Jumat, 31 Juli 2015

Lebaran Kedua Tahun Itu

Lebaran Kedua Tahun Itu
Oleh: Dinu Chan


Kullu nafsin dzaaiqotul mauut. Kalimat ini pasti sudah kita hapal betul. Bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mengalami kematian. Meninggalkan semua kefanaan hidup di dunia, menjemput keabadian yang lebih hakiki yaitu di akhirat. Terkadang ketika tema ini dibicarakan, semua seolah mimpi atau omong kosong saja. Tapi saat kabar kematian yang disiarkan dekat dengan kita, kesadaran otak kembali tertampar diingatkan. Menghembuskan nafas yang terakhir adalah sebuah keniscayaan.


Dan rasa tak percaya itupun hadir dalam kehidupanku. Sebelumnya tak pernah kualami kehilangan dalam keluargaku. Lebaran kala itu, kami sekeluarga sengaja pulang kampung lebih awal, toh hari sekolah sudah libur. Tak ada pula urusan-urusan yang dapat menahan orangtua kami lebih lama di kota perantauan.


Memang manusia tak pernah akan tahu kapan malaikat maut mengintip. Entah pada orang terdekat yang dicintainya atau terhadap dirinya sendiri. Tapi masa itu, ada rasa puas dalam hati masing-masing kami saat dapat benar-benar menghabiskan libur lebaran di kampung tercinta Desa Cijulang di Ciamis sana. Khususnya orangtua, yang dapat menemani, mengukir hari-hari indah bersama Kakek-Nenek lebih lama dari lebaran tahun lalu.


Pada hari Lebaran kedua atau tanggal 2 Syawal, puas berkeliling bersilaturahmi pada sanak famili yang tersebar di satu desa dan lainnya, sebagian kami memilih beristirahat sembari menanti adzan Dhuhur berkumandang. Sedangkan yang anak-anak memilih berbaring di atas lantai beralas tikar untuk menonton televisi atau santai-santai kembali menyantap kue lebaran yang masih ada.


Di belakang, suara timba yang dikerek sebentar-sebentar terdengar. Kakek tengah mencuci baju. Katanya besok dia harus kembali ke Kota Bandung ke kantor lamanya di POS&Giro kala itu disebut. Dia bermaksud menyiapkan semua untuk perjalanan besok. Dia paham seisi rumah pasti lelah, sehingga baju-bajunya yang hendak dibawa esok ia cuci sendiri. Aku masih melihat Kakek setelah Dhuhur, duduk di kursi favoritnya yaitu yang paling dekat dengan pintu. Menyaksikan cucu-cucu di depannya yang tengah asyik di depan televisi. Sekali-kali aroma balsam menguar tercium. Kakek oleskan ke bagian tubuhnya yang barangkali terasa pegal. Sampai kemudian tinggal aku dan adik perempuanku yang masih balita tersisa di ruangan itu. Kakek melambaikan tangannya, memberi kode untuk menghampiri. Aku mendekat. Rupanya dia meminta bantuan untuk memilinkan kertas berisi tembakau di atasnya. Rampung membentuk silinder kecil, Kakek raih untuk kemudian dinyalakannya ke dekat api lalu dihisapnya.


“Aki mah ngaroko wae sih? Kakek ko merokok saja sih?” Cuma itu yang dapat kukatakan pada sosok yang kerap membelikanku oleh-oleh berupa kaset lagu anak-anak setiap kali ia kembali dari Bandung. Sudah dituliskannya di sisi kaset nama lengkapku dengan huruf kapital: DINI NURHAYATI. Membuatku merasa hadiah kakek hanya untukku saja.


Dia hanya terdiam. Selanjutnya tiba-tiba dia rentangkan kedua tangannya ke arah adik perempuan yang sedari tadi memperhatikan terus, mengajaknya dalam pangkuan. Tapi adik menggeleng. Tangan kakek turun menyerah. Ia masuk kamar untuk beristirahat. Sementara nenek sudah lebih dulu merebahkan tubuh lelahnya di sana.


Menjelang maghrib, Uwa ketuk pintu kamar Kakek-Nenek. Hendak membangunkan Kakek karena ada tamu. Tapi Kakek terlelap. Sang tamu pun meminta agar Kakek tak usah dibangunkan, khawatir mengganggu, biar mereka pulang. Lain kali saja datang kembali. Selesai adzan Maghrib, Uwa masuk ke kamar, lagi-lagi tujuannya untuk membangunkan Kakek, waktunya sholat Maghrib.

“Apa gugah … bangun Pak ….”

Berkali-kali kata itu Uwa lontarkan sembari menggoyang tubuh kakek perlahan. Tapi Kakek masih bergeming. Kedua tangannya sudah saling bertumpuk di atas dada. Kemudian kulitnya diraba dan menghantarkan dingin luar biasa. Seketika itu orangtua-orangtua kami sadar Bapaknya telah tiada. Tidur lelap itu untuk selamanya. Maka putra-putra Kakek yang masih berada di Masjid dipanggil segera, diberitahukan kabar itu. Cucu-cucu Kakek yang masih kecil hanya dapat memasang wajah bingung melihat hilir mudik. Aku sendiri sudah bisa meneteskan air mata. Saat keramaian itu terdengar, aku tengah menyelesaikan rokaat terakhir sholat Maghrib. Doa selesai sholat pun terlantun khusus untuk almarhum. Saat Uwa mengambil jemuran di luar baru diketahui, Kakek tadi tak hanya mencuci bajunya saja, tapi juga baju semua anak-cucunya. Perasaan yang membuncah di dada kami pun semakin menjadi, diringi doa dan lantunan ayat Quran.[]


"Exchange, Publisihing Your Idea"






Note: Cerpen pernah masuk ke dalam buku antologi, terbitan Pena Indis Publishing dengan Judul Ada Baju Kami yang Kakek Cuci

Senin, 13 Juli 2015

Resensi Buku "Sang Maha Pengasih"

Judul : Sang Maha Pengasih: Kumpulan Kisah Anak Baik yang Mendapat Pertolongan Allah
Penulis : Annisa Widiyarti
Penerbit: Tiga Ananda, Imprint Tiga Serangkai
Cetakan : I, Maret 2015
Tebal : 24 halaman
ISBN : 978-602-366-011-7



Saat Fikri dan Alya sedang makan siang, tiba-tiba ada seekor kucing berbulu kuning masuk ke dalam rumah sembari terus mengeong. Karena merasa kasihan, Fikri pun memberi kucing tersebut tulang ikan. Si kucing berbulu kuning lantas berlari setelah mengambil dan menggigit tulang ikan tadi.


Selesai makan, Fikri dan Alya membantu ibu merapikan meja makan juga mencuci piring. Tiba-tiba terdengar lagi suara kucing mengeong. Ternyata kucing yang sama. Dia meminta tulang ikan lagi. Fikri dan Alya menjadi penasaran. Mengapa kucing ini meminta makan lagi?


Diam-diam Fikri dan Alya mengikuti si kucing yang berlari kembali setelah mendapat tulang ikan kedua kalinya. Nah, ada apa ya?

Kisah di atas berjudul "Kucing Dua Kali Meminta Makan". Selain cerita Alya, FIkri dan si kucing, ada 13 judul lain yang seru dan menarik.


Ada Dimas yang "Menolong Anak Kecil", "Meminta kepada Allah", "Gagal Berwisata?", "Hari Terakhir Ujian", "Rautan yang Rusak", "Mobil Impian", "Perlindungan dari Allah", "Pertolongan dari Allah", "Sedekah Iqbal", "Tablet Impian", "Tas Ojek Payung", Di Mana Uang SPP Hamdi" dan "Satu Kebaikan".


Pesan yang tersembunyi namun jelas dari kumpulan kisah ini adalah agar anak-anak menjadikan doa kepada Allah sebagai kebiasaan yang baik. Sebab Allah Sang Maha Pengasih, akan selalu menolong hamba-Nya, dengan cara yang tidak bisa disangka atau tak terduga. Sungguh Allah sayang kepada hamba-Nya.


Senin, 06 Juli 2015

Jangan Kikir Terhadap Diri Sendiri

Sebab mengikuti kuis kata-kata bijak di satu grup, saya langsung teringat dengan petuah dosen saat kuliah, yang kalimatnya menjadi judul di atas.

Sayang, saya lupa nama ustadz sederhana itu. Yang dibanding dosen lain, penampilannya paling simple. Semoga Alloh swt memberi tempat indah bagi Almarhum. Membalas kebaikannya. Aamiin.

Kikir pada diri sendiri ini bisa jadi luput dari kesadaran. Karena kita sering mendapat petuah bahwa mendahulukan kepentingan orang lain adalah suatu kebaikan dan lebih utama. Tapi, nyatanya diri sendiri pun punya hak untuk 'diperhatikan'. Bukan soal yang berkaitan dengan materi saja. Tapi lebih dari itu.

Ada hak untuk mengamankan; menyelamatkan iman, kebutuhan ruh, kesehatan hati, dan penjagaan diri dari hal-hal bersifat negatif atau buruk atau tak mengandung manfaat.

Kikir terhadap diri sendiri bukan hanya tak memenuhi kebutuhan pribadi dalam hal makan makanan sehat, menyandang pakaian baik dan atau memiliki harta yang cukup untuk ini itu.

Kita mungkin masuk kategori kikir, saat makanan yang masuk ke perut tidak sungguh-sungguh diperhatikan sumber datangnya; cara memperolehnya; halal atau tidaknya, dan sebagainya.

Kita mungkin masuk kategori kikir, saat pakaian yang disandang terselip tabarruj, tak menutup aurat atau melewati batas dari fungsi dasarnya, yaitu untuk melindungi tubuh.

Kita mungkin masuk kategori kikir saat membiarkan diri terus menerus menapaki jalan hidup yang tidak diridhoi Alloh, Sang Pencipta diri.

Kita mungkin masuk kategori kikir saat membiarkan diri faqir ilmu dan pengetahuan akan agama sendiri.

Dan kita barangkali lebih kikir lagi, manakala telah mengetahui; ditunjukkan kebenaran (haq) dan bathil, namun tetap bergeming. Atau yang terparah justru memutarbalikannya.


Allohu'alam bishshowwab.


Sungguh, ini semata untuk memberi peringatan terhadap diri saya sendiri. Agar tidak lagi 'menyepelekan kebutuhan diri'.


Cirebon,
Ramadhan, 19 1434 H
July, 6 2015 M

Minggu, 14 Juni 2015

Giveaway "Ramadhan in Love": Taushiyah Nihil Sentimentil yang Menyentil

Petuah Nihil Sentimentil yang Menyentil
Oleh: Dini Nurhayati

Ramadhan tahun kemarin agaknya terlalu meninggalkan kesan untuk bisa dilupakan. Bagi beberapa teman mungkin masih ingat, tahun kemarin (2014), berita soal Palestina mencuat kembali ke permukaan. Dan telinga ini sejujurnya sudah cukup akrab dengan kabar-kabar yang menyoal mereka sejak masa kuliah dulu.


Namun perputaran jaman sedikit banyak mengubah juga alur kehidupan. Update tentang bumi Al Quds yang merupakan kiblat pertama umat Islam tersebut, mulai luput dari mendapat perhatian. Betul, hati turut berduka. Tapi tergerogoti rasa asing entah bernama apa.


Lalu, saat di kesunyian membaca-baca lagi kabar seputar Palestina, kesungguhan rasa yang sempat hilang itu muncul kembali. Benar-benar baru terbit keinginan untuk berbagi, meski sedikit yang dimampui.


Dan seolah menggiring kesadaran, ada satu selebaran yang terbaca. Tentang acara bertajuk taushiyah menjelang berbuka puasa bersama. Acara tersebut akan menghadirkan seorang syaikh yang berasal dari Palestina. Tujuan acara memang untuk menggalang dana. Membantu penduduk Palestina.


Tertarik saya pun mengikuti acara itu. Bahkan taushiyah itu disampaikan oleh sang syaikh. Tapi dari penuturan beliau—dibantu diterjemahkan seorang ustad—yang menceritakan bagaimana situasi di sana, sungguh tak ada nada serupa memelas. Sebaliknya justru.


Kami yang hadir kala itu hanya diingatkan untuk bersyukur. Betapa ibadah puasa dan amalan lainnya di bulan Ramadhan dapat kami kerjakan dengan suasana yang tenang dan damai. Tanpa perlu ada rasa cemas, tersebab langit yang rajin dihujani rudal. Tanpa rasa takut tentang anggota keluarga yang sekali-kali waktu bisa saja terampas, akibat terkena serangan. Entah peluru nyasar ataupun memang target incaran.


Benar, amat jarang bersyukurnya jiwa ini untuk hal-hal kecil. Bila saja keadaan sebagaimana yang terjadi di Palestina dialami, belum tentu diri dan iman kuat menjalani. Terlebih saat bulan puasa. Ramadhan kemarin selalu menjadi pengingat diri untuk senantiasa bersyukur dan menghalau kikir dalam diri.[]





“Tulisan ini diikutsertakan dalam giveaway Ramadhan in Love”

Jumat, 17 April 2015

Asal Mula Suara Burung Hantu dan Burung Gagak

[Cerita Anak]

Asal Mula Suara Burung Hantu dan Burung Gagak*
Oleh: Dinu Chan


Hai, Adik-adik, jumpa lagi dengan Kak Nur di dongeng Bangun Tidur.
Lihat nih, Kak Nur sudah siap dengan boneka jari, akan bercerita apa ya kira-kira?

Oke, episod kali ini berkisah tentang Burung Hantu dan Burung Gagak yang bersahabat, tapi sayangnya kemudian bermusuhan.

Alkisah di Angkasa Biru akan diadakan Festival Uji Kekompakan antar sahabat, dengan penuh semangat Burung Hantu dan Burung Gagak turut pula mendaftar.

Setelah menunggu ribuan detik sembari bertengger di dahan, giliran mereka tiba dan sembilan pertanyaan pun berhasil dijawab.

Tapi, pada pertanyaan kesepuluh ... Burung Gagak salah menjawab pertanyaan juri,
“Apa warna bayangan?”

Burung Gagak menyebut putih, sedangkan Burung Hantu menyebut hitam, alhasil mereka gagal di Uji Kekompakan tersebut.

“Tuh …, terbukti aku yang benar kan? Huuu ...,” ujar Burung Hantu di satu siang terik menunjuk bayangan hitam mereka.

“Enggak,” jawab Burung Gagak keras kepala, kepalanya menengadah menatap langit, lalu terbang meninggalkan Burung Hantu. Namun anehnya sejak itu dia tak mau lagi bermain di siang hari. Apalagi di atas tanah. Burung Gagak selalu mencari dahan pohon untuk bertengger. Dia tidak ingin bayangannya terlihat.





Sedangkan Burung Hantu tak henti pula mengikuti untuk mengolok:
“Huuu … huuu … huuu …”





Dan akan dibalas Burung Gagak dengan,
“Gak … gak … gak …”

Begitulah terus menerus. Jika ada Burung Hantu, coba Adik-adik dengarkan, bagaimana suaranya. Dan kalau menjelang malam hari Burung Gagak mulai terbang berputar-putar di langit, coba perhatikan, seperti apa dia bersuara?



Sleman, 18 Maret 2015
*Memang asli mengarang. Tidak menyadur atau mengadopsi dari kisah manapun.
Semoga berkenan. :)


Sumber gambar:
Google
diamenia.blogspot.com

Selasa, 07 April 2015

Flash Fiction: Potret Keluarga

Potret Keluarga
Oleh: Dini Nurhayati






Pernah ada kehangatan di rumah ini. Setidaknya itu yang berhasil tetangkap rasa hati, tatkala netra melekat pada satu bingkai besar di ruang tengah. Empat anggota keluarga kecil dengan bibir melengkung sempurna.


Di depan si ayah, berdiri si anak gadis. Sedangkan di depan ibu, berdiri si anak lelaki berpipi gembil. Saling memeluk.


“Apa tidak sebaiknya foto itu diturunkan saja, Ma?”

Pa mendekat, menjejeri.

“Hmm, kalau sementara seperti itu dulu, tidak apa-apa, kan, Pa?”

“Sudah sebulan rumah ini menjadi milik kita …,”

“Aku senang melihat raut-raut tulus itu. Meski di hati, sesak pun menyelinap.” Pa mengusap punggungku. “Konon, pernikahan mereka sudah melewati usia perak, sebelum kemudian karam ….”

“Semoga anak gadisnya mengambil ini dalam waktu dekat. Sayang juga bila harus berakhir di tong sampah …,”


“Hm,” anggukku, hening sejenak, “Pa …?”


“Ya …,”


“Kita tak usah memajang foto keluarga, ya?”


“Kau yakin, Ma? Kalau nanti ada anak-anak yang hadir, bagaimana? Tentu kau mau juga ada potret keluarga, bukan?”



“Sepertinya tidak.”[]



End


Sleman, 7 April 2015



____________________

Flashfiction ini diikutsertakan dalam Tantangan Menulis Flash Fiction - Tentang Kita Blog Tour

http://www.redcarra.com/tantangan-menulis-ff-tentang-kita-blog-tour/?utm_source=dlvr.it&utm_medium=facebook


Sumber gambar: Google

Rabu, 01 April 2015

Bukan Pangeran Impian

Suami saya adalah seorang antimainstream. Tak umum. Tidak sama dengan suami kebanyakan. Ini kalau dihubungkan dengan judul di atas. Jadi betul, memang bukan impian. layaknya mimpi gadis belia yang sudah pasaran. Seperti tampan, romantis, bla bla bla ... lalu ujungnya adalah berkuda putih. Aih ... ke mana hendak mencarinya, gadis belia?

Pertemuan kami unik. Karena tak pernah ada kisah pertemuan antara suami-istri yang tidak unik, bukan? Selama ini, dalam obrolan ringan semi santai, dia pernah mengungkapkan, hal yang menyambung satu ingatan terhadap saya adalah hujan berpetir. Ini berkaitan dengan masa-masa ta'aruf kami.

Dalam proses pencariannya akan seorang istri, apa yang sedang dijalaninya banyak kala terlupa. Tersita dengan keasyikan menghadapi pinsil dan kertas (hingga sekarang pun masih, prioritas yang ditemuinya adalah mereka). Lalu saat hendak ke mana, tujuannya beristri disadarkan berulang kali. Itu tadi, dengan petir saat hujan turun.

Lalu di mana letak unik tersebut?

Saat pertama kali bertandang (ke Cirebon), dia sudah merasa familiar dengan keluarga saya. Padahal tentu baru itulah pertemuan kami-kami ini. Bahkan dari penuturannya selanjutnya paska menikah, sempat dia bermimpi dan bersenda gurau dengan anggota keluarga, minus saya.

Kemudian, saya ketahui juga cerita dari bapak mertua,jika asal-usul asli buyut mereka adalah dari Cirebon pula. Lagi-lagi, pepatah yang mengatakan dunia hanya selebar daun kelor atau dunia itu sempit, benar adanya.

Bukan tanpa selisih, kami mengarungi kehidupan berumah tangga.Karena bagaimanapun background, sifat dan kebiasaan kami banyak berbeda. Dia tak pernah se-charming bayangan saya akan suami romantis. Yup, dia memang tak romantis. Sama sekali. Tapi, kami selalu sepakat, bersyukur saling dipertemukan masing-masing. Saat beberapa insan di luar sana masih dalam gulana pencarian pasangan halal.

Saya bersyukur juga, karena sosoknya yang asli jawa tidak 'jawa'. Dalam artian tak pernah sungkan ataupun segan membantu hal-hal yang konon sudah bertajuk itu adalah 'tugas total' wanita atau seorang istri tepatnya. Seperti memasak, satu misalnya. Jujur, khusus masakan tertentu, racikannya lebih maknyuss dari yang saya garap. Ternyata, saat melajang dulu, dia memang sudah sangat biasa memasak, walau hanya beberapa yang dia minati. Ah, no wonder ...

Jadi, menu semisal oseng-osengan dan sambal, dialah jagonya. Malah, kalau 'semangat' memasaknya tiba-tiba muncul, tanpa banyak bicara (yang mana memang sudah karakter dasarnya yakni pendiam super) dia akan memasak ini-itu. Paling sebelumnya bertanya, ada bahan apa yang nganggur. Usai siap santap alias rampung, hehehe ... bagaikan seorang anak yang baru pulang setelah bermain, saya tinggal ambil piring. Isi nasi, menyendok lauk yang sudah tersedia dan menyantapnya dengan nikmat. Barangkali amat sangat sederhana, hanya oseng dan sambal terasi (kerupuk sebagai pelengkap seringnya beli), tapi ... maknyuss pemirsa. Asal jangan meminta dia masak sayur saja, ah juga tidak dengan ikan dan daging-dagingan, dia pasti kelabakan. Di bagian inilah saya akan ambil alih kemudi dapur. Walau jenis masakan yang dihasilkan tak pernah luar biasa. Sebatas digoreng.

'Ala kulli hal Alhamdulillah. Di antara debat-debit hampir sengit, cekcok-ceksoun kecil dan aral rintang lain yang sekali tiga mengemuka, kami selalu mencoba terus belajar saling mengisi. Ya, sesungguhnya proses belajar itu takkan pernah usai.[]


Meramaikang http://www.lovrinz.com/2015/03/giveaway-rahasia-hati-suami.html?m=1#more