Tampilkan postingan dengan label Lomba Resensi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lomba Resensi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 29 Desember 2015

[Resensi] Novel Bulan Nararya


 Sisi Psikis Sang Terapis







Judul Buku                  : BULAN NARARYA
Penulis                         : Sinta Yudisia
Genre                          : Fiksi Psikologi
Penerbit                       : Indiva Media Kreasi
Editor                          : Mastris Radyamas
Desain Sampul            : Andhi Rasydan & Naafi Nur Rohma
Cetakan                       : I, September 2014
Tebal                           : 256 halaman; 19 cm
ISBN                           : 978-602-1614-33-4
Harga                          : Rp. 46.000,-


Permusuhan menciptakan kesepian—juga kekuasaan. Aku merasa lebih bertahta
Meski terisolasi. Membangun dinding. Mengunci diam. (halaman 7)

Nararya yang biasa dipanggil Rara, bekerja di salah satu klinik rehabilitasi mental milik Bu Sausan di Surabaya. Sebagai salah satu terapis di bagian schizophrenia, membuatnya bersahabat dengan Yudhistira yang identik dengan tisu, semprotan disinfektan di saku baju-celana, Pak Bulan yang terobsesi dengan purnama dan Sania yang hanya mengenal kata ‘benci’.

Dengan ketiga orang itulah Nararya sangat terikat secara emosional. Akrab, menganggap mereka sebagai teman sendiri. Ketika merasa teman lainnya yang ‘normal’ tak cukup mengerti dirinya. Lara hati Nararya yang terlanjur menganga bahkan dilipur oleh keberadaan mereka. Atau barangkali lebih tepatnya, Rara yang lebih memilih bersama mereka.

Kisah dibuka dengan Rara yang diberitahu ada meeting  di klinik oleh Moza. Dari sinilah kemudian pembaca digiring pada percakapan antara Rara dan Moza yang cenderung seperti perang dingin. Ditambah ide baru Rara dalam menyembuhkan para klien dengan metode transpersonal: suatu aliran baru psikologi yang menyembuhkan penderita gangguan mental dengan pendekatan budaya, pengalaman puncak seperti Sufi, Shaman, Tao, Tantra, Zen (halaman 256), membuat Moza yang dulunya sahabat karib Rara, semakin berjarak dengannya.


Bila di klinik Rara harus bergulat dengan para klien, maka sebetulnya dia pun mesti berjibaku dengan kondisi diri plus hatinya sendiri. Rara mati-matian berpura-pura jika selepas pernikahannya dengan Angga kandas, dia baik-baik saja. Sebab nyatanya adalah kebalikannya. Wajar tentu, ketika sahabat sendiri terendus intim dengan sang (mantan) suami, setelah pernikahan menginjak usia 10 tahun.

Di ruang manapun bila dia pulang, bayang-bayang Angga masih menghantui. Pertemuan pertama dengan Angga di satu seminar, momen spesial saat Angga melamar, hingga sikapnya yang penuh perhatian. Lalu pengkhianatan itu. Terus berputar-putar di tempurung kepala Rara. Problem itulah yang agaknya menjadi pangkal konflik batin Nararya, si tokoh utama. Yang bahkan secara pribadi mengalami gangguan, semacam sulit tidur lalu terkadang ada halusinasi-halusinasi yang dialami.

Kisah selanjutnya bergulir pada usaha Nararya melakukan mediasi dengan keluarga—ibu, tiga kakak perempuan dan istri—Yudhistira (seorang pengidap schizoprenia) yang alot. Namun, dari pertemuan-pertemuan itu Nararya menemukan benang merah apa yang menjadi pemicu atau penyebab Yudhistira yang teramat menyukai melukis terkena schizophrenia.

Ketegangan hari-hari Nararya di klinik muncul saat kemudian Nararya sering merasa di depan ruang kerjanya ada sesuatu yang mengetuk-ngetuk pintu, suara gesekan kaki ke lantai dalam nada cemas, dan seseorang entah siapa di balik sana. Sisi psikis Nararya sejak itu semakin terganggu. Terlebih pada kenangan hubungannya dengan Angga yang sejatinya benar-benar tidak mampu ditepis.

Sampai … di satu hari hendak pulang, saat memberanikan membuka pintu—sebab suara-suara halus itu sampai lagi ke telinga—di depan ruangan kerja Nararya berserakan beberapa kelopak mawar yang tercerabut dari tangkainya. Juga yang paling membuatnya shok, ada tetes-tetes darah pekat berceceran di sana. Anggalah yang pertama kali ada saat Rara kalap ketakutan. Lebih-lebih ketika ditengoknya kembali lantai di depan pintu tadi, tak ada apapun di sana. Sedikitpun jejak atau bekas. Membuat semua positif beranggapan bila Nararya sang terapis juga telah terganggu psikisnya.

Nararya berusaha membuktikan apa yang terjadi dan dialaminya bukan halusinasi belaka. Bahwa itu kenyataan. Ada seseorang tampak ingin memberi isyarat. Jika Nararya sangat berarti untuknya. Namun, dengan ungkapan dan ekspresi semacam itu. Tapi, siapa kira-kira dia? Apakah Pak Bulan yang memang hobi menanam bunga mawar bahkan memiliki kebun kecil khusus di klinik? Atau Yudhistira, klien yang terkadang melambungkan angan Rara, jika hidup bersamanya dapat lebih baik dibanding dengan Angga dulu? Atau barangkali Angga, yang setelah itu Rara merasa mulai mendekatinya lagi, memberi sinyal seolah ingin kembali?

Membaca Bulan Nararya, seperti berkaca pada kehidupan. Sehebat apapun seseorang selalu ada kekurangan. Bahkan Bu Sausan sang pemilik klinik, dulunya mengalami beberapa gangguan mental termasuk baby blues ketika usia muda. Betapa kondisi psikologi seseorang juga lebih banyak dipengaruhi faktor eksternal.

Alur dan plot novel Sinta Yudisia yang satu ini, sedikit terkesan kelam. Barangkali bersebab tema psikologi yang menjadi bahasan utama. Beberapa istilah dalam ilmu psikologi yang akan pembaca temui di sini serta merta menambah wawasan. Dan kisah yang disajikan juga memberi pembelajaran, jika seseorang yang mengalami gangguan mental sejatinya dapat dibantu untuk pulih dengan tetap ada interaksi dengan anggota keluarga. Sinta Yudisia—yang memang sedang menyelesaikan studi Magister Psikologi Profesi ini—seperti hendak ‘menyindir’ secara halus. Sebab di banyak kenyataan, keluarga yang salah satu anggotanya mengalami gangguan mental, lebih memilih tak mau tahu dengan apa yang terjadi dengannya. Bagian inilah yang dikritisi. Karena sikap menolak keluarga justru memperburuk keadaan.

Bila ditilik saksama dari awal hingga akhir, tak ada klimaks yang benar-benar klimaks di novel Bulan Nararya ini. Kecuali pada plot-plot ketika Nararya ‘diteror’ dan pada aksinya yang berusaha menyibak pelaku sekaligus untuk membuktikan bila dia ‘sehat’ tanpa gangguan mental. Selebihnya, alur serasa sangat lambat dan syahdu. Bagai berada di pantai dengan embusan angin sepoi-sepoi dan helaan napas lembut. Ending pun ditutup dengan scene yang sama lembutnya. Percakapan antara Yudhistira  dengan Nararya sebelum Nararya pergi dari divisi mental yang selama ini dipegangnya.

Novel peraih "Juara III Kompetesi Menulis Tulis Nusantara 2013 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia" untuk kategori novel ini, patut duacungi jempol. Sebab riset yang dilakukan bukan sekadar pada setting tempat atau waktu, melainkan lebih dalam yaitu pada karakter-karakter manusia. Terutama pada orang dengan gangguan mental, dan ini bahkan bisa terjadi pada siapa saja, hatta seorang terapis sekalipun.

Yang menjadi nilai plus lain pada novel ini mungkin pada kalimat-kalimat nasihat (Bu Sausan) yang beberapa ditujukan pada Nararya. Tapi dapat pembaca resapi pula untuk terapi diri sendiri. Dari novel ini juga pembaca dapat belajar melihat dan memahami sesuatu hal lebih berbeda dari sebelumnya.



“Mengapa hanya matahari yang boleh terlihat di siang hari? Sesekali aku melihat bulan saat pagi dan terang.”
Melihat semesta dengan hati, berbicara dengan kulit, membaca sesuatu dengan telinga dan mencoba memahami kalimat dengan mata.

Halaman 255


***

Peresensi: Dini Nurhayati
Cirebon, 29 Desember 2015