Tampilkan postingan dengan label Speech Delay. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Speech Delay. Tampilkan semua postingan

Selasa, 13 Oktober 2015

Tentang Percaya Diri, Selective Mutism dan Speech Delay


Anak adalah anugerah tak terkira bagi manusia setelah dia menikah. Sebagaimana runutan keinginan yang duniawi setelah status dewasa disandang: lulus kuliah, bekerja, menikah, lalu memiliki anak. Sampai di sini pun keinginan-keinginan itu tetap berlanjut. Bukan sekadar kehadiran anak yang membuat hati puas, tentu bila anak itu kemudian tumbuh sehat, lincah, lucu, ceria, menggemaskan, pintar dan seabreg lainnya seputar itu. Dunia terasa sempurna betul sepertinya.


Namun, bagaimana bila kemudian anak yang notabene selain rezeki juga adalah titipan dari Sang Maha Pencipta, hanya beberapa atau bahkan mungkin tidak sama sekali berpredikat hal-hal tadi? Sedih. Tentu ini yang paling umum dan pasti terasa. Seperti yang saya alami. Dan semoga tulisan ini bukan berujung pada sekadar “curhatan memelas”. Melainkan ada manfaat yang dapat diambil. Tentang membersamai tumbuh kembang anak dengan kebutuhan yang lebih spesial dibanding anak sebaya lainnya.


Pada anak dengan kebutuhan khusus, banyak hal yang mesti ditelateni. Sebelum memasuki bahasan tentang bagaimana mengembangkan rasa percaya diri si anak, bagaimana dia mau bersentuhan dengan dunia luar di luar diri dan keluarganya adalah hal krusial. Sebab takkan mempan semua saran itu bila lingkungan awal si anak tidak dahulu dikondisikan. Dalam hal ini maksudnya adalah ada tahapan yang berbeda dan bisa jadi membutuhkan waktu tak singkat untuk semua itu.


Bila pada anak kebanyakan (tanpa kebutuhan khusus tertentu) segala proses membujuk itu ada kalanya susah, maka pada anak-anak ini kesulitan proses membujuk bisa berkali lipat. Sesuai kondisi masing-masing anak (meski tak dipungkiri, bahkan terhadap anak kebanyakan pun cara untuk membuat dia percaya diri tidak pula mudah).


Dan untuk membatasi bahasan, ‘kebutuhan khusus’ yang akan dicoba dikupas di sini (sesuai pengalaman penulis) adalah speech delay dan selective mutism. Untuk speech delay, sudah awam diketahui yaitu terlambat bicara; tahap belajar berbicara yang lebih lambat dari anak secara umum. Kedua, barangkali membaca kata mutism, pembaca akan langsung teringat pada kata ‘autism’. Saya kurang paham apa kaitannya tersebab belum banyak ‘research’, tapi dari kedekatan istilah dan sifat yang disandang anak, memang ada hubungan. Entah apakah ‘selective mutism’ ini merupakan cabang atau berdiri sendiri.


Untuk memperjelas bagi yang belum paham keterkaitan itu, saya coba paparkan bagaimanakah anak dengan kategori ‘selective mutism’ ini. Sekali lagi tentu di sini entah banyak atau sedikit, akan ada perbedaan, sesuai dengan pengalaman masing-masing orangtua. Makna sederhana dari selective mutism sendiri yaitu kondisi anak yang teramat pemalu, menarik diri dari ingar bingar kehidupan sosial. Kesulitan untuk menerima orang lain—selain orangtuanya—untuk dijadikan teman.


Saat sedikit lebih berkembang, yaitu kondisi anak mulai belajar menerima orang lain terkhusus sesama anak sebagai teman, dia tidak serta merta bersedia berteman dengan semuanya. Tapi sensor tak kasat mata si anak itu, akan menyeleksinya. Saya senang menggunakan istilah “chemistry”. Bukan tanpa alasan, sebab si anak memang dengan sendirinya, akan ‘nyambung’ dengan karakter anak yang setipe dengannya. Atau bisa jadi tidak setipe, tapi sensornya menangkap rasa nyaman-aman bersama sosok lain tersebut. Walau belum survey menggunakan pola statistik yang serius dan resmi, saya mengira-ngira bila anak berkondisi ini, agaknya umumnya memiliki karakter yang lebih pendiam dibanding anak pendiam ‘normal’. Kita mungkin bisa menyebut istilah lain dari chemistry tadi dengan ‘insting’, ya naluri. Naluri anak yang perlu memastikan jika teman barunya nyaman dan aman untuk dijadikan teman, akan bekerja. Sehingga bila anak kondisi ini bertemu anak yang kurang ‘menerima-mengakui’ kehadirannya yang tidak mencolok, sulit untuk cocok. Sebaliknya terhadap anak yang cocok chemistry-nya, dia sulit untuk lepas bahkan akhirnya cenderung possessive.





Ada beberapa hal pada ‘autism’ yang terdapat pada‘selective mutism’ juga speech delay yang terdeteksi (lalu dicocokkan dengan berbagai sumber jurnal yang membahas ‘keunikan’ ini) dari anak saya:

1. Sensitif terhadap bau. Atau menginderai semua benda yang baru ditemui dengan membauinya; dengan menempelkannya di hidung. Di masyarakat, anak/orang yang senang menempelkan sesuatu ke hidung kerap diolok mirip kucing. Bila ini terjadi pada si normal, mungkin kita yang menyinggung kebiasaannya ini tak terlalu berefek. Berbeda bila yang mengalami adalah si anak khusus. Mungkin kita merasa kata-kata kita biasa. Tapi meskipun daya tangkap anak terbatas dan atau usianya bisa jadi belum genap dua tahun, dia bisa paham dan menyadari apabila dia disinggung. Dan hal tersebut akan membuat perasaan/hati anak terluka.


2. Sensitif terhadap suara. Si anak tidak sanggup untuk mendengar suara dengan intonasi tinggi, keras. Reaksinya bila mendengar suara keras di luar ‘batas suara keras’ bagi pribadinya, dia akan reflek menutupkan tangan rapat-rapat ke telinga. Bila suara itu terlampau memekakkan, anak bahkan akan meringkuk dan menangis (keras).


3. Sensitif terhadap sentuhan. Bila anak lain tak masalah saat bagian tubuhnya terkhusus di area kepala/wajah, seperti pipi, dagu, hidung, rambut disentuh atau dibelai orang lain, tidak begitu dengan si special. Anak tipe ini sangat tidak menghendaki itu terjadi padanya. Sebabnya di atas tadi, dia masih belum mendeteksi apakah si teman orangtuanya, pula bisa kerabat/sanak saudara sendiri tersebut ‘aman’ atau tidak untuk dirinya. Bila kemudian selama minimal 2-6 jam, si orang asing ‘terdeteksi baik’, perlahan anak pun dengan sendirinya akan memberi tanda/gesture, bahwa dia ingin berteman (tampak mulai melirik penasaran hingga bergerak mendekati); bahwa si orang asing bisa memangkunya. Yang menjadi pertanda mula-mula, bila ia mau berteman dengan si wajah asing.


Sehingga dari memahami kondisi di atas, tahapan memupuk rasa percaya diri (sehingga minimal anak mau bergabung, duduk bersama, walau tetap tanpa banyak bicara) pada anak adalah sebagai berikut:

1. Obrolan yang kondusif.

Ambil contoh saat mengajaknya berbaur untuk bermain dengan teman sebaya, sering-sering diucapkan/dikenalkan pada anak, bahwa si X, Y dan Z anak baik. Mereka adalah ‘teman’. Jangan bosan untuk terus “berbisik” pada anak. Ujaran yang berupa perintah apalagi berintonasi keras, justru akan membuatnya urung dan mundur.


2. Pelukan hangat.

Frasa ini digunakan bukan sekadar pemanis bahasa. Tapi secara harfiah pun bermakna demikian. Anak disabilitas selalu memerlukan pelukan dengan kadar yang lebih banyak dan dengan waktu lebih lama dibandingkan dengan anak bukan disabilitas. Disebut pelukan hangat, sebab bila kita memeluknya tanpa perasaan, radarnya pun bekerja. Alhasil si anak enggan, menolak, menyudut. Dan terapi pelukan ini yang paling dominan dibutuhkan anak, untuk hal apapun. Termasuk ketika memotivasinya dengan kalimat positif agar mau berbaur (percaya diri), mau bermain bersama teman, mau lepas sebentar dari sang ibu, dan sebagainya.


3. Menyamakan irama tarikan napas.

Masih merupakan sambungan poin no.2. Ini saya lakukan saat tantrum anak tinggi. Bila sesudah dibujuk dengan obrolan berbisik, dia masih tidak mau lalu berujung pada tindakan berikut: tangan mengepal atau bersidekap, napas tersengal, kepala menunduk, menangis tertahan (tanpa suara) hingga melengking dan biasanya tidak mau dipeluk. Maka dekati dan paksa dekap—tapi tetap berhati-hati jangan sampai anak tersakiti. Pangku anak dengan dada sejajar. Perlahan atur napas, seirama dengan anak, setenang mungkin. Sampai tarikan napas anak tidak tersengal. Bila gagal atau anak berontak, melepaskan diri dari pelukan. Biarkan sejenak. Perlahan, bertahap dekati lagi dia, awali dengan usapan.


4. Membentengi dari sisi reliji

Saat dipeluk entah sambil duduk atau diayun sembari berdiri, selain diucapkan kalimat lemah lembut, sisipkan terapi membaca ayat atau surat pendek dari Al Quran. Bisa ayat kursiy atau doa perlindungan atau apapun. Saya sendiri lebih sering membacakan: ayat kursiy, doa perlindungan untuk anak dan 3 surat terakhir Al-Quran.


5. Memberikan waktu

Bila setelah dipeluk, dibujuk, anak belum juga mau membuka diri, biarkan. Jangan terburu-buru. Sebab kenyamanan anak dan kesediaan dari dalam dirinya sendiri lebih penting. Kita sebagai orangtua hanya perlu tanpa bosan mengajak, membujuk, bahkan bila kemudian perlu didampingi terus (berada dalam jarak pandang anak), lakukanlah. Meski lambat, walau laun, suatu hari nanti ada bekasnya. Setidaknya anak menyimpan memori, bahwa dia diperlakukan sepantasnya.


6. Sabar.

Ini kata saran atau tip yang paling membosankan dibaca, didengar atau diberikan, tapi tak pernah salah. Sabar berlaku untuk si orangtua. Sabar juga sepaket dengan kata ‘menerima’ dan ‘berdamai’ dengan kondisi-situasi yang ada. Sebab kemajuan 'anak khusus' tidak akan terjadi instan. Boleh jadi bilangan tahun, melewati masa yang disebut ‘golden age’ atau apapun itu. Biarlah. Tenangkan diri agar tidak terprovokasi. Anak kita memang berbeda-berkekurangan, tapi tetap akan ada sisi kelebihannya.


7. Berdoa.

Segala ikhtiar tanpa doa, rasanya barangkali kurang pas. Lebih-lebih soal anak. Tidak jarang pula saya yang terserang ‘tantrum’. Apalagi saat semua ‘chaos’ berkumpul dan menumpuk bersamaan. Menyelaraskan antara kebutuhan mendampingi anak, kebutuhan plus passion pribadi, sungguh perkara tak semudah kedipan mata, khususnya untuk diri saya, yang bahkan dari segi fisik pun mental sebagai orang tua banyak kekurangan. Ada kalanya pula anak tetap jadi sasaran racauan. Bila no 1 hingga 5 merupakan poin untuk diterapkan pada sang anak, maka no 1 hingga 7 adalah untuk si orangtua. Kerap juga terselip doa, seperti agar kelak buah hati yang "terlambat" ini dapat menyusul kemampuan-kemampuan yang dulu sempat tertinggal. Mungkin terdengar menggelikan dan kekanakan, tapi ah, bukankah doa ibu untuk anaknya adalah "mantra paling mujarab"?



Saya menjadi ingat kembali ketika putra berumur dua tahun, namun bahasa yang masih sering digunakan adalah gesture alias bahasa tubuh: menarik tangan/pakaian, menunjuk-nunjuk atau mengacungkan telunjuk. Dan, hanya bisa terdiam, tatkala teman sesama orang tua dari anak berusia dua tahun, bertanya:


“Anakmu sudah bisa apa? Anakku sudah bisa ‘say hello’ dan berpamitan,”


Aih, itu adalah pertanyaan paling ‘menyeramkan’ bagi saya. Satu alasannya tentu, putra saya tidak (belum) seperti itu.


Sungguh, tahapan tumbuh kembang anak memang berbeda. Namun, manakala kasus penyebab beda itu khusus, obrolan perbandingan-perbandingan tentang prestasi anak benar-benar salah satu hal yang dihindari. Barangkali tertangkap sebagai ekspresi tidak menerima, tapi justru ini dilakukan untuk menjaga perasaan diri sendiri. Sebab, di saat semua bahasan tumbuh kembang anak kerabat sekitar kita teramat ideal, dan anak kita tidak termasuk di dalamnya, cara aman dan nyaman terkhusus bagi psikologis sang ibu adalah dengan tidak mendengarnya. Bukan berarti menjadi tidak tahu. Tapi, seperti yang saya alami sendiri, saya memilih mencari dengan cara browsing internet atau dari bacaan media cetak, juga share dengan sesama ibu. Karena, selain diri sendiri siapa lagi yang dapat lebih memahami?





Dan saya tetap sumringah, tatkala “say hello” dan berpamitan itu baru bisa diungkapkan buah hati menginjak usia empat setengah tahun. Lalu, yang paling baru menjelang anak berusia 5 tahun, obrolannya dengan seekor belalang: "Hai, belalang, namamu siapa?" Jauh sekali bukan? Tapi, bagaimanapun segala proses belajar otodidak itu saya syukuri. (Mungkin sebaiknya ada tulisan terpisah mengenai proses belajar otodidak ini nanti). Allohu’alam.[]



Sleman, Agustus-Oktober 2015



Catatan:
- Kesimpulan pribadi dan memoria dari membaca berbagai sumber (Majalah Ummi, Tabloid, dll)
- Tidak untuk dijadikan rujukan umum
- Link jurnal secara tepat, tidak ingat, terkecuali www.autis.com