Tampilkan postingan dengan label Aku dan Penulis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Aku dan Penulis. Tampilkan semua postingan

Minggu, 15 Maret 2015

Mengejar Afifah Afra: From Cirebon to Yogya


Sekitar 7-8 tahun lalu, siang terik …

Saya begitu terburu-buru mendatangi satu tempat yang masih bagian dari kampus. Karena lokasinya memang dekat dari rumah, meski berlomba dengan waktu, jarak ditempuh dengan berjalan kaki. Status saya saat itu adalah mahasiswi di ujung tanduk yang kurang bersahabat dengan dateline ‘menggubah’ skripsi. Satu UKM kampus tempat belajar berorganisasi—oke saya sebut saja, LDK alias Lembaga Dakwah Kampus—mengadakan seminar kepenulisan. Bersama siapa? Tebakan Anda benar. Afifah Afra.

Sambil berjalan semi lari-lari kecil, muncul tekad dalam hati. Saya harus datang. Harus bertatap wajah dengannya. Sebuah buku sudah dilesakkan pula ke dalam tas. Sebentar dikeluarkan, karena merasa aman bila buku penting itu digenggam saja. Tapi kemudian retsleting tas dibuka, buku pun kembali meluncur ke sana. Ya, ampun. Saya gugup ternyata. Tangan juga sudah sedikit basah.

Sampai di dalam gedung, setelah menulis nama di daftar kehadiran dan bersapa ria dengan beberapa teman, dengan terpaksa saya duduk di kursi bagian belakang. Baru beberapa menit alas kursi tercium, sudah harus kembali beranjak. Sesi stimulasi akan dimulai.

Setelah posisi nyaman, kepala langsung menarik-narik leher. Berkoordinasi dengan mata, mencari sosok sang penulis. Aaah, itu dia rupanya. Kalem, lembut, dengan bibir yang selalu tersenyum dan berkacamata sebagaimana saya—saat itu. Barulah kemudian tangan mengeluarkan pena dan kertas untuk mulai mengikuti pelatihan di sesi terakhir.

Alih-alih meninggikan konsentrasi, otak justru semakin tak bersinergi. Karena tengah berpikir bagaimana caranya di akhir acara nanti bisa menerobos ke depan. Berebut dengan peserta lain untuk menyabotase sesaat Afifah Afra. Menyodorkan De Winst, menodongnya menorehkan tandatangan.

Seperti yang sudah disampaikan di postingan sebelumnya, De Winst adalah novel pertama buah karya Afifah Afra yang saya punya. Jalan memiliki novel ini saya sebut cukup rumit. Kok bisa? Beginilah kisah ‘behind the scene’-nya.

Tentang seorang sahabat yang ‘memamerkan’ satu buku baru, dan membolehkan saya membacanya lebih dulu sebelum dia, bukan kebetulan semata. Saat buku masih di tangan, ada satu info lomba menulis resensi yang mampir ke mata saat membuka-buka majalah Annida. Sekarang saya pikir info itu seperti sengaja disodorkan ke hadapan. Atau entahlah. Karena salah satu pilihan judul buku yang bisa diresensi adalah De Winst. Novel yang baru beberapa hari selesai dibaca, masih fresh banget.

Maka kemudian, berhubung si empunya buku hendak membaca, saya kembalikan De Winst ini. Dan begitu muncul kesempatan ke toko buku, saya cari kembarannya. Tak susah menemukannya. Karena memang buku baru terbit pula meroket menjadi best seller.

Langkah berikutnya adalah ke warung internet, browsing. Mencari tahu selengkap-lengkapnya soal resensi dan meresensi—yang masih asing bagi saya—buku khususnya. De Winst pun dibaca ulang, sekali lalu sekali lagi. Terakhir sembari mencatat poin-poin penting, hasil pikiran yang timbul ketika membaca.

Rampung ditulis, jadilah resensi paling pertama dalam hidup. Lalu dengan berdebar dikirimkan dengan tujuan ikut serta lomba tadi. Dan di majalah Annida juga, berhari kemudian, saya temukan nama yang tak asing. Tercetak di posisi paling bawah pengumuman hasil lomba menulis resensi. Dengan yakin itu adalah nama diri ini. Karena Kota Cirebon tersebut di belakangnya. Menyerta juga judul resensi “De Winst: Kisah Cinta Berbalut Ideologi”.

Amat sesuai dengan incaran. Incaran kok cuma harapan? Karena saya tahu betul kemampuan menulis yang benar-benar bau kencur saat itu. Tatkala melingkari target pun seperti pungguk merindukan bulan. Jadi pas berhasil, bangganya bukan main. Harapan III aja bangga? Ah, bukan soal harapan III, tapi satu kata di depannya—“Juara”—yang jadi penyemangat kala itu. Bahwa saya pun adalah pemenang. Termasuk ‘Sang Juara’. Terlebih, mengingat ini adalah tulisan perdana.

Saking senangnya, saya sms Wahyu Anggraeni, yang meminjamkan buku tadi. Emoticon senyum dan kartun jejingkrakan bawaan si HP kala itu meramaikan isi sms. (Jadi keingetan sama si White nih.) Membaca lebih dulu novel sebelum tahu info lomba resensinya, sangat mujarab ternyata. Penghayatan yang sudah didapat, memudahkan menuangkan rasa-rasa yang timbul ke bentuk tulisan.

To be continue …


*Afifah Afra: Pengejaran, Kenangan dan Angan-angan*