Selasa, 28 Maret 2017

Tentang Sesuatu di Rahimku


Sunatullah, dan memang seperti inilah kita sebagai manusia. Masih kanak ingin cepat menjadi orang dewasa. Saat lajang berharap segera ada yang meminang. Lalu apa yang dinanti-nanti setelah menikah; memiliki pasangan hidup? Tentu kehadiran sang buah hati. Namun, untukku perihal satu ini agaknya ada sedikit ujian dari Sang Maha.

Aku adalah anak pertama, sangat wajar bila orangtua manaruh harap dan menunggu-nunggu kehadiran cucu. Terutama ibu, apalagi dengan kondisi di mana teman-temannya telah menimang cucu beberapa. Itu menjadi suatu rasa yang sulit diungkap. Sementara suami berposisi sebagai bungsu dan satu-satunya anak lelaki dalam keluarganya. Keluarganya? Tentu sama menanti dan bisa jadi lebih dari itu, meskipun sudah ada cucu yang hadir lebih dulu. Pandangan tentang cucu dari anak lelaki selalu ditunggu sepertinya masih berlaku.

Kami sendiri pun bukan tanpa ikhtiar agar dikaruniai buah hati. Sampai-sampai, suami yang bekerja di atas kapal pesiar asing berani mengambil keputusan besar. Dia akhirnya memilih keluar dari tempatnya bekerja. Pulang untuk seterusnya ke Indonesia. Ada pendapat; bisa jadi kami belum kunjung dikaruniai titipan berupa anak sebab jarang bertemu, kerap terpisah ribuan kilometer dan dalam masa yang tidak sebentar. Untuk itulah dia mengalah. Banting setir, beralih berwiraswasta, membuka usaha sendiri: kios herbal. Tahun itu, usaha tersebut memang tengah naik daun. Maka, tak ada salahnya kami mencoba. Sementara aku tetap melanjutkan menjadi pegawai negeri di sebuah intansi kepemerintahan.

Setahun dua tahun, kondisi masih tetap sama. Hingga pertanyaan demi pertanyaan mulai memampiri benak. Ada di mana masalah bersarang? Siapa? Apa ada sesuatu dengan rahimku? Demi menemukan jawab, kami pun mulai berkonsultasi dengan dokter kandungan. Memeriksakan ini-itu. Seputar kesuburan dan semacamnya. Hasillnya? Secara umum kami baik-baik saja. Tidak ada masalah yang perlu dikhawatirkan soal itu. Baiklah… barangkali kaitannya memang hanya soal waktu yang tepat. Namun, aku dan suami sepakat tetap menjadwalkan pertemuan dengan dokter kandungan.

Di antara usaha yang belum terlihat hasilnya, berbagai nasihat keagamaan berdatangan. Aku simak sedemikian rupa, membuka hati dan pikiran agar sampai dengan baik. Tentang memperbanyak istighfar, perkuat doa, sering bersedekah dan sebagainya. Kami bahkan praktikkan semua hal itu. Selagi itu baik, kami tidak ragu mencoba. Barangkali dengan menyeimbangkan ikhtiar dari dua dimensi akan berbuah hasil.

Dan…, iya hari itu tiba! Ketika ‘datang bulan’ meleset jauh dari jadwalnya. Ketika testpack—benda paling fenomenal usai menikah—membentuk dua garis merah. Dalam hati, aku jingkrak-jingkrak merasakan kegembiraan. Kegembiraan dari sebuah penantian yang sama terpancar juga dari wajah suamiku, si calon ayah. Ada semangat baru muncul, mengiringi hari-hariku bekerja. Ada alasan menyenangkan untuk melalui setiap detik dengan ceria. Aku akhirnya akan menjadi seorang ibu, sebagaimana para wanita lain. Dan morning sickness, ahh begini rupanya sekumpulan rasa itu. Aku teramat “exciting”. Sampai kemudian menjelang usia kehamilan 8 minggu, ada tugas yang mengharuskanku bepergian ke kota lain.

Aku kelelahan pulang dari sana. Kecapaian sangat yang kemudian menyebabkan pendarahan. Sedikit, kupikir tidak terlalu bahaya. Tapi sekian menit kemudian, darah semakin menderas lalu… disusul segumpalan yang rasanya bagai terjatuh begitu saja dari perutku. Meluncur turun, menyusul kepingan darah sebelumnya. Bayiku? Itu calon bayiku!

Segera menuju rumah sakit, itu yang ada di kepala suami. Lalu, meski pedih dan semakin pedih begitu yang disangkakan benar terjadi, aku mesti menjalani rawat inap. Rahimku dibersihkan. Entah, apa harus merasa lega atau apa, sebab kejadian itu meluruhkan sekaligus segumpal janinku. Sehingga tidak perlu banyak tindakan untuk rahim ini, hanya pembersihan sisa-sisa yang masih menempel di dinding rahim. Sungguh, tetap saja itu membuatku sakit. Dan kemudian pasrah adalah satu-satunya yang mesti kulakukan terhadap musibah ini.

Saat itu, ada saja ucapan yang mampir ke telinga.

“Kalau sudah keguguran, biasanya nanti cepat hamil lagi.”

Entah itu mitos atau hanya sekadar kalimat untuk menghibur. Aku hanya mengaminkan lirih dalam lelah akibat menangis dan sakit. Aku diminta agar bed-rest total saat itu.

Barangkali Allah memang hendak menguji kesabaranku dan suami. Barangkali inilah karunia-Nya yang sempurna dan terindah. Barangkali inilah keajaiban. Benar, sekian bulan paska sesuatu dalam rahimku meluruh, aku dinyatakan positif. Ada calon janin lagi dalam rahimku. Dan, belajar dari kejadian sebelumnya, aku diperintahkan bed-rest total, lagi, oleh dokter. Aku benar-benar tidak diperkenankan mengerjakan banyak hal. Kandunganku rapuh, dan itu mesti dikuatkan, dan aku dalam masa-masa rawan tersebut tidak boleh bekerja sampai kandunganku sudah cukup kuat untuk kubawa serta. Suami pun menjadi ekstra hati-hati. Iya, setelah apa yang terjadi ditambah uraian ini-itu dari dokter, tak ada alasan untuk membantahnya. Termasuk obat-obat yang mesti kuminum, yang bahkan menyimpannya saja ada perlakuan khusus; harus dalam lemari pendingin. Apapun, ikhtiar demi keselamatan kami; aku dan calon bayiku.

Empat tahun, masa penantian itu. Dan, barangkali masih ada yang lebih lama dari kami dalam menanti kehadiran buah hati. Tetap saja itu adalah kumpulan jutaan detik, di mana aku sering terbayang tangan mungil yang meraih-raih wajahku, yang kudekap dan jaga meski harus bertaruh nyawa. Dan kini, empat tahun dari hari itu… sesuatu di rahimku telah bertumbuh, berkembang. Alhamdulillah atas segala sesuatu, untuk semua nikmat yang Maha Pengasih turunkan. Segala hal adalah atas kehendak-Nya. Dan apapun bentuknya, entah sedih entah senang, manusia tetap harus berprasangka baik terhadap rencana-Nya.[]


*Berdasar kisah yang dialami kerabat dekat. Ditulis dengan seijinnya. Untuk berpartisipasi dalam #GADianOnasis di sini