Tampilkan postingan dengan label Kumcer. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kumcer. Tampilkan semua postingan

Rabu, 02 September 2015

[Resensi] Fesbuk dan Kumpulan Fragmen Kehidupan

Fesbuk dan Kumpulan Fragmen Kehidupan
Oleh: Kirana Winata



Judul buku : Fesbuk, Kumpulan Cerpen
Penulis : Muhammaad Subhan dan Aliya Nurlela
Penerbit : FAM Publishing
Cetakan : II, Agustus 2014
ISBN : 978-602-17404-8-4





Disajikan oleh dua penulis, kumpulan cerpen dalam buku ’Fesbuk’ ini mengusung banyak tema yang coba diungkapkan. Dari judul mulanya saya berpraduga cerita-cerita yang akan disampaikan oleh Muhammad Subhan dan Aliya Nurlela sama-sama berkaitan dengan media sosial yang paling digandrungi sekarang ini, Facebook. Tapi rupanya tidak.



Ada 12 cerpen di buku ini, yang menarik saya pada kesimpulan untuk menyebutkan bahwa cerita-cerita itu serupa fragmen kehidupan banyak manusia. Tentang cinta, sosial, reliji, hingga soal rasa entah bernama apa.


Pada cerpen Fesbuk, yang judulnya dipakai pula sebagai judul buku ini, saya cukup terkecoh. Mengira kalau di dalamnya adalah kisah tentang hubungan manusia yang kemungkinan besarnya seputar cinta via facebook. Ternyata adalah tuturan ‘tempat rajukan yang balik merajuk’. Meskipun banyak yang sudah mafhum, soal asal mula terkenalnya facebook dan hal lainnya, cukup informatif juga untuk pembaca. Mengambil sudut pandang si facebook sendiri yang bercerita, membuat cerpen ini unik dibanding cerpen lainnya, dari segi point of view. Sama halnya dengan PoV pada cerpen “Darah, Oh, Darah” yang mengusung tema kemanusiaan.



Lelaki Majnun”, mirip hikayat klasik tentang penggembala kambing yang suka berbohong tentang kedatangan serigala. Hanya setting tempat cerita ini adalah salah satu kampung di Sumatera Barat, konon. Plot dan alur pun serta merta mudah ditebak. Dan yang sedikit mengganggu sekadar pengulangan kata ‘dagang’ di paragraph-paragraf awal. Selebihnya hingga bagian ending, cerita si Boneng ini tetap enak dinikmati.



Dari 12 cerita yang tersaji beberapa cerpen yang begitu selesai membaca menimbulkan pertanyaan adalah pertama “Tukang Cerita”: membuat penasaran pada kisah sesungguhnya, bertanya-tanya siapa gerangan nama penulis yang dialiaskan ‘Abdul Hakim’ tersebut; novel apakah itu yang ditulis diangkat dari kisah nyata seorang ‘Soraya’? Kedua, “Cerita Tentang Senja di Pantai Padang”. Di sana Muhammad Subhan pandai menggiring pembaca dengan paparan setting tempatnya. Ujung dari membaca kisah ini pun sama, rasa penasaran terhadap gadis yang menantikan selalu kedatangan si lelaki laut. Benarkah kisah ini adanya? Entahlah. Berikutnya, “Rinai di Matamu Aliya”—suka dengan sad-ending-nya yang logis dan “Bells’ Palsy”. Saya dengan iseng menduga-duga bila dua cerpen ini sedikit menyinggung atau ada keterkaitan dengan fragmen yang sebenar dialami penulis, walau entah di bagian mananya.




Sementara cerpen yang kurang greget—tentu menurut saya pribadi—adalah “Selamanya Aishiteru”. Berkisah tentang sepasang kakak adik yang saling mengagumi; pula tidak saling tahu bila sesungguhnya mereka bukan saudara seayah dan atau seibu. Lanjaran perihal ini kurang. Sehingga saat ending-nya mereka menikah, kesannya 'drama' sekali. Hal yang dapat diambil manfaat dari cerpen ini yaitu soal kegigihan belajar atau menuntut ilmu sekurang apapun kondisi kita.




Selain beberapa cerpen yang disebut dan sedikit diulas di atas ada cerpen-cerpen lain yang sayang kalau dilewatkan. Terpenjara Luka, Kupu-kupu di Ruang Tamu, Nei dan Suatu Hari di Masjid Rumah Sakit. Kesemuanya merupakan kisah-kisah—meski bersahaja--yang dapat memberi inspirasi dan pelajaran bagi pembaca. Misalnya pembaca penasaran dapat bisa memastikan dengan membaca sendiri kisahnya. Lalu bila kita berbeda pendapat, dapatlah kita duduk bersama membedahnya. :)




Secara fisik buku, kertas yang digunakan cukup tepat. Tidak menyisakan kertas ataupun sampul yang ‘menganga’ saat selesai membuka lembaran demi lembarannya. Kekurangan dari buku Kumpulan Cerpen Fesbuk ini barangkali pada tampilan sampul depannya. Di antara buku-buku terbitan FAM Publishing agaknya ini yang terkesan sepi warna, sehingga kurang menarik pandangan netra (menurut saya yang selalu menyukai komposisi warna yang dinamis, terleih untuk kaver buku). Sebab hanya dominan biru. Jadi bila nanti buku ini cetak ulang—dan saya rasa cukup layak untuk itu—alangkah baiknya bila tampilan sampul depannya lebih berwarna.[]




Sleman, 30 Juli 2015