Tampilkan postingan dengan label kenangan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kenangan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 12 Agustus 2017

Obaa-san: Tentang Nenek Tercinta

Ada satu rumah yang bagiku merupakan rumah dimana tersimpan begitu banyak peristiwa dari zaman ke zaman. Rumah yang akan menjadi rumah kenangan. Rumah ini adalah rumah tempat Nenek dan Almarhum Kakek tinggal: berkegiatan dan merajut mimpi. Dari pernikahan mereka lahirlah seorang anak perempuan dan dua anak lelaki: Uwa, Bapak, dan Almarhum Paman. Aku suka dengan gaya rumah ini. Sederhana namun tak bosan dipandang mata. Atapnya tinggi dan temboknya kuat- ciri khas bangunan-bangunan peninggalan zaman penjajahan. Tanpa disadari karena rumah Kakek inilah aku bercita-cita memiliki sebuah rumah dengan atap yang tinggi sehingga udara (oksigen) yang berkeliaran di dalam rumah begitu banyak dan akan membuat nafas para penghuninya lega selalu.

Sejak Kakek masih hidup, sedikitnya setahun sekali keluargaku pulang kesini, momen yang digunakan biasanya saat libur Lebaran Idul Fitri. Hal itu dilakukan sampai sekarang. Ketika anak-anak Kakek sudah menjadi Kakek-Nenek, ketika cucu beliau bertambah jumlahnya menjadi sembilan, ketika kami empat dari cucu Kakek telah berkeluarga dan dikaruniai keturunan. Enam cicit Kakek kini.

Dan Nenek adalah satu-satunya penyimpan lengkap kenangan mengenai apa yang terjadi di rumah ini, berikut kotanya Cijulang yang pernah tak tersebutkan dalam peta Indonesia. Belakangan, ketika Cukang Taneuh yang kemudian dikenal dengan Green Canyon mulai dikenal penyuka travelling, namanya mulai tampak di peta Indonesia.

Namun, karena sakit yang diderita Nenek juga pikun, kisah-kisah yang dialami kakek-nenek mulai dari yang bertema perjuangan heroik sampai romansa kisah cinta tak bisa didengar langsung dari nara sumbernya dengan baik. Cerita-cerita ketika Nenek gadis dahulu terkadang terlontar begitu saja, meloncat-loncat dari satu cerita ke yang lainnya. Beberapa justru kami dengar dari luar. Ada satu teman senior seperjuangan Nenek yang pernah berujar bahwa di zamannya Nenek adalah primadona salah satu bagian desa di Cijulang, Cingirih namanya. Kulit Nenek yang putih bersih, tubuhnya yang semampai dan wajahnya yang ayu membuat beberapa pemuda beradu tanding untuk memperebutkannya. Sampai kemudian tinggallah dua orang pemuda yang masih bersaing ketat. Keduanya berbeda bertolak belakang. Namun pada akhirnya pilihan Nenek jatuh pada pemuda diam yang kalem, sederhana dan sedikit dingin. Dialah almarhum Kakek. Di usia senjanya jauh sebelum Nenek sangat pikun seperti sekarang ini, Nenek  masih suka bersikap romantis selayaknya pasangan muda saja. Tapi Kakek yang sebaliknya-tidak romantis- kerap ‘menolak’ perlakuan penuh cinta Nenek. “Sudah tua, malulah” begitu ujarnya.

Dari cara Nenek memoles diri, terlihat dia memang begitu menjaga penampilan sejak gadis. Meski telah berusia lanjut, wajahnya masih putih berseri. Ini rahasianya. Bedak yang digunakan untuk memupuri wajahnya adalah produk yang berasal dari ramuan alami. Sari Pohaci namanya. Bentuknya berupa butiran-butiran kecil lonjong berwarna putih. Dalam satu bungkus Sari Pohaci kira-kira ada sepuluh sampai dua puluh butir. Biasanya Nenek memindahkannya ke dalam wadah – yang aku ketahui kemudian adalah tempat krim rambut. Mungkin tempat krim rambut Kakek yang sudah habis atau tak terpakai. Setiap selesai mandi Nenek mamakai Sari Pohaci dengan cara meremukkan satu butir hingga lembut di tangan lalu dipoleskan ke seluruh permukaan wajahnya. Mengetahui aku tengah memerhatikannya, Nenek menawarkan padaku sambil hendak memulaskan Sari Pohaci yang masih ada di tangan. Aku menggeleng, menolak. Tapi di suatu hari aku diam-diam membuka wadah Sari Pohaci tersebut dan mencobanya. Fhuh, ternyata sama sekali tak wangi. Baunya biasa saja, aga apek malah. Mungkin justru di situlah letak asli dan alaminya.

Nenek masih bisa mengaji. Maksudnya walau sudah terbata-bata, irama dan lagunya ketika membaca AlQuran tetap mengalun teratur. Aku menebak-nebak, sepertinya lagu yang dilantunkan Nenek adalah dari tempat dia biasa ikut mengaji, bisa jadi sejak dia gadis dulu kala. Nenek sering menyebut-nyebut namanya: Kalang Sari. Irama mengaji yang khas, karena hanya aku dengar dari penduduk di desa Cijulang sana. Nenek juga masih melaksanakan sholat 5 waktu. Persis tepat waktu. Lalu pada setiap libur Lebaran berikutnya, kami mendapai sholat yang dilakukan Nenek begitu lama dan panjang. Ibu termasuk yang sering memerhatikan beliau.

“Nenek sholat udah lebih dari empat rokaat, lama pisan” kata ibu.

“Sama sholat sunnahnya mungkin, Bu” ujarku

“Masa digabung begitu…” balas Ibu.

Dan satu demi satu tahun berganti, bertambah. Nenek menjadi benar-benar lupa untuk sholat juga mengaji.
Ada satu yang kemudian termasuk Nenek senangi lakukan, yaitu menyanyikan sebuah lagu berbahasa Jepang. Agaknya ini adalah lagu yang diajarkan pada masa pendudukan Jepang terhadap Bangsa Indonesia dulu. Mungkin bukan hanya ini saja. Tapi entah, lagu inilah yang hanya diingat Nenek. Ingatan yang tiba-tiba muncul di tengah kepikunannya. Jika Nenek sedang merasa senang, dia akan begitu saja menyanyikannya. Kami para cucunya sampai terbawa hapal juga, saking seringnya Nenek bernyanyi.

Pada suatu malam terjadi pemadaman aliran listrik dadakan. Sesudah lampu-lampu tempel tergantung di tembok Kakak Sepupu pertama memancing Nenek untuk bernyanyi. Maka dengan spontan Nenek kembali mengalunkan lagu “Ooyashima” favoritnya diiringi kami cucu-cucunya yang ikut bernyanyi sambil bertepuk tangan. Kami bahkan sampai mengulangnya dua kali. Begitu selesai Nenek tertawa kecil senang. Semua yang ada pun bertepuk tangan sambil berekspresi senang. Setelahnya hanya terdengar helaan napas ringan dari beberapa kami. Dalam cahaya yang remang tersebut, sungguh aku melihat senyum-senyum yang tersungging itu berujung pada kesedihan. Ironi.

Aku sempat ber-andai-andai. Kalau saja Nenek sehat, kemungkinan besar aku akan berlama-lama bercengkerama dengannya. Bertanya banyak hal, apapun yang ingin aku ketahui. Kisah Nenek saat gadis yang ikut berjuang melawan penjajah. Berpindah-pindah tempat. Masuk ke hutan. Kisah cintanya dengan Kakek mungkin. Lalu lagu-lagu berbahasa Jepang yang selalu membuatku penasaran.


#Missing_So_Much :’(


Cirebon, 12 Agustus 2017



#ODOP11
#ODOP
#BloggerMuslimahIndonesia

Rabu, 07 Juni 2017

Adzan Maghrib Romadhon


Romadhon, sang bulan puasa, bulan primadona jika boleh saya sebut, sudah berjalan sepertiganya. Sekarang, sebagai informasi, saat ini diketik sudah memasuki tanggal/hari ke-10 Romadhon. Dan saya yang memang kerap teringat banyak hal semasa kecil dulu, khususnya momen-momen Romadhon, kali ini teringat dengan almarhum Aki dan "adzan Maghrib-nya".

Sudah merupakan pemahaman global (dan ini sesuai dengan yang disyariatkan), jika waktu mulai berpuasa adalah secara simpelnya sejak adzan Shubuh berkumandang hingga adzan Maghrib.

Adzan Shubuh sebagai batas waktu selesainya sahur, yang di lingkungan kita 7-10 menit sebelumnya diisyaratkan melalui sirine. Dengan maksud supaya bersiap berhenti makan-minum dan tidak terlalu mepet ke adzan Shubuh.

Lalu kita pun secara reflek, bila adzan maghrib berkumandang, buru-buru menghadapi makanan atau mengambil gelas untuk minum.

Dan suatu hari di satu bulan Romadhon, adzan maghrib akhirnya berkumandang. Ketika itu kami sudah liburan dan berkumpul di rumah Aki.

Begitu "Allohu Akbar... Allohu Akbar..." kami para cucu bahkan orangtua kami seketika beranjak dari duduk yang menyebar. Meninggalkan kesibukan (atau keasyikan?) masing-masing. Gempita dan serentak menuju meja besar di mana bergelas-gelas takjilan terhidang.

Salah satu dari kami mengajak Aki untuk bangkit. Aki yang sedang duduk di kursi favoritnya (selalu di kursi paling ujung dekat pintu) lalu merespon, "Adzan itu panggilan untuk sholat. Bukan panggilan makan-minum". Hening. Kami membisu. Tidak ada yang berani membantah. Sebab, memang benar adzan merupakan ajakan untuk sholat. "Hayya 'ala sholah... Marilah kita sholat..." bukan "hayya nakul... hayya nasyrob...", "marilah kita makan... marilah kita minum...".

"Tapi kan, tanda berbuka puasa yang berarti boleh makan dan minum, dicirikan dengan adzan Maghrib tersebut?" Kami para cucu sempat berbisik-bisik. Sembari jadi malu sebab semangatnya bukan main kala menyeruput dan menyendoki es buah. Sementara Aki setelah terpekur mendengar adzan hingga selesai bangkit menuju belakang, ke kamar kecil atau sumur, entah yang mana tepatnya. Tapi tentu untuk berwudhu.

Kami kasak-kusuk soal Aki. Minimal ya membatalkan puasa dulu, begitu pikir para orangtua kami.

Hari ini, kenangan soal adzan Maghrib itu jadi pengingat. Betul adzan maghrib pertanda sahnya makan minum. Tapi mengingat waktu sholat maghrib yang cukup singkat, memang baiknya adalah sekadar membatalkan, minum segelas air dan kurma (jika ingin mengikuti sunnah Rosululloh). Jadi, jangan sampai terlalu bernafsu, lalu tahu-tahu... maghrib usai, sholat lalai. Astaghfirulloh.

Saya pun kadang, apalagi posisi sekarang ini tengah menyusui, sesudah adzan selekasnya minum. Dari air putih, susu, dan jika ada sirup bercampur buah. Lalu dilanjut makan, baru sholat.

Teringat almarhum Aki soal ini, kala saya tersadar betapa nafsunya saya "balas dendam". Romadhon kurang lebih masih ada 2/3 lagi. Ada kesempatan untuk benahi cara berbuka puasa. Buka sekadarnya untuk membasahi kerongkongan dan ganjal perut. Nanti usai maghrib dan isya (terawih) kegiatan isi perut itu toh bisa dilanjut lagi.

Bagaimana dengan busui nih? Ya, tentu bisa diatur, misal harus diisi nasi, barangkali setengah porsi dulu mesti cukup. Ketimbang minum-makan hingga sepuasnya, lalu sholat terburu-buru sebab mepet ke isya. :'(

Semoga tulisan yang sesungguhnya untuk pengingat dan dalam rangka menasihati diri sendiri ini, bisa bermanfaat juga untuk teman sekalian yang membaca. :)
Allohu'alam bishshowwab.

Cirebon, 5, 6, 7 Juni 2017
#NulisRandom2017
(untuk) Hari ke-5
#CatatanRomadhon1438H