Tampilkan postingan dengan label Masa Kecil Masa Penuh Warna. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Masa Kecil Masa Penuh Warna. Tampilkan semua postingan

Rabu, 21 Oktober 2015

The Childhood of The Ririwit One


“Ririwit.”


Satu kata itu hampir selalu terucapkan bibir mereka bila saya sekeluarga mudik ke Cijulang, satu desa di Kabupaten Ciamis sana. Biasanya, kalau berkumpul, terutama kala Lebaran, ada saja kisah-kisah masa lalu yang saling berebut diluncurkan. Dan saya mendekati bosan mendengarnya. Karena lebih dari satu kerabat yang bila bertemu, langsung teringat ke masa kecil diri ini yang langganan sakit. Tepat! Ririwit itu istilah kami ‘urang Sunda’ untuk menyebut seseorang yang kerap terkena sakit (saat kecil). Mendengar ada beberapa dari sanak saudara menyebutkan hal itu, agaknya tidak bisa tidak saya harus percaya bila itu fakta.


Kalau mudik dulu konvoi pakai motor.
Saya, itu tuh yang paling manis kayak cokelat.



Konon sejak bayi berusia sekian bulan, saya sudah sering terkena sakit ini, itu, anu. Kalau dari cerita para tetua—lagi-lagi berdasarkan kesaksian mereka—one kind of deseases (enggak tega sebut penyakit) yang selalu hinggap di sekujur tubuh “The Ririwit One” ini, terutama bagian tangan-kaki, adalah koreng.


Saya alergi tingkat tinggi terhadap makanan berprotein tinggi, semisal ikan laut. Waaah, kalau pas daya tahan tubuh yang memang tidak seberapa ini merosot, sekali saja makan, bulir-bulir kuning kehijauan akan dengan cepat menghiasi epidermis. Sementara dari segi usia, si Dini masih balita. Alhasil yang ada, bersebab rasa nyat-nyit-nyut, Dini kecil rewel bukan kepalang. Nangis melulu. (Hiks, membayangkannya lagi saja memilukan.)


Digendong salah seorang bibi pas sakit.
Umur berapa tahun ya, ini?


Alergi terhadap protein menyebabkan para orangtua mau tak mau mesti bersabar tidak memberi saya makanan yang masuk kategori alergen tersebut, khusus saya saja. Padahal kan itu makanan bergizi. Tak heran tubuh si Dini melulu kecil, kurus.


Saking seringnya kena, dan obat dokter hanya berkala menyembuhkan, orang tua, uwa, bibi dan lainnya sampai-sampai harus mengikuti saran mengobati saya dengan mengonsumsi “fried snake”, pepes kadal dan semisal itu. (Pantas saja kalau sekarang tiap saya melintas ke semak-semak pas ada kadalnya, si dia langsung kabur atau enggak heran kalau sekarang lihat ekor kadal bergoyang saya exciting banget. He, ini asli hiperbola).


Hihi



Sekian tahun berikutnya, kami pindah dari Cijulang ke Cirebon (sebab SK tugas orangtua). Masih gegara satu alergi ini (ada alergi lain lagi), saat usia menjelang 5 tahun dan hendak didaftarkan ibu masuk ke Taman Kanak-kanak, si koreng kambuh lagi. Parahnya lebih-lebih dari biasanya, yang cuma menghias tangan-kaki. Kali itu dari kepala hingga kaki. Rambut galing pun terpaksa dibabat, karena nanahnya menyebabkan rambut lengket dan bau amis. Maksud dicukur juga untuk memudahkan mengobati kulit kepala.


Demi mempercepat proses kesembuhan, ibu melakukan saran beberapa tetangga, walau cara itu menyesakkan. Sobat mau tahu apa itu? Menutupi luka bernanah di kepala dengan abu rokok yang ‘fresh graduate’. Maksudnya abu rokok yang benar-benar baru dari hisapan rokok. Jadilah ibu seorang ‘perokok’ dadakan.


Ketika beberapa teman ramai berangkat sekolah, kepala saya masih sibuk ditutuli abu rokok oleh ibu. Rasanya bagaimana? Panas tentu.


Alhamdulillah. Sekarang kurang lebih begini.
Ini foto 5 tahun lalu, tapi saya selalu 'langsing' memang :D



Begitu sembuh, ibu ‘balas dendam’. Dia rajin mengolesi kulit kepala saya dengan santan dan jeruk nipis. Rambut galing yang terbabat pun bermunculan lagi. Bahkan, walaupun kemudian rambut saya tumbuh ikal, lebat dan hitam, ibu masih terus melakukan treatment tersebut.


Itulah sekelumit kisah masa kecil saya yang aslinya kompleks, hehe. Mudah-mudahan sih, tidak akan ada pengambuhan lagi. Aamiin.[]




Sleman, 8 Muharam 1437 H || 21 Oktober 2015