Tampilkan postingan dengan label Resensi Buku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Resensi Buku. Tampilkan semua postingan

Selasa, 26 April 2016

[RESENSI] Gado-gado Petualangan


Judul buku: Best Adventure, Kumpulan 11 Cerpen Petualangan Terbaik Lomba Cerpen Nasional Faber-Castell 2014
Penyusun: Tim Faber-Castell
Kategori: Fiksi/Kumpulan Cerpen
Penerbit: Bhuana Sastra (Imprint dari Penerbit BIP)
Tahun terbit: 2015
ISBN 10: 602-394-004-8
ISBN 13: 978-602-394-004-2



Ketika mendengar kata ‘adventure’ atau ‘petualangan’, yang muncul di kebanyakan benak adalah tentang menjelajah negeri atau dataran yang benar-benar baru, mendaki gunung dan semisal itu. Petualangan jugalah yang dijadikan tema Lomba Cerpen Nasional Faber-Castell tahun 2014 lalu. Kini tulisan para pemenang berbagai kategori lomba mulai dari A, B, C, Tulisan Terbaik hingga ‘Like’ Terbanyak tersebut sudah berbentuk buku dan dapat dinikmati. Membacanya membuat kita tahu, bahwa ‘petualangan’ bukan melulu hal-hal seperti yang disebut di atas tadi. Namun beragam, persis gado-gado.

Ruang Terakhir, salah satu cerpen yang lolos, bahkan sangat tak disangka, berangkat dari kejadian ‘sederhana’.  Namun, gaya penceritaan yang apik ala kisah misteri, sungguh-sungguh mengecoh sekaligus membuat pembaca bertanya-tanya, hal mengerikan apa yang akan dialami tokoh aku. Bahkan disebutkan juga di sana soal ‘berdarah-darah’. Dan semua disimpan dengan sabar oleh penulisnya, Sisha, hingga baru terkuak di akhir cerita.

Judul-judul lainnya yang menarik seperti Phobia, Lumpur Madura, Skizofrenia dan Lemariku, Dunia Cokelatku.

Yang sangat menarik dan berbeda dari buku ini adalah semua tulisan yang ada merupakan asli tulisan tangan penulisnya sendiri. Yang memang syarat utama lomba. Bahkan ‘Kata Pengantar’ pun berupa tulisan tangan Manager Faber Castell sendiri. Dan tulisan tangan pemenang kategori Tulisan Terbaik sungguh sangat indah.

Terakhir, buku kumpulan cerpen ini mungkin bisa jadi tempat berkaca dan belajar bagi teman yang hendak mengikuti Lomba Faber Castell terbaru. ^^[]
Peresensi: Dini Nurhayati, Sleman – D.I.Y




Minggu, 10 April 2016

[RESENSI] :: Masa Lalu Milik Masa Kini ::

[RESENSI]

:: Masa Lalu Milik Masa Kini ::



Judul buku: BAIT SURAU
Kategori: Novel
Penulis: Yus R. Ismail​ dan Rakha Wahyu
Penerbit: Two Synergy Publisher
Cetakan: 1, Januari 2012
ISBN: 978-602-98455-9-4


Mobil SUV yang dikendarai Rommy serabutan malam itu. Sementara, di sampingnya, Nadia meraung ketakutan. Rommy berang, karena satu berita yang disampaikan Nadia. Kabar bahagia bagi wanita itu, tapi tidak menurut Rommy.

Nadia tengah mengandung dan kehadiran anak bagi Rommy hanya akan membuatnya semakin terkekang, terikat. Lebih-lebih untuk pria yang menghendaki kebebasan sepertinya. Termasuk menduakan Nadia, berhubungan dengan wanita lain manapun, berapapun sesuka nafsu. Dan kejadian satu malam tersebut melulu berulang di benak Rommy berbulan kemudian. Menghantui sosok pria pemimpin perusahaan itu.

Dalam keadaan hilang arah, Rommy memutuskan mencari Rhamdan. Meski mulanya Rhamdan menolak kedatangan Rommy, dia menerima pada akhirnya. Mencoba melupakan sakit hati yang digoreskan Rommy padanya. Dan itu berkaitan dengan Nadia.

Abah, ayah Rhamdan, yang mengais rizki dari usaha membuat batu nisan, perlahan dan tanpa Rommy sadari, membimbingnya. Rommy yang tidak pernah tergugah untuk beribadah, perlahan memberanikan diri menanyakan tentang tata cara salat. Bahkan selanjutnya membuang rasa malu, ikut belajar membaca iqro di surau yang hampir roboh dan bila hujan kebocoran.

Kehidupan di Jakarta, perusahaan, rumah mewah benar-benar Rommy lupakan. Dia justru asik menikmati menemani Rhamdan yang kesehariannya menjadi nelayan. Siti, kakak Rhamdan pun turut mewarnai kehidupan baru Rommy. Tiap hendak melaut, gadis berwajah bersih berjilbab tersebut tak pernah absen mengantarkan bekal. Dengan senyuman khas yang membuat Rommy bimbang.

Sampai pada satu momen, Rommy tersadarkan akan masa lalu kelamnya, saat batu-batu nisan di depan rumah Ramdhan membuat dia teringat kembali pada Nadia yang selalu dia sia-siakan.

Apakah Rommy akan kembali ke Jakarta? Menambal lubang-lubang masa lalunya agar dapat ditinggali di masa kini? Atau memilih tetap di Desa Samadikun, membuang jauh masa lalu, dan banting setir menjadi pencari ikan di sebuah kampung nelayan di daerah pesisir utara?

Membaca novel Bait Surau--yang diangkat pula ke layar lebar--satu-satunya hal membuat saya terkecoh adalah pada bagian ending. Saya sempat menebak A, tapi kemudian ada narasi yang serta merta membantah. Lalu, saat menebak B, berparagraf kemudian terjadilah C.

Kisah pertobatan Rommy di sini cukup natural. Meski selanjutnya saya mengendus seperti disampaikan dengan terburu-buru, demi mencapai ending yang lain dari kebanyakan cerita serupa. Penokohan 2 sahabat Rommy pun agak kurang konsisten menurut saya. Teman clubbing dan minum, tapi pandai menasihati soal kesetiaan. Lebih tepatnya barangkali tidak terlalu sreg, terutama pada tutur di satu dua dialog.

Tema soal masa lalu yang dibahas di sini, cukup mengena. Bahwa "masa lalu milik masa kini" yang hendak disampaikan benar adanya. Bila lain pihak berprinsip 'masa lalu biarlah berlalu, lupakan saja'. Maka, di kisah ini sejatinya masa lalu sampai kapanpun adalah bagian dari waktu yang dijalani kita di masa kini. Perihal bagaimana masa lalu tersebut--khususnya yang buruk--tidak menjadi mimpi yang menghantui, tergantung tiap individu mengkompromikannya.


*

Behind the book:
Novel Bait Surau ditulis untuk melengkapi layar lebar-nya yang bertajuk sama. Meski kemudia dalam penggarapan film-nya, tim mengalami beberapa kendala. Dan baru sekitar akhir tahun 2015 kemarin film itu akhirnya dirilis, tayang di seluruh bioskop Indonesia.

Minggu, 20 Desember 2015

[Resensi] Novel Pulang: Kapan Pulang Dilayar-lebarkan?



Kapan Pulang Dilayar-lebarkan?






Judul buku      : PULANG
Penulis             : Tere Liye
Penerbit           : Republika Penerbit
Cetakan           : VIII, November 2015
Tebal                : iv + 400 halaman
ISBN                 : 978-602-082-212-9



“... Sungguh, besok lusa kau akan pulang. Jika tidak ke pangkuan Mamak, kau akan pulang pada hakikat sejati yang ada di dalam dirimu. Pulang ....”
(hal. 24)


            Usai  membasmi kawanan babi hutan di rimba Sumatera, Bujang ikut serta dengan rombongan pemburu, ke Kota Provinsi. Sesuatu yang ternyata telah dijanjikan oleh Samad, bapaknya, belasan tahun lalu. Bujang sendiri memang menginginkan itu. Pergi dari talang, kampung halamannya. Pergi menjauh dari bapaknya sendiri—yang diam-diam dia benci.

Dengan serentetan pesan itulah, Bujang diijinkan Mamak pergi. Mamak juga berkali-kali menekankan pada putra semata wayangnya tersebut, agar Bujang tidak sekalipun, tidak sedikitpun, mengisi perutnya dengan sesuatu yang haram—makanan pun minuman. Alasan terbesarnya adalah supaya kelak, bila masa itu tiba, jiwa Bujang dapat terpanggil pulang, setelah apapun yang dia lakukan, setelah apapun yang dialaminya. Mamaknya sungguh sudah paham kehidupan macam apa yang akan dijalani Bujang. Itulah mengapa, di menit-menit terakhir kebersamaan mereka,  Mamak terus membuatnya berjanji dan meyakinkan diri agar itu dipegang teguh Bujang. Agar setidaknya ada ‘kebaikan’ dalam tubuh anaknya.

Maka, jadilah Bujang si Babi Hutan diangkat anak oleh Tauke Besar, pemimpin rombongan pemburu sekaligus Keluarga Tong. Salah satu keluarga yang menjalankan shadow economy. Dan termasuk yang berperan penting, di balik semua situasi politik negeri. Di Kota Provinsi, Bujang rupanya disekolahkan oleh Tauke Besar, bahkan tidak dibiarkan terluka. Hal yang mulanya tidak disukai Bujang. Karena dia menginginkan beraksi seperti anggota Keluarga Tong lainnya. Menjadi tukang pukul, sebagaimana keinginannya.

Bujang, anak talang di lereng Bukit Barisan Sumatera, berusia 15 tahun, tak pernah sekolah, ternyata anak cerdas. Maka dengan mudah dia dapat menyusul ketinggalan tiga masa pembelajaran. Melewati SD, SMP dan SMA. Bahkan, kemudian dia juga dapat dengan lancar melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Hingga mampu menyelesaikan dua master di universitas luar negeri. Sembari belajar, Bujang Si babi Hutan pun bergantian berlatih berlari bersama Kopong, ilmu ninja pada Guru Bushi dan menembak pada Salonga.

Semua berjalan seiring meningkatnya bisnis dunia hitam Keluarga Tong plus perubahan status keluarga tersebut yang semakin besar. Dari Kota Provinsi, Bujang dan seluruh anggota Keluarga Tong pun pindah ke Ibu Kota. Dari sinilah, alur cerita bergulir dan konflik mulai muncul. Suatu hari, Mamak Bujang dikabarkan wafat melalui sepucuk surat yang dikirim Bapak. Lalu menyusul dengan kematian bapak. Gesekan dengan Keluarga Lin—kelompok penguasa bisnis dunia hitam atau shadow economy di Makau. Sampai puncaknya yaitu, pengkhianatan dalam Keluarga Tong sendiri, oleh seseorang yang tak pernah disangka Bujang. Di saat terjadi konflik tersebut, Tauke Besar yang memang sudah tua (70 tahun) dan sakit-sakitan akhirnya meninggal. Dengan begitu, tiga lapis tameng ketakutan yang Bujang akui sebagai kekuatannya, roboh. Memunculkan kembali rasa takut yang hilang 20 tahun silam usai dia mengalahkan babi hutan terbesar di rimba Sumatera. Yang mengherankan Bujang, momen kematian tiga orang terpentingnya kerap berbarengan dengan kumandang adzan Shubuh. Menyebabkan dia bertambah benci pada panggilan salat itu.

Membaca novel Pulang, mengingatkan pada “Negeri Para bedebah” (yang belum saya baca lalu mengira-terka isinya seperti ini kurang lebih), khususnya di bagian tentang shadow economy. Penceritaan soal bagaimana di hampir semua elemen penting negara, kekuasaan dunia hitam, konspirasi dan seputar itu memegang peranan, membuat saya bertanya-tanya sekaligus merasa ngeri. Dan meski tidak persis seperti dalam cerita, saya memercayai beberapa hal itu memang terjadi, entah di bagian mana.

Disampaikan dengan alur maju mundur, membuat novel ini menarik untuk diikuti. Tere Liye bisa dibilang piawai dalam menutup tiap chapter dengan mengundang penasaran di benak pembaca. Alhasil, novel setebal kurang lebih 400 halaman ini, asik dibuka lembar demi lembar. Apalagi dengan bumbu action ala film Holywood, gabungan antara film mafia, James Bond dan ninja. Dengan alur yang bertahap menjadi seru, mampu mengobati rasa bosan di bab-bab awal yang hampir membuat saya mengira tone novel ini akan selambat “Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin”. Well, untung saja tidak.

Ada beberapa catatan saya dapatkan usai membaca novel Pulang karya Tere Liye ini. Penggambaran tokoh Bujang minim. Dari segi ciri khas fisik. Hanya disebutkan secara umum saja, semula remaja (talang) yang terbiasa tanpa alas kaki menjelma pria dewasa yang gagah, kuat, tak terkalahkan meski tidak tinggi besar. Ditambah selanjutnya cerdas, jenius bahkan, menjadi sesuatu yang dipaksakan demi ketersambungan kisah dan takdir sosok Bujang di sini. Mungkin bukan satu hal krusial, hanya mengingat ini kelas novel, sepertinya ada cukup ruang untuk mengidentifikasi tokoh Bujang.

Setting khusus yang menyebut talang, Bukit Barisan dan rimba Sumatera kurang tereksplor. Lain soal dengan setting seperti Kota Provinsi dan Ibu Kota yang dalam penyebutannya tidak spesifik. Tapi cukup memberi kesimpulan pada pembaca.

Berikutnya, mungkin ini lebih tepat sebagai koreksi terhadap penyunting. Ada kesalah ketikan pada nama Parwez di halaman 71. Di sana tertulis ‘Pawez’.

Terakhir, dan ini yang paling penting dan kurang logis menurut saya, plus mengurangi ‘bintang’. Yaitu pada narasi di halaman 349 hingga halaman 351. Sejak cerita dimulai, saya yakin betul kalau sudut pandang penceritaan di novel Pulang ini menggunakan sudut pandang orang pertama (PoV 1), Bujang sendiri. Namun di beberapa halaman awal ditemui dua-tiga paragraf yang menunjukkan seolah Bujang tahu segalanya. Khusus di tiga halaman yang saya sebut di atas, keganjilan itu amat terasa. Pada adegan di mana Bujang menelepon White.

Masih mengenakan celemek, White mendekat santai, lantas menerima gagang telepon. (hal. 349)

“Kau harus pergi berperang White!” Frans yang menjawabnya dengan suara masih bergetar dari atas kursi dorong, .... (hal. 350)

Aku memutus sambungan telepon. White meletakkan gagang telepon, dia berteriak memanggil koki dan pelayan restorannya, bilang dia harus segera pergi. (hal. 351)

Bagaimana mungkin Bujang bisa tahu White mendekat meraih gagang telepon dalam keadaan masih memakai celemek, atau Frans si Amerika—ayah White duduk di kursi dorong?  Sebutlah Bujang sudah hapal dengan tempat (restoran) di mana White dan Frans berada, tetap saja itu terasa ‘berlebihan’. Mengingat prinsip penggunaan PoV-1 yang—sepengetahuan saya—terbatas. Tidak segala hal dapat dipaparkan, hanya ketika seluruh panca indera si orang pertama tersebut terlibat. Atau, ini teknik lain? Bila iya dan bisa begitu, agaknya saya ingin ngelmu pada Tere Liye tentang ini.

Satu hal kecil lain, soal “samurai sejati”. Tampak terlalu cepat dan mudah diraih Bujang. Sedangkan sebelumnya kondisi Si Babi Hutan itu terancam, tak berdaya lalu setelah hampir terkena khanjar si pengkhianat, dia terdiam lama. Dan, tiba-tiba ... dia mengerti semua, dia temukan jawaban dari semua pertanyaannya, dia mendapatkan kunci utama ilmu tertinggi dalam samurai. Lebih-lebih pada ucapan Bujang: Aku telah menjadi samurai sejati. Malam ini. (hal. 389). Seketika hati saya berkomentar, ya, ampun, Mak ... sombongnya Bujang ini.

Dari semua pendapat saya tadi, secara keseluruhan novel ini bagus. Bahkan di bagian sampul belakang, di bawah barcode, tertulis ‘Penunjang Kepustakaan Umum’.

Catatan lain, sesudah novel The Road to the Empire karya Sinta Yudisia dulu yang dari kacamata saya begitu filmis dan terbayang-bayang serunya bila berbentuk movie, barangkali novel Pulang ini adalah yang berikutnya, yang termasuk saya setujui pula kalau hendak dilayar-lebarkan. Empat bintang untuk Pulang! Salam sukses! J



Peresensi: Dini Nurhayati, Sleman – D.I.Y

Rabu, 16 Desember 2015

[RESENSI] Rahasia Pelangi

Rahasia PelangiRahasia Pelangi by Riawani Elyta
My rating: 4 of 5 stars


Judul buku: Rahasia Pelangi
Penulis: Riawani Elyta dan Shabrina Ws
Penerbit: GagasMedia
Cetakan, tahun terbit: Pertama, 2015
Tebal: x + 326 halaman
ISBN: 979-780-820-3

:: Dua Konflik di Tesso Nilo ::

Anjani memiliki trauma masa lalu tentang gajah, kala masih anak-anak. Dan bertahun kemudian, saat dia beranjak dewasa, untuk membunuh traumanya, Anjani justru memutuskan menjadi seorang mahout. Dan Chay, salah satu mahout senior asal Thailand yang pendiam mengetahuinya juga. Bahkan telah diam-diam memerhatikan Anjani, sedari mereka bertemu pertama kalinya di Way Kambas.

Sama sekali tak ada rasa dari Anjani untuk Chay, tapi sejak ia membantu Chay menangani Rubi—gajah betina--yang hendak melahirkan pandangannya berubah. Bodohnya, Anjani tidak kunjung menyadari atau mau mengakui rasanya sendiri. Hingga satu rombongan kecil dari CWO (Change World Organization) berkunjung ke Tesso Nilo dengan tujuan survey untuk Forest Camp yang akan mereka adakan. Dan Rachel salah satu dari rombongan itu anehnya bisa cepat akrab bahkan setiap hari semakin dekat dengan Chay (hal. 98-103). Lalu Anjani malah semakin menjauhi Chay, juga lagi-lagi tanpa dia sadari, Rachel yang blasteran itu pun dia benci.

Membaca Rahasia Pelangi yang ditulis duet ini membuat saya bolak-balik membuka kertas termasuk mengamati lamat-lamat halaman ucapan terima kasih. Penasaran dengan bagian mana ditulis oleh siapa. Sebab dari penuturunnya tidak terlihat beda. Dari 'simbol' dedaunan dan atap tenda sirkus-lah, akhirnya dengan sok tahu saya simpulkan Riawani menulis bagian Rachel, sedangkan Shabrina bagian Anjani. Ya, novel ini memiliki dua sudut pandang penceritaan: Anjani dan Rachel.

Banyak hal yang membuat mata pun hati menghangat dari Rahasia Pelangi ini. Terlebih pada paragraf-paragraf yang mendeskripsikan perilaku gajah. Seperti saat Beno mengulurkan belalai, menepuk lembut kepala Anjani, menaburkan daun kering ke atas kepalanya, kala gadis itu dilanda resah. Benar-benar membuat saya ingin bersahabat juga dengan gajah.

Selain konflik hati Anjani, Rahasia Pelangi juga mengisahkan tentang konflik antara gajah-manusia. Saya bahkan secara khusus (didorong rasa ingin tahu) googling tentang Tesso Nilo. Konflik itu memang sering terjadi dan sudah sejak lama. Setting waktu novel ini pun di halaman awal-awal disebut pada tahun 2012. Dan image bagaimana iring-iringan Tim Flying Squad menghalau gajah liar berlatar hijaunya hutan pun dapat terbayang.

Dengan plot konflik itu juga, Rachel mengalami kecelakaan: diserang gajah liar. Anjani yang merasa bertanggung jawab akan kejadian itu, diliputi bersalah terus menerus.

Saya pikir, barangkali novel ini bisa dihadiahkan kepada para mahout di Tesso Nilo. Karena jika saya menjadi salah satunya, merupakan hal yang sangat berharga sekali bila keseharian kami bisa tertuang dalam novel.

Ah, kembali ke kisah Anjani dan Rachel, bagaimana akhir dari konflik hati mereka? Siapa yang kemudian bersama Chay? Konon, cinta jatuh tak pernah terlalu jauh .... (potongan quote di sampul muka novel) :)


Sleman, 11 Desember 2015


View all my reviews

Jumat, 06 November 2015

[Resensi] Braga siang itu: Tentang Birokrasi dan Lainnya


Judul Buku : Braga Siang Itu
Penulis       : Triani Retno A
Kategori     : Fiksi
Penerbit     : Sheila (Imprint Penerbit ANDI)
Cetakan     : 1, 2013

Masa lalu selalu menjadi hal paling rumit untuk dilupakan, lebih-lebih jika menyoal cinta. Dan cinta hampir sulit untuk dicerna bila bersinggungan dengan idealisme.

Begitulah Fei yang ingatannya selalu mengawang kepada sosok bernama Ben, tiap kali ia berada di Braga—salah satu ruas jalan di Kota Bandung. Meskipun, raganya tengah membersamai sesosok pria lain bernama Ron, seperti siang itu.

Fei selalu mencintai Braga. Namun Braga telah banyak berubah, sama seperti Ben. (Blurb) Barangkali itu juga berarti, Fei masih memiliki rasa terhadap Ben. Dan perubahan Ben mau tak mau menarik ulur juga perasaannya. Akan tetapi apa yang diucapkan Ron kemudian, kala mendengar Fei kilas balik bercerita tentang Ben—seorang mahasiswa yang identik dengan demonstrasi dan kemudian melejit menjadi politikus muda—membuatnya tersentak.

“Kamu tahu, Fei ... . Perempuanlah yang memainkan peranan di balik kesuksesan dan kehancuran itu.” (hal. 22)

Braga Siang Itu, dengan meminjam tokoh Ben, bagai hendak ‘mencontohkan’ betapa di tanah ini banyak yang mula-mula teramat gesit dengan idealisme tinggi melawan pemerintah dan birokrasinya, tapi luluh juga tatkala kemudian mereka ‘nyemplung’ di dalam birokrasi itu. Idealisme yang dulu berkobar, akhirnya padam pula bersebab harta dan tahta atau mungkin oleh hal lain lagi. Agaknya bukan satu dua kasus serupa terjadi di dunia nyata.

Fiksi yang berupa kumpulan cerpen ini berisi 15 cerpen. Dan seperti yang dituliskan di bagian kover belakangnya, berfokus pada perempuan. Hal tersebut bisa diraba-terka dari judul-judulnya: Bunda, Ibu yang Tak Pernah Ada; Sansevieria; Saat Malin Bertanya; Sarapan; Undangan; Suara; Ceu Kokom; Bunda Tak Tersenyum; Surat untuk Presiden; Merajut Hari; Hati yang Tak Kunjung Damai; Gunting dan Gigi.

Bila disimpulkan, selain berfokus atau menyorot sosok perempuan, kesemua cerpen tersebut juga lebih menonjolkan tema sosial untuk diusung.

Yang unik dan menarik, beberapa di antaranya merupakan cerpen yang pernah dimuat di media cetak; koran ataupun majalah. Bagi pembaca yang juga menggeluti dunia menulis, cerpen-cerpen yang terkumpul dalam “Braga Siang Itu” barangkali bisa juga dijadikan referensi.[]


Rabu, 02 September 2015

[Resensi] Fesbuk dan Kumpulan Fragmen Kehidupan

Fesbuk dan Kumpulan Fragmen Kehidupan
Oleh: Kirana Winata



Judul buku : Fesbuk, Kumpulan Cerpen
Penulis : Muhammaad Subhan dan Aliya Nurlela
Penerbit : FAM Publishing
Cetakan : II, Agustus 2014
ISBN : 978-602-17404-8-4





Disajikan oleh dua penulis, kumpulan cerpen dalam buku ’Fesbuk’ ini mengusung banyak tema yang coba diungkapkan. Dari judul mulanya saya berpraduga cerita-cerita yang akan disampaikan oleh Muhammad Subhan dan Aliya Nurlela sama-sama berkaitan dengan media sosial yang paling digandrungi sekarang ini, Facebook. Tapi rupanya tidak.



Ada 12 cerpen di buku ini, yang menarik saya pada kesimpulan untuk menyebutkan bahwa cerita-cerita itu serupa fragmen kehidupan banyak manusia. Tentang cinta, sosial, reliji, hingga soal rasa entah bernama apa.


Pada cerpen Fesbuk, yang judulnya dipakai pula sebagai judul buku ini, saya cukup terkecoh. Mengira kalau di dalamnya adalah kisah tentang hubungan manusia yang kemungkinan besarnya seputar cinta via facebook. Ternyata adalah tuturan ‘tempat rajukan yang balik merajuk’. Meskipun banyak yang sudah mafhum, soal asal mula terkenalnya facebook dan hal lainnya, cukup informatif juga untuk pembaca. Mengambil sudut pandang si facebook sendiri yang bercerita, membuat cerpen ini unik dibanding cerpen lainnya, dari segi point of view. Sama halnya dengan PoV pada cerpen “Darah, Oh, Darah” yang mengusung tema kemanusiaan.



Lelaki Majnun”, mirip hikayat klasik tentang penggembala kambing yang suka berbohong tentang kedatangan serigala. Hanya setting tempat cerita ini adalah salah satu kampung di Sumatera Barat, konon. Plot dan alur pun serta merta mudah ditebak. Dan yang sedikit mengganggu sekadar pengulangan kata ‘dagang’ di paragraph-paragraf awal. Selebihnya hingga bagian ending, cerita si Boneng ini tetap enak dinikmati.



Dari 12 cerita yang tersaji beberapa cerpen yang begitu selesai membaca menimbulkan pertanyaan adalah pertama “Tukang Cerita”: membuat penasaran pada kisah sesungguhnya, bertanya-tanya siapa gerangan nama penulis yang dialiaskan ‘Abdul Hakim’ tersebut; novel apakah itu yang ditulis diangkat dari kisah nyata seorang ‘Soraya’? Kedua, “Cerita Tentang Senja di Pantai Padang”. Di sana Muhammad Subhan pandai menggiring pembaca dengan paparan setting tempatnya. Ujung dari membaca kisah ini pun sama, rasa penasaran terhadap gadis yang menantikan selalu kedatangan si lelaki laut. Benarkah kisah ini adanya? Entahlah. Berikutnya, “Rinai di Matamu Aliya”—suka dengan sad-ending-nya yang logis dan “Bells’ Palsy”. Saya dengan iseng menduga-duga bila dua cerpen ini sedikit menyinggung atau ada keterkaitan dengan fragmen yang sebenar dialami penulis, walau entah di bagian mananya.




Sementara cerpen yang kurang greget—tentu menurut saya pribadi—adalah “Selamanya Aishiteru”. Berkisah tentang sepasang kakak adik yang saling mengagumi; pula tidak saling tahu bila sesungguhnya mereka bukan saudara seayah dan atau seibu. Lanjaran perihal ini kurang. Sehingga saat ending-nya mereka menikah, kesannya 'drama' sekali. Hal yang dapat diambil manfaat dari cerpen ini yaitu soal kegigihan belajar atau menuntut ilmu sekurang apapun kondisi kita.




Selain beberapa cerpen yang disebut dan sedikit diulas di atas ada cerpen-cerpen lain yang sayang kalau dilewatkan. Terpenjara Luka, Kupu-kupu di Ruang Tamu, Nei dan Suatu Hari di Masjid Rumah Sakit. Kesemuanya merupakan kisah-kisah—meski bersahaja--yang dapat memberi inspirasi dan pelajaran bagi pembaca. Misalnya pembaca penasaran dapat bisa memastikan dengan membaca sendiri kisahnya. Lalu bila kita berbeda pendapat, dapatlah kita duduk bersama membedahnya. :)




Secara fisik buku, kertas yang digunakan cukup tepat. Tidak menyisakan kertas ataupun sampul yang ‘menganga’ saat selesai membuka lembaran demi lembarannya. Kekurangan dari buku Kumpulan Cerpen Fesbuk ini barangkali pada tampilan sampul depannya. Di antara buku-buku terbitan FAM Publishing agaknya ini yang terkesan sepi warna, sehingga kurang menarik pandangan netra (menurut saya yang selalu menyukai komposisi warna yang dinamis, terleih untuk kaver buku). Sebab hanya dominan biru. Jadi bila nanti buku ini cetak ulang—dan saya rasa cukup layak untuk itu—alangkah baiknya bila tampilan sampul depannya lebih berwarna.[]




Sleman, 30 Juli 2015


Minggu, 30 Agustus 2015

[Resensi] Novel ANIMUS, Seven Days

Tetra Ceritera dan Danau Angkara
Oleh: Kirana Winata

Judul buku : ANIMUS, Seven Days, A Tetralogy Novel
Penulis : Ajeng Maharani
Kategori : Fiksi, Novel (Dewasa)
Penerbit : LovRinz Publishing
Cetakan : II (kedua), Desember 2014
Tebal : xiv + 235 halaman
ISBN : 978-602-71451-0-8



Kebencian adalah satu elemen rasa yang pasti dimiliki setiap manusia. Namun bagaimana rasa itu dapat dikelola adalah benar-benar urusan pribadi manusia itu sendiri. Apakah ia dapat mengendalikan, mengalihkan atau membiarkan bertumbuh, lalu melahap jiwa si empunya? Itu adalah pilihan. Dan pada satu topik inilah cerita bermula; bertumpu.



Mula-mula menatap judul novel ini, saya sudah diserbu rasa penasaran, hingga pada akhirnya bisa memiliki dan membacanya tuntas, rasa ingin tahu itu pun terlolosi. Dan ending-nya mengakibatkan saya terkontaminasi rasa ‘benci’. Bagaimana tidak? Sebab sedari menyantap rangkaian huruf-huruf prolog hingga epilog, jantung saya dipermainkan sedemikian rupa: berkerenyut, rileks, berkerenyut lagi, terus dan menerus.





Ada empat kerat kisah yang tersaji dalam ANIMUS: “Dentum Hati”, “Cinta si Gadis Lumpur”, “Lelaki dan Danau Legenda” dan “Bunga”. Saya coba ulas salah satunya, yaitu yang pertama.



Dentum Hati” bertutur tentang seorang gadis bodoh—kalau boleh saya sebut—bernama Salsa. Artis panggung yang terjerat cinta buta pada Darsono, anggota dewan yang sudah berkeluarga. Dikarenakan kasus video syur yang menyebar dan tertuduh sebagai pelaku, diri Salsa dan hidupnya yang semula hanya dipenuhi nama Darsono bergulir kepada Pak Hakim lalu Sang Komandan. Baru, setelah tiga hari dalam mengusahakan keadilannya Salsa merasa bak bola ping-pong, ia memutuskan untuk juga berontak. Melepaskan diri dari jeratan-jeratan “orang penting” yang berjanji membebaskan Salsa dari tuduhan menyebarkan video, dengan melepas selapis demi selapis kehormatannya sebagai penebus.



Pembangkangan Salsa tersebut, selanjutnya meliukkan alur lain lagi. Dan mempertemukannya dengan tokoh bernama Ari. Pemuda 23 tahun yang pendiam, pincang (halaman 13) namun ternyata seorang pembunuh bayaran. Hal ganjil bagi saya sebagai pembaca untuk mencerna bila sosok Ari dapat melumpuhkan pria besar kekar. Sedikit melawan logika. Walaupun ada satu narasi yang menyebutkan, meski fisik Ari berkekurangan, dia kuat, tenaganya jangan disangka. Ya, bisa jadi. Sebab kemungkinan sumber dan suluh energinya adalah juga rasa benci.



Lalu bagaimana kelanjutan kisah Salsa? Korelasi macam apa yang terbentuk antara dia dan Ari? Tentu tidak akan saya paparkan dengan gamblang di sini. Tapi sedikit sebagai bocoran (seperti biasa bila saya menulis resensi), tiga kisah setelah Dentum Hati adalah bukan lanjutan dari kisah Salsa dan Ari. Tapi cerita yang bernar-benar baru, berbeda, tapi tetap saling berkaitan. Bingung?



Di “Cinta si Gadis Lumpur” yang menceritakan kisah cinta monyet dua remaja SMU, Yana si anak berpunya dan Nora anak gadis petani biasa, ada satu fragmen kehidupan Salsa-Ari. Di sini pun, kedok salah satu orang penting, pula berandil memengaruhi lika-liku hidup Salsa, dibuka; yang ternyata orangtua Yana, tepatnya bapaknya. Silakan tebak yang mana dia kira-kira: Darsono, Sang Komandan ataukah Tuan Hakim? Terselip juga pertemuan antara Nora dan Bunga dalam satu angkutan umum. Sebaliknya di Dentum Hati, bila pembaca cermat ada adegan/narasi percakapan Nora dan Yana yang terdengar Salsa di setting tempat bernama Taman Soka.



Sementara saat cerita beralih ke “Lelaki dan Danau Legenda” fokus hanya pada Guntur dan Cuwa. Lagi-lagi soal asmara. Terjalin antara Guntur si penebang kayu dengan Cuwa, gadis primadona setempat. Ada tersisip nama Bunga disebut di sini.



Sedangkan di kerat terakhir, yaitu “Bunga”, adalah penjelas alur kejadian-kejadian dari kisah ketiga di atas. Dalam paparan tentang Bunga inilah pembaca akan ngeh dengan perjalanan Bunga. Bermodal intuisi “ada sesuatu terjadi” dia menempuh jarak, menjelajah tempat demi tempat, mencari sang calon pendamping hidup sekaligus mencari Danau Sinabu.



Maka perihal legenda Danau Sinabu, si Danau Angkara itu, menurut saya benar-benar terasa keterkaitannya dengan prolog di awal—yang mana penghuni danau tersebut yang berbicara—baru di dua potong cerita terakhir. Alasannya, tiga tokoh yaitu Guntur, Cuwa dan Bunga sungguh bersinggungan dengan mitos Sinabu pun tentu dengan kebencian yang mengakar kuat dalam diri satu tokoh sentral di antara mereka. Ialah Cuwa yang mengidam-idamkan tuah Danau Sinabu, di mana nestapa, permintaan, harapan, kutukan dan ‘kebahagiaan’ berkumpul.



Sedangkan di dua cerita pertama, hanya menyoal kebencian saja. Tak bersinggungan di sini, dalam artian tidak ada di antara tokoh-tokohnya entah Salsa atau Ari atau Nora atau Yana yang teramat ingin mengadu ke Danau Sinabu. Sebagaimana halnya Cuwa, gadis desa lugu yang menurut saya kemudian terasuki aura negatif Sinabu. Menjadi sosok paling kelam di antara semua tokoh ANIMUS, seolah berkepribadian tak lagi tunggal.



Ditutup dengan tiga ending yang bersifat open-ending—sebab menurut saya sepertinya masih bisa dilanjut—ANIMUS yang berarti sama dengan kata ‘hate’, sukses mengaduk debur jantung dan perut saya menjadi bergejolak; mual; perih. Aih, saya harus meminta pertanggungjawaban Ajeng Maharani sang penulis kalau begini. Sebab bila ditambahkan kosa kata ‘kembung’, tidak ada hal lain selain indikasi dari maag saya yang kambuh. :)



Masih berkaitan dengan ‘cerita yang berlanjut’, membaca frasa ‘A Tetralogy Novel’ membuat saya mengira bila novel ANIMUS bertajuk Seven Days ini adalah bagian pertama dari total novel nantinya yang berjumlah empat. Saya mengartikan bebas frasa tersebut menjadi Novel Tetralogi. Persis seperti dwilogi, trilogi. Jadi di pikiran saya ANIMUS ini akan berseri.


:



Dari segi tekhnik, ANIMUS disampaikan dengan alur maju-mundur dan plot yang kompleks. Penceritaan pun dengan multi point of view alias sudut pandang. Bergantian antara sebagai orang ketiga dan orang pertama (aku). Untuk setting khususnya tempat, kesemuanya adalah murni hasil rekaan dan imajinasi penulis. Namun dari pemaparannya, seolah Pulau Maku-Maku, Tanjung Yaura, Taman Soka, hutan tempat Guntur bekerja dan lainnya mirip Pulau Sumatera atau Kalimantan. Lalu ditaburi diksi-diksi yang tak biasa, memang menjadikan novel ANIMUS ini punya khas tersendiri. Khas seorang penulisnya tentu, yang memang menyukai hal yang tidak klise, terlebih pada kosa kata. Ibu dari tiga anak ini, dari pantauan saya, memang menyenangi dan terlihat sering membiasakan karyanya ditulis dalam kosa kata bentuk padanan yang jarang digunakan orang lain. Ini satu kelebihan sekaligus kekurangan, sebab pembaca yang benar awam (bukan merupakan penulis pula) akan dibuat ‘mabuk’.



Lalu sekadar saran, saya mewanti-wanti agar pembaca yang benar-benar belum dewasa tidak dulu membaca novel ini. Setidaknya range usia pembaca yang cukup boleh adalah 20+ alias 20 tahun ke atas. Sebab di beberapa fragmen, diksi dalam narasinya saya rasakan terlampau “jujur”, semisal “menikmati”, “memakai” dan lainnya.



Satu hal lagi yang ingin saya titipkan kepada sang penulis, jikalau ANIMUS Seven Days ini hendak dilarung untuk kembali berlayar menggunakan “yacht“ di samudera lepas, kaver depan buku—bergambar permukaan danau berhias tanaman kering dan purnama—yang cenderung gelap semu kelabu ini mungkin ada baiknya diubah. Bisa dengan tetap menampilkan aksen kelam bila ingin isi novel tetap terwakilkan. Sebab bila ini saja berhasil cetak ulang apatah nanti. Semoga. Salam sukses.[]



Sleman, Dzulqodah 1436 H
30 Agustus 2015




#GA_ANIMUS


(995 kata)



Senin, 09 Maret 2015

Sekelumit Dendam di Ketinggian 3676

Sekelumit Dendam di Ketinggian 3676
Oleh: Dini Nurhayati

Judul buku : Altitude 3676, Takhta Mahameru
Penulis : Azzura Dayana
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Cetakan, Tahun Terbit : ke-1, Juli 2013
Kategori : Fiksi Dewasa (Novel)

Rumit. Jujur, saya katakan cukup rumit untuk mengupas novel ini. Masalahnya, karena sudah menyabet penghargaan karya terbaik di ajang perbukuan: Islamic Book Fair Award, Kategori Fiksi Dewasa. Maka, dengan melepaskan segala atribut dan gelarnya, pun mengesampingkan fakta bahwa tentu telah banyak resensi novel ini tersebar, saya memaksa mengulas sedikit banyak tentang Altitude 3676 dari kacamata pribadi.





Sejak membaca judulnya, saya sudah sangat curiga jika di dalam Altitude 3676 tersirat perjalanan-perjalanan; backpacking sang penulis. Saya tentu—secara tidak langsung—akan mendapati jejak traveling seorang Azzura Dayana, keliling Indonesia. Dan untuk hal ini, sedari di blog Multiply dulu telah saya ketahui memang, bila Azzura Dayana teramat sangat cinta dengan aktivitas jelajah tempat. Terlebih, yang tak biasa untuk seorang wanita. Pun karenanya saya kerap merasa iri hingga sanubari, sebab ada saja batasan untuk itu. Bahkan dalam jurnal perjalanan saja, tulisannya telah merupa seumpama kisah dalam novel. Jadi, ya, saya sudah mengenal tulisan-tulisan Azzura Dayana yang khas sejak di Multiply. Akun kami berteman kala itu, tapi tak yakin betul misal dia mengingat saya. Namun, saya terlalu melankoli untuk melupakan beberapa pertemanan kecil.

Altitude 3676 berpusat pada satu titik. Tentang seorang tokoh bernama Raja Ikhsan yang hampir tanpa diketahui sesiapa menyematkan dendam kesumat dalam dada. Soal kematian ibunya yang janggal. Dari sinilah semua berpangkal dan berujung. Dengan puncak Semeru sebagai saksinya. Ya, Ikhsan yang dikenal sebagai pendaki ulung menuju Semeru paska kematian sang ibu. Lalu di tempat yang sama, Puncak Mahameru, ia akhiri rasa itu.

Sudah begitu saja ceritanya? Ah, tentu tidak. Berlatar belakang kisah Ikhsan inilah, sedepa demi sedepa perjalanan Faras dimulai. Penyebabnya pun tak terduga. Yaitu emai-email ‘kiriman’ Ikhsan paska mereka bertemu sebanyak 3 kali dalam tahun berbeda, namun kemudian tak ada kabar hingga hampir dua tahun setelahnya. Akan tetapi di pertemuan terakhir itulah Ikhsan yang terkenal sedikit memiliki teman sebab karakternya yang congkak plus cenderung penyendiri, berkisah soal ibu dan keseluruhan cerita kelamnya berkaitan dengan keluarga si ayah. Khusunya terhadap ibu tirinya. Total ada 3 pertanyaan yang dilempar Ikhsan pada Faras. Akan tetapi Faras belum hendak menjawabnya. Termasuk pertanyaan ketiga soal dendam dan pembalasan.

Maka berbekal foto kiriman Ikhsan via e-mail Faras bertekad menemui Ikhsan untuk menjawab semua. Tiga pertanyaan? Apa saja? Saya sungguh tak berniat membeberkan di sini. Saya bocorkan satu lagi saja, selain dendam, yaitu 11 alasan mengapa Ikhsan harus sholat.

Kelamnya seorang Ikhsan rupanya betul-betul dalam. Kolaborasi dari perasaan luka, kecewa, teraniaya, kerinduan, kesepian dan cinta. Semua sukses membentuknya menjadi pribadi yang tak mau mengucapkan kata maaf dan terimakasih.

Bagaimana lengkapnya? Kali ini saya sungguh berniat untuk membuat Teman yang belum membaca penasaran. Tapi, satu bocoran lagi. Dibanding ketika saya membaca novel-novel awal Azzura Dayana, seperti Birunya Langit Cinta dan Gadis Sang Panjaga Telaga, Altitude 3676 memberikan pesona lain. Kekuatan dalam setting tempat. Alasannya, tentulah karena penulis mendatanginya, mengalami sendiri. Walau di novel lainnya pun ia sama menyambangi setting novelnya, mengeksplor dalam-dalam. Seperti di Birunya Langit Cinta yang bahkan membuat saya geram. Saya merasa kecolongan, karena Dayana mampu mengesankan satu sudut Kota Cirebon dan keratonnya, seolah dia adalah penduduk asli. Sementara sayalah yang telah menghabiskan sebagian banyak masa di sana. Benar-benar membuat ‘naik pitam’.

Altitude 3676 ini beralur maju-mundur. Dengan point of view penceritaan orang pertama, tapi dalam tutur tokoh berbeda. Berseling antara Faras, Mareta-adik seayah Ikhsan-lalu Ikhsan. Penulis membiarkan pembaca mengetahui laju kisah bak potongan puzzle ini sendiri dari tiga tokoh itu. Dan ijinkan saya menyebut, Altitude 3676 ini adalah sastra yang berpromosi keindahan Indonesia habis-habisan. Khususnya pada yang menjadi setting di sini: Borobudur, Sulawesi, Makasssar, Ranu Pane dan puncaknya adalah Mahameru. Juga tentang kapal pinisi yang tersohor. Bertaburan juga dengan kata-kata mutiara dan lirik lagu pun nasyid yang dalam makna.

Hanya sedikit luka kecil yang saya temukan. Pertama, kata “enggak” yang terselip di halaman 328. Padahal bolak-balik saya pastikan sebelumnya kata yang banyak digunakan adalah tidak atau tak. Kedua, ada di paragraf pertama halaman 367. Di sana yang tengah bertutur adalah Faras, namun menjadi janggal saat dia berkata-kata mengenai Ikhsan yang menolak harta dan jabatan dari sang ayah. Karena Faras menjadi seolah tahu segalanya. Ketiga, saya masih mencium kepingan seorang Azzura Dayana, khususnya di dua tokoh, Faras dan Ikhsan.

Terakhir, saya sangat ‘membolehkan’ sebagai kata lain dari berharap, Altitude 3676 diangkat ke layar lebar. Mengingatkan saya pada harap yang sama terhadap novel The Road to the Empire-nya Sinta Yudusia dan Tetralogi De Winst-nya Afifah Afra.

Sebagai penutup ijinkan saya berbisik, kalau kau mendapati seorang Azzura Dayana melakukan perjalanan, tanpa melupakan kamera DSLR-nya, tunggu saja. Karena setelahnya pasti ada karya manis—semanis senyumnya—yang tertuang dari goresan tintanya.[]

Sleman, 9 Maret 2015

Photo source: Google

Minggu, 08 Maret 2015

Resensi Buku “Keajaiban Senyuman”: Menghalau Singgung dengan Sungging


Bismillaahirrohmaanirrohiim,

Menghalau Singgung dengan Sungging
Oleh: Dini Nurhayati


Judul buku : Keajaiban Senyuman
Penulis : Sri Widiyastuti
Penerbit : DAR! Mizan
Cetakan, tahun terbit : ke-1, Maret 2014
Kategori : Non-Fiksi Anak; 84 hal.; ilustrasi; 24 cm.


Kawan, apakah kau pernah merasa sulit untuk tersenyum? Berat menarik ujung-ujung bibir simetris ke kiri dan ke kanan? Apa sebabnya? Lalu, kira-kira kalau hati tengah dirundung sedih, apakah kau mampu tersenyum?

Senyum, satu kata sederhana yang terdiri dari enam huruf saja. Dan, bermula dari satu senyum sederhana, banyak hal akan berubah. Namun, semudah itukah? Mungkin tidak, mungkin iya. Lho, kok bisa? Karena ternyata manakala hati dan pikiran kita dipenuhi hal buruk atau hal negative, akan sulit sekali untuk tersenyum. (Duh!)

Tapi biasanya, bila hati sedang merasa tidak riang, lalu ada teman yang tengah merasa sedih lebih dibanding kita, pikiran yang bersinergi dengan tubuh akan bereaksi. Kita akan mencoba untuk tersenyum; memberi teman kita dorongan semangat. Mungkin karena berat, hal pertama yang otomatis dilakukan atau terjadi adalah kita akan menarik napas panjang, mengembusnya perlahan, setelah itu secara ajaib bibir pun dapat tersungging.

Efeknya bukan hanya pada teman saja, bahkan kita sendiri terkena efek positifnya. Tatkala kita tersenyum, ditangkap teman sehingga ia juga tersenyum, dan kembali pada kita. Sehingga senyum yang muncul tadi bisa lebih lebar lagi. Jadi, justru kita yang mendapat lebih energi positif itu. Tidakkah ini suatu hal yang menakjubkan? :)

Buku “Keajaiban Senyuman” ini memang bergenre non-fiksi anak. Namun, tema dan isinya yang disajikan ringan, asyik juga kok untuk dinikmati oleh pembaca selain anak-anak. Para orangtua, guru, atau kakak yang membacakan kepada adik, murid atau putra-putrinya yang masih balita.

Di dalam buku ini tersaji lima pokok judul, yaitu:

1. Apa, Sih, Senyuman? Berisi makna dari senyum.
2. Keajaiban Senyum. Di sini kita bisa temukan ragam kisah penuh hikmah, bermula dari tutur kata sopan dan seulas senyuman.
3. Seyum Tiket ke Surga. Bibir yang tersungging dapat mengantarkan kita ke surga? Ajaib ...
4. 10 Fakta Tersenyum; dan
5. Kata-kata Mutiara, yang berkaitan dengan senyum.

Pada masing-masing 5 judul tersebut ada beberapa sub tema lagi, yang juga mudah diresapi dan dipahami. Karena setiap tema terdapat pula bahasannya yang terbagi pada: paparan, ulasan hadis atau ayat Al Quran, inspirasi sahabat dan ‘Yuk, Ikuti Nabi’ yang berisi contoh kejadian dalam bentuk cerita super pendek atau cerita anak mini.

Meskipun judulnya ‘senyum’, tapi ternyata bisa meliputi banyak hal. Mulai dari pemaparan tentang sedekah, berbagi kebaikan sampai menyingkirkan pohon berduri yang menghalangi jalanan. Bahkan ada pula doa ketika menengok sahabat atau kerabat yang sakit. Sengaja dicetak dengan huruf berukuran lebih besar dari yang lain. Sehingga, memudahkan pembaca yang barangkali belum tahu untuk menghapalnya.

Di salah satu poin ‘inspirasi sahabat’ pada halaman 33, bahkan saya menitikkan air mata. Membaca kisah Rasulullah saw. bertemu seorang anak yang sendirian dan kesepian. Apa sebabnya, cari tahu saja ya, hehe. Banyak pula kisah lain yang dapat dipetik hikmahnya. Menumbuhkan rasa kasih sayang anak pada sesama teman sebaya, orang tua maupun pada orang lain, hatta itu kepada seorang ‘mbak’ yang membantu di rumah kita.

Pembaca juga disodorkan 10 fakta menarik seputar senyum. Salah satunya, ‘’Senyum Membuat Kamu Sehat”. Di poin ini, dijelaskan bahwa senyum dapat berfungsi sebagai sistem imunitas tubuh. Malah, menurut kajian, sakit flu dan batuk dapat hilang disebabkan tersenyum. Ada pula fakta lain berkaitan senyum yang menyebut istilah-istilah seru: endorphin dan serotonin. Apa pula itu? Temukan sendiri di buku “Keajaiban Senyum” ini ya ….


Nah, kebanyakan manfaat yang ditimbulkan dari seulas senyum, memang cenderung untuk kesehatan. Inilah sebabnya, Rasulullah saw pun menganjurkan kita agar menyempatkan menjenguk yang tengah diuji dengan sakit. Bukan soal membawa buah tangan atau lainnya seputar itu yang jadi hal utama. Akan tetapi supaya kita memberikan senyum, saling berbagi semangat dan aura positif kepada si sakit, sehingga rasa sakitnya dapat berangsur pulih lalu sembuh.

Tak sedikit bukan, cerita-cerita ringan tentang seorang yang sakit kemudian dijenguk, lalu sembuh. Ah, sekali lagi, hanya satu kata sederhana, senyum, dan dunia pun akan berubah, memang terbukti ya? Kalau semua orang di dunia tulus tersenyum, agaknya dunia pun akan berbalik tersenyum juga pada seluruh manusia. Dan hal-hal rumit bisa diatasi dengan mudah.

Satu elemen penting di buku ini yaitu font huruf yang variatif. Membuat mata pembaca—terlebih khusus untuk anak-anak—tidak cepat menjadi lelah. Tulisan atau huruf-huruf itu selang-seling berwarna-warni. Selain itu? Ah, tentu ilustrasinya pun menjadi daya tarik sendiri. Karena banyak bibir yang melengkung manis. Menyenangkan sekali. Eh, hampir terlupa, ada bonus juga yang terselip di buku ini. Stiker bergambar gadis cilik berkerudung dengan berbagai gaya senyum. Lucu deh!

Di halaman belakang juga, pembaca akan melihat foto penulisnya, Ummi Sri—begitu dia biasa dipanggil—tengah menyunggingkan senyum yang cantik sekali. Coba saja lihat, dan pembaca pasti jadi ingin pula tersenyum.

Hm, hanya ada satu yang teramat disayangkan di buku ini. Terletak di salah satu gambar atau ilustrasinya. Yaitu seorang bapak yang hendak minum, sedang memegang cangkir. Tapi dengan tangan kiri. Wah, misal dibacakan pada anak yang jeli dan kritis, harus berpanjang-panjang untuk menjelaskannya. Mungkin Kakak penyunting bagian layout terbalik saat memadukan gambar ini dengan bukunya, ya? Semoga di cetakan berikutnya bisa diperbaiki. Kita halau singgung dengan sungging ya? Salam santun, mari kita senyum. :)


[Keseluruhan: 5.823 cws.]


Sleman, 8 Maret 2015