Jumat, 17 Juni 2016

Uang Lagi, Lagi-lagi Uang

Ketika Si Miskin ditawari satu di antara dua pilihan: sekolah gratis atau uang tunai? Hampir semua memprekdiksikan bahwa ia akan lebih memilih uang. Mengapa demikian? Karena bagi dia hal yang penting detik itu adalah uang. Mana saat mendapatkan uang, dia dapat membeli hal-hal yang diinginkannya dan paling khusus, dia bisa membeli makanan: membuat perutnya kenyang. Sehingga dia tidak lemas, pun cemas mati kelaparan.

Karena pikirnya, bila dia memilih sekolah gratis, itu takkan berarti apa-apa. Tidak terlintas bahwa ilmu begitu penting, bahwa usai menamatkan pendidikan dia punya kesempatan mendapatkan pekerjaan yang lebih layak dan baik. Apa gunanya belajar jika perut dalam keadaan “terkapar”? Maka akhirnya, hal utama dan pertama adalah perut kenyang, tidak keroncongan.

Jadi, tak bisa dipungkiri di dunia ini semua perlu uang. Semua yang dimaksud meliputi semua insan dan semua sisi kehidupan. Tak ada uang? Jangan berkeinginan macam-macam! Barangkali seperti itu kurang lebih secara kasarnya. Maka dari itu, menilik contoh kasus di atas, ada baiknya kalangan lain yang minimal dalam sehari masih bisa makan tiga kali, plus dengan lauk pauk cukup menarik, mestilah lebih bersyukur dan bijak saat hendak “membuang” uang-uangnya.

Entah Anda seorang kepala keluarga, ibu rumah tangga atau bahkan masih seorang mahasiswa/i, kelolalah uang yang Anda punya. Bagi yang tiap bulannya rutin menerima gaji,  “setoran”, atau “honor”, begitu terima gaji segera pos-kan uang tersebut sesuai tujuannya. Maksudnya adalah sebelum uang Anda dihabiskan untuk beberapa hal, amankan terlebih dahulu untuk pengeluaran penting seperti membayar tagihan air-listrik; sewa rumah atau kamar; makan-minum sehari-hari; SPP sekolah anak, dan lain sebagainya.

Jadi, pastikan Anda mempunyai beberapa amplop ukuran sedang dan tuliskan beberapa pengeluaran rutin bulanan termasuk juga biaya tak terduga pada setiap amplop. Misalnya:

Amplop 1, tulisi untuk: gas, air gallon, beras.
Amplop 2                    : tagihan air dan listrik
Amplop 3                    : bensin
Amplop 4                    : SPP/iuran sekolah, tabungan anak
Amplop 5                    : belanja harian,

Dan seterusnya. Bisa lebih banyak atau kurang (diringkas, bahkan bisa jadi hanya satu amplop/tempat simpanan) sesuai pengeluaran Anda masing-masing. Lalu, pada tiap-tiap amplop tersebut, ambil contoh amplop “Belanja”, bila perkiraan setiap hari mengeluarkan 20.000 ribu rupiah, maka untuk sebulan Anda harus mengamankan 600.000 rupiah di dalamnya. Cara yang sama juga berlaku untuk amplop-amplop lainnya.

Lalu bagaimana bila penghasilan kita tak tentu? Tidak rutin sebulan sekali dapat uang, tidak seperti yang berstatus pegawai kantoran? Misal yang berprofesi sebagai ‘freelancer’? Entah itu penulis, editor, illustrator, atau lainnya. Dalam sebulan uang yang didapat bisa jadi lebih besar dari pegawai kantoran tadi, tapi di lain hari bisa juga lebih sedikit, hingga minim bahkan.

Pengelolaan uang kita tentu harus lebih ketat lagi. Peng”aman”an uang melalui sistem “pos”ing seperti di atas barangkali akan lebih sedikit jumlah amplopnya, bagi menjadi 2 atau 3 amplop saja barangkali. Buat satu amplop “EXTRA” untuk menyimpan uang berlebih dalam sebulan itu saat kita mendapat honor yang berlimpah atau lebih banyak dari biasanya. Ini dalam rangka mengantisipasi keadaan yang akan datang, saat honor-honor kita terlambat dibayar atau mungkin saat sepi orderan. Amplop extra ini bisa jadi berupa rekening tabungan di bank.

Pertama memperoleh “setoran”, bagi uang kita untuk setiap sepertiga bulan atau per minggu. Yang paling menjadi inti dalam situasi seperti ini, adalah kita harus konsistesten dengan keadaaan keuangan kita. Bila kita hanya memperoleh 500.000 rupiah, berarti setiap minggunya hanya boleh mengeluarkan 125.000 rupiah. Jangan tergoda untuk membeli benda-benda yang dapat menguras isi kantong.

Lalu bagaimana bila ternyata kurang? Bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan harian sekalipun? Ini berarti, kita harus mempunyai cadangan sumber penghasilan lain dari freelance tadi, yaitu kerja part time atau apapun sesuai kapasitas kita. Resiko yang harus ditepati adalah mengenai waktu tidur atau santai yang harus lebih banyak dikorbankan demi ketepatan menyelesaikan orderan-orderan tersebut. Sehingga terhindar dari hari kosong tanpa uang.


Semoga kita, Anda dan saya terhindar dari hari tanpa memiliki uang untuk ditukar dengan beras, minyak, buah, ikan ataupun cemilan. Semoga kita dihindarkan dari keadaan kefaqiran, sebab nasihat agama mengatakan itu dapat mendekatkan pada kekufuran. Amiin. Wallohu'alam.

Rabu, 27 April 2016

Mendadak Give Away 2 Biondy Alfian

Selamat Good Morning, Frens!

Ternyata ketika saya melangsungkan tulisan ini, digital clock Nyonya Laptop berangka 00:08. Dan ini blogpost lanjutan dari SINI ya ...

Ish, ish, ternyata GA buku dadakan by Biondy Alfian ada dua (2). Yang belum tahu soal GA 1, bisa tengok ke link di atas itu.

Kalau Mendadak GA pertama bertajuk Fantasi, Mendadak Give Away kedua ini bertema IMPULSIF. Tetap masih berkaitan dengan buku ya. Hanya, kali ini berupa 3 novel Bahasa Inggris! (Kalau saya sih sudah bilang 'wow'). Penasaran apa saja judulnya? Saya kasih bocoran ya, Frens. Here they are ... (langsung ngInggris deh kan ...)

1. The Accidental Tourist
2. The Satan Bug
3. The Snake

Penulisnya? Duh, mata saya ndak bisa baca, sebab tulisannya kecil. Ketahuan kan, kalau info judul bukunya hasil dari nrawang foto? :)

Source&Credit: Biondy Alfian's


Lagi-lagi misal beruntung kalian bisa boyong ketiga novel in English tersebut. Iya, pemenang cuma akan dipilih satu untuk mendapatkan 3 buku sekaligus. Syarat dan ketentuannya masih sama ya, Frens. Perlu saya ingatkan nih, berdasar pengalaman kegaptekan pribadi, pastikan kalian isi 5 kolom Rafflecopter-nya, ada di dalam blogpost-nya juga. Hati-hati bukan helikopter lho, ya. Percaya sih, kalau Frens sekalian tidak se'polos' saya, hiii, yang mana mesti dua kali kunjungan baru 'ngeh'. :D

Seperti biasa, for more details, straight to click this link ...






Cc: Mas Bondy Alfian, fotonya--yang di entri link 1 dan ini--ikut copy ya? Terima kasih banyak.
Sebelumnya saya panggil Kak Kirei, duh maaf, asal panggil berdasar nama blog tuh. Sekali lagi maaf dan terima kasih. :)

Selasa, 26 April 2016

Mendadak Give Away 1

Selamat Good Night, Frens ... :)

Apa yang terlintas tiba-tiba di benak kalian begitu mendengar kata 'Mendadak '?
Kalau saya, entah mengapa nih, radha jadul, mesti keingetan judul film. Iya, ituuu ... 'Mendadak Dangdut'. Hehe.

Nah, ini juga datangnya bersifat tiba-tiba alias ujug-ujug suddenly gitu ... tapi gak ada hubungan dengan dangdut ya. Ujug-ujug suddenly yang ini berupa Give Away buku. Buku? Iya, buku. Kalau Frens sekalian termasuk dalam barisan cinta baca, penggila buku dan quiz dapat buku gratiz, pasti dengar info macam ini saja sudah 'kalap'. Apalagi kalau syaratnya masih bisa dijangkau jari-jari. (Padahal yang begini saya ... ^^)

Oke, GA buku apaan sih, emangnya?

Mendadak GA yang pertama ini berupa novel-novel bergenre FANTASI:

  1. Cinder - Marissa Meyer
  2. Ther Melian: Recollection - Shienny M. S.
  3. A Reaper of Stone - Mark Gelineau & Joe King

Source & Credit: Biondy Alfian's


Kalau Frens sekalian beruntung, bisa mendapatkan 3 novel di atas sekaligus dari Biondy Alfian si empunya hajatan. Tiga-tiganya, lho. Hmm, macam mana tidak akan kalap, tho?

Tentu ada S-K a.k.a syarat dan ketentuan yang berlaku ya, Frens. Detilnya kunjungi langung link berikut, ya? Ada review novelnya barangkali ingin tahu dulu.
Good luck but Wish Me Luck! ^_^



[RESENSI] Gado-gado Petualangan


Judul buku: Best Adventure, Kumpulan 11 Cerpen Petualangan Terbaik Lomba Cerpen Nasional Faber-Castell 2014
Penyusun: Tim Faber-Castell
Kategori: Fiksi/Kumpulan Cerpen
Penerbit: Bhuana Sastra (Imprint dari Penerbit BIP)
Tahun terbit: 2015
ISBN 10: 602-394-004-8
ISBN 13: 978-602-394-004-2



Ketika mendengar kata ‘adventure’ atau ‘petualangan’, yang muncul di kebanyakan benak adalah tentang menjelajah negeri atau dataran yang benar-benar baru, mendaki gunung dan semisal itu. Petualangan jugalah yang dijadikan tema Lomba Cerpen Nasional Faber-Castell tahun 2014 lalu. Kini tulisan para pemenang berbagai kategori lomba mulai dari A, B, C, Tulisan Terbaik hingga ‘Like’ Terbanyak tersebut sudah berbentuk buku dan dapat dinikmati. Membacanya membuat kita tahu, bahwa ‘petualangan’ bukan melulu hal-hal seperti yang disebut di atas tadi. Namun beragam, persis gado-gado.

Ruang Terakhir, salah satu cerpen yang lolos, bahkan sangat tak disangka, berangkat dari kejadian ‘sederhana’.  Namun, gaya penceritaan yang apik ala kisah misteri, sungguh-sungguh mengecoh sekaligus membuat pembaca bertanya-tanya, hal mengerikan apa yang akan dialami tokoh aku. Bahkan disebutkan juga di sana soal ‘berdarah-darah’. Dan semua disimpan dengan sabar oleh penulisnya, Sisha, hingga baru terkuak di akhir cerita.

Judul-judul lainnya yang menarik seperti Phobia, Lumpur Madura, Skizofrenia dan Lemariku, Dunia Cokelatku.

Yang sangat menarik dan berbeda dari buku ini adalah semua tulisan yang ada merupakan asli tulisan tangan penulisnya sendiri. Yang memang syarat utama lomba. Bahkan ‘Kata Pengantar’ pun berupa tulisan tangan Manager Faber Castell sendiri. Dan tulisan tangan pemenang kategori Tulisan Terbaik sungguh sangat indah.

Terakhir, buku kumpulan cerpen ini mungkin bisa jadi tempat berkaca dan belajar bagi teman yang hendak mengikuti Lomba Faber Castell terbaru. ^^[]
Peresensi: Dini Nurhayati, Sleman – D.I.Y




Minggu, 24 April 2016

Pasti Ada Prestasi!

Kekurangan dan kelebihan adalah hal pasti yang dimiliki manusia. Sebagaimana peribahasa menyebut: Tak Ada Gading yang Tak Retak. Barangkali untuk satu atau hingga dua hal tertentu masing-masing manusia tak ada kemampuan di sana. Tapi pasti dan selalu ada yang dapat ia lakukan, ia kuasai di bidang lain, entah hanya sedikit.

Begitupun, Din. Dikenali dengan tubuh kecil, rapuh, kesan tidak mampu melakukan dan menyelesaikan apapun, APAPUN, sudah kadung melekat pada dirinya. Tapi meski demikian dengan segala kekurangannya ia bahkan sempat diminta untuk menjadi tenaga pengajar pembantu mata pelajaran Bahasa Inggris.
Ia terima tawaran itu. Mendengar di sekolah tersebut, anak-anak hanya bebas tak tentu belajar apa bila tiba jadwal pelajaran Bahsa Inggris. Disebabkan tak ada pengajar. Sempat ada yang menyanggupi, sayang tak mengisi kelas sebagaimana mestinya. Awalnya, Din memang tak terlalu menyukai anak-anak. Bukan karena apa, tapi karena ia tak pandai berbasa-basi menghadapi anak-anak. Dia terlalu kaku.
Dan memiliki kegiatan baru yaitu menemani murid-murid sekolah dasar belajar Bahasa Inggris rupanya membantu ia kenal lebih dekat dengan sosok anak-anak. Selama mengajar Din senang mengikut sertakan murid-murid sekolah tempat dia belajar mengjar pada lomba-lomba. Meski harus melatih mereka dengan ekstra karena tak pernah berpengalaman dalam mengikuti lomba sejenis sebelumnya. Din semangati murid-murid: walau mereka berasal dari sekolah yang bukan dikenal favorit, mereka sama-sama memiliki kesempatan. Asal berlatih tanpa lelah dan bosan. Juga tak usah sedih bila hasil akhirnya mereka tak mendapatkan apa-apa. Pengalaman yang mereka dapat justru lebih berharga untuk masa-masa akan datang. Saat mereka dewasa barangkali. Kala sudah keluar dari sekolah sederhana itu.
Tak ada apresiasi pula dari guru-guru lain bahkan sang Kepala Sekolah. Tapi Din tetap melatih mereka, memberi tambahan ilmu Bahasa Inggris yang tak seberapa. Tak disangka, setelah sekian minggu berlatih di sela-sela waktu istirahat, kelompok yang mewakili sekolahnya berhasil memenangkan lomba. Menjadi juara 1 sekota bahkan. Prestasi itu menjadi penyemangat anak-anak lain. Bahwa siapapun kita asal mau berusaha pasti memperoleh apa yang dicita-citakan. Manusia semua sama. Sama-sama dianugerahi otak dan kemampuan masing-masing. Maka percaya dirilah terhadap potensi yang dimiliki diri sendiri apakah itu dalam bidang olahraga, akademik ataupun kesenian. Karena dalam diri masing-masing, Alloh sediakan kelebihan.

***

Minggu, 10 April 2016

[RESENSI] :: Masa Lalu Milik Masa Kini ::

[RESENSI]

:: Masa Lalu Milik Masa Kini ::



Judul buku: BAIT SURAU
Kategori: Novel
Penulis: Yus R. Ismail​ dan Rakha Wahyu
Penerbit: Two Synergy Publisher
Cetakan: 1, Januari 2012
ISBN: 978-602-98455-9-4


Mobil SUV yang dikendarai Rommy serabutan malam itu. Sementara, di sampingnya, Nadia meraung ketakutan. Rommy berang, karena satu berita yang disampaikan Nadia. Kabar bahagia bagi wanita itu, tapi tidak menurut Rommy.

Nadia tengah mengandung dan kehadiran anak bagi Rommy hanya akan membuatnya semakin terkekang, terikat. Lebih-lebih untuk pria yang menghendaki kebebasan sepertinya. Termasuk menduakan Nadia, berhubungan dengan wanita lain manapun, berapapun sesuka nafsu. Dan kejadian satu malam tersebut melulu berulang di benak Rommy berbulan kemudian. Menghantui sosok pria pemimpin perusahaan itu.

Dalam keadaan hilang arah, Rommy memutuskan mencari Rhamdan. Meski mulanya Rhamdan menolak kedatangan Rommy, dia menerima pada akhirnya. Mencoba melupakan sakit hati yang digoreskan Rommy padanya. Dan itu berkaitan dengan Nadia.

Abah, ayah Rhamdan, yang mengais rizki dari usaha membuat batu nisan, perlahan dan tanpa Rommy sadari, membimbingnya. Rommy yang tidak pernah tergugah untuk beribadah, perlahan memberanikan diri menanyakan tentang tata cara salat. Bahkan selanjutnya membuang rasa malu, ikut belajar membaca iqro di surau yang hampir roboh dan bila hujan kebocoran.

Kehidupan di Jakarta, perusahaan, rumah mewah benar-benar Rommy lupakan. Dia justru asik menikmati menemani Rhamdan yang kesehariannya menjadi nelayan. Siti, kakak Rhamdan pun turut mewarnai kehidupan baru Rommy. Tiap hendak melaut, gadis berwajah bersih berjilbab tersebut tak pernah absen mengantarkan bekal. Dengan senyuman khas yang membuat Rommy bimbang.

Sampai pada satu momen, Rommy tersadarkan akan masa lalu kelamnya, saat batu-batu nisan di depan rumah Ramdhan membuat dia teringat kembali pada Nadia yang selalu dia sia-siakan.

Apakah Rommy akan kembali ke Jakarta? Menambal lubang-lubang masa lalunya agar dapat ditinggali di masa kini? Atau memilih tetap di Desa Samadikun, membuang jauh masa lalu, dan banting setir menjadi pencari ikan di sebuah kampung nelayan di daerah pesisir utara?

Membaca novel Bait Surau--yang diangkat pula ke layar lebar--satu-satunya hal membuat saya terkecoh adalah pada bagian ending. Saya sempat menebak A, tapi kemudian ada narasi yang serta merta membantah. Lalu, saat menebak B, berparagraf kemudian terjadilah C.

Kisah pertobatan Rommy di sini cukup natural. Meski selanjutnya saya mengendus seperti disampaikan dengan terburu-buru, demi mencapai ending yang lain dari kebanyakan cerita serupa. Penokohan 2 sahabat Rommy pun agak kurang konsisten menurut saya. Teman clubbing dan minum, tapi pandai menasihati soal kesetiaan. Lebih tepatnya barangkali tidak terlalu sreg, terutama pada tutur di satu dua dialog.

Tema soal masa lalu yang dibahas di sini, cukup mengena. Bahwa "masa lalu milik masa kini" yang hendak disampaikan benar adanya. Bila lain pihak berprinsip 'masa lalu biarlah berlalu, lupakan saja'. Maka, di kisah ini sejatinya masa lalu sampai kapanpun adalah bagian dari waktu yang dijalani kita di masa kini. Perihal bagaimana masa lalu tersebut--khususnya yang buruk--tidak menjadi mimpi yang menghantui, tergantung tiap individu mengkompromikannya.


*

Behind the book:
Novel Bait Surau ditulis untuk melengkapi layar lebar-nya yang bertajuk sama. Meski kemudia dalam penggarapan film-nya, tim mengalami beberapa kendala. Dan baru sekitar akhir tahun 2015 kemarin film itu akhirnya dirilis, tayang di seluruh bioskop Indonesia.

Jumat, 01 April 2016

GA 8 HMK



" ... . Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu."

(Penggalan kalimat akhir dari Al-Quran surat Al-Hadid ayat 20)


Sudah sunnatulloh manusia diciptakan sebagai makhluk yang tak bisa lepas dari khilaf, melakukan salah, dan cenderung suka berbuat kesenangan dalam hidup ini.

Dan penggalan dari ayat di atas, barangkali telah sekian kali sampai ke telinga. Barangkali dari kajian di masjid, khutbah salat Jumat, atau taushiyah (ceramah skala kecil) di acara-acara sederhana tertentu. Namun, begitulah, sekian kali pula hal pengingat tersebut berlalu dan terlupa. Selesai begitu kita pun melenggang dari tempat disampaikan nasihat tersebut. Seolah kematian hanya 'ada' di sana.

Memilukan hati diri sendiri juga. Betapa diri ini teramat kerdil. Lalu, bila kemudian benar-benar terjadi--tepatnya bisa kita sadari-ketahui--jika waktu yang tersedia untuk kita menapak, bernapas di dunia ini tinggal 8 hari lagi, apa yang akan dilakukan, wahai diri?

3 Hari Pertama
Mencari sekaligus mencatat segala hutang. Berupa janji kah, materi kah, semua diusahakan diingat. Selanjutnya mungkin saya hanya dapat berwasiat pada anggota keluarga dewasa, jika saya masih memiliki beberapa hutang. Memberikan catatan tersebut.

Memberitahukan 'materi fana' yang saya miliki untuk nanti dibayarkan. Mungkin juga sembari meminta apabila kekurangan, tolong digenapi. Mohon keikhlasannya. Merepotkannya diri ini ya ....


4 Hari Berikutnya
Hanya akan meminta maaf, maaf, maaf dan maaf pada, khususnya keluarga, sanak famili. Mohon disampaikan pula pada kerabat, sahabat lain. Mohon bersedia mengikhlaskan segala khilaf semasa hidup. Apakah menyakiti melalui lidah, lidah, lidah, perbuatan, pikiran kotor yang terlintas begitu saja tanpa direncanakan maupun yang ada skenarionya.

1 Hari Selanjutnya
Mempersiapkan kain kafan, dan semua hal. Meminta bantuan pastinya. Sembari memohon maaf, maaf, maaf telah sedemikian merepotkan.


Pada saat hari itu tiba, semoga saja lidah ini tidak kelu pun kaku menyebut asma Alloh, laa ilaha illa Alloh.

Astagfirullohaladhiim. Betapa tulisan ini pun barangkali kelak akan diperlihatkan kembali. Apakah tujuanmu yang paling hakiki saat menuliskan ini duhai diri?




Diikutkan pada lomba ini

Jumat, 25 Maret 2016

Suatu Hari, Bunga Kertas Krep dan Suatu Hal


Bismillah

Lama tidak tulas tulis tulus di sini. Kali ini saya sedang teringat dengan satu momen hari terkait "minat dan bakat" anak.

Ketika mengisi jadwal ekskul 'iqro' seperti biasa di TK, satu anak lelaki yang mendapat giliran tak juga kunjung keluar kelas untuk menemui saya. Dengan pikiran daripada membuang waktu, saya panggil anak lain dulu.

Lalu selang sekian menit, mungkin karena dipanggil terus menerus teman-temannya, anak itu--sebut saja Pasha--datang menghampiri saya, duduk di kursi yang biasanya. Dari awal berjalan keluar kelas sampai duduk tadi dia menangis, sesenggukan. Mirip saat remaja patah hati. Mata Pasha tak sedikit pun melirik ke arah saya--malu barangkali, padahal gayanya yang biasa itu; pecicilan, tidak mau diam, banyak bergurau. Sembari terus terisak, Pasha mulai melafalkan 'bismillah', tapi tetap dengan tangan yang sibuk menggaruk.

Mendengar isakannya tidak kunjung berhenti, saya hentikan dulu 'prosesi' belajar membaca huruf hijaiyah tersebut. Dan mengajaknya ngobrol. Tangan Pasha masih sibuk. Hampir semua jarinya lengket plus dipenuhi kertas krep warna warni. Teman-temannya yang malah menonton (biasa lah, ya, anak-anak), saya minta masuk kelas. Dalam keadaan berurai air mata, disaksikan berpasang mata, bahkan saya sendiri pun risih, tidak mau.

"Pasha kenapa?" Saya memulai obrolan, sambil berharap itu tidak akan terlalu lama.

"Aku-nggak-bisa ...," akhirnya keluar juga kata-kata. Masih terbata, sebab tangisan.

"Kan nanti dibantu ...," ujarku. Cemas, kalau tangisnya disebabkan takut pada saya. Iya, pertemuan lalu-lalu dia memang sering mengulang halaman yang sama.

"Bukan. Aku nggak bisa tempel-tempel kertas." Beberapa anak juga tahu-tahu sudah di pintu kelas. Membocorkan kejadian yang membuat Pasha sesenggukan. Kreasinya gagal melulu. Alhasil, barangkali dia tertekan. Sementara temannya sudah selesai, dia justru terus mengulang.

"Emang bikin apaan tadi di kelas?"

"Bunga." Saya perhatikan lagi jari-jari Pasha yang belepotan. Bunga macam bagaimana? Tanya hati. Kalau rumit, agaknya kasihan juga anak-anak TK kelas B ini. Seperti paham, satu anak berseru, menunjukkan bunga yang dimaksud.

Oh, rupanya bentuknya hanya pilinan kertas krep di sebatang lidi. (Seperti foto di atas). Sebetulnya masuk kategori sederhana. Tapi, bagi Pasha tidak.

"Aku nggak bisa," ucapnya lagi. Isakan sudah berkurang.

"Tapi nggak dimarahi Bu Guru, kan?"

"Nggak."

"Ya, udah, cup, jangan nangis lagi, ya?  Bu Guru juga nggak marah, kan? Nggak apa-apa sekarang nggak bisa. Besok mungkin bisa. Okey?" Hibur saya, sambil mengusap punggung-menepuk bahu.

Pasha menatap saya, mengangguk, tersenyum. 

"Daah, sekarang yook kita lanjut baca. Kasihan nanti teman lain nggak kebagian." Saya akhiri percobaan meredakan tangis itu.

*
Dari kisah Pasha yang tampaknya agak susah dalam hal kreasi kerajinan tangan, sekali lagi menjadi kesimpulan (pengingat diri sendiri) bahwa tiap anak tidak bisa disamakan alias berbeda minat dan bakatnya.

Saya sendiri bahkan termasuk yang 'lemah tangan' kalau sudah berurusan dengan kerajinan tangan. Semisal membuat ikat rambut dan sebangsanya dari benang wol ataupun benang rajut.

Itu yang terkategori anak sebagaimana umumnya. Lebih 'menarik' lagi dengan anak berkebutuhan khusus.

Saya juga menjadi belajar; membiarkan, membebaskan, mengikhlaskan kesukaan si kecil terhadap satu hal lebih dibanding hal lainnya. Namun, tetap saja, saya berprinsip mesti ada arahan. Dan minimal mengenalkan hal lain yang tidak terlampau disukai anak. Entah kegiatan, hobi sampai makanan.

Kalimat saat bercakap-cakap dengan si buah hati pun sedikit banyak berbeda. Kalau terhadap anak semisal Pasha bisa lembut seperti di atas. Maka pada si kecil--yang terkadang masih ada kata/kalimat yang dipahami dia sendiri, saya harus lebih lembut, banyak membujuk, memeluk. Atau sekali waktu malah sebaliknya, sedikit 'galak', menyesuaikan kondisi (ah, atau tepatnya, saat itu sedang minim kesabaran). Yang jelas, saya mengusahakan betapa kelak, di dunia yang ia tapaki saat-saat selanjutnya, ada banyak hal 'rumit' yang mesti dihadapi. Dia harus bisa mencoba mengerti keumuman dunia, alih-alih dunia yang memahami kekhususannya.

Lagi-lagi tentu semua sebagai tindakan preventif. Saya ingin si kecil tetap menjadi dirinya sendiri. Dengan kelebihan-kekurangannya. Dengan minat-bakatnya (yang bagaimanapun tetap bisa positif dan bermanfaat). Sebab akan sampai pada masanya orangtua memiliki batas dari membersamai sang anak.


Sleman, 25 Mac 2016