Tampilkan postingan dengan label lomba. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label lomba. Tampilkan semua postingan

Minggu, 20 Desember 2015

[Resensi] Novel Pulang: Kapan Pulang Dilayar-lebarkan?



Kapan Pulang Dilayar-lebarkan?






Judul buku      : PULANG
Penulis             : Tere Liye
Penerbit           : Republika Penerbit
Cetakan           : VIII, November 2015
Tebal                : iv + 400 halaman
ISBN                 : 978-602-082-212-9



“... Sungguh, besok lusa kau akan pulang. Jika tidak ke pangkuan Mamak, kau akan pulang pada hakikat sejati yang ada di dalam dirimu. Pulang ....”
(hal. 24)


            Usai  membasmi kawanan babi hutan di rimba Sumatera, Bujang ikut serta dengan rombongan pemburu, ke Kota Provinsi. Sesuatu yang ternyata telah dijanjikan oleh Samad, bapaknya, belasan tahun lalu. Bujang sendiri memang menginginkan itu. Pergi dari talang, kampung halamannya. Pergi menjauh dari bapaknya sendiri—yang diam-diam dia benci.

Dengan serentetan pesan itulah, Bujang diijinkan Mamak pergi. Mamak juga berkali-kali menekankan pada putra semata wayangnya tersebut, agar Bujang tidak sekalipun, tidak sedikitpun, mengisi perutnya dengan sesuatu yang haram—makanan pun minuman. Alasan terbesarnya adalah supaya kelak, bila masa itu tiba, jiwa Bujang dapat terpanggil pulang, setelah apapun yang dia lakukan, setelah apapun yang dialaminya. Mamaknya sungguh sudah paham kehidupan macam apa yang akan dijalani Bujang. Itulah mengapa, di menit-menit terakhir kebersamaan mereka,  Mamak terus membuatnya berjanji dan meyakinkan diri agar itu dipegang teguh Bujang. Agar setidaknya ada ‘kebaikan’ dalam tubuh anaknya.

Maka, jadilah Bujang si Babi Hutan diangkat anak oleh Tauke Besar, pemimpin rombongan pemburu sekaligus Keluarga Tong. Salah satu keluarga yang menjalankan shadow economy. Dan termasuk yang berperan penting, di balik semua situasi politik negeri. Di Kota Provinsi, Bujang rupanya disekolahkan oleh Tauke Besar, bahkan tidak dibiarkan terluka. Hal yang mulanya tidak disukai Bujang. Karena dia menginginkan beraksi seperti anggota Keluarga Tong lainnya. Menjadi tukang pukul, sebagaimana keinginannya.

Bujang, anak talang di lereng Bukit Barisan Sumatera, berusia 15 tahun, tak pernah sekolah, ternyata anak cerdas. Maka dengan mudah dia dapat menyusul ketinggalan tiga masa pembelajaran. Melewati SD, SMP dan SMA. Bahkan, kemudian dia juga dapat dengan lancar melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Hingga mampu menyelesaikan dua master di universitas luar negeri. Sembari belajar, Bujang Si babi Hutan pun bergantian berlatih berlari bersama Kopong, ilmu ninja pada Guru Bushi dan menembak pada Salonga.

Semua berjalan seiring meningkatnya bisnis dunia hitam Keluarga Tong plus perubahan status keluarga tersebut yang semakin besar. Dari Kota Provinsi, Bujang dan seluruh anggota Keluarga Tong pun pindah ke Ibu Kota. Dari sinilah, alur cerita bergulir dan konflik mulai muncul. Suatu hari, Mamak Bujang dikabarkan wafat melalui sepucuk surat yang dikirim Bapak. Lalu menyusul dengan kematian bapak. Gesekan dengan Keluarga Lin—kelompok penguasa bisnis dunia hitam atau shadow economy di Makau. Sampai puncaknya yaitu, pengkhianatan dalam Keluarga Tong sendiri, oleh seseorang yang tak pernah disangka Bujang. Di saat terjadi konflik tersebut, Tauke Besar yang memang sudah tua (70 tahun) dan sakit-sakitan akhirnya meninggal. Dengan begitu, tiga lapis tameng ketakutan yang Bujang akui sebagai kekuatannya, roboh. Memunculkan kembali rasa takut yang hilang 20 tahun silam usai dia mengalahkan babi hutan terbesar di rimba Sumatera. Yang mengherankan Bujang, momen kematian tiga orang terpentingnya kerap berbarengan dengan kumandang adzan Shubuh. Menyebabkan dia bertambah benci pada panggilan salat itu.

Membaca novel Pulang, mengingatkan pada “Negeri Para bedebah” (yang belum saya baca lalu mengira-terka isinya seperti ini kurang lebih), khususnya di bagian tentang shadow economy. Penceritaan soal bagaimana di hampir semua elemen penting negara, kekuasaan dunia hitam, konspirasi dan seputar itu memegang peranan, membuat saya bertanya-tanya sekaligus merasa ngeri. Dan meski tidak persis seperti dalam cerita, saya memercayai beberapa hal itu memang terjadi, entah di bagian mana.

Disampaikan dengan alur maju mundur, membuat novel ini menarik untuk diikuti. Tere Liye bisa dibilang piawai dalam menutup tiap chapter dengan mengundang penasaran di benak pembaca. Alhasil, novel setebal kurang lebih 400 halaman ini, asik dibuka lembar demi lembar. Apalagi dengan bumbu action ala film Holywood, gabungan antara film mafia, James Bond dan ninja. Dengan alur yang bertahap menjadi seru, mampu mengobati rasa bosan di bab-bab awal yang hampir membuat saya mengira tone novel ini akan selambat “Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin”. Well, untung saja tidak.

Ada beberapa catatan saya dapatkan usai membaca novel Pulang karya Tere Liye ini. Penggambaran tokoh Bujang minim. Dari segi ciri khas fisik. Hanya disebutkan secara umum saja, semula remaja (talang) yang terbiasa tanpa alas kaki menjelma pria dewasa yang gagah, kuat, tak terkalahkan meski tidak tinggi besar. Ditambah selanjutnya cerdas, jenius bahkan, menjadi sesuatu yang dipaksakan demi ketersambungan kisah dan takdir sosok Bujang di sini. Mungkin bukan satu hal krusial, hanya mengingat ini kelas novel, sepertinya ada cukup ruang untuk mengidentifikasi tokoh Bujang.

Setting khusus yang menyebut talang, Bukit Barisan dan rimba Sumatera kurang tereksplor. Lain soal dengan setting seperti Kota Provinsi dan Ibu Kota yang dalam penyebutannya tidak spesifik. Tapi cukup memberi kesimpulan pada pembaca.

Berikutnya, mungkin ini lebih tepat sebagai koreksi terhadap penyunting. Ada kesalah ketikan pada nama Parwez di halaman 71. Di sana tertulis ‘Pawez’.

Terakhir, dan ini yang paling penting dan kurang logis menurut saya, plus mengurangi ‘bintang’. Yaitu pada narasi di halaman 349 hingga halaman 351. Sejak cerita dimulai, saya yakin betul kalau sudut pandang penceritaan di novel Pulang ini menggunakan sudut pandang orang pertama (PoV 1), Bujang sendiri. Namun di beberapa halaman awal ditemui dua-tiga paragraf yang menunjukkan seolah Bujang tahu segalanya. Khusus di tiga halaman yang saya sebut di atas, keganjilan itu amat terasa. Pada adegan di mana Bujang menelepon White.

Masih mengenakan celemek, White mendekat santai, lantas menerima gagang telepon. (hal. 349)

“Kau harus pergi berperang White!” Frans yang menjawabnya dengan suara masih bergetar dari atas kursi dorong, .... (hal. 350)

Aku memutus sambungan telepon. White meletakkan gagang telepon, dia berteriak memanggil koki dan pelayan restorannya, bilang dia harus segera pergi. (hal. 351)

Bagaimana mungkin Bujang bisa tahu White mendekat meraih gagang telepon dalam keadaan masih memakai celemek, atau Frans si Amerika—ayah White duduk di kursi dorong?  Sebutlah Bujang sudah hapal dengan tempat (restoran) di mana White dan Frans berada, tetap saja itu terasa ‘berlebihan’. Mengingat prinsip penggunaan PoV-1 yang—sepengetahuan saya—terbatas. Tidak segala hal dapat dipaparkan, hanya ketika seluruh panca indera si orang pertama tersebut terlibat. Atau, ini teknik lain? Bila iya dan bisa begitu, agaknya saya ingin ngelmu pada Tere Liye tentang ini.

Satu hal kecil lain, soal “samurai sejati”. Tampak terlalu cepat dan mudah diraih Bujang. Sedangkan sebelumnya kondisi Si Babi Hutan itu terancam, tak berdaya lalu setelah hampir terkena khanjar si pengkhianat, dia terdiam lama. Dan, tiba-tiba ... dia mengerti semua, dia temukan jawaban dari semua pertanyaannya, dia mendapatkan kunci utama ilmu tertinggi dalam samurai. Lebih-lebih pada ucapan Bujang: Aku telah menjadi samurai sejati. Malam ini. (hal. 389). Seketika hati saya berkomentar, ya, ampun, Mak ... sombongnya Bujang ini.

Dari semua pendapat saya tadi, secara keseluruhan novel ini bagus. Bahkan di bagian sampul belakang, di bawah barcode, tertulis ‘Penunjang Kepustakaan Umum’.

Catatan lain, sesudah novel The Road to the Empire karya Sinta Yudisia dulu yang dari kacamata saya begitu filmis dan terbayang-bayang serunya bila berbentuk movie, barangkali novel Pulang ini adalah yang berikutnya, yang termasuk saya setujui pula kalau hendak dilayar-lebarkan. Empat bintang untuk Pulang! Salam sukses! J



Peresensi: Dini Nurhayati, Sleman – D.I.Y

Jumat, 31 Juli 2015

Lebaran Kedua Tahun Itu

Lebaran Kedua Tahun Itu
Oleh: Dinu Chan


Kullu nafsin dzaaiqotul mauut. Kalimat ini pasti sudah kita hapal betul. Bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mengalami kematian. Meninggalkan semua kefanaan hidup di dunia, menjemput keabadian yang lebih hakiki yaitu di akhirat. Terkadang ketika tema ini dibicarakan, semua seolah mimpi atau omong kosong saja. Tapi saat kabar kematian yang disiarkan dekat dengan kita, kesadaran otak kembali tertampar diingatkan. Menghembuskan nafas yang terakhir adalah sebuah keniscayaan.


Dan rasa tak percaya itupun hadir dalam kehidupanku. Sebelumnya tak pernah kualami kehilangan dalam keluargaku. Lebaran kala itu, kami sekeluarga sengaja pulang kampung lebih awal, toh hari sekolah sudah libur. Tak ada pula urusan-urusan yang dapat menahan orangtua kami lebih lama di kota perantauan.


Memang manusia tak pernah akan tahu kapan malaikat maut mengintip. Entah pada orang terdekat yang dicintainya atau terhadap dirinya sendiri. Tapi masa itu, ada rasa puas dalam hati masing-masing kami saat dapat benar-benar menghabiskan libur lebaran di kampung tercinta Desa Cijulang di Ciamis sana. Khususnya orangtua, yang dapat menemani, mengukir hari-hari indah bersama Kakek-Nenek lebih lama dari lebaran tahun lalu.


Pada hari Lebaran kedua atau tanggal 2 Syawal, puas berkeliling bersilaturahmi pada sanak famili yang tersebar di satu desa dan lainnya, sebagian kami memilih beristirahat sembari menanti adzan Dhuhur berkumandang. Sedangkan yang anak-anak memilih berbaring di atas lantai beralas tikar untuk menonton televisi atau santai-santai kembali menyantap kue lebaran yang masih ada.


Di belakang, suara timba yang dikerek sebentar-sebentar terdengar. Kakek tengah mencuci baju. Katanya besok dia harus kembali ke Kota Bandung ke kantor lamanya di POS&Giro kala itu disebut. Dia bermaksud menyiapkan semua untuk perjalanan besok. Dia paham seisi rumah pasti lelah, sehingga baju-bajunya yang hendak dibawa esok ia cuci sendiri. Aku masih melihat Kakek setelah Dhuhur, duduk di kursi favoritnya yaitu yang paling dekat dengan pintu. Menyaksikan cucu-cucu di depannya yang tengah asyik di depan televisi. Sekali-kali aroma balsam menguar tercium. Kakek oleskan ke bagian tubuhnya yang barangkali terasa pegal. Sampai kemudian tinggal aku dan adik perempuanku yang masih balita tersisa di ruangan itu. Kakek melambaikan tangannya, memberi kode untuk menghampiri. Aku mendekat. Rupanya dia meminta bantuan untuk memilinkan kertas berisi tembakau di atasnya. Rampung membentuk silinder kecil, Kakek raih untuk kemudian dinyalakannya ke dekat api lalu dihisapnya.


“Aki mah ngaroko wae sih? Kakek ko merokok saja sih?” Cuma itu yang dapat kukatakan pada sosok yang kerap membelikanku oleh-oleh berupa kaset lagu anak-anak setiap kali ia kembali dari Bandung. Sudah dituliskannya di sisi kaset nama lengkapku dengan huruf kapital: DINI NURHAYATI. Membuatku merasa hadiah kakek hanya untukku saja.


Dia hanya terdiam. Selanjutnya tiba-tiba dia rentangkan kedua tangannya ke arah adik perempuan yang sedari tadi memperhatikan terus, mengajaknya dalam pangkuan. Tapi adik menggeleng. Tangan kakek turun menyerah. Ia masuk kamar untuk beristirahat. Sementara nenek sudah lebih dulu merebahkan tubuh lelahnya di sana.


Menjelang maghrib, Uwa ketuk pintu kamar Kakek-Nenek. Hendak membangunkan Kakek karena ada tamu. Tapi Kakek terlelap. Sang tamu pun meminta agar Kakek tak usah dibangunkan, khawatir mengganggu, biar mereka pulang. Lain kali saja datang kembali. Selesai adzan Maghrib, Uwa masuk ke kamar, lagi-lagi tujuannya untuk membangunkan Kakek, waktunya sholat Maghrib.

“Apa gugah … bangun Pak ….”

Berkali-kali kata itu Uwa lontarkan sembari menggoyang tubuh kakek perlahan. Tapi Kakek masih bergeming. Kedua tangannya sudah saling bertumpuk di atas dada. Kemudian kulitnya diraba dan menghantarkan dingin luar biasa. Seketika itu orangtua-orangtua kami sadar Bapaknya telah tiada. Tidur lelap itu untuk selamanya. Maka putra-putra Kakek yang masih berada di Masjid dipanggil segera, diberitahukan kabar itu. Cucu-cucu Kakek yang masih kecil hanya dapat memasang wajah bingung melihat hilir mudik. Aku sendiri sudah bisa meneteskan air mata. Saat keramaian itu terdengar, aku tengah menyelesaikan rokaat terakhir sholat Maghrib. Doa selesai sholat pun terlantun khusus untuk almarhum. Saat Uwa mengambil jemuran di luar baru diketahui, Kakek tadi tak hanya mencuci bajunya saja, tapi juga baju semua anak-cucunya. Perasaan yang membuncah di dada kami pun semakin menjadi, diringi doa dan lantunan ayat Quran.[]


"Exchange, Publisihing Your Idea"






Note: Cerpen pernah masuk ke dalam buku antologi, terbitan Pena Indis Publishing dengan Judul Ada Baju Kami yang Kakek Cuci

Selasa, 07 April 2015

Flash Fiction: Potret Keluarga

Potret Keluarga
Oleh: Dini Nurhayati






Pernah ada kehangatan di rumah ini. Setidaknya itu yang berhasil tetangkap rasa hati, tatkala netra melekat pada satu bingkai besar di ruang tengah. Empat anggota keluarga kecil dengan bibir melengkung sempurna.


Di depan si ayah, berdiri si anak gadis. Sedangkan di depan ibu, berdiri si anak lelaki berpipi gembil. Saling memeluk.


“Apa tidak sebaiknya foto itu diturunkan saja, Ma?”

Pa mendekat, menjejeri.

“Hmm, kalau sementara seperti itu dulu, tidak apa-apa, kan, Pa?”

“Sudah sebulan rumah ini menjadi milik kita …,”

“Aku senang melihat raut-raut tulus itu. Meski di hati, sesak pun menyelinap.” Pa mengusap punggungku. “Konon, pernikahan mereka sudah melewati usia perak, sebelum kemudian karam ….”

“Semoga anak gadisnya mengambil ini dalam waktu dekat. Sayang juga bila harus berakhir di tong sampah …,”


“Hm,” anggukku, hening sejenak, “Pa …?”


“Ya …,”


“Kita tak usah memajang foto keluarga, ya?”


“Kau yakin, Ma? Kalau nanti ada anak-anak yang hadir, bagaimana? Tentu kau mau juga ada potret keluarga, bukan?”



“Sepertinya tidak.”[]



End


Sleman, 7 April 2015



____________________

Flashfiction ini diikutsertakan dalam Tantangan Menulis Flash Fiction - Tentang Kita Blog Tour

http://www.redcarra.com/tantangan-menulis-ff-tentang-kita-blog-tour/?utm_source=dlvr.it&utm_medium=facebook


Sumber gambar: Google