Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 27 April 2016

Mendadak Give Away 2 Biondy Alfian

Selamat Good Morning, Frens!

Ternyata ketika saya melangsungkan tulisan ini, digital clock Nyonya Laptop berangka 00:08. Dan ini blogpost lanjutan dari SINI ya ...

Ish, ish, ternyata GA buku dadakan by Biondy Alfian ada dua (2). Yang belum tahu soal GA 1, bisa tengok ke link di atas itu.

Kalau Mendadak GA pertama bertajuk Fantasi, Mendadak Give Away kedua ini bertema IMPULSIF. Tetap masih berkaitan dengan buku ya. Hanya, kali ini berupa 3 novel Bahasa Inggris! (Kalau saya sih sudah bilang 'wow'). Penasaran apa saja judulnya? Saya kasih bocoran ya, Frens. Here they are ... (langsung ngInggris deh kan ...)

1. The Accidental Tourist
2. The Satan Bug
3. The Snake

Penulisnya? Duh, mata saya ndak bisa baca, sebab tulisannya kecil. Ketahuan kan, kalau info judul bukunya hasil dari nrawang foto? :)

Source&Credit: Biondy Alfian's


Lagi-lagi misal beruntung kalian bisa boyong ketiga novel in English tersebut. Iya, pemenang cuma akan dipilih satu untuk mendapatkan 3 buku sekaligus. Syarat dan ketentuannya masih sama ya, Frens. Perlu saya ingatkan nih, berdasar pengalaman kegaptekan pribadi, pastikan kalian isi 5 kolom Rafflecopter-nya, ada di dalam blogpost-nya juga. Hati-hati bukan helikopter lho, ya. Percaya sih, kalau Frens sekalian tidak se'polos' saya, hiii, yang mana mesti dua kali kunjungan baru 'ngeh'. :D

Seperti biasa, for more details, straight to click this link ...






Cc: Mas Bondy Alfian, fotonya--yang di entri link 1 dan ini--ikut copy ya? Terima kasih banyak.
Sebelumnya saya panggil Kak Kirei, duh maaf, asal panggil berdasar nama blog tuh. Sekali lagi maaf dan terima kasih. :)

Selasa, 26 April 2016

Mendadak Give Away 1

Selamat Good Night, Frens ... :)

Apa yang terlintas tiba-tiba di benak kalian begitu mendengar kata 'Mendadak '?
Kalau saya, entah mengapa nih, radha jadul, mesti keingetan judul film. Iya, ituuu ... 'Mendadak Dangdut'. Hehe.

Nah, ini juga datangnya bersifat tiba-tiba alias ujug-ujug suddenly gitu ... tapi gak ada hubungan dengan dangdut ya. Ujug-ujug suddenly yang ini berupa Give Away buku. Buku? Iya, buku. Kalau Frens sekalian termasuk dalam barisan cinta baca, penggila buku dan quiz dapat buku gratiz, pasti dengar info macam ini saja sudah 'kalap'. Apalagi kalau syaratnya masih bisa dijangkau jari-jari. (Padahal yang begini saya ... ^^)

Oke, GA buku apaan sih, emangnya?

Mendadak GA yang pertama ini berupa novel-novel bergenre FANTASI:

  1. Cinder - Marissa Meyer
  2. Ther Melian: Recollection - Shienny M. S.
  3. A Reaper of Stone - Mark Gelineau & Joe King

Source & Credit: Biondy Alfian's


Kalau Frens sekalian beruntung, bisa mendapatkan 3 novel di atas sekaligus dari Biondy Alfian si empunya hajatan. Tiga-tiganya, lho. Hmm, macam mana tidak akan kalap, tho?

Tentu ada S-K a.k.a syarat dan ketentuan yang berlaku ya, Frens. Detilnya kunjungi langung link berikut, ya? Ada review novelnya barangkali ingin tahu dulu.
Good luck but Wish Me Luck! ^_^



[RESENSI] Gado-gado Petualangan


Judul buku: Best Adventure, Kumpulan 11 Cerpen Petualangan Terbaik Lomba Cerpen Nasional Faber-Castell 2014
Penyusun: Tim Faber-Castell
Kategori: Fiksi/Kumpulan Cerpen
Penerbit: Bhuana Sastra (Imprint dari Penerbit BIP)
Tahun terbit: 2015
ISBN 10: 602-394-004-8
ISBN 13: 978-602-394-004-2



Ketika mendengar kata ‘adventure’ atau ‘petualangan’, yang muncul di kebanyakan benak adalah tentang menjelajah negeri atau dataran yang benar-benar baru, mendaki gunung dan semisal itu. Petualangan jugalah yang dijadikan tema Lomba Cerpen Nasional Faber-Castell tahun 2014 lalu. Kini tulisan para pemenang berbagai kategori lomba mulai dari A, B, C, Tulisan Terbaik hingga ‘Like’ Terbanyak tersebut sudah berbentuk buku dan dapat dinikmati. Membacanya membuat kita tahu, bahwa ‘petualangan’ bukan melulu hal-hal seperti yang disebut di atas tadi. Namun beragam, persis gado-gado.

Ruang Terakhir, salah satu cerpen yang lolos, bahkan sangat tak disangka, berangkat dari kejadian ‘sederhana’.  Namun, gaya penceritaan yang apik ala kisah misteri, sungguh-sungguh mengecoh sekaligus membuat pembaca bertanya-tanya, hal mengerikan apa yang akan dialami tokoh aku. Bahkan disebutkan juga di sana soal ‘berdarah-darah’. Dan semua disimpan dengan sabar oleh penulisnya, Sisha, hingga baru terkuak di akhir cerita.

Judul-judul lainnya yang menarik seperti Phobia, Lumpur Madura, Skizofrenia dan Lemariku, Dunia Cokelatku.

Yang sangat menarik dan berbeda dari buku ini adalah semua tulisan yang ada merupakan asli tulisan tangan penulisnya sendiri. Yang memang syarat utama lomba. Bahkan ‘Kata Pengantar’ pun berupa tulisan tangan Manager Faber Castell sendiri. Dan tulisan tangan pemenang kategori Tulisan Terbaik sungguh sangat indah.

Terakhir, buku kumpulan cerpen ini mungkin bisa jadi tempat berkaca dan belajar bagi teman yang hendak mengikuti Lomba Faber Castell terbaru. ^^[]
Peresensi: Dini Nurhayati, Sleman – D.I.Y




Rabu, 16 Desember 2015

[RESENSI] Rahasia Pelangi

Rahasia PelangiRahasia Pelangi by Riawani Elyta
My rating: 4 of 5 stars


Judul buku: Rahasia Pelangi
Penulis: Riawani Elyta dan Shabrina Ws
Penerbit: GagasMedia
Cetakan, tahun terbit: Pertama, 2015
Tebal: x + 326 halaman
ISBN: 979-780-820-3

:: Dua Konflik di Tesso Nilo ::

Anjani memiliki trauma masa lalu tentang gajah, kala masih anak-anak. Dan bertahun kemudian, saat dia beranjak dewasa, untuk membunuh traumanya, Anjani justru memutuskan menjadi seorang mahout. Dan Chay, salah satu mahout senior asal Thailand yang pendiam mengetahuinya juga. Bahkan telah diam-diam memerhatikan Anjani, sedari mereka bertemu pertama kalinya di Way Kambas.

Sama sekali tak ada rasa dari Anjani untuk Chay, tapi sejak ia membantu Chay menangani Rubi—gajah betina--yang hendak melahirkan pandangannya berubah. Bodohnya, Anjani tidak kunjung menyadari atau mau mengakui rasanya sendiri. Hingga satu rombongan kecil dari CWO (Change World Organization) berkunjung ke Tesso Nilo dengan tujuan survey untuk Forest Camp yang akan mereka adakan. Dan Rachel salah satu dari rombongan itu anehnya bisa cepat akrab bahkan setiap hari semakin dekat dengan Chay (hal. 98-103). Lalu Anjani malah semakin menjauhi Chay, juga lagi-lagi tanpa dia sadari, Rachel yang blasteran itu pun dia benci.

Membaca Rahasia Pelangi yang ditulis duet ini membuat saya bolak-balik membuka kertas termasuk mengamati lamat-lamat halaman ucapan terima kasih. Penasaran dengan bagian mana ditulis oleh siapa. Sebab dari penuturunnya tidak terlihat beda. Dari 'simbol' dedaunan dan atap tenda sirkus-lah, akhirnya dengan sok tahu saya simpulkan Riawani menulis bagian Rachel, sedangkan Shabrina bagian Anjani. Ya, novel ini memiliki dua sudut pandang penceritaan: Anjani dan Rachel.

Banyak hal yang membuat mata pun hati menghangat dari Rahasia Pelangi ini. Terlebih pada paragraf-paragraf yang mendeskripsikan perilaku gajah. Seperti saat Beno mengulurkan belalai, menepuk lembut kepala Anjani, menaburkan daun kering ke atas kepalanya, kala gadis itu dilanda resah. Benar-benar membuat saya ingin bersahabat juga dengan gajah.

Selain konflik hati Anjani, Rahasia Pelangi juga mengisahkan tentang konflik antara gajah-manusia. Saya bahkan secara khusus (didorong rasa ingin tahu) googling tentang Tesso Nilo. Konflik itu memang sering terjadi dan sudah sejak lama. Setting waktu novel ini pun di halaman awal-awal disebut pada tahun 2012. Dan image bagaimana iring-iringan Tim Flying Squad menghalau gajah liar berlatar hijaunya hutan pun dapat terbayang.

Dengan plot konflik itu juga, Rachel mengalami kecelakaan: diserang gajah liar. Anjani yang merasa bertanggung jawab akan kejadian itu, diliputi bersalah terus menerus.

Saya pikir, barangkali novel ini bisa dihadiahkan kepada para mahout di Tesso Nilo. Karena jika saya menjadi salah satunya, merupakan hal yang sangat berharga sekali bila keseharian kami bisa tertuang dalam novel.

Ah, kembali ke kisah Anjani dan Rachel, bagaimana akhir dari konflik hati mereka? Siapa yang kemudian bersama Chay? Konon, cinta jatuh tak pernah terlalu jauh .... (potongan quote di sampul muka novel) :)


Sleman, 11 Desember 2015


View all my reviews

Jumat, 06 November 2015

[Resensi] Braga siang itu: Tentang Birokrasi dan Lainnya


Judul Buku : Braga Siang Itu
Penulis       : Triani Retno A
Kategori     : Fiksi
Penerbit     : Sheila (Imprint Penerbit ANDI)
Cetakan     : 1, 2013

Masa lalu selalu menjadi hal paling rumit untuk dilupakan, lebih-lebih jika menyoal cinta. Dan cinta hampir sulit untuk dicerna bila bersinggungan dengan idealisme.

Begitulah Fei yang ingatannya selalu mengawang kepada sosok bernama Ben, tiap kali ia berada di Braga—salah satu ruas jalan di Kota Bandung. Meskipun, raganya tengah membersamai sesosok pria lain bernama Ron, seperti siang itu.

Fei selalu mencintai Braga. Namun Braga telah banyak berubah, sama seperti Ben. (Blurb) Barangkali itu juga berarti, Fei masih memiliki rasa terhadap Ben. Dan perubahan Ben mau tak mau menarik ulur juga perasaannya. Akan tetapi apa yang diucapkan Ron kemudian, kala mendengar Fei kilas balik bercerita tentang Ben—seorang mahasiswa yang identik dengan demonstrasi dan kemudian melejit menjadi politikus muda—membuatnya tersentak.

“Kamu tahu, Fei ... . Perempuanlah yang memainkan peranan di balik kesuksesan dan kehancuran itu.” (hal. 22)

Braga Siang Itu, dengan meminjam tokoh Ben, bagai hendak ‘mencontohkan’ betapa di tanah ini banyak yang mula-mula teramat gesit dengan idealisme tinggi melawan pemerintah dan birokrasinya, tapi luluh juga tatkala kemudian mereka ‘nyemplung’ di dalam birokrasi itu. Idealisme yang dulu berkobar, akhirnya padam pula bersebab harta dan tahta atau mungkin oleh hal lain lagi. Agaknya bukan satu dua kasus serupa terjadi di dunia nyata.

Fiksi yang berupa kumpulan cerpen ini berisi 15 cerpen. Dan seperti yang dituliskan di bagian kover belakangnya, berfokus pada perempuan. Hal tersebut bisa diraba-terka dari judul-judulnya: Bunda, Ibu yang Tak Pernah Ada; Sansevieria; Saat Malin Bertanya; Sarapan; Undangan; Suara; Ceu Kokom; Bunda Tak Tersenyum; Surat untuk Presiden; Merajut Hari; Hati yang Tak Kunjung Damai; Gunting dan Gigi.

Bila disimpulkan, selain berfokus atau menyorot sosok perempuan, kesemua cerpen tersebut juga lebih menonjolkan tema sosial untuk diusung.

Yang unik dan menarik, beberapa di antaranya merupakan cerpen yang pernah dimuat di media cetak; koran ataupun majalah. Bagi pembaca yang juga menggeluti dunia menulis, cerpen-cerpen yang terkumpul dalam “Braga Siang Itu” barangkali bisa juga dijadikan referensi.[]


Minggu, 30 Agustus 2015

[Resensi] Novel ANIMUS, Seven Days

Tetra Ceritera dan Danau Angkara
Oleh: Kirana Winata

Judul buku : ANIMUS, Seven Days, A Tetralogy Novel
Penulis : Ajeng Maharani
Kategori : Fiksi, Novel (Dewasa)
Penerbit : LovRinz Publishing
Cetakan : II (kedua), Desember 2014
Tebal : xiv + 235 halaman
ISBN : 978-602-71451-0-8



Kebencian adalah satu elemen rasa yang pasti dimiliki setiap manusia. Namun bagaimana rasa itu dapat dikelola adalah benar-benar urusan pribadi manusia itu sendiri. Apakah ia dapat mengendalikan, mengalihkan atau membiarkan bertumbuh, lalu melahap jiwa si empunya? Itu adalah pilihan. Dan pada satu topik inilah cerita bermula; bertumpu.



Mula-mula menatap judul novel ini, saya sudah diserbu rasa penasaran, hingga pada akhirnya bisa memiliki dan membacanya tuntas, rasa ingin tahu itu pun terlolosi. Dan ending-nya mengakibatkan saya terkontaminasi rasa ‘benci’. Bagaimana tidak? Sebab sedari menyantap rangkaian huruf-huruf prolog hingga epilog, jantung saya dipermainkan sedemikian rupa: berkerenyut, rileks, berkerenyut lagi, terus dan menerus.





Ada empat kerat kisah yang tersaji dalam ANIMUS: “Dentum Hati”, “Cinta si Gadis Lumpur”, “Lelaki dan Danau Legenda” dan “Bunga”. Saya coba ulas salah satunya, yaitu yang pertama.



Dentum Hati” bertutur tentang seorang gadis bodoh—kalau boleh saya sebut—bernama Salsa. Artis panggung yang terjerat cinta buta pada Darsono, anggota dewan yang sudah berkeluarga. Dikarenakan kasus video syur yang menyebar dan tertuduh sebagai pelaku, diri Salsa dan hidupnya yang semula hanya dipenuhi nama Darsono bergulir kepada Pak Hakim lalu Sang Komandan. Baru, setelah tiga hari dalam mengusahakan keadilannya Salsa merasa bak bola ping-pong, ia memutuskan untuk juga berontak. Melepaskan diri dari jeratan-jeratan “orang penting” yang berjanji membebaskan Salsa dari tuduhan menyebarkan video, dengan melepas selapis demi selapis kehormatannya sebagai penebus.



Pembangkangan Salsa tersebut, selanjutnya meliukkan alur lain lagi. Dan mempertemukannya dengan tokoh bernama Ari. Pemuda 23 tahun yang pendiam, pincang (halaman 13) namun ternyata seorang pembunuh bayaran. Hal ganjil bagi saya sebagai pembaca untuk mencerna bila sosok Ari dapat melumpuhkan pria besar kekar. Sedikit melawan logika. Walaupun ada satu narasi yang menyebutkan, meski fisik Ari berkekurangan, dia kuat, tenaganya jangan disangka. Ya, bisa jadi. Sebab kemungkinan sumber dan suluh energinya adalah juga rasa benci.



Lalu bagaimana kelanjutan kisah Salsa? Korelasi macam apa yang terbentuk antara dia dan Ari? Tentu tidak akan saya paparkan dengan gamblang di sini. Tapi sedikit sebagai bocoran (seperti biasa bila saya menulis resensi), tiga kisah setelah Dentum Hati adalah bukan lanjutan dari kisah Salsa dan Ari. Tapi cerita yang bernar-benar baru, berbeda, tapi tetap saling berkaitan. Bingung?



Di “Cinta si Gadis Lumpur” yang menceritakan kisah cinta monyet dua remaja SMU, Yana si anak berpunya dan Nora anak gadis petani biasa, ada satu fragmen kehidupan Salsa-Ari. Di sini pun, kedok salah satu orang penting, pula berandil memengaruhi lika-liku hidup Salsa, dibuka; yang ternyata orangtua Yana, tepatnya bapaknya. Silakan tebak yang mana dia kira-kira: Darsono, Sang Komandan ataukah Tuan Hakim? Terselip juga pertemuan antara Nora dan Bunga dalam satu angkutan umum. Sebaliknya di Dentum Hati, bila pembaca cermat ada adegan/narasi percakapan Nora dan Yana yang terdengar Salsa di setting tempat bernama Taman Soka.



Sementara saat cerita beralih ke “Lelaki dan Danau Legenda” fokus hanya pada Guntur dan Cuwa. Lagi-lagi soal asmara. Terjalin antara Guntur si penebang kayu dengan Cuwa, gadis primadona setempat. Ada tersisip nama Bunga disebut di sini.



Sedangkan di kerat terakhir, yaitu “Bunga”, adalah penjelas alur kejadian-kejadian dari kisah ketiga di atas. Dalam paparan tentang Bunga inilah pembaca akan ngeh dengan perjalanan Bunga. Bermodal intuisi “ada sesuatu terjadi” dia menempuh jarak, menjelajah tempat demi tempat, mencari sang calon pendamping hidup sekaligus mencari Danau Sinabu.



Maka perihal legenda Danau Sinabu, si Danau Angkara itu, menurut saya benar-benar terasa keterkaitannya dengan prolog di awal—yang mana penghuni danau tersebut yang berbicara—baru di dua potong cerita terakhir. Alasannya, tiga tokoh yaitu Guntur, Cuwa dan Bunga sungguh bersinggungan dengan mitos Sinabu pun tentu dengan kebencian yang mengakar kuat dalam diri satu tokoh sentral di antara mereka. Ialah Cuwa yang mengidam-idamkan tuah Danau Sinabu, di mana nestapa, permintaan, harapan, kutukan dan ‘kebahagiaan’ berkumpul.



Sedangkan di dua cerita pertama, hanya menyoal kebencian saja. Tak bersinggungan di sini, dalam artian tidak ada di antara tokoh-tokohnya entah Salsa atau Ari atau Nora atau Yana yang teramat ingin mengadu ke Danau Sinabu. Sebagaimana halnya Cuwa, gadis desa lugu yang menurut saya kemudian terasuki aura negatif Sinabu. Menjadi sosok paling kelam di antara semua tokoh ANIMUS, seolah berkepribadian tak lagi tunggal.



Ditutup dengan tiga ending yang bersifat open-ending—sebab menurut saya sepertinya masih bisa dilanjut—ANIMUS yang berarti sama dengan kata ‘hate’, sukses mengaduk debur jantung dan perut saya menjadi bergejolak; mual; perih. Aih, saya harus meminta pertanggungjawaban Ajeng Maharani sang penulis kalau begini. Sebab bila ditambahkan kosa kata ‘kembung’, tidak ada hal lain selain indikasi dari maag saya yang kambuh. :)



Masih berkaitan dengan ‘cerita yang berlanjut’, membaca frasa ‘A Tetralogy Novel’ membuat saya mengira bila novel ANIMUS bertajuk Seven Days ini adalah bagian pertama dari total novel nantinya yang berjumlah empat. Saya mengartikan bebas frasa tersebut menjadi Novel Tetralogi. Persis seperti dwilogi, trilogi. Jadi di pikiran saya ANIMUS ini akan berseri.


:



Dari segi tekhnik, ANIMUS disampaikan dengan alur maju-mundur dan plot yang kompleks. Penceritaan pun dengan multi point of view alias sudut pandang. Bergantian antara sebagai orang ketiga dan orang pertama (aku). Untuk setting khususnya tempat, kesemuanya adalah murni hasil rekaan dan imajinasi penulis. Namun dari pemaparannya, seolah Pulau Maku-Maku, Tanjung Yaura, Taman Soka, hutan tempat Guntur bekerja dan lainnya mirip Pulau Sumatera atau Kalimantan. Lalu ditaburi diksi-diksi yang tak biasa, memang menjadikan novel ANIMUS ini punya khas tersendiri. Khas seorang penulisnya tentu, yang memang menyukai hal yang tidak klise, terlebih pada kosa kata. Ibu dari tiga anak ini, dari pantauan saya, memang menyenangi dan terlihat sering membiasakan karyanya ditulis dalam kosa kata bentuk padanan yang jarang digunakan orang lain. Ini satu kelebihan sekaligus kekurangan, sebab pembaca yang benar awam (bukan merupakan penulis pula) akan dibuat ‘mabuk’.



Lalu sekadar saran, saya mewanti-wanti agar pembaca yang benar-benar belum dewasa tidak dulu membaca novel ini. Setidaknya range usia pembaca yang cukup boleh adalah 20+ alias 20 tahun ke atas. Sebab di beberapa fragmen, diksi dalam narasinya saya rasakan terlampau “jujur”, semisal “menikmati”, “memakai” dan lainnya.



Satu hal lagi yang ingin saya titipkan kepada sang penulis, jikalau ANIMUS Seven Days ini hendak dilarung untuk kembali berlayar menggunakan “yacht“ di samudera lepas, kaver depan buku—bergambar permukaan danau berhias tanaman kering dan purnama—yang cenderung gelap semu kelabu ini mungkin ada baiknya diubah. Bisa dengan tetap menampilkan aksen kelam bila ingin isi novel tetap terwakilkan. Sebab bila ini saja berhasil cetak ulang apatah nanti. Semoga. Salam sukses.[]



Sleman, Dzulqodah 1436 H
30 Agustus 2015




#GA_ANIMUS


(995 kata)



Senin, 09 Maret 2015

Sekelumit Dendam di Ketinggian 3676

Sekelumit Dendam di Ketinggian 3676
Oleh: Dini Nurhayati

Judul buku : Altitude 3676, Takhta Mahameru
Penulis : Azzura Dayana
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Cetakan, Tahun Terbit : ke-1, Juli 2013
Kategori : Fiksi Dewasa (Novel)

Rumit. Jujur, saya katakan cukup rumit untuk mengupas novel ini. Masalahnya, karena sudah menyabet penghargaan karya terbaik di ajang perbukuan: Islamic Book Fair Award, Kategori Fiksi Dewasa. Maka, dengan melepaskan segala atribut dan gelarnya, pun mengesampingkan fakta bahwa tentu telah banyak resensi novel ini tersebar, saya memaksa mengulas sedikit banyak tentang Altitude 3676 dari kacamata pribadi.





Sejak membaca judulnya, saya sudah sangat curiga jika di dalam Altitude 3676 tersirat perjalanan-perjalanan; backpacking sang penulis. Saya tentu—secara tidak langsung—akan mendapati jejak traveling seorang Azzura Dayana, keliling Indonesia. Dan untuk hal ini, sedari di blog Multiply dulu telah saya ketahui memang, bila Azzura Dayana teramat sangat cinta dengan aktivitas jelajah tempat. Terlebih, yang tak biasa untuk seorang wanita. Pun karenanya saya kerap merasa iri hingga sanubari, sebab ada saja batasan untuk itu. Bahkan dalam jurnal perjalanan saja, tulisannya telah merupa seumpama kisah dalam novel. Jadi, ya, saya sudah mengenal tulisan-tulisan Azzura Dayana yang khas sejak di Multiply. Akun kami berteman kala itu, tapi tak yakin betul misal dia mengingat saya. Namun, saya terlalu melankoli untuk melupakan beberapa pertemanan kecil.

Altitude 3676 berpusat pada satu titik. Tentang seorang tokoh bernama Raja Ikhsan yang hampir tanpa diketahui sesiapa menyematkan dendam kesumat dalam dada. Soal kematian ibunya yang janggal. Dari sinilah semua berpangkal dan berujung. Dengan puncak Semeru sebagai saksinya. Ya, Ikhsan yang dikenal sebagai pendaki ulung menuju Semeru paska kematian sang ibu. Lalu di tempat yang sama, Puncak Mahameru, ia akhiri rasa itu.

Sudah begitu saja ceritanya? Ah, tentu tidak. Berlatar belakang kisah Ikhsan inilah, sedepa demi sedepa perjalanan Faras dimulai. Penyebabnya pun tak terduga. Yaitu emai-email ‘kiriman’ Ikhsan paska mereka bertemu sebanyak 3 kali dalam tahun berbeda, namun kemudian tak ada kabar hingga hampir dua tahun setelahnya. Akan tetapi di pertemuan terakhir itulah Ikhsan yang terkenal sedikit memiliki teman sebab karakternya yang congkak plus cenderung penyendiri, berkisah soal ibu dan keseluruhan cerita kelamnya berkaitan dengan keluarga si ayah. Khusunya terhadap ibu tirinya. Total ada 3 pertanyaan yang dilempar Ikhsan pada Faras. Akan tetapi Faras belum hendak menjawabnya. Termasuk pertanyaan ketiga soal dendam dan pembalasan.

Maka berbekal foto kiriman Ikhsan via e-mail Faras bertekad menemui Ikhsan untuk menjawab semua. Tiga pertanyaan? Apa saja? Saya sungguh tak berniat membeberkan di sini. Saya bocorkan satu lagi saja, selain dendam, yaitu 11 alasan mengapa Ikhsan harus sholat.

Kelamnya seorang Ikhsan rupanya betul-betul dalam. Kolaborasi dari perasaan luka, kecewa, teraniaya, kerinduan, kesepian dan cinta. Semua sukses membentuknya menjadi pribadi yang tak mau mengucapkan kata maaf dan terimakasih.

Bagaimana lengkapnya? Kali ini saya sungguh berniat untuk membuat Teman yang belum membaca penasaran. Tapi, satu bocoran lagi. Dibanding ketika saya membaca novel-novel awal Azzura Dayana, seperti Birunya Langit Cinta dan Gadis Sang Panjaga Telaga, Altitude 3676 memberikan pesona lain. Kekuatan dalam setting tempat. Alasannya, tentulah karena penulis mendatanginya, mengalami sendiri. Walau di novel lainnya pun ia sama menyambangi setting novelnya, mengeksplor dalam-dalam. Seperti di Birunya Langit Cinta yang bahkan membuat saya geram. Saya merasa kecolongan, karena Dayana mampu mengesankan satu sudut Kota Cirebon dan keratonnya, seolah dia adalah penduduk asli. Sementara sayalah yang telah menghabiskan sebagian banyak masa di sana. Benar-benar membuat ‘naik pitam’.

Altitude 3676 ini beralur maju-mundur. Dengan point of view penceritaan orang pertama, tapi dalam tutur tokoh berbeda. Berseling antara Faras, Mareta-adik seayah Ikhsan-lalu Ikhsan. Penulis membiarkan pembaca mengetahui laju kisah bak potongan puzzle ini sendiri dari tiga tokoh itu. Dan ijinkan saya menyebut, Altitude 3676 ini adalah sastra yang berpromosi keindahan Indonesia habis-habisan. Khususnya pada yang menjadi setting di sini: Borobudur, Sulawesi, Makasssar, Ranu Pane dan puncaknya adalah Mahameru. Juga tentang kapal pinisi yang tersohor. Bertaburan juga dengan kata-kata mutiara dan lirik lagu pun nasyid yang dalam makna.

Hanya sedikit luka kecil yang saya temukan. Pertama, kata “enggak” yang terselip di halaman 328. Padahal bolak-balik saya pastikan sebelumnya kata yang banyak digunakan adalah tidak atau tak. Kedua, ada di paragraf pertama halaman 367. Di sana yang tengah bertutur adalah Faras, namun menjadi janggal saat dia berkata-kata mengenai Ikhsan yang menolak harta dan jabatan dari sang ayah. Karena Faras menjadi seolah tahu segalanya. Ketiga, saya masih mencium kepingan seorang Azzura Dayana, khususnya di dua tokoh, Faras dan Ikhsan.

Terakhir, saya sangat ‘membolehkan’ sebagai kata lain dari berharap, Altitude 3676 diangkat ke layar lebar. Mengingatkan saya pada harap yang sama terhadap novel The Road to the Empire-nya Sinta Yudusia dan Tetralogi De Winst-nya Afifah Afra.

Sebagai penutup ijinkan saya berbisik, kalau kau mendapati seorang Azzura Dayana melakukan perjalanan, tanpa melupakan kamera DSLR-nya, tunggu saja. Karena setelahnya pasti ada karya manis—semanis senyumnya—yang tertuang dari goresan tintanya.[]

Sleman, 9 Maret 2015

Photo source: Google