Jumat, 17 April 2015

Asal Mula Suara Burung Hantu dan Burung Gagak

[Cerita Anak]

Asal Mula Suara Burung Hantu dan Burung Gagak*
Oleh: Dinu Chan


Hai, Adik-adik, jumpa lagi dengan Kak Nur di dongeng Bangun Tidur.
Lihat nih, Kak Nur sudah siap dengan boneka jari, akan bercerita apa ya kira-kira?

Oke, episod kali ini berkisah tentang Burung Hantu dan Burung Gagak yang bersahabat, tapi sayangnya kemudian bermusuhan.

Alkisah di Angkasa Biru akan diadakan Festival Uji Kekompakan antar sahabat, dengan penuh semangat Burung Hantu dan Burung Gagak turut pula mendaftar.

Setelah menunggu ribuan detik sembari bertengger di dahan, giliran mereka tiba dan sembilan pertanyaan pun berhasil dijawab.

Tapi, pada pertanyaan kesepuluh ... Burung Gagak salah menjawab pertanyaan juri,
“Apa warna bayangan?”

Burung Gagak menyebut putih, sedangkan Burung Hantu menyebut hitam, alhasil mereka gagal di Uji Kekompakan tersebut.

“Tuh …, terbukti aku yang benar kan? Huuu ...,” ujar Burung Hantu di satu siang terik menunjuk bayangan hitam mereka.

“Enggak,” jawab Burung Gagak keras kepala, kepalanya menengadah menatap langit, lalu terbang meninggalkan Burung Hantu. Namun anehnya sejak itu dia tak mau lagi bermain di siang hari. Apalagi di atas tanah. Burung Gagak selalu mencari dahan pohon untuk bertengger. Dia tidak ingin bayangannya terlihat.





Sedangkan Burung Hantu tak henti pula mengikuti untuk mengolok:
“Huuu … huuu … huuu …”





Dan akan dibalas Burung Gagak dengan,
“Gak … gak … gak …”

Begitulah terus menerus. Jika ada Burung Hantu, coba Adik-adik dengarkan, bagaimana suaranya. Dan kalau menjelang malam hari Burung Gagak mulai terbang berputar-putar di langit, coba perhatikan, seperti apa dia bersuara?



Sleman, 18 Maret 2015
*Memang asli mengarang. Tidak menyadur atau mengadopsi dari kisah manapun.
Semoga berkenan. :)


Sumber gambar:
Google
diamenia.blogspot.com

Selasa, 07 April 2015

Flash Fiction: Potret Keluarga

Potret Keluarga
Oleh: Dini Nurhayati






Pernah ada kehangatan di rumah ini. Setidaknya itu yang berhasil tetangkap rasa hati, tatkala netra melekat pada satu bingkai besar di ruang tengah. Empat anggota keluarga kecil dengan bibir melengkung sempurna.


Di depan si ayah, berdiri si anak gadis. Sedangkan di depan ibu, berdiri si anak lelaki berpipi gembil. Saling memeluk.


“Apa tidak sebaiknya foto itu diturunkan saja, Ma?”

Pa mendekat, menjejeri.

“Hmm, kalau sementara seperti itu dulu, tidak apa-apa, kan, Pa?”

“Sudah sebulan rumah ini menjadi milik kita …,”

“Aku senang melihat raut-raut tulus itu. Meski di hati, sesak pun menyelinap.” Pa mengusap punggungku. “Konon, pernikahan mereka sudah melewati usia perak, sebelum kemudian karam ….”

“Semoga anak gadisnya mengambil ini dalam waktu dekat. Sayang juga bila harus berakhir di tong sampah …,”


“Hm,” anggukku, hening sejenak, “Pa …?”


“Ya …,”


“Kita tak usah memajang foto keluarga, ya?”


“Kau yakin, Ma? Kalau nanti ada anak-anak yang hadir, bagaimana? Tentu kau mau juga ada potret keluarga, bukan?”



“Sepertinya tidak.”[]



End


Sleman, 7 April 2015



____________________

Flashfiction ini diikutsertakan dalam Tantangan Menulis Flash Fiction - Tentang Kita Blog Tour

http://www.redcarra.com/tantangan-menulis-ff-tentang-kita-blog-tour/?utm_source=dlvr.it&utm_medium=facebook


Sumber gambar: Google

Rabu, 01 April 2015

Bukan Pangeran Impian

Suami saya adalah seorang antimainstream. Tak umum. Tidak sama dengan suami kebanyakan. Ini kalau dihubungkan dengan judul di atas. Jadi betul, memang bukan impian. layaknya mimpi gadis belia yang sudah pasaran. Seperti tampan, romantis, bla bla bla ... lalu ujungnya adalah berkuda putih. Aih ... ke mana hendak mencarinya, gadis belia?

Pertemuan kami unik. Karena tak pernah ada kisah pertemuan antara suami-istri yang tidak unik, bukan? Selama ini, dalam obrolan ringan semi santai, dia pernah mengungkapkan, hal yang menyambung satu ingatan terhadap saya adalah hujan berpetir. Ini berkaitan dengan masa-masa ta'aruf kami.

Dalam proses pencariannya akan seorang istri, apa yang sedang dijalaninya banyak kala terlupa. Tersita dengan keasyikan menghadapi pinsil dan kertas (hingga sekarang pun masih, prioritas yang ditemuinya adalah mereka). Lalu saat hendak ke mana, tujuannya beristri disadarkan berulang kali. Itu tadi, dengan petir saat hujan turun.

Lalu di mana letak unik tersebut?

Saat pertama kali bertandang (ke Cirebon), dia sudah merasa familiar dengan keluarga saya. Padahal tentu baru itulah pertemuan kami-kami ini. Bahkan dari penuturannya selanjutnya paska menikah, sempat dia bermimpi dan bersenda gurau dengan anggota keluarga, minus saya.

Kemudian, saya ketahui juga cerita dari bapak mertua,jika asal-usul asli buyut mereka adalah dari Cirebon pula. Lagi-lagi, pepatah yang mengatakan dunia hanya selebar daun kelor atau dunia itu sempit, benar adanya.

Bukan tanpa selisih, kami mengarungi kehidupan berumah tangga.Karena bagaimanapun background, sifat dan kebiasaan kami banyak berbeda. Dia tak pernah se-charming bayangan saya akan suami romantis. Yup, dia memang tak romantis. Sama sekali. Tapi, kami selalu sepakat, bersyukur saling dipertemukan masing-masing. Saat beberapa insan di luar sana masih dalam gulana pencarian pasangan halal.

Saya bersyukur juga, karena sosoknya yang asli jawa tidak 'jawa'. Dalam artian tak pernah sungkan ataupun segan membantu hal-hal yang konon sudah bertajuk itu adalah 'tugas total' wanita atau seorang istri tepatnya. Seperti memasak, satu misalnya. Jujur, khusus masakan tertentu, racikannya lebih maknyuss dari yang saya garap. Ternyata, saat melajang dulu, dia memang sudah sangat biasa memasak, walau hanya beberapa yang dia minati. Ah, no wonder ...

Jadi, menu semisal oseng-osengan dan sambal, dialah jagonya. Malah, kalau 'semangat' memasaknya tiba-tiba muncul, tanpa banyak bicara (yang mana memang sudah karakter dasarnya yakni pendiam super) dia akan memasak ini-itu. Paling sebelumnya bertanya, ada bahan apa yang nganggur. Usai siap santap alias rampung, hehehe ... bagaikan seorang anak yang baru pulang setelah bermain, saya tinggal ambil piring. Isi nasi, menyendok lauk yang sudah tersedia dan menyantapnya dengan nikmat. Barangkali amat sangat sederhana, hanya oseng dan sambal terasi (kerupuk sebagai pelengkap seringnya beli), tapi ... maknyuss pemirsa. Asal jangan meminta dia masak sayur saja, ah juga tidak dengan ikan dan daging-dagingan, dia pasti kelabakan. Di bagian inilah saya akan ambil alih kemudi dapur. Walau jenis masakan yang dihasilkan tak pernah luar biasa. Sebatas digoreng.

'Ala kulli hal Alhamdulillah. Di antara debat-debit hampir sengit, cekcok-ceksoun kecil dan aral rintang lain yang sekali tiga mengemuka, kami selalu mencoba terus belajar saling mengisi. Ya, sesungguhnya proses belajar itu takkan pernah usai.[]


Meramaikang http://www.lovrinz.com/2015/03/giveaway-rahasia-hati-suami.html?m=1#more