Minggu, 17 September 2017

Dunia Literasi dan Tantangan Masa Kini

Dunia Literasi dan Tantangan Masa Kini




Kegiatan literasi di Indonesia dinilai masih jauh tertinggal dibanding negara-negara lain. Yang membuat sedih dan shok, bila di-ranking ternyata hanya menempati posisi kedua dari bawah. Finlandia-lah yang berada di posisi pertama.

Ah, memang apa pentingnya sih soal ranking dan minat baca ini? Membaca identik dengan berpengetahuan, berpendidikan, jadi sederhananya tingkat membaca bisa dijadikan ukuran bagaimanakah tingkat pendidikan suatu bangsa tersebut.


Tentang betapa rendahnya minat ini sempat saya dengar dulu saat masih berstatus “pencari ilmu” (meski sampai sekarang pun masih tetap cari ilmu yaa ^^).

Keterpurukan ini banyak sebab, yang bahkan beberapa di antaranya sejak dahulu pun sudah eksis dan mirisnya hingga tahunan berganti masih belum bisa disingkirkan. Sehingga tantangan terhadap dunia literasi masih tinggi. 


Televisi Masih Menguasai

Saya amati secara kasar, dalam artian tanpa perangkat survey, masyarakat kita memang masih candu dengan televisi. Ketimbang membaca, bagi sebagian besar masyarakat, menonton televisi lebih dipilih untuk mengisi waktu luang, sebagai teman bersantai dan sejenis itu. Kegiatan membaca masih mereka anggap dan kategorikan sebagai hobi orang-orang tertentu. Bukan kegiatan "semua orang semua kalangan".

Saya sempat dengar langsung dari sebutlah kawan ngobrol, saat mencoba menawarkan buku anak pertama, dia menolak dengan alasan anaknya tidak suka baca. Dan hal tersebut bukan suatu masalah besar baginya. Frasa "tidak suka baca" ini lumayan kerap juga saya dengar terlontar. Entah dengan raut wajah datar atau malah terang-terangan berekspresi "apa hebatnya dengan suka membaca?".


Fenomena Media Sosial

Lalu, datanglah masa di mana gadget dan media sosial bak menjadi Raja dan Ratu dalam kehidupan bersosial. Sebut instagram salah satunya. Saya sempat merasa takjub jika membuka aplikasi ini melalui ponsel. Entah barangkali disebabkan saya “suka baca”, sehingga (membuat otomatis) akun-akun instagram yang tertangkap di beranda saya adalah akun dan postingan soal buku. Book Giveaway, reading challange, membaca bareng atau lomba resensi, dan banyak lagi variasinya. Saya lihat pula buku-buku yang sedemikian cantik dan gaya foto-fotonya. Make me envy lah hashtag-nya.

Nah, melihat itu—melupakan rasa iri dan cemburu terhadap seabrek aktivitas “all things connect with book” para sobat instagram, saya mengira, sungguh-sungguh mengira, jika prosentase kegiatan literasi kita; minat baca bangsa Indonesia sudah membaik. Merangsek ke peringkat pertengahan lah setidaknya.

(tabel ranking literasi dunia, sumber: pustakawanjogja[dot]com)


Dan, malangnya, saya sudah salah kira. Mengetahui, rupanya Indonesia masih terpuruk soal ini. Sempat membuat bingung dan bertanya-tanya juga. Lho, serius nih? Lalu, bagaimana dengan apa yang saya lihat di medsos-medsos itu? Tentang betapa dicintainya buku-buku oleh warga net. Masa iya pencitraan? Bukan agaknya ya. Setelah saya renung-renung lagi, barangkali yang (tampak) sebejibun itulah dia yang 0.001 persen itu. Sementara 99% lainnya yang berarti jutaan lebih, masih abai dengan literasi atau sederhananya membaca buku.


Bisnis Perbukuan yang Gulung Tikar


Selain soal minat, ada pula kasus lain yang semakin membuat miris. Contoh dekatnya saja, kota tempat saya berada; Cirebon. Suatu hari saya bersama suami hendak ke toko buku. Satu toko buku yang amat terkenal dengan jargon “toko buku diskon”. Sobat barangkali tahu ya? Baik, lanjut lagi ceritanya, entah ada berapa kali kami menyusuri tepi jalan raya itu. Sebab, kami ingat betul, letak toko buku tersebut di pinggir jalan. Tersisip di antara gerai fashion dan food. Tapi, nihil. Tak ada. Di posisinya yang saya ingat, justeru berdiri gedung lain. Diketahui kemudian, toko buku diskon tersebut tutup. Gulung tikar. Sedih. Selanjutnya, baru beberapa bulan kemarin, satu persewaan buku juga tutup. Setelah sekian tahun mencoba bertahan, akhirnya mengikuti jejak beberapa persewaan buku lainnya yang juga tutup. Sedih lagi.

Persewaan buku yang disebut pertama adalah usaha yang dibuka kakak ipar bersama beberapa temannya sealmamater SMA. Jadi, mereka, saat berstatus sebagai alumni memutuskan untuk mendirikan persewaan buku. Salah satunya sebagai penghubung silaturahmi. Apa daya, kini upaya mereka berkontribusi di dunia membaca pun mesti usai. Saat kami ngobrol-ngobrol, konon sebab pengunjung yang semakin jarang datang hingga akhirnya benar-benar tak berkunjung itu curiga besar adalah gadget. Masih lebih mending, jika hanya beralih media baca. Seperti menjadi fan webtoon atau wattpad. Tapi jika kemudian media sosial hanya untuk sekadar chit chat, ini amat disayangkan.

Di dunia penulis, kabar duka juga datang dari beberapa media cetak yang memutuskan berhenti terbit. Ini berarti plus ruang literasi di dalamnya pun ikut raib. Sehingga sebabkan satu ruang ekspresi untuk penulis berkurang lagi.


Pajak

Bahasan terhangat di dunia literasi negeri belakangan hari ini. Setelah tahunan pajak cukup mencekik, menandai hari literasi, penulis sekelas Tere Liye dan Dee Lestari bersuara dan beraksi. Meminta keadilan mengenai pajak untuk penulis utamanya. Sebab, sudahlah royalti kecil mesti kena pajak juga.

Meskipun 'protes' ini mewakili suara penulis secara umum, bila ditilik lagi pada hakikatnya harapan agar pajak ini ditiadakan atau setidaknya diminimalisir, juga akan berimbas pada harga jual buku. Yang berarti pembaca pun tidak perlu lagi mengeluh harga mahal saat hendak membeli buku. Yang berujung jadi enggan beli buku, yang akhirnya memberi pengaruh terhadap minat baca.


Tentu saja untuk bahasan satu ini tidak semudah jari saya mengetikkannya. Perlu waktu, dan pemikiran dalam serta rinci dari para ahli di bidang terkait. Hanya pendapat sederhana, jangan sampai soal pajak membuat dunia literasi negeri yang sudah miris semakin mengikis.


Sumber: Facebook Tere Liye



Masih banyak PR kita untuk meningkatkan minat baca. Selain di atas, perihal bagaimana kita perlu memilihkan bahan bacaan yang tepat untuk anak; memahamkan juga mengarahkan pada adik-adik kecil dan atau anak-anak kita yang sudah mampu membaca tulisan agar membaca yang sesuai dengan usia mereka pun adalah pekerjaan rumah lainnya. Sebab memastikan mereka tidak kecolongan membaca bacaan jauh di atas usianya termasuk poin penting.[]


Cirebon, 17 September 2017

~~~~~



Tulisan ini diikutkan dalam Postingan Tematik (PosTem)


#PostinganTematik


#BloggerMuslimahIndonesia



39 komentar:

  1. Diawali dari lingkungan keluarga, kita bisa menyediakan bacaan yang sehat dan bergizi untuk anak-anak kita. Semoga bisa menumbuhkan minat baca ya mbak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul. Setidaknya kita yg paham mencoba aktifkan dr keluarga sendiri. Aamin. Terima kasih kunjungannya, Mba ;)

      Hapus
  2. terlepas dari polemik perbukuan, yang penting kita mah tetep nulis aja ya, Mba Dinu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. mencoba tetap menulis plus membaca tentunya. Keep moving forward, Mba Citra... ;)

      Hapus
  3. Ternyata fenomena yang sama dengan yang kualami, dulu paling rajin ke persewaan buku tapi sekarang persewaan buku kesayangan juga tutup, tapi alhamdulillah berganti nih persewaan yang berkonsep dengan kafe (kesana langsung masuk perpusnya tanpa mampir kafenya ha ha ha). Kita harus memulainya dari keluarga sendiri gerakan literasi ini, menjadikan gerakan membaca jadi wabah dikeluarga kemudian melebar ke lingkungan sekitar.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dunia bacabaca saya begitu SD kls tinggi diawali dr tempat persewaan malah, jd agak gimana tahu banyak yg tutup. Sekarang punya cita-cita bikin cafebook gitu... ^^

      Hapus
  4. Sedih ya Mbak, melihat rendahnya minat baca anak-anak, ditambah sikap orang tua yang tak mendukung, malah memaklumi begitu saja. Dan toko buku, apalagi penyewaan buku, semakin sepi peminat. Semoga tulisan ini sedikit memberi kontribusi untuk menyadarkan masyarakat betapa pentingnya menumbuhkan minat baca pada generasi penerus.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Banget Uni. Dan tidak bisa turut campur begitu dalam, soalnya sudah 'kebijakan' orangtua sendiri.

      Padahal persewaan itu berkontribusi sangat terhadap kegiatan baca, tp mesti kalah seiring waktu berjalan.

      Aamiin, Uni.

      Hapus
  5. Ngomong-ngomong tentang penyewaan buku, saya jadi ingat, dulu juga sempat membuka tempat penyewaan buku. Alhamdulillah, cukup ramai sehingga kami pun dapat uang jajan yang lumayan. Sayangnya, koleksi buku kami jadi rusak bahkan banyak yang tidak kembali. Karena prihatin dengan kondisi buku-buku tersebut, usaha itupun kami stop.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi, dilemanya di situ juga ya, Mba. Tidak semua bisa berkeperibukuan, hiks.

      Hapus
  6. Godaan media sosial saat ini memang sangat sexy.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, termasuk saya sendiri sering tergoda, khususnya kl ada kuis dan giveaway, hihi.

      Hapus
  7. Televisi dan gudget..duh, musuh besar dalam mendongkrak minat baca masyarakat mba.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebetulnya bisa tidak jadi musuh, asal bisa seimbang yaaa. Tapi rupaya sulit. Saya sendiri sudah memensiunkan teve.

      Hapus
  8. Membaca adalah jendela dunia, agar dapat mengetahui isi dunia perlu membaca. Indonesia menjadi negara yang tertinggal jauh karena minat baca masyarakatnya yang rendah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Berasa tak percaya ya, tapi nyatanya begitu. Perjuangan dan PR untuk semua kalangan.

      Hapus
  9. Ikut sedih dengan beberapa media cetak yang harus gulung tikar. Karna saya termasuk orang yang lebih mencintai bacaan cetak daripada online/e-book ;(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama. Saya tetap lebih suka buku nyata daripada buku maya, :)

      Hapus
  10. Ikut sedih dengan beberapa media cetak yang harus gulung tikar. Karna saya termasuk orang yang lebih mencintai bacaan cetak daripada online/e-book ;(

    BalasHapus
  11. Nah, tentang TV yang menguasai, saya kira itu umum terjadi di sini. Semua rumah punya TV bahkan banyak yang lebih dari satu. Tapi perpustakaan pribadi? I don't think so.
    Hiks, PR dunia literasi masih banyak ya, Mbak.
    Dan tentang toko buku yang tutup itu,semoga akhirnya beralih jadi tokbuk online. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa cost-nya besar jika harus offline sementara pengunjung semakin berkurang. Terima kasih sudah berbagi ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, saya ini di rumah semi sengaja pajang rak buku, berharap ada yang tertarik untuk ikut baca atau pinjam. Sambil berdoa dan berharap bukunya baik-baik saja, ^^

      Sama-sama, Mba. Terima kasih juga sudah mampir :)

      Hapus
  12. saat ini dunia penerbitan sedang lesu namun kita tidak boleh putus asa terus menulis dan menebar manfaat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yup, benar. Keep moving forward saja, ya, Mba? Semangat! ^^

      Hapus
  13. Sedih banget perihal pajak royalti ini. Enggak kebayang kalau semakin banyak penulis besar akhirnya memutuskan untuk berhenti menerbitkan buku hanya karena pajak. Semoga segera ada jalan keluarnya ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga solusinya tdk terlalu lama yaa. Penulis juga sama kan ya, butuh modal dlm menulis, ^^

      Hapus
  14. Sebab memastikan mereka tidak kecolongan membaca bacaan jauh di atas usianya termasuk poin penting (Ini PR banget ya mba? semangat)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sangat, Mba. Beberapa bacaan kan "ngeri". Semoga anak2 kita tdk tergelincir ataupun terbawa yg negatif2. Aamiin.

      Hapus
  15. Saya pernah membaca beberapa curhatan blogger Jepang dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya. Mereka ini sudah terbiasa menghabiskan beberapa buku bacaan dalam seminggu. Ada yang 4 sampai 10 buku dalam seminggu. Saya sampai terkejut, karena bahkan saya saja butuh waktu lebih dari seminggu terkadang untuk menyelesaikan buku yang menurut saya bobot bacaannya lumayan.

    Dari sinilah saya bercermin dan mengangguk, memang minat baca saya pun masih rendah.

    BalasHapus
  16. Saya juga pernah buka tempat penyewaan buku beberapa tahun lalu, Mbak. Pengunjungnya juga sepi! Bahkan yang datang itu protes sama jenis buku yang saya sediakan. Bukunya terlalu berat. Atau buku yang mereka cari genrenya nggak lolos sensor saya. Jadilah terpaksa kita tutup juga... ;)

    BalasHapus
  17. Kalau persewaan buku, saya juga heran kenapa banyak yang gulung tikar. Tapi kalau toko buku si "itu", saya pikir masih tetap digandrungi, ya. Meskipun sekarang banyak toko buku online juga yang untuk orang2 seperti saya merasa sangat dimanjakan. Tinggal klak klik buku datang. Nah, ini yang bikin boros, heheh

    BalasHapus
  18. Alhamdulillah kalu soal TV anak-anak nggak terbiasa di rumah. Karena saya pun sudah sangat jarang menontonnya. Jadi teladan tetap orang tua.
    Untuk tantangan penulis tak cuma pajak. Untuk tulisan di media cetak seringkali tak dibayar honornya itu sudah biasa di beberapa media..Kasihan nasib penulisnya:(

    BalasHapus
  19. Sedih Mba... kondisi di Indonesia bikin miris :( Semoga kelak ada perbaikan dan nggak hanya TV sama medsos yang dipantengin generasi muda

    BalasHapus
  20. Menulis dan membaca sudah tergerus budaya gadged.
    Padahal membaca dan nulis itu sumber ilmu

    BalasHapus
  21. Tantangan itu yang benar-benar harus dilewati ya. Sayang banget kalo gegara pajak atau faktor lain yg disebut di atas malah bikin semangat berloterasi jadi turun :(

    Semoga ada solusi terbaik dan literasi makin membudaya. Aamin

    BalasHapus
  22. Sekarang perpustakaan warga makin berkembang, TBM bergerak makin menjamr semoga itu bisa jadi solusi untuk meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia

    BalasHapus
  23. Tantangan banget ya buat orngtua menularkan minat baca pada anak2

    BalasHapus
  24. Tugas kita di jaman millenial ini semakin banyak ya mba. Semangat menularkan semangat membaca, minimal dari keluarga sendiri

    BalasHapus