Tampilkan postingan dengan label Altitude 3676. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Altitude 3676. Tampilkan semua postingan

Senin, 09 Maret 2015

Sekelumit Dendam di Ketinggian 3676

Sekelumit Dendam di Ketinggian 3676
Oleh: Dini Nurhayati

Judul buku : Altitude 3676, Takhta Mahameru
Penulis : Azzura Dayana
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Cetakan, Tahun Terbit : ke-1, Juli 2013
Kategori : Fiksi Dewasa (Novel)

Rumit. Jujur, saya katakan cukup rumit untuk mengupas novel ini. Masalahnya, karena sudah menyabet penghargaan karya terbaik di ajang perbukuan: Islamic Book Fair Award, Kategori Fiksi Dewasa. Maka, dengan melepaskan segala atribut dan gelarnya, pun mengesampingkan fakta bahwa tentu telah banyak resensi novel ini tersebar, saya memaksa mengulas sedikit banyak tentang Altitude 3676 dari kacamata pribadi.





Sejak membaca judulnya, saya sudah sangat curiga jika di dalam Altitude 3676 tersirat perjalanan-perjalanan; backpacking sang penulis. Saya tentu—secara tidak langsung—akan mendapati jejak traveling seorang Azzura Dayana, keliling Indonesia. Dan untuk hal ini, sedari di blog Multiply dulu telah saya ketahui memang, bila Azzura Dayana teramat sangat cinta dengan aktivitas jelajah tempat. Terlebih, yang tak biasa untuk seorang wanita. Pun karenanya saya kerap merasa iri hingga sanubari, sebab ada saja batasan untuk itu. Bahkan dalam jurnal perjalanan saja, tulisannya telah merupa seumpama kisah dalam novel. Jadi, ya, saya sudah mengenal tulisan-tulisan Azzura Dayana yang khas sejak di Multiply. Akun kami berteman kala itu, tapi tak yakin betul misal dia mengingat saya. Namun, saya terlalu melankoli untuk melupakan beberapa pertemanan kecil.

Altitude 3676 berpusat pada satu titik. Tentang seorang tokoh bernama Raja Ikhsan yang hampir tanpa diketahui sesiapa menyematkan dendam kesumat dalam dada. Soal kematian ibunya yang janggal. Dari sinilah semua berpangkal dan berujung. Dengan puncak Semeru sebagai saksinya. Ya, Ikhsan yang dikenal sebagai pendaki ulung menuju Semeru paska kematian sang ibu. Lalu di tempat yang sama, Puncak Mahameru, ia akhiri rasa itu.

Sudah begitu saja ceritanya? Ah, tentu tidak. Berlatar belakang kisah Ikhsan inilah, sedepa demi sedepa perjalanan Faras dimulai. Penyebabnya pun tak terduga. Yaitu emai-email ‘kiriman’ Ikhsan paska mereka bertemu sebanyak 3 kali dalam tahun berbeda, namun kemudian tak ada kabar hingga hampir dua tahun setelahnya. Akan tetapi di pertemuan terakhir itulah Ikhsan yang terkenal sedikit memiliki teman sebab karakternya yang congkak plus cenderung penyendiri, berkisah soal ibu dan keseluruhan cerita kelamnya berkaitan dengan keluarga si ayah. Khusunya terhadap ibu tirinya. Total ada 3 pertanyaan yang dilempar Ikhsan pada Faras. Akan tetapi Faras belum hendak menjawabnya. Termasuk pertanyaan ketiga soal dendam dan pembalasan.

Maka berbekal foto kiriman Ikhsan via e-mail Faras bertekad menemui Ikhsan untuk menjawab semua. Tiga pertanyaan? Apa saja? Saya sungguh tak berniat membeberkan di sini. Saya bocorkan satu lagi saja, selain dendam, yaitu 11 alasan mengapa Ikhsan harus sholat.

Kelamnya seorang Ikhsan rupanya betul-betul dalam. Kolaborasi dari perasaan luka, kecewa, teraniaya, kerinduan, kesepian dan cinta. Semua sukses membentuknya menjadi pribadi yang tak mau mengucapkan kata maaf dan terimakasih.

Bagaimana lengkapnya? Kali ini saya sungguh berniat untuk membuat Teman yang belum membaca penasaran. Tapi, satu bocoran lagi. Dibanding ketika saya membaca novel-novel awal Azzura Dayana, seperti Birunya Langit Cinta dan Gadis Sang Panjaga Telaga, Altitude 3676 memberikan pesona lain. Kekuatan dalam setting tempat. Alasannya, tentulah karena penulis mendatanginya, mengalami sendiri. Walau di novel lainnya pun ia sama menyambangi setting novelnya, mengeksplor dalam-dalam. Seperti di Birunya Langit Cinta yang bahkan membuat saya geram. Saya merasa kecolongan, karena Dayana mampu mengesankan satu sudut Kota Cirebon dan keratonnya, seolah dia adalah penduduk asli. Sementara sayalah yang telah menghabiskan sebagian banyak masa di sana. Benar-benar membuat ‘naik pitam’.

Altitude 3676 ini beralur maju-mundur. Dengan point of view penceritaan orang pertama, tapi dalam tutur tokoh berbeda. Berseling antara Faras, Mareta-adik seayah Ikhsan-lalu Ikhsan. Penulis membiarkan pembaca mengetahui laju kisah bak potongan puzzle ini sendiri dari tiga tokoh itu. Dan ijinkan saya menyebut, Altitude 3676 ini adalah sastra yang berpromosi keindahan Indonesia habis-habisan. Khususnya pada yang menjadi setting di sini: Borobudur, Sulawesi, Makasssar, Ranu Pane dan puncaknya adalah Mahameru. Juga tentang kapal pinisi yang tersohor. Bertaburan juga dengan kata-kata mutiara dan lirik lagu pun nasyid yang dalam makna.

Hanya sedikit luka kecil yang saya temukan. Pertama, kata “enggak” yang terselip di halaman 328. Padahal bolak-balik saya pastikan sebelumnya kata yang banyak digunakan adalah tidak atau tak. Kedua, ada di paragraf pertama halaman 367. Di sana yang tengah bertutur adalah Faras, namun menjadi janggal saat dia berkata-kata mengenai Ikhsan yang menolak harta dan jabatan dari sang ayah. Karena Faras menjadi seolah tahu segalanya. Ketiga, saya masih mencium kepingan seorang Azzura Dayana, khususnya di dua tokoh, Faras dan Ikhsan.

Terakhir, saya sangat ‘membolehkan’ sebagai kata lain dari berharap, Altitude 3676 diangkat ke layar lebar. Mengingatkan saya pada harap yang sama terhadap novel The Road to the Empire-nya Sinta Yudusia dan Tetralogi De Winst-nya Afifah Afra.

Sebagai penutup ijinkan saya berbisik, kalau kau mendapati seorang Azzura Dayana melakukan perjalanan, tanpa melupakan kamera DSLR-nya, tunggu saja. Karena setelahnya pasti ada karya manis—semanis senyumnya—yang tertuang dari goresan tintanya.[]

Sleman, 9 Maret 2015

Photo source: Google