlle Brother's Wedding
Beberapa contoh souvenir di atas juga dari pernikahannya kemarin, he, :)



Teras ... (naha jadi berlanjut speaking Sundanese nya? Janten kangen Bandung, daa),spesial untuk Sobat yang sedang berencana, sedang menyusun ataupun masih sedang menabung untuk menikah nanti, mudah-mudahan dilancarkan. Barokalloh semuanya. Buat usahawan-usahawati yang khusus membidik tema pernikahan pun, semoga laris, lancar jaya, jaya baya, jaya kusuma, and so forth lah. Aamiin. Buat yang sudah menikah sekian atau sudah berbilang tahun juga semoga tetap asik, tetap manis, harmonis, romantis, kayak makan tahu petis di Pantai Parangtritis. Eiiisss. (Aminkan juga atuh dong. Beut rada maksa penulisna geuning, nya? Hihi ^^v)



Parantos ah. Cukup sekian, maaf dan terimakasih, khususnya untuk Teh Sintha, salam kenal (boleh ini teh panggil begini? Btw, nama belakangnya, nama ibu juga, hi). Ngiringan GA-na nya, Teh?


Permios. Adios amigos. :)

Wassalam.


=====================================
Post in Sleman, untuk:







Sabtu, 24 Oktober 2015

Nyubi Boleh Nyoba Go For It

Bismillah.


Mudah-mudahan bukan sekadar cuap-cuap, tapi tetap ada “sesuatu”-nya, ya? Aamiin.


Go, Nyubi! Go for it!


Jadi begini lho, Mba Winda a.k.a Emak Gaoel, saya baru mencoba untuk mengaktifkan lagi kegiatan nge-blog. Saat membuat blog ini berbulan lalu, tujuannya untuk ikut lomba resensi. Berhubung syaratnya harus posting di blog, lahirlah Kirana Winata. ^_^





Sebelum posting resensinya, saya tulisin yang lain-lain dulu dong ya? Some of remeh temeh gitu, deh.  Biar gak kentara banget motifnya, he. Dan, aih, Alhamdulillah salah satu resensi yang diikutkan berhasil lolos, jadi Juara Terbaik II. Usai lomba saya usahakan isi Kirana Winata ini dengan tulisan-tulisan. Walau tidak rutin, malah bisa dibilang jaraaang banget. Kalau ada lomba mengharuskan posting blog, dengan sendirinya blog ini terisi. Pas enggak ada, ya libur.  ^^v


Terus kemarin dari satu info lomba blog, terdorong penasaran saya iseng ketik “Lomba Blog 2015” di google. Terdamparlah saya di satu blog siapa gitu, duh lupa, maaf (dan terimakasih). Isinya info beberapa lomba, yang ternyata banyak dan hadiahnya huwaw (hehe).




Semua ditelusurilah. Nah, salah satunya ke Blog Emak Gaoel. Lucunya, karena di-mention teman, saya sudah follow duluan Emak Gaoel di instagram untuk lomba sama, tapi kerepotan—gegara gaptek—pas mau ikutan, hingga lewatlah DL. -_\


Saya termasuk kategori yang semangat blogging-nya naik-turun, nih Emak Gaoel. Ditambah, jujur saya bingung, nulis apaan saja kalau nge-blog? Selain untuk lomba, resensi, puisi atau tulisan ala writer-wannabe lainnya? Intinya sering macet ide, heheu, tipe penulis pemula sekali. Sementara, dalam otak sih pengen punya tulisan yang khas, different from others kata urang Sunda-nya mah.


Asli nih pengen blog-nya ramai. (Biar tidak seperti di hutan, haruskah aku ke pasar? Eh?). So, biarpun motif awalnya gegara lomba, semoga selanjutnya better. Rajin nulis dan istiqomah.


Apa yang dikejar kemudian?


Dari beberapa contoh yang disebut EmakGaoel, boleh jadi semuanya pengen nih, Mak. Apalagi go to pilgrimage, surprise juga dari blogging bisa pergi haji. Misal ternyata saya pun bisa melalui blogging, Alhamdulillah. (amiin, aamiin) Walau mungkin masih nanti. Sekarang mah tahapannya begini nih, Mak.


Pertama, saya perbanyak tulisan dulu di blog Kirana Winata ini, syukur sembari diiringi kualitas, manfaat full barokah.


Kedua, kalau sudah banyak, target minimalnya 100 lebih tulisan (semoga dimudahkan), saya ubah ke domain pribadi, yang nantinya jadi “dotkom”langsung, kan, ya, Mak?


Ketiga, tentu tetap nulis, nulis dan nulis.


Tampak lama ya, Mak? Hihi, semoga selalu diparingi sabar kalau begitu.


Selama nge-blog—atau nge-net secara umumnya—yang masih seumur jagung jumlah tulisannya ini, saya dibantu aplikasi apa saja sih?


Duh, maaf cerita lagi. Belasan bulan sebelum ini, kalau internetan saya pakai komputer suami, curi-curi kesempatan, terus Alhamdulillah  bisa punya laptop (walau belum lunas. Aih, jujur). Alat ngenetnya modem. Suatu ketika teman yang memerhatikan saya suka nge-net, menyarankan biar ngenetnya bisa sambil mobile, “pakai hape aja, Din”. Terus lihat hape saya yang ala kadarnya, jenis paling murah dari salah satu brand, dikasihlah saya hape miliknya. Hape Smartfren.


Masih disimpan, gak tega buangnya :'(



Sejak itu, lumayanlah, setidaknya untuk mengunggah foto, kamera si smartfren lebih baik. Bisa sedikit lebih mudah berinternet dari segi foto-memoto saja sudah seneng banget. Sebelumnya kan kalau mau moto hadiah kuis yang sudah sampai rumah  pakai webcam laptop. Bentuk fotonya selalu mirip trapesium. Hehe. Tapi, Emak Gaoel, hari itu pun tiba. Ketika Smartfren kehujanan, lalu tak dapat diselamatkan. Hiks. Ngenet pun ngegalau lagi.


Berbulan kemudian, sehari sebelum ultah, ibu meghadiahi saya ponsel baru. (Alhamdulillah lagi). Ada yang sebut itu android, ada ponsel pintar, entah yang mana, sebab ternyata saya tak cukup pintar membedakan plus mengoptimalkan kinerja ponsel. Jadi sekarang, kalau ngenet, dibantu dia memang. Tapi utamannya pakai laptop. Maklum, Mak belum gape, apalagi urusan yang harus posting tulisan dengan jumlah kata/karakter/halaman yang banyak. Kok tidak bisa ya?


Jadi, mengkombinasikan antara fungsi ponsel-laptop, saya dibantu:

1.      Photo Grid, saya pakai untuk editing photo.

2.      Office suite, ini dipakai saat daring via ponsel untuk nyimpan tulisan/copas dari web. Semisal tips dan kiat menulis.


  



3.      Google chrome dan mozilla firefox



Dan saya ngiler sama Smartfren Andromax-nya. Kok? Jujur, Emak Gaoel, maksudnya biar nanti salah satunya untuk suami. Jadi, enggak ganggu saya, heheu. Biar dia juga tidak kuper-kudet-kunut—kurang nutrisi. :D Berhubung freelancer, pula hari gini semua serba harus via internet. Biar lancar. Aamiin.







* Tulisan ini diikutkan dalam:


Blog Competition, Go For It with Blog Emak Gaoel






Go For It Blog Competition

Rabu, 21 Oktober 2015

The Childhood of The Ririwit One


“Ririwit.”


Satu kata itu hampir selalu terucapkan bibir mereka bila saya sekeluarga mudik ke Cijulang, satu desa di Kabupaten Ciamis sana. Biasanya, kalau berkumpul, terutama kala Lebaran, ada saja kisah-kisah masa lalu yang saling berebut diluncurkan. Dan saya mendekati bosan mendengarnya. Karena lebih dari satu kerabat yang bila bertemu, langsung teringat ke masa kecil diri ini yang langganan sakit. Tepat! Ririwit itu istilah kami ‘urang Sunda’ untuk menyebut seseorang yang kerap terkena sakit (saat kecil). Mendengar ada beberapa dari sanak saudara menyebutkan hal itu, agaknya tidak bisa tidak saya harus percaya bila itu fakta.


Kalau mudik dulu konvoi pakai motor.
Saya, itu tuh yang paling manis kayak cokelat.



Konon sejak bayi berusia sekian bulan, saya sudah sering terkena sakit ini, itu, anu. Kalau dari cerita para tetua—lagi-lagi berdasarkan kesaksian mereka—one kind of deseases (enggak tega sebut penyakit) yang selalu hinggap di sekujur tubuh “The Ririwit One” ini, terutama bagian tangan-kaki, adalah koreng.


Saya alergi tingkat tinggi terhadap makanan berprotein tinggi, semisal ikan laut. Waaah, kalau pas daya tahan tubuh yang memang tidak seberapa ini merosot, sekali saja makan, bulir-bulir kuning kehijauan akan dengan cepat menghiasi epidermis. Sementara dari segi usia, si Dini masih balita. Alhasil yang ada, bersebab rasa nyat-nyit-nyut, Dini kecil rewel bukan kepalang. Nangis melulu. (Hiks, membayangkannya lagi saja memilukan.)


Digendong salah seorang bibi pas sakit.
Umur berapa tahun ya, ini?


Alergi terhadap protein menyebabkan para orangtua mau tak mau mesti bersabar tidak memberi saya makanan yang masuk kategori alergen tersebut, khusus saya saja. Padahal kan itu makanan bergizi. Tak heran tubuh si Dini melulu kecil, kurus.


Saking seringnya kena, dan obat dokter hanya berkala menyembuhkan, orang tua, uwa, bibi dan lainnya sampai-sampai harus mengikuti saran mengobati saya dengan mengonsumsi “fried snake”, pepes kadal dan semisal itu. (Pantas saja kalau sekarang tiap saya melintas ke semak-semak pas ada kadalnya, si dia langsung kabur atau enggak heran kalau sekarang lihat ekor kadal bergoyang saya exciting banget. He, ini asli hiperbola).


Hihi



Sekian tahun berikutnya, kami pindah dari Cijulang ke Cirebon (sebab SK tugas orangtua). Masih gegara satu alergi ini (ada alergi lain lagi), saat usia menjelang 5 tahun dan hendak didaftarkan ibu masuk ke Taman Kanak-kanak, si koreng kambuh lagi. Parahnya lebih-lebih dari biasanya, yang cuma menghias tangan-kaki. Kali itu dari kepala hingga kaki. Rambut galing pun terpaksa dibabat, karena nanahnya menyebabkan rambut lengket dan bau amis. Maksud dicukur juga untuk memudahkan mengobati kulit kepala.


Demi mempercepat proses kesembuhan, ibu melakukan saran beberapa tetangga, walau cara itu menyesakkan. Sobat mau tahu apa itu? Menutupi luka bernanah di kepala dengan abu rokok yang ‘fresh graduate’. Maksudnya abu rokok yang benar-benar baru dari hisapan rokok. Jadilah ibu seorang ‘perokok’ dadakan.


Ketika beberapa teman ramai berangkat sekolah, kepala saya masih sibuk ditutuli abu rokok oleh ibu. Rasanya bagaimana? Panas tentu.


Alhamdulillah. Sekarang kurang lebih begini.
Ini foto 5 tahun lalu, tapi saya selalu 'langsing' memang :D



Begitu sembuh, ibu ‘balas dendam’. Dia rajin mengolesi kulit kepala saya dengan santan dan jeruk nipis. Rambut galing yang terbabat pun bermunculan lagi. Bahkan, walaupun kemudian rambut saya tumbuh ikal, lebat dan hitam, ibu masih terus melakukan treatment tersebut.


Itulah sekelumit kisah masa kecil saya yang aslinya kompleks, hehe. Mudah-mudahan sih, tidak akan ada pengambuhan lagi. Aamiin.[]




Sleman, 8 Muharam 1437 H || 21 Oktober 2015




Kenapa Harus Malu? Local Brand Lebih Keren #SmescoNV


Seiring bergulirnya pasar global plus berkembangnya dunia (jaringan) internet, persaingan di dunia industri dan perdangangan juga semakin ketat. Akses memang lebih mudah dari sebelumnya. Namun kesulitan atau sebutlah tantangan pun lebih kompleks lagi.

Dari pengamatan sederhana saya, bangsa Indonesia yang masih masyhur dengan label ‘konsumtif’—terutama kaum hawa—kerap menjadi sasaran empuk pihak luar dengan produk-produk yang ditawarkan dan masuk ke dalam negeri. Lalu, seperti yang sama-sama kita ketahui famous brand itu menjadi ciri hingga fenomena sosial di sini. Beberapa di antara kita akan lebih merasa bangga dan percaya diri tinggi bila apa yang dikenakan mulai dari pucuk rambut hingga tumit beraroma kata-kata import, produk asal luar negeri, internasional, hingga keyword ‘dipakai artis holywood’.

Lalu, ke manakah produk nasional yang berakar dari produk lokal kita? Tanpa sepengetahuan atau informasi purna yang kita punya, ternyata banyak pekarya negeri yang asik berkreasi—sembari melekatkan kekhasan daerah, kemudian karyanya sampai berhasil diekspor ke luar negeri, menembus pasar internasional.

Nah, bagi saya itu baru keren. Akan tetapi, satu hal yang mesti pula diulik adalah bagaimana agar produk tadi bisa mendunia? Tentu ada proses, trial and failure mesti terjadi di awal-awal, tak dapat dihindari, itu lumrah.

Intermezzo sebentar, saya pernah mengawang-awang soal produk-produk luar yang sangat bergengsi. Begini isi pikiran saya: orang-orang sibuk mengincar satu produk luar, sebut satu misalnya sepatu, sementara peristiwa di belakang yang terjadi adalah, pihak luar itu membeli-mencari bahan mentah hingga setengah jadi yang berkualitas di negeri ini, dibawanya lalu diketok-magic di negaranya, setelah jadi, disebar (baca: dijual) kembali ke Indonesia tercinta, dengan harga aduhai. Dan saya menjadi geli sendiri dengan kemungkinan tersebut. Bukankah sebetulnya kualitas yang didapat pun dibangga-banggakan tadi berasal dari negeri sendiri? Tapi malah malu (atau kalaupun tetap ada bangga, kadarnya lebih susut dibanding memakai “punya orang” tadi), saat sandangnya hanya made in Kota Gede, misalnya.

Itu pula sesungguhnya PR yang mesti dipikirkan oleh kita (pemerintah, penyetok bahan mentah, perajin, pekarya dan semua personel/elemen penting terkait). Alih-alih mensukseskan usaha asing, mengapa tidak memberdayakan, meningkatkan kualitas usaha negeri sendiri? Duh, maaf, tentunya ini hanya pendapat saya yang seorang citizen pun netizen kelas teri. Tentu saya percaya, jika pemberdayaan itu ada dan terlaksana, barangkali pemerataannya yang lebih dieksekusi lagi. Hanya, saya kerap merasa ‘keram perut’ tiap mengetahui SDA negara dilirik pihak asing, lalu selanjutnya mereka olah-ubah dan lain sebagainya. Dan, kita sudah sumringah dengan ‘bayaran’ ala kadarnya.

Merek Boleh Lokal, Kualitas Internasional

Masih berkaitan dengan upgrading local brand. Menyebut frasa di atas saya teringat akan satu kabar tentang Bapak Ridwan Kamil, Wali Kota Bandung. Soal aksinya bekerja sama dengan Perancis melalui cara “menjual” Kota Bandung untuk meningkatkan pembangunan Kota Bandung sendiri. Jadi, alih-alih berhutang ke pihak asing demi mendapat modal besar yang dibutuhkan untuk membangun Kota Bandung, teknik mendagangkan (atau bahasa pribuminya jualan) produk-produk kreatif yang asli made in Bandung digunakan. Istilah kerennya yaitu dengan konsep Public Private Partnership (PPP). Yang mana akan ada satu lokasi di Perancis sebagai prototype Kota Bandung bertajuk “Little Bandung”.

Dan, kerjasamanya pun diterima dengan baik alias ‘deal’ dengan didapatkannya lokasi untuk Little Bandung itu di Jalan Rue Montmarte, berkolaborasi dengan Cafe Djawa. Hal sama juga dilakukan ke Amerika Serikat, namun untuk sektor pariwisata.


Terpikir dalam benak, bila dalam cara sama namun detil berbeda, hal itu juga bisa dilakukan kota-kota lain yang punya produk kreatif khas daerah masing-masing. Barangkali kota-kota di luar negeri akan ramai juga dengan prototype kota-kota yang ada di Indonesia. Lagi-lagi tentu ada tahapan meningkatkan mutu barang yang akan dijual.


Usaha Kecil Menengah dan Smesco

Sejenak mari tinggalkan upaya memperkenalkan local brand satu kota di atas. Bersebab tingkatan usaha bermacam, bervariatif dan berjenjang saya juga tertarik untuk sedikit obrol-obrol tentang Usaha Kecil Menengah, termasuk di dalamnya yang berupa skala rumahan. Saya pribadi bukan orang bertangan dingin di bidang kerajinan tangan, karena entah, sempat belajar membuat rajutan dari benang wol untuk dijadikan ikat rambut dan bandana saja melulu gagal. Tapi, saya selalu senang bila melihat ada yang pandai di bidang ini, seperti kakak dan teman saya sendiri. Berhubung hanya bisa mengagumi saya sisipkan juga dalam tulisan ini sebagai dukungan bagi teman-teman yang berkreasi semisal berikut:




Sumber: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10206875570441636&id=1648398276






Lalu membaca tentang SMESCO saya otomatis mengingat mereka. Agaknya tak banyak yang tahu soal Smesco, tekhusus di gawean karya tingkat kecil. Jadi barangkali smesco bisa lebih mempromosikan lagi pelayanan profesional bagi mereka yang membutuhkan. Sesuai tujuan dari Smesco

Bagi teman dan kerabat yang belum mengenal, baru mendengar persis seperti saya, mungkin bisa sedikit tahu dari paparan di sini. Tentang Smesco dan program-programnya yang saya kutip langsung dari alamat web SMESCO.

SMESCO merupakan kepanjangan dari "Small and Medium Enterprises and Cooperatives", atau KUKM Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.


Smesco Indonesia Company (SIC) berdiri pada Maret 2007 dengan tujuan: untuk mempromosikan produk-produk unggulan Indonesia kepada dunia Internasional. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka kami memberikan pelayanan profesional terbaik kepada seluruh mitra usaha kami baik lokal maupun asing.



Bisa dikatakan inilah program dan kegiatannya

  • Menyediakan sarana dan fasilitas pameran bagi KUKM
  • Mempromosikan dan memasarkan produk-produk unggulan Indonesia ke luar negeri melalui kegiatan Trading House
  • Melaksanakan kegiatan pelatihan bagi KUKM
  • Menampilkan produk-produk unggulan KUKM Indonesia di dalam gerai ritel UKM GALLERY
  • Sebagai pengelola gedung SMESCO INDONESIA yang menyewakan sebagian ruangan untuk area komersial seperti perkantoran dan sarana pendukung lainnya seperti Bank, ATM, Money Changer, Travel Agent, Mini Market, Restoran dan cafe.


Visi

Menjadi institusi profesional berskala internasional di bidang pemasaran produk - produk Koperasi dan UKM Indonesia yang mampu menjadikan SMESCO INDONESIA sebagai ikon pemberdayaan dan ikon industri kreatif KUKM.


Misi

Menjadi lembaga dengan layanan profesional yang memfasilitasi mitra usaha untuk menghasilkan produk-produk unggulan kelas dunia yang berkualitas tinggi dan mempromosikan Indonesia kepada mitra usaha lokal maupun internasional.


Saya harap yang tadinya malu dengan local brand,  bisa lebih percaya diri dibantu SMESCO, sehingga menjadi lebih keren.[]




Sleman, 20 Oktober 2015






Minggu, 18 Oktober 2015

Bukan Cuma Soal Mix, Chic dan Cantik


Barangkali semua sudah  atau pernah mendengar tentang kisah perjuangan pelajar muslimah dalam mempertahankan mengenakan jilbab (yang syar’i), kurang lebih di sekitar tahun 1990-an (mohon dikoreksi bila kurang tepat). Lalu, kita yang masa remajanya jauh bertahun setelah itu, bak membaca dongeng-dongeng atau legenda tatkala mengetahuinya.

Sebab kejadian-kejadian yang menimpa kakak-kakak kita dahulu, teramat dramatis. Persis sinetron masa kini. Ada yang harus kabur melalui jendela kamar; diusir orangtuanya sendiri; bersembunyi di rumah teman hingga jadi bulan-bulanan di sekolah. Bahkan oleh guru sendiri. Kegiatan belajar sampai ujian pun dipersulit. Semua kompak dengan satu tujuan: agar pilihan menjadikan jilbab sebagai ‘mahkota’ berangsur ‘koyak’, ‘terenggut’, dan ‘kalah’. Propaganda yang muncul pun ada saja. Dianggap aliran garis keras lah, golongan fundamentalis dan lain lagi. Padahal mereka hanya ingin menunaikan perintah Allah swt saja; menutup aurat sebenar mungkin. Pernah saya melihat album foto kenangan. Dan di sana terdapat foto seorang kakak muslimah memakai jilbab super lebar. Ujungnya menjulur hingga betis kaki. Dan bila diperhatikan, modelnya pun asli tak ada yang aneh atau neko-neko. Seperti itulah hijab syar’i mereka.

Lihat bagaimana sekarang? Jilbab tak ubah bagian dari fashion semata. Yang dimanfaatkan dengan membabi buta oleh para pelaku bisnis, demi melihat situasi-kondisi yang menggiurkan. Tutorial hijab pun bertebaran, entah berupa video maupun gambar. Lalu dengan gegas, semua pun tampil “berhijab”—katanya. Dan berlanjut, gaya kerudung mencontoh tutorial eksis di mana-mana.

Hakikat dari berhijab, yakni menutup aurat, tidak terlalu diindahkan, kasarnya tidak dianggap, dicuekin. Semua muslimah tak lagi susah seperti dulu, sebaliknya mudah malah. Muslimah siapapun-di manapun itu bisa dengan tenang-tenang saja “berhijab”. Sayang, itu tadi, seperti sindrom latah. Hanya karenan ikut-ikutan. Lain masa, kala ujian menerpa, kain penutup kepala raib entah ke mana. Bahkan, “terbuka”nya dengan drastis.

Melihat fenomena itu, saya sebagai salah satu muslimah kadang dilanda galau. Bukan galau sejenis kebingungan, bersebab actrees idola yang mula-mula berhijab, menutup aurat dengan rapat, tiba-tiba kemudian (maaf) ber-tank top. Bukan seperti itu. Tapi galau-gundah-gulana, di tengah hiruk pikuk jaman yang apa saja serba bisa terjadi ini, saya mencemaskan diri pribadi dan keluarga, berharap agar hidayah—katakanlah dulu dengan ‘mudah’ didapat—jangan sampai terkecoh. Ikut-ikutan latah trend “syar’i”, latah juga melepasnya tanpa beban moral dan tanggung jawab. Semoga tetap istiqomah. Begini tentu harapannya.

Kisah saya menutup aurat pun kurang lebih sama dengan muslimah lain. Ada proses, ada tahapan yang mesti dilalui pola pikir dan jiwa. Walaupun mungkin, lingkungan yang kondusif menjadikannya begitu mulus, tidak sampai berurai air mata dan bernanah-nanah seperti kakak-kakak dahulu. Namun, tetap, bisa memperoleh pencerahan itu adalah salah satu rezeki.






Ketika dunia muslimah dihebohkan dengan beragam ‘tutorial hijab’, saya sempat juga ikut mencoba belajar di rumah. Tapi, selalu berakhir dengan kembali ke gaya asal yang saya bisa. Khususnya bagi saya pribadi ternyata, selain gaya yang ribet (bagi saya), saya tidak merasakan nyaman. Seperti menjadi bukan diri sendiri. Aneh saja. Bahkan ketika saya mengikuti langsung, si kecil yang waktu itu masih belajar berbicara pun sudah mengatakan saya jelek. Dan menyodorkan jilbab langsungan sederhana yang menutup dada. Aksinya tersebut kontan membuat tertawa, dan saya langsung mencerabut kain kerudung yang berputar-putar di kepala dan leher. Ah, mungkin memang tidak cocok.




Alhasil, gaya berkerudung saya pun tetap seperti itu-itu saja. Jilbab langsungan menutup dada (saya belum memakai jilbab yang teramat lebar) di hampir semua kesempatan dan jilbab dari kain kerudung segi empat, yang tetap saya usahakan tidak transparan atau tetap menyebabkan leher kurus saya dapat diterawang. Misalpun memakai yang rada ribet, tetap yang paling sederhana, mudah dan bisa saya aplikasikan. Bahkan dari bilangan tahun lalu hingga sekarang (sekitar 11 tahun juga, sama deh dengan Mba Ruli) beberapa jilbab saya masih sama. Padu padan dengan pakaian pun menyesuaikan ketersediaan. Terkadang memakai baju terusan (aduh, kok lupa ya istilahnya, yang jelas konon bukan gamis, sebab gamis adalah pakaian untuk pria), lebih seringnya rok berpadu atasan sepanjang pinggang hingga betis.


Yang paling saya ingat untuk selalu istiqomah menutup aurat adalah:

“Seorang perempuan, bila belum menikah, dia akan menyelamatkan ayahnya dari terseret ke api neraka, dikarenakan aurat putrinya tertutup. Dan bila ia telah menikah, maka ia juga akan menghindarkan suaminya kelak dari terseret ke api neraka, dikarenakan aurat istrinya terjaga dari jamahan mata yang bukan mahramnya. Sehingga, bila statusnya telah menikah, auratnya menjadi penentu ‘nasib’ dua orang lelaki, yaitu ayah dan suaminya.”

Seperti itu kesimpulan yang kurang lebih dapat saya cerna. Sehingga, pernyataan harus tetap cantik dengan hijab, menjadi terbantahkan. Sebab sesungguhnya yang harus didahulukan adalah syar’i-nya. Bukan perihal mix and chic, unik dan cantik. Semoga ada manfaat dari tulisan sederhana ini meski seujung kuku. Mohon maaf kalau ada kata-kalimat yang tidak berkenan. Allohu’alam bishowwab.[]

Tulisan ini juga dalam rangka mengikuti event First Give Away oleh Ruli Retno, dengan tema "Jilbab yang Nyaman di Hati".





:)