Tampilkan postingan dengan label Ala Parenting. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ala Parenting. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 12 Agustus 2017

[KISAH] Ini Masalah Hati

Sumber: Facebook




Seorang pejabat tingkat kota mecurahkan segala perhatian pada putra kesayangannya. Terbayang, bila pergi ke suatu tempat dia lah yang selalu teringat. Bila melihat satu kesenangan, dia pula lah yang hadir lewat pelupuk mata, untuk dibawakan ini-itu. Taukah seperti apa gerangan anak ini? Tersebutlah bahwa sikapnya jauh dari santun, acap kali membuat orang tua mengelus-elus dada, ugal-ugalan, dsb. Apa si Ayah kecewa? Sepertinya tak ada di muka bumi ini orang tua yang senang dan tenang-tenang saja melihat anaknya melenceng dari jalur seharusnya. Meski tak tampak di luar, sesungguhnya di dalam remuk redam. Lalu? Ini masalah hati, walaupun kelakuan si anak amboi selalu meresahkan, perhatian dan kasih sayang tetap tak luput untuk diberikan. Apakah dia anak semata wayang? Tidak! Ada putra-putri yang lainnya. Malahan anak-anak si Pejabat yang lain ini bagi masyarakat sekitar - dan bagi orang tuanya tentu - tampak lebih menyenangkan. Selain sikapnya yang penuh sopan santun, prestasi selalu mereka ukir, tak banyak tingkah pula. Lagi-lagi ini masalah hati, ternyata se'hebat' apapun mereka tak membuat porsi kasih sayang si Pejabat bertambah pada mereka. Hmm, mendengar hal ini saya cuma bisa termenung. 



Dalam dunia pergaulan, hati juga yang menjadikan si A dekat dengan E dan bersahabat dengan U. Lalu tanpa harus konsperensi pers lagi mereka menjadi satu geng. Termasuk yang terjadi pada individu-individu lain saat mereka merasa lebih cocok bergabung dengan kelompok ini, kumpulan anu, grup itu, dan sebagainya. Terbukti dengan adanya bermacam-macam geng di dunia gaul kita. Kecondongan perasaan dalam hati rupanya memimpin sekali lagi. Maka akan ditemui (misalnya) ada 'geng motor', kelompok diskusi sastra Melayu, fans club Harry Potter, "group Blogger" tertentu, paguyuban penikmat kuliner, dlsb. Apakah yang menyatukan mereka disana? Hati. Ya, dalam bersahabat seseorang bisa memiliki multi geng dalam kesehariannya. Seperti hubungan antara kita dengan d’geng dan teman lainnya. Dan tidak berarti kita melulu bersama-sama terus dengan teman-teman geng ini. Namun dalam hal-hal tertentu entah mengapa pada mereka lah tempat kita berasyik ria mengobrol, saling curhat, jalan2 dan melakukan kegiatan bareng lain. Begitulah bila hati bicara. Hanya bagaimana cara diri kita saja yang pandai mengarahkannya agar hati dapat lebih cenderung gaul dengan geng bermutu. Itulah yang membedakan kekuatan kepribadian kita. Menyadari hal ini, saya pun kembali melamun. Terlintas tanya, bagaimana perasaan kawan lain yang tak kudekap tanpa hati?


Termasuk kisah Rosululloh. Dari seluruh istri Rosululloh saw, Siti Khodijah lah yang paling sering disebut-sebut kelebihan dan kebaikannya. Meski beliau telah lama berpulang ke Rahmatulloh. Sehingga – kita sangat tau dengan kisah ini – menimbulkan rasa cemburu teramat sangat dalam diri ‘Aisyah. Dan diantara para istrinya yang masih hidup (kala itu) ‘Aisyah lah teristimewa, yang mendapat rasa sayang lebih banyak dibanding istri-istri lainnya. Apakah istri Rosululloh yang lain tersebut tidak mempunyai kelebihan? Tidak tentu saja. Ini hanya masalah hati. Bahkan Rosululloh pun memiliki seseorang khusus yang hatinya lebih cenderung padanya. Ya, karena beliau saw pun seorang manusia.


Lalu, salahkah hati jika demikian? Rasanya tak adil mengetahui putra-putri si Pejabat yang berprestasi, hanya diperhatikan ‘ala kadarnya’ oleh ayah mereka. Juga untuk kasus yang sama yang terjadi pada putra-putri lain, dan jumlahnya lumayan. Agaknya tak nyaman di hati saat kita ingin dekat dengan seorang teman, namun ternyata dia tak ‘memilih’ kita untuk menjadi karibnya. Sepertinya ada yang keliru, bila ternyata istri-istri Rosululloh dengan rela dan ikhlas membiarkan ‘Aisyah mendapatkan kesempatan berlama-lama dengan Rosululloh saw lebih dari mereka. Sebentuk pengorbanan akan pemahaman hati. Kedengarannya menyedihkan bukan? Tapi sekali lagi, ini masalah hati. Tidak ada yang salah dengan hati sebagaimana yang terjadi pada cinta. Ini Cuma soal kecenderungan hati. Bila ternyata dari beberapa sisi kehidupan seperti contoh di atas – keluarga, sahabat, teman hidup – sedikit yang cenderung pada kita, tak perlu disalahkan. Protes kecil mungkin kadang terjadi dan bisa dilakukan. Namun jika tak mebuahkan hasil jangan kecewa. Sebisa mungkin pahami saja. 


Karena Hati tidak bisa dibohongi rupanya. Sebagaimana kala manusia dihimpit permasalahan hebat luar biasa (dan salah satunya mungkin persoalan diatas), hati secara jujur membutuhkan “the power” yang lebih dahsyat lagi dari bertubi-tubi masalah yang datang. Kekuatan dahsyat yang dapat membantunya. Keluar dari lorong gelap itu. Maka, ketika itu terjadi, hati dengan jujur akan meminta bantuan pada Sang Maha Memiliki Kekuatan tersebut – Alloh swt. Sehingga saat itu, manusia akan spontan ‘memanggil’ Robb-nya. Lalu bersimpuh. Menundukkan kepala. Mengalunkan permohonan lewat lantunan doa-doa panjang ditemani linangan air mata. Satu saja harapannya: agar satu-satunya tempat kepada siapa hatinya cenderung mengarah berkenan mengabulkan “proposal” si pemohon. Entah itu penyesalan dari sebuah kesalahan, penantian cinta ataupun pengharapan akan sebuah cita-cita. Wallohu’alam bishshowab... 



~salah satu tafakur diri ...~ 


Cirebon, 12 Agustus 2017

#ODOP12
#ODOP
#BloggerMuslimahIndonesia

Blogger Muslimah

Mempelajari Ujaran Orang Yogyakarta

Mempelajari Ujaran Orang Yogyakarta

Bismillah

Salaam Sobat, pripun kabare? Alhamdulillah apik, nggih? Sampun keselip setunggal dino ing "One Day One Posting" Blogger Muslimah, kulo kedah ngrapel seratan. Nggih salajengenipun, kulo ijin nganggo Bahasa Indonesia mawon, nggih? Sabab dereng ngertos sedaya kalimat. Nyuwun pangapuntenipun menawi wonten kalepatan.

Di tulisan episode ini, sebagaimana judul yang tersemat, saya hendak sedikit berurai (tanpa air mata) beberapa ujaran yang saya temui di awal-awal tinggal di Yogyakarta (tepatnya Kab Sleman), dan saya pelajari kemudian sekarang sesekali diikuti.


Nanti Nggak

Sebelumnya, ke manapun saya pergi, kebanyakan orangtua berseru pada anaknya yang terdengar adalah seperti:

"Jangan naik-naik pohon, nanti jatuh!"

"Jangan jajan sembarangan, nanti sakit perut!"

Nah, ketika di Yogya, yang umum dikatakan justeru seperti ini:

"Jangan naik-naik pohon, nanti nggak jatuh!"

"Jangan jajan sembarangan, nanti nggak sakit perut!"

Berkali-kali mendengar, mulanya saya merasa aneh saat pola kalimat seperti tadi diucapkan seorang budhe. Begitu hal serupa saya dengar dari kebanyakan orangtua, pola 'Jangan-nanti nggak' ini menjadi menarik untuk diperhatikan.

Mungkin bagi beberapa yang membaca tulisan ini, terkesan saya terlalu berlebihan. Tapi, iya, saya diam-diam mencermati. Hingga sedemikian rupa dipikirkan mana yang lebih tepat.

Untuk kalimat pertama, sebab itu yang sudah biasa dan sering didengar, rasanya oke-oke saja; "Jangan naik-naik pohon" khawatirnya "nanti jatuh"; "Jangan jajan sembarangan" khawatirnya "nanti sakit perut". Iya, kan?

Lalu, pola kalimat kedua yang bedanya ada di kata "nggak", pada akhirnya saya pikir ini pun 'benar'. Lebih benar malah.

Sebab saya pikir negatif bertemu negatif menjadi positif. Kata "jangan" diselaraskan dengan kata "nggak" hasilnya ya "tidak akan terjadi apa yang dikhawatirkan".

"Jangan naik-naik pohon supaya nanti tidak jatuh"; "Jangan jajan sembarangan supaya nanti tidak sakit perut."

Dan yang paling final, saya menghubungkan ujung kalimat-kalimat tersebut dengan harapan, dengan doa.

"Nanti jatuh, nanti sakit, nanti kena duri" eeh malah iya kejadian; jatuh, sakit, kena duri.

Lalu membandingkan dengan "nanti ndak jatuh, nanti nggak sakit, nanti tidak kena duri", ini jadi semacam doa atau harapan.

"Jangan main api, nanti tidak kebakaran" kita pakai contoh kalimat lain. Tidak bermain-main dengan api, semoga tidak kebakaran.

"Jangan ganggu kucing yang sedang makan, nanti ndak kena gigit". Tidak mengganggu, mudah-mudahan tidak kena gigit. Begitu kiranya.


Cirebon, 12 Agustus 2017

#ODOP10
#ODOP
#BloggerMuslimahIndonesia


Minggu, 04 Juni 2017

Yang Terbata Eja A Ba Ta


Menemui anak yang juga mengalami kekurangan dalam hal kelancaran berbicara (hm, bahasanya berputar banget untuk mengganti kata 'speech delay', karena sesungguhnya tidak berani juga untuk menyimpulkan, benar atau tidaknya, khawatir salah -_- ).

Entah apakah orangtuanya mengetahui atau tidak. Awalnya mengira dia hanya 'cadel', tapi seiring pertemuan demi pertemuan, langsung ngeh 'ini kurang lebih kasus yang sama'. Bisa jadi juga, orangtuanya semacam saya yang kurang pengetahuan dan telat menyadari.

Mungkin juga dipengaruhi oleh struktur giginya, menambah banyak kosa kata yang kurang bisa dipahami awam. Maka saya melakukan teknik yang sama padanya: membuat wajah dan matanya fokus untuk menatap gerak bibir, mencontohkan satu dua pelafalan huruf hijaiyah. Jangankan hijaiyah, alfabet biasa saja cukup menguras energi otak. Apalagi untuk huruf semisal tsa. Dan hari ini kami sibuk melafalkan huruf ja (sulung dari kembar tiga yang punya titik di perut) yang selalu ia baca 'sa' (huruf tsa sendiri ia baca 'sta'.dlsb). 
Memperlihatkan posisi lidah sedemikian rupa, sudah merupakan perjuangan tersendiri.


Saat akhirnya dia bisa (tentu belum sempurna betul, dan entah nanti dia masih ingat atau tidak), saya puji dia, dengan kegirangan yang luar biasa juga, dengan senyum lebar, mata pun saya pastikan berbinar. Dan dia hanya tersenyum kecil, tersipu. Dalam hal ini saya harus 'mesra' dengannya. Untungnya, kala itu, si pencemburu tidak ada. Misal ikut mendampingi, bisa rusak 'kemesraan' kami. And case not closed yet, perjuangan masih akan berlanjut.

Tiba-tiba pula saya teringat kala menuntun si pencemburu, untuk belajar iqro. Suara yang kurang bersemangat di balik punggung ada saja.

"Howwalaaa. Memang sudah bisa?"

Memang kali pertama yang dalam beberapa kali pertemuan, dia (sosok kedua, si pencemburu) malah mengganggu Mas-Mba yang lain, memukul satu-dua di antara mereka (yang maksudnya adalah membela seseorang yang dianggap teman). Alhasil karena hal itu, kunjungan belajar ditangguhkan, sambil perlahan diberi arahan. Sebenarnya, di rumah pun tentu diajari, tapi pilihan untuk ikut belajar dengan teman lainnya diambil berhubung kalau di rumah dapat diprediksi akan lebih teralihkan pada mainannya. Selain alasan berikutnya tentu untuk sosialnya. Sekarang si pencemburu itu, sudah lulus jilid 1. Bukan prestasi yang wah barangkali jika dibandingkan yang lain. Tapi, tetap itu satu prestasi tersendiri untuknya.

Dan dua anak ini, mendapat doa yang sama. Semoga kelak mereka menjadi generasi yang cerdas dan berakhlak mulia. Untuk itu, torehan pun tak bisa hanya sekali dua. Seusia mereka mulai (mau) belajar iqro saja sudah sesuatu (beberapa kali mogok, beberapa kali lainnya sambil menyiurkan 'Rayuan Pulau Jawa').  Karena bahkan saya sendiri baru belajar saat usia sekolah dasar.

Jadi teringat pula dengan motto paling perdana: Jadikan kekuranganmu sebagai kelebihanmu. Lagi-lagi, dengan memiliki kekurangan, kita akan berempati dengan kekurangan pada selain kita. So, baby boys, keep moving forward!


Mei 2015 - 4 Juni 2017

*Tulis ulang dengan suntingan
#CatatanGuruEkskul

#NulisRandom2017
Day 04

Jumat, 25 Maret 2016

Suatu Hari, Bunga Kertas Krep dan Suatu Hal


Bismillah

Lama tidak tulas tulis tulus di sini. Kali ini saya sedang teringat dengan satu momen hari terkait "minat dan bakat" anak.

Ketika mengisi jadwal ekskul 'iqro' seperti biasa di TK, satu anak lelaki yang mendapat giliran tak juga kunjung keluar kelas untuk menemui saya. Dengan pikiran daripada membuang waktu, saya panggil anak lain dulu.

Lalu selang sekian menit, mungkin karena dipanggil terus menerus teman-temannya, anak itu--sebut saja Pasha--datang menghampiri saya, duduk di kursi yang biasanya. Dari awal berjalan keluar kelas sampai duduk tadi dia menangis, sesenggukan. Mirip saat remaja patah hati. Mata Pasha tak sedikit pun melirik ke arah saya--malu barangkali, padahal gayanya yang biasa itu; pecicilan, tidak mau diam, banyak bergurau. Sembari terus terisak, Pasha mulai melafalkan 'bismillah', tapi tetap dengan tangan yang sibuk menggaruk.

Mendengar isakannya tidak kunjung berhenti, saya hentikan dulu 'prosesi' belajar membaca huruf hijaiyah tersebut. Dan mengajaknya ngobrol. Tangan Pasha masih sibuk. Hampir semua jarinya lengket plus dipenuhi kertas krep warna warni. Teman-temannya yang malah menonton (biasa lah, ya, anak-anak), saya minta masuk kelas. Dalam keadaan berurai air mata, disaksikan berpasang mata, bahkan saya sendiri pun risih, tidak mau.

"Pasha kenapa?" Saya memulai obrolan, sambil berharap itu tidak akan terlalu lama.

"Aku-nggak-bisa ...," akhirnya keluar juga kata-kata. Masih terbata, sebab tangisan.

"Kan nanti dibantu ...," ujarku. Cemas, kalau tangisnya disebabkan takut pada saya. Iya, pertemuan lalu-lalu dia memang sering mengulang halaman yang sama.

"Bukan. Aku nggak bisa tempel-tempel kertas." Beberapa anak juga tahu-tahu sudah di pintu kelas. Membocorkan kejadian yang membuat Pasha sesenggukan. Kreasinya gagal melulu. Alhasil, barangkali dia tertekan. Sementara temannya sudah selesai, dia justru terus mengulang.

"Emang bikin apaan tadi di kelas?"

"Bunga." Saya perhatikan lagi jari-jari Pasha yang belepotan. Bunga macam bagaimana? Tanya hati. Kalau rumit, agaknya kasihan juga anak-anak TK kelas B ini. Seperti paham, satu anak berseru, menunjukkan bunga yang dimaksud.

Oh, rupanya bentuknya hanya pilinan kertas krep di sebatang lidi. (Seperti foto di atas). Sebetulnya masuk kategori sederhana. Tapi, bagi Pasha tidak.

"Aku nggak bisa," ucapnya lagi. Isakan sudah berkurang.

"Tapi nggak dimarahi Bu Guru, kan?"

"Nggak."

"Ya, udah, cup, jangan nangis lagi, ya?  Bu Guru juga nggak marah, kan? Nggak apa-apa sekarang nggak bisa. Besok mungkin bisa. Okey?" Hibur saya, sambil mengusap punggung-menepuk bahu.

Pasha menatap saya, mengangguk, tersenyum. 

"Daah, sekarang yook kita lanjut baca. Kasihan nanti teman lain nggak kebagian." Saya akhiri percobaan meredakan tangis itu.

*
Dari kisah Pasha yang tampaknya agak susah dalam hal kreasi kerajinan tangan, sekali lagi menjadi kesimpulan (pengingat diri sendiri) bahwa tiap anak tidak bisa disamakan alias berbeda minat dan bakatnya.

Saya sendiri bahkan termasuk yang 'lemah tangan' kalau sudah berurusan dengan kerajinan tangan. Semisal membuat ikat rambut dan sebangsanya dari benang wol ataupun benang rajut.

Itu yang terkategori anak sebagaimana umumnya. Lebih 'menarik' lagi dengan anak berkebutuhan khusus.

Saya juga menjadi belajar; membiarkan, membebaskan, mengikhlaskan kesukaan si kecil terhadap satu hal lebih dibanding hal lainnya. Namun, tetap saja, saya berprinsip mesti ada arahan. Dan minimal mengenalkan hal lain yang tidak terlampau disukai anak. Entah kegiatan, hobi sampai makanan.

Kalimat saat bercakap-cakap dengan si buah hati pun sedikit banyak berbeda. Kalau terhadap anak semisal Pasha bisa lembut seperti di atas. Maka pada si kecil--yang terkadang masih ada kata/kalimat yang dipahami dia sendiri, saya harus lebih lembut, banyak membujuk, memeluk. Atau sekali waktu malah sebaliknya, sedikit 'galak', menyesuaikan kondisi (ah, atau tepatnya, saat itu sedang minim kesabaran). Yang jelas, saya mengusahakan betapa kelak, di dunia yang ia tapaki saat-saat selanjutnya, ada banyak hal 'rumit' yang mesti dihadapi. Dia harus bisa mencoba mengerti keumuman dunia, alih-alih dunia yang memahami kekhususannya.

Lagi-lagi tentu semua sebagai tindakan preventif. Saya ingin si kecil tetap menjadi dirinya sendiri. Dengan kelebihan-kekurangannya. Dengan minat-bakatnya (yang bagaimanapun tetap bisa positif dan bermanfaat). Sebab akan sampai pada masanya orangtua memiliki batas dari membersamai sang anak.


Sleman, 25 Mac 2016