Minggu, 24 April 2016

Pasti Ada Prestasi!

Kekurangan dan kelebihan adalah hal pasti yang dimiliki manusia. Sebagaimana peribahasa menyebut: Tak Ada Gading yang Tak Retak. Barangkali untuk satu atau hingga dua hal tertentu masing-masing manusia tak ada kemampuan di sana. Tapi pasti dan selalu ada yang dapat ia lakukan, ia kuasai di bidang lain, entah hanya sedikit.

Begitupun, Din. Dikenali dengan tubuh kecil, rapuh, kesan tidak mampu melakukan dan menyelesaikan apapun, APAPUN, sudah kadung melekat pada dirinya. Tapi meski demikian dengan segala kekurangannya ia bahkan sempat diminta untuk menjadi tenaga pengajar pembantu mata pelajaran Bahasa Inggris.
Ia terima tawaran itu. Mendengar di sekolah tersebut, anak-anak hanya bebas tak tentu belajar apa bila tiba jadwal pelajaran Bahsa Inggris. Disebabkan tak ada pengajar. Sempat ada yang menyanggupi, sayang tak mengisi kelas sebagaimana mestinya. Awalnya, Din memang tak terlalu menyukai anak-anak. Bukan karena apa, tapi karena ia tak pandai berbasa-basi menghadapi anak-anak. Dia terlalu kaku.
Dan memiliki kegiatan baru yaitu menemani murid-murid sekolah dasar belajar Bahasa Inggris rupanya membantu ia kenal lebih dekat dengan sosok anak-anak. Selama mengajar Din senang mengikut sertakan murid-murid sekolah tempat dia belajar mengjar pada lomba-lomba. Meski harus melatih mereka dengan ekstra karena tak pernah berpengalaman dalam mengikuti lomba sejenis sebelumnya. Din semangati murid-murid: walau mereka berasal dari sekolah yang bukan dikenal favorit, mereka sama-sama memiliki kesempatan. Asal berlatih tanpa lelah dan bosan. Juga tak usah sedih bila hasil akhirnya mereka tak mendapatkan apa-apa. Pengalaman yang mereka dapat justru lebih berharga untuk masa-masa akan datang. Saat mereka dewasa barangkali. Kala sudah keluar dari sekolah sederhana itu.
Tak ada apresiasi pula dari guru-guru lain bahkan sang Kepala Sekolah. Tapi Din tetap melatih mereka, memberi tambahan ilmu Bahasa Inggris yang tak seberapa. Tak disangka, setelah sekian minggu berlatih di sela-sela waktu istirahat, kelompok yang mewakili sekolahnya berhasil memenangkan lomba. Menjadi juara 1 sekota bahkan. Prestasi itu menjadi penyemangat anak-anak lain. Bahwa siapapun kita asal mau berusaha pasti memperoleh apa yang dicita-citakan. Manusia semua sama. Sama-sama dianugerahi otak dan kemampuan masing-masing. Maka percaya dirilah terhadap potensi yang dimiliki diri sendiri apakah itu dalam bidang olahraga, akademik ataupun kesenian. Karena dalam diri masing-masing, Alloh sediakan kelebihan.

***

Minggu, 10 April 2016

[RESENSI] :: Masa Lalu Milik Masa Kini ::

[RESENSI]

:: Masa Lalu Milik Masa Kini ::



Judul buku: BAIT SURAU
Kategori: Novel
Penulis: Yus R. Ismail​ dan Rakha Wahyu
Penerbit: Two Synergy Publisher
Cetakan: 1, Januari 2012
ISBN: 978-602-98455-9-4


Mobil SUV yang dikendarai Rommy serabutan malam itu. Sementara, di sampingnya, Nadia meraung ketakutan. Rommy berang, karena satu berita yang disampaikan Nadia. Kabar bahagia bagi wanita itu, tapi tidak menurut Rommy.

Nadia tengah mengandung dan kehadiran anak bagi Rommy hanya akan membuatnya semakin terkekang, terikat. Lebih-lebih untuk pria yang menghendaki kebebasan sepertinya. Termasuk menduakan Nadia, berhubungan dengan wanita lain manapun, berapapun sesuka nafsu. Dan kejadian satu malam tersebut melulu berulang di benak Rommy berbulan kemudian. Menghantui sosok pria pemimpin perusahaan itu.

Dalam keadaan hilang arah, Rommy memutuskan mencari Rhamdan. Meski mulanya Rhamdan menolak kedatangan Rommy, dia menerima pada akhirnya. Mencoba melupakan sakit hati yang digoreskan Rommy padanya. Dan itu berkaitan dengan Nadia.

Abah, ayah Rhamdan, yang mengais rizki dari usaha membuat batu nisan, perlahan dan tanpa Rommy sadari, membimbingnya. Rommy yang tidak pernah tergugah untuk beribadah, perlahan memberanikan diri menanyakan tentang tata cara salat. Bahkan selanjutnya membuang rasa malu, ikut belajar membaca iqro di surau yang hampir roboh dan bila hujan kebocoran.

Kehidupan di Jakarta, perusahaan, rumah mewah benar-benar Rommy lupakan. Dia justru asik menikmati menemani Rhamdan yang kesehariannya menjadi nelayan. Siti, kakak Rhamdan pun turut mewarnai kehidupan baru Rommy. Tiap hendak melaut, gadis berwajah bersih berjilbab tersebut tak pernah absen mengantarkan bekal. Dengan senyuman khas yang membuat Rommy bimbang.

Sampai pada satu momen, Rommy tersadarkan akan masa lalu kelamnya, saat batu-batu nisan di depan rumah Ramdhan membuat dia teringat kembali pada Nadia yang selalu dia sia-siakan.

Apakah Rommy akan kembali ke Jakarta? Menambal lubang-lubang masa lalunya agar dapat ditinggali di masa kini? Atau memilih tetap di Desa Samadikun, membuang jauh masa lalu, dan banting setir menjadi pencari ikan di sebuah kampung nelayan di daerah pesisir utara?

Membaca novel Bait Surau--yang diangkat pula ke layar lebar--satu-satunya hal membuat saya terkecoh adalah pada bagian ending. Saya sempat menebak A, tapi kemudian ada narasi yang serta merta membantah. Lalu, saat menebak B, berparagraf kemudian terjadilah C.

Kisah pertobatan Rommy di sini cukup natural. Meski selanjutnya saya mengendus seperti disampaikan dengan terburu-buru, demi mencapai ending yang lain dari kebanyakan cerita serupa. Penokohan 2 sahabat Rommy pun agak kurang konsisten menurut saya. Teman clubbing dan minum, tapi pandai menasihati soal kesetiaan. Lebih tepatnya barangkali tidak terlalu sreg, terutama pada tutur di satu dua dialog.

Tema soal masa lalu yang dibahas di sini, cukup mengena. Bahwa "masa lalu milik masa kini" yang hendak disampaikan benar adanya. Bila lain pihak berprinsip 'masa lalu biarlah berlalu, lupakan saja'. Maka, di kisah ini sejatinya masa lalu sampai kapanpun adalah bagian dari waktu yang dijalani kita di masa kini. Perihal bagaimana masa lalu tersebut--khususnya yang buruk--tidak menjadi mimpi yang menghantui, tergantung tiap individu mengkompromikannya.


*

Behind the book:
Novel Bait Surau ditulis untuk melengkapi layar lebar-nya yang bertajuk sama. Meski kemudia dalam penggarapan film-nya, tim mengalami beberapa kendala. Dan baru sekitar akhir tahun 2015 kemarin film itu akhirnya dirilis, tayang di seluruh bioskop Indonesia.

Jumat, 01 April 2016

GA 8 HMK



" ... . Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu."

(Penggalan kalimat akhir dari Al-Quran surat Al-Hadid ayat 20)


Sudah sunnatulloh manusia diciptakan sebagai makhluk yang tak bisa lepas dari khilaf, melakukan salah, dan cenderung suka berbuat kesenangan dalam hidup ini.

Dan penggalan dari ayat di atas, barangkali telah sekian kali sampai ke telinga. Barangkali dari kajian di masjid, khutbah salat Jumat, atau taushiyah (ceramah skala kecil) di acara-acara sederhana tertentu. Namun, begitulah, sekian kali pula hal pengingat tersebut berlalu dan terlupa. Selesai begitu kita pun melenggang dari tempat disampaikan nasihat tersebut. Seolah kematian hanya 'ada' di sana.

Memilukan hati diri sendiri juga. Betapa diri ini teramat kerdil. Lalu, bila kemudian benar-benar terjadi--tepatnya bisa kita sadari-ketahui--jika waktu yang tersedia untuk kita menapak, bernapas di dunia ini tinggal 8 hari lagi, apa yang akan dilakukan, wahai diri?

3 Hari Pertama
Mencari sekaligus mencatat segala hutang. Berupa janji kah, materi kah, semua diusahakan diingat. Selanjutnya mungkin saya hanya dapat berwasiat pada anggota keluarga dewasa, jika saya masih memiliki beberapa hutang. Memberikan catatan tersebut.

Memberitahukan 'materi fana' yang saya miliki untuk nanti dibayarkan. Mungkin juga sembari meminta apabila kekurangan, tolong digenapi. Mohon keikhlasannya. Merepotkannya diri ini ya ....


4 Hari Berikutnya
Hanya akan meminta maaf, maaf, maaf dan maaf pada, khususnya keluarga, sanak famili. Mohon disampaikan pula pada kerabat, sahabat lain. Mohon bersedia mengikhlaskan segala khilaf semasa hidup. Apakah menyakiti melalui lidah, lidah, lidah, perbuatan, pikiran kotor yang terlintas begitu saja tanpa direncanakan maupun yang ada skenarionya.

1 Hari Selanjutnya
Mempersiapkan kain kafan, dan semua hal. Meminta bantuan pastinya. Sembari memohon maaf, maaf, maaf telah sedemikian merepotkan.


Pada saat hari itu tiba, semoga saja lidah ini tidak kelu pun kaku menyebut asma Alloh, laa ilaha illa Alloh.

Astagfirullohaladhiim. Betapa tulisan ini pun barangkali kelak akan diperlihatkan kembali. Apakah tujuanmu yang paling hakiki saat menuliskan ini duhai diri?




Diikutkan pada lomba ini

Jumat, 25 Maret 2016

Suatu Hari, Bunga Kertas Krep dan Suatu Hal


Bismillah

Lama tidak tulas tulis tulus di sini. Kali ini saya sedang teringat dengan satu momen hari terkait "minat dan bakat" anak.

Ketika mengisi jadwal ekskul 'iqro' seperti biasa di TK, satu anak lelaki yang mendapat giliran tak juga kunjung keluar kelas untuk menemui saya. Dengan pikiran daripada membuang waktu, saya panggil anak lain dulu.

Lalu selang sekian menit, mungkin karena dipanggil terus menerus teman-temannya, anak itu--sebut saja Pasha--datang menghampiri saya, duduk di kursi yang biasanya. Dari awal berjalan keluar kelas sampai duduk tadi dia menangis, sesenggukan. Mirip saat remaja patah hati. Mata Pasha tak sedikit pun melirik ke arah saya--malu barangkali, padahal gayanya yang biasa itu; pecicilan, tidak mau diam, banyak bergurau. Sembari terus terisak, Pasha mulai melafalkan 'bismillah', tapi tetap dengan tangan yang sibuk menggaruk.

Mendengar isakannya tidak kunjung berhenti, saya hentikan dulu 'prosesi' belajar membaca huruf hijaiyah tersebut. Dan mengajaknya ngobrol. Tangan Pasha masih sibuk. Hampir semua jarinya lengket plus dipenuhi kertas krep warna warni. Teman-temannya yang malah menonton (biasa lah, ya, anak-anak), saya minta masuk kelas. Dalam keadaan berurai air mata, disaksikan berpasang mata, bahkan saya sendiri pun risih, tidak mau.

"Pasha kenapa?" Saya memulai obrolan, sambil berharap itu tidak akan terlalu lama.

"Aku-nggak-bisa ...," akhirnya keluar juga kata-kata. Masih terbata, sebab tangisan.

"Kan nanti dibantu ...," ujarku. Cemas, kalau tangisnya disebabkan takut pada saya. Iya, pertemuan lalu-lalu dia memang sering mengulang halaman yang sama.

"Bukan. Aku nggak bisa tempel-tempel kertas." Beberapa anak juga tahu-tahu sudah di pintu kelas. Membocorkan kejadian yang membuat Pasha sesenggukan. Kreasinya gagal melulu. Alhasil, barangkali dia tertekan. Sementara temannya sudah selesai, dia justru terus mengulang.

"Emang bikin apaan tadi di kelas?"

"Bunga." Saya perhatikan lagi jari-jari Pasha yang belepotan. Bunga macam bagaimana? Tanya hati. Kalau rumit, agaknya kasihan juga anak-anak TK kelas B ini. Seperti paham, satu anak berseru, menunjukkan bunga yang dimaksud.

Oh, rupanya bentuknya hanya pilinan kertas krep di sebatang lidi. (Seperti foto di atas). Sebetulnya masuk kategori sederhana. Tapi, bagi Pasha tidak.

"Aku nggak bisa," ucapnya lagi. Isakan sudah berkurang.

"Tapi nggak dimarahi Bu Guru, kan?"

"Nggak."

"Ya, udah, cup, jangan nangis lagi, ya?  Bu Guru juga nggak marah, kan? Nggak apa-apa sekarang nggak bisa. Besok mungkin bisa. Okey?" Hibur saya, sambil mengusap punggung-menepuk bahu.

Pasha menatap saya, mengangguk, tersenyum. 

"Daah, sekarang yook kita lanjut baca. Kasihan nanti teman lain nggak kebagian." Saya akhiri percobaan meredakan tangis itu.

*
Dari kisah Pasha yang tampaknya agak susah dalam hal kreasi kerajinan tangan, sekali lagi menjadi kesimpulan (pengingat diri sendiri) bahwa tiap anak tidak bisa disamakan alias berbeda minat dan bakatnya.

Saya sendiri bahkan termasuk yang 'lemah tangan' kalau sudah berurusan dengan kerajinan tangan. Semisal membuat ikat rambut dan sebangsanya dari benang wol ataupun benang rajut.

Itu yang terkategori anak sebagaimana umumnya. Lebih 'menarik' lagi dengan anak berkebutuhan khusus.

Saya juga menjadi belajar; membiarkan, membebaskan, mengikhlaskan kesukaan si kecil terhadap satu hal lebih dibanding hal lainnya. Namun, tetap saja, saya berprinsip mesti ada arahan. Dan minimal mengenalkan hal lain yang tidak terlampau disukai anak. Entah kegiatan, hobi sampai makanan.

Kalimat saat bercakap-cakap dengan si buah hati pun sedikit banyak berbeda. Kalau terhadap anak semisal Pasha bisa lembut seperti di atas. Maka pada si kecil--yang terkadang masih ada kata/kalimat yang dipahami dia sendiri, saya harus lebih lembut, banyak membujuk, memeluk. Atau sekali waktu malah sebaliknya, sedikit 'galak', menyesuaikan kondisi (ah, atau tepatnya, saat itu sedang minim kesabaran). Yang jelas, saya mengusahakan betapa kelak, di dunia yang ia tapaki saat-saat selanjutnya, ada banyak hal 'rumit' yang mesti dihadapi. Dia harus bisa mencoba mengerti keumuman dunia, alih-alih dunia yang memahami kekhususannya.

Lagi-lagi tentu semua sebagai tindakan preventif. Saya ingin si kecil tetap menjadi dirinya sendiri. Dengan kelebihan-kekurangannya. Dengan minat-bakatnya (yang bagaimanapun tetap bisa positif dan bermanfaat). Sebab akan sampai pada masanya orangtua memiliki batas dari membersamai sang anak.


Sleman, 25 Mac 2016

Selasa, 29 Desember 2015

[Resensi] Novel Bulan Nararya


 Sisi Psikis Sang Terapis







Judul Buku                  : BULAN NARARYA
Penulis                         : Sinta Yudisia
Genre                          : Fiksi Psikologi
Penerbit                       : Indiva Media Kreasi
Editor                          : Mastris Radyamas
Desain Sampul            : Andhi Rasydan & Naafi Nur Rohma
Cetakan                       : I, September 2014
Tebal                           : 256 halaman; 19 cm
ISBN                           : 978-602-1614-33-4
Harga                          : Rp. 46.000,-


Permusuhan menciptakan kesepian—juga kekuasaan. Aku merasa lebih bertahta
Meski terisolasi. Membangun dinding. Mengunci diam. (halaman 7)

Nararya yang biasa dipanggil Rara, bekerja di salah satu klinik rehabilitasi mental milik Bu Sausan di Surabaya. Sebagai salah satu terapis di bagian schizophrenia, membuatnya bersahabat dengan Yudhistira yang identik dengan tisu, semprotan disinfektan di saku baju-celana, Pak Bulan yang terobsesi dengan purnama dan Sania yang hanya mengenal kata ‘benci’.

Dengan ketiga orang itulah Nararya sangat terikat secara emosional. Akrab, menganggap mereka sebagai teman sendiri. Ketika merasa teman lainnya yang ‘normal’ tak cukup mengerti dirinya. Lara hati Nararya yang terlanjur menganga bahkan dilipur oleh keberadaan mereka. Atau barangkali lebih tepatnya, Rara yang lebih memilih bersama mereka.

Kisah dibuka dengan Rara yang diberitahu ada meeting  di klinik oleh Moza. Dari sinilah kemudian pembaca digiring pada percakapan antara Rara dan Moza yang cenderung seperti perang dingin. Ditambah ide baru Rara dalam menyembuhkan para klien dengan metode transpersonal: suatu aliran baru psikologi yang menyembuhkan penderita gangguan mental dengan pendekatan budaya, pengalaman puncak seperti Sufi, Shaman, Tao, Tantra, Zen (halaman 256), membuat Moza yang dulunya sahabat karib Rara, semakin berjarak dengannya.


Bila di klinik Rara harus bergulat dengan para klien, maka sebetulnya dia pun mesti berjibaku dengan kondisi diri plus hatinya sendiri. Rara mati-matian berpura-pura jika selepas pernikahannya dengan Angga kandas, dia baik-baik saja. Sebab nyatanya adalah kebalikannya. Wajar tentu, ketika sahabat sendiri terendus intim dengan sang (mantan) suami, setelah pernikahan menginjak usia 10 tahun.

Di ruang manapun bila dia pulang, bayang-bayang Angga masih menghantui. Pertemuan pertama dengan Angga di satu seminar, momen spesial saat Angga melamar, hingga sikapnya yang penuh perhatian. Lalu pengkhianatan itu. Terus berputar-putar di tempurung kepala Rara. Problem itulah yang agaknya menjadi pangkal konflik batin Nararya, si tokoh utama. Yang bahkan secara pribadi mengalami gangguan, semacam sulit tidur lalu terkadang ada halusinasi-halusinasi yang dialami.

Kisah selanjutnya bergulir pada usaha Nararya melakukan mediasi dengan keluarga—ibu, tiga kakak perempuan dan istri—Yudhistira (seorang pengidap schizoprenia) yang alot. Namun, dari pertemuan-pertemuan itu Nararya menemukan benang merah apa yang menjadi pemicu atau penyebab Yudhistira yang teramat menyukai melukis terkena schizophrenia.

Ketegangan hari-hari Nararya di klinik muncul saat kemudian Nararya sering merasa di depan ruang kerjanya ada sesuatu yang mengetuk-ngetuk pintu, suara gesekan kaki ke lantai dalam nada cemas, dan seseorang entah siapa di balik sana. Sisi psikis Nararya sejak itu semakin terganggu. Terlebih pada kenangan hubungannya dengan Angga yang sejatinya benar-benar tidak mampu ditepis.

Sampai … di satu hari hendak pulang, saat memberanikan membuka pintu—sebab suara-suara halus itu sampai lagi ke telinga—di depan ruangan kerja Nararya berserakan beberapa kelopak mawar yang tercerabut dari tangkainya. Juga yang paling membuatnya shok, ada tetes-tetes darah pekat berceceran di sana. Anggalah yang pertama kali ada saat Rara kalap ketakutan. Lebih-lebih ketika ditengoknya kembali lantai di depan pintu tadi, tak ada apapun di sana. Sedikitpun jejak atau bekas. Membuat semua positif beranggapan bila Nararya sang terapis juga telah terganggu psikisnya.

Nararya berusaha membuktikan apa yang terjadi dan dialaminya bukan halusinasi belaka. Bahwa itu kenyataan. Ada seseorang tampak ingin memberi isyarat. Jika Nararya sangat berarti untuknya. Namun, dengan ungkapan dan ekspresi semacam itu. Tapi, siapa kira-kira dia? Apakah Pak Bulan yang memang hobi menanam bunga mawar bahkan memiliki kebun kecil khusus di klinik? Atau Yudhistira, klien yang terkadang melambungkan angan Rara, jika hidup bersamanya dapat lebih baik dibanding dengan Angga dulu? Atau barangkali Angga, yang setelah itu Rara merasa mulai mendekatinya lagi, memberi sinyal seolah ingin kembali?

Membaca Bulan Nararya, seperti berkaca pada kehidupan. Sehebat apapun seseorang selalu ada kekurangan. Bahkan Bu Sausan sang pemilik klinik, dulunya mengalami beberapa gangguan mental termasuk baby blues ketika usia muda. Betapa kondisi psikologi seseorang juga lebih banyak dipengaruhi faktor eksternal.

Alur dan plot novel Sinta Yudisia yang satu ini, sedikit terkesan kelam. Barangkali bersebab tema psikologi yang menjadi bahasan utama. Beberapa istilah dalam ilmu psikologi yang akan pembaca temui di sini serta merta menambah wawasan. Dan kisah yang disajikan juga memberi pembelajaran, jika seseorang yang mengalami gangguan mental sejatinya dapat dibantu untuk pulih dengan tetap ada interaksi dengan anggota keluarga. Sinta Yudisia—yang memang sedang menyelesaikan studi Magister Psikologi Profesi ini—seperti hendak ‘menyindir’ secara halus. Sebab di banyak kenyataan, keluarga yang salah satu anggotanya mengalami gangguan mental, lebih memilih tak mau tahu dengan apa yang terjadi dengannya. Bagian inilah yang dikritisi. Karena sikap menolak keluarga justru memperburuk keadaan.

Bila ditilik saksama dari awal hingga akhir, tak ada klimaks yang benar-benar klimaks di novel Bulan Nararya ini. Kecuali pada plot-plot ketika Nararya ‘diteror’ dan pada aksinya yang berusaha menyibak pelaku sekaligus untuk membuktikan bila dia ‘sehat’ tanpa gangguan mental. Selebihnya, alur serasa sangat lambat dan syahdu. Bagai berada di pantai dengan embusan angin sepoi-sepoi dan helaan napas lembut. Ending pun ditutup dengan scene yang sama lembutnya. Percakapan antara Yudhistira  dengan Nararya sebelum Nararya pergi dari divisi mental yang selama ini dipegangnya.

Novel peraih "Juara III Kompetesi Menulis Tulis Nusantara 2013 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia" untuk kategori novel ini, patut duacungi jempol. Sebab riset yang dilakukan bukan sekadar pada setting tempat atau waktu, melainkan lebih dalam yaitu pada karakter-karakter manusia. Terutama pada orang dengan gangguan mental, dan ini bahkan bisa terjadi pada siapa saja, hatta seorang terapis sekalipun.

Yang menjadi nilai plus lain pada novel ini mungkin pada kalimat-kalimat nasihat (Bu Sausan) yang beberapa ditujukan pada Nararya. Tapi dapat pembaca resapi pula untuk terapi diri sendiri. Dari novel ini juga pembaca dapat belajar melihat dan memahami sesuatu hal lebih berbeda dari sebelumnya.



“Mengapa hanya matahari yang boleh terlihat di siang hari? Sesekali aku melihat bulan saat pagi dan terang.”
Melihat semesta dengan hati, berbicara dengan kulit, membaca sesuatu dengan telinga dan mencoba memahami kalimat dengan mata.

Halaman 255


***

Peresensi: Dini Nurhayati
Cirebon, 29 Desember 2015

Minggu, 20 Desember 2015

[Resensi] Novel Pulang: Kapan Pulang Dilayar-lebarkan?



Kapan Pulang Dilayar-lebarkan?






Judul buku      : PULANG
Penulis             : Tere Liye
Penerbit           : Republika Penerbit
Cetakan           : VIII, November 2015
Tebal                : iv + 400 halaman
ISBN                 : 978-602-082-212-9



“... Sungguh, besok lusa kau akan pulang. Jika tidak ke pangkuan Mamak, kau akan pulang pada hakikat sejati yang ada di dalam dirimu. Pulang ....”
(hal. 24)


            Usai  membasmi kawanan babi hutan di rimba Sumatera, Bujang ikut serta dengan rombongan pemburu, ke Kota Provinsi. Sesuatu yang ternyata telah dijanjikan oleh Samad, bapaknya, belasan tahun lalu. Bujang sendiri memang menginginkan itu. Pergi dari talang, kampung halamannya. Pergi menjauh dari bapaknya sendiri—yang diam-diam dia benci.

Dengan serentetan pesan itulah, Bujang diijinkan Mamak pergi. Mamak juga berkali-kali menekankan pada putra semata wayangnya tersebut, agar Bujang tidak sekalipun, tidak sedikitpun, mengisi perutnya dengan sesuatu yang haram—makanan pun minuman. Alasan terbesarnya adalah supaya kelak, bila masa itu tiba, jiwa Bujang dapat terpanggil pulang, setelah apapun yang dia lakukan, setelah apapun yang dialaminya. Mamaknya sungguh sudah paham kehidupan macam apa yang akan dijalani Bujang. Itulah mengapa, di menit-menit terakhir kebersamaan mereka,  Mamak terus membuatnya berjanji dan meyakinkan diri agar itu dipegang teguh Bujang. Agar setidaknya ada ‘kebaikan’ dalam tubuh anaknya.

Maka, jadilah Bujang si Babi Hutan diangkat anak oleh Tauke Besar, pemimpin rombongan pemburu sekaligus Keluarga Tong. Salah satu keluarga yang menjalankan shadow economy. Dan termasuk yang berperan penting, di balik semua situasi politik negeri. Di Kota Provinsi, Bujang rupanya disekolahkan oleh Tauke Besar, bahkan tidak dibiarkan terluka. Hal yang mulanya tidak disukai Bujang. Karena dia menginginkan beraksi seperti anggota Keluarga Tong lainnya. Menjadi tukang pukul, sebagaimana keinginannya.

Bujang, anak talang di lereng Bukit Barisan Sumatera, berusia 15 tahun, tak pernah sekolah, ternyata anak cerdas. Maka dengan mudah dia dapat menyusul ketinggalan tiga masa pembelajaran. Melewati SD, SMP dan SMA. Bahkan, kemudian dia juga dapat dengan lancar melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Hingga mampu menyelesaikan dua master di universitas luar negeri. Sembari belajar, Bujang Si babi Hutan pun bergantian berlatih berlari bersama Kopong, ilmu ninja pada Guru Bushi dan menembak pada Salonga.

Semua berjalan seiring meningkatnya bisnis dunia hitam Keluarga Tong plus perubahan status keluarga tersebut yang semakin besar. Dari Kota Provinsi, Bujang dan seluruh anggota Keluarga Tong pun pindah ke Ibu Kota. Dari sinilah, alur cerita bergulir dan konflik mulai muncul. Suatu hari, Mamak Bujang dikabarkan wafat melalui sepucuk surat yang dikirim Bapak. Lalu menyusul dengan kematian bapak. Gesekan dengan Keluarga Lin—kelompok penguasa bisnis dunia hitam atau shadow economy di Makau. Sampai puncaknya yaitu, pengkhianatan dalam Keluarga Tong sendiri, oleh seseorang yang tak pernah disangka Bujang. Di saat terjadi konflik tersebut, Tauke Besar yang memang sudah tua (70 tahun) dan sakit-sakitan akhirnya meninggal. Dengan begitu, tiga lapis tameng ketakutan yang Bujang akui sebagai kekuatannya, roboh. Memunculkan kembali rasa takut yang hilang 20 tahun silam usai dia mengalahkan babi hutan terbesar di rimba Sumatera. Yang mengherankan Bujang, momen kematian tiga orang terpentingnya kerap berbarengan dengan kumandang adzan Shubuh. Menyebabkan dia bertambah benci pada panggilan salat itu.

Membaca novel Pulang, mengingatkan pada “Negeri Para bedebah” (yang belum saya baca lalu mengira-terka isinya seperti ini kurang lebih), khususnya di bagian tentang shadow economy. Penceritaan soal bagaimana di hampir semua elemen penting negara, kekuasaan dunia hitam, konspirasi dan seputar itu memegang peranan, membuat saya bertanya-tanya sekaligus merasa ngeri. Dan meski tidak persis seperti dalam cerita, saya memercayai beberapa hal itu memang terjadi, entah di bagian mana.

Disampaikan dengan alur maju mundur, membuat novel ini menarik untuk diikuti. Tere Liye bisa dibilang piawai dalam menutup tiap chapter dengan mengundang penasaran di benak pembaca. Alhasil, novel setebal kurang lebih 400 halaman ini, asik dibuka lembar demi lembar. Apalagi dengan bumbu action ala film Holywood, gabungan antara film mafia, James Bond dan ninja. Dengan alur yang bertahap menjadi seru, mampu mengobati rasa bosan di bab-bab awal yang hampir membuat saya mengira tone novel ini akan selambat “Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin”. Well, untung saja tidak.

Ada beberapa catatan saya dapatkan usai membaca novel Pulang karya Tere Liye ini. Penggambaran tokoh Bujang minim. Dari segi ciri khas fisik. Hanya disebutkan secara umum saja, semula remaja (talang) yang terbiasa tanpa alas kaki menjelma pria dewasa yang gagah, kuat, tak terkalahkan meski tidak tinggi besar. Ditambah selanjutnya cerdas, jenius bahkan, menjadi sesuatu yang dipaksakan demi ketersambungan kisah dan takdir sosok Bujang di sini. Mungkin bukan satu hal krusial, hanya mengingat ini kelas novel, sepertinya ada cukup ruang untuk mengidentifikasi tokoh Bujang.

Setting khusus yang menyebut talang, Bukit Barisan dan rimba Sumatera kurang tereksplor. Lain soal dengan setting seperti Kota Provinsi dan Ibu Kota yang dalam penyebutannya tidak spesifik. Tapi cukup memberi kesimpulan pada pembaca.

Berikutnya, mungkin ini lebih tepat sebagai koreksi terhadap penyunting. Ada kesalah ketikan pada nama Parwez di halaman 71. Di sana tertulis ‘Pawez’.

Terakhir, dan ini yang paling penting dan kurang logis menurut saya, plus mengurangi ‘bintang’. Yaitu pada narasi di halaman 349 hingga halaman 351. Sejak cerita dimulai, saya yakin betul kalau sudut pandang penceritaan di novel Pulang ini menggunakan sudut pandang orang pertama (PoV 1), Bujang sendiri. Namun di beberapa halaman awal ditemui dua-tiga paragraf yang menunjukkan seolah Bujang tahu segalanya. Khusus di tiga halaman yang saya sebut di atas, keganjilan itu amat terasa. Pada adegan di mana Bujang menelepon White.

Masih mengenakan celemek, White mendekat santai, lantas menerima gagang telepon. (hal. 349)

“Kau harus pergi berperang White!” Frans yang menjawabnya dengan suara masih bergetar dari atas kursi dorong, .... (hal. 350)

Aku memutus sambungan telepon. White meletakkan gagang telepon, dia berteriak memanggil koki dan pelayan restorannya, bilang dia harus segera pergi. (hal. 351)

Bagaimana mungkin Bujang bisa tahu White mendekat meraih gagang telepon dalam keadaan masih memakai celemek, atau Frans si Amerika—ayah White duduk di kursi dorong?  Sebutlah Bujang sudah hapal dengan tempat (restoran) di mana White dan Frans berada, tetap saja itu terasa ‘berlebihan’. Mengingat prinsip penggunaan PoV-1 yang—sepengetahuan saya—terbatas. Tidak segala hal dapat dipaparkan, hanya ketika seluruh panca indera si orang pertama tersebut terlibat. Atau, ini teknik lain? Bila iya dan bisa begitu, agaknya saya ingin ngelmu pada Tere Liye tentang ini.

Satu hal kecil lain, soal “samurai sejati”. Tampak terlalu cepat dan mudah diraih Bujang. Sedangkan sebelumnya kondisi Si Babi Hutan itu terancam, tak berdaya lalu setelah hampir terkena khanjar si pengkhianat, dia terdiam lama. Dan, tiba-tiba ... dia mengerti semua, dia temukan jawaban dari semua pertanyaannya, dia mendapatkan kunci utama ilmu tertinggi dalam samurai. Lebih-lebih pada ucapan Bujang: Aku telah menjadi samurai sejati. Malam ini. (hal. 389). Seketika hati saya berkomentar, ya, ampun, Mak ... sombongnya Bujang ini.

Dari semua pendapat saya tadi, secara keseluruhan novel ini bagus. Bahkan di bagian sampul belakang, di bawah barcode, tertulis ‘Penunjang Kepustakaan Umum’.

Catatan lain, sesudah novel The Road to the Empire karya Sinta Yudisia dulu yang dari kacamata saya begitu filmis dan terbayang-bayang serunya bila berbentuk movie, barangkali novel Pulang ini adalah yang berikutnya, yang termasuk saya setujui pula kalau hendak dilayar-lebarkan. Empat bintang untuk Pulang! Salam sukses! J



Peresensi: Dini Nurhayati, Sleman – D.I.Y

Rabu, 16 Desember 2015

[RESENSI] Rahasia Pelangi

Rahasia PelangiRahasia Pelangi by Riawani Elyta
My rating: 4 of 5 stars


Judul buku: Rahasia Pelangi
Penulis: Riawani Elyta dan Shabrina Ws
Penerbit: GagasMedia
Cetakan, tahun terbit: Pertama, 2015
Tebal: x + 326 halaman
ISBN: 979-780-820-3

:: Dua Konflik di Tesso Nilo ::

Anjani memiliki trauma masa lalu tentang gajah, kala masih anak-anak. Dan bertahun kemudian, saat dia beranjak dewasa, untuk membunuh traumanya, Anjani justru memutuskan menjadi seorang mahout. Dan Chay, salah satu mahout senior asal Thailand yang pendiam mengetahuinya juga. Bahkan telah diam-diam memerhatikan Anjani, sedari mereka bertemu pertama kalinya di Way Kambas.

Sama sekali tak ada rasa dari Anjani untuk Chay, tapi sejak ia membantu Chay menangani Rubi—gajah betina--yang hendak melahirkan pandangannya berubah. Bodohnya, Anjani tidak kunjung menyadari atau mau mengakui rasanya sendiri. Hingga satu rombongan kecil dari CWO (Change World Organization) berkunjung ke Tesso Nilo dengan tujuan survey untuk Forest Camp yang akan mereka adakan. Dan Rachel salah satu dari rombongan itu anehnya bisa cepat akrab bahkan setiap hari semakin dekat dengan Chay (hal. 98-103). Lalu Anjani malah semakin menjauhi Chay, juga lagi-lagi tanpa dia sadari, Rachel yang blasteran itu pun dia benci.

Membaca Rahasia Pelangi yang ditulis duet ini membuat saya bolak-balik membuka kertas termasuk mengamati lamat-lamat halaman ucapan terima kasih. Penasaran dengan bagian mana ditulis oleh siapa. Sebab dari penuturunnya tidak terlihat beda. Dari 'simbol' dedaunan dan atap tenda sirkus-lah, akhirnya dengan sok tahu saya simpulkan Riawani menulis bagian Rachel, sedangkan Shabrina bagian Anjani. Ya, novel ini memiliki dua sudut pandang penceritaan: Anjani dan Rachel.

Banyak hal yang membuat mata pun hati menghangat dari Rahasia Pelangi ini. Terlebih pada paragraf-paragraf yang mendeskripsikan perilaku gajah. Seperti saat Beno mengulurkan belalai, menepuk lembut kepala Anjani, menaburkan daun kering ke atas kepalanya, kala gadis itu dilanda resah. Benar-benar membuat saya ingin bersahabat juga dengan gajah.

Selain konflik hati Anjani, Rahasia Pelangi juga mengisahkan tentang konflik antara gajah-manusia. Saya bahkan secara khusus (didorong rasa ingin tahu) googling tentang Tesso Nilo. Konflik itu memang sering terjadi dan sudah sejak lama. Setting waktu novel ini pun di halaman awal-awal disebut pada tahun 2012. Dan image bagaimana iring-iringan Tim Flying Squad menghalau gajah liar berlatar hijaunya hutan pun dapat terbayang.

Dengan plot konflik itu juga, Rachel mengalami kecelakaan: diserang gajah liar. Anjani yang merasa bertanggung jawab akan kejadian itu, diliputi bersalah terus menerus.

Saya pikir, barangkali novel ini bisa dihadiahkan kepada para mahout di Tesso Nilo. Karena jika saya menjadi salah satunya, merupakan hal yang sangat berharga sekali bila keseharian kami bisa tertuang dalam novel.

Ah, kembali ke kisah Anjani dan Rachel, bagaimana akhir dari konflik hati mereka? Siapa yang kemudian bersama Chay? Konon, cinta jatuh tak pernah terlalu jauh .... (potongan quote di sampul muka novel) :)


Sleman, 11 Desember 2015


View all my reviews