Kapan Pulang Dilayar-lebarkan?
Judul buku : PULANG
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika Penerbit
Cetakan : VIII, November 2015
Tebal : iv + 400 halaman
ISBN : 978-602-082-212-9
“... Sungguh, besok
lusa kau akan pulang. Jika tidak ke pangkuan Mamak, kau akan pulang pada
hakikat sejati yang ada di dalam dirimu. Pulang ....”
(hal. 24)
Usai membasmi kawanan babi hutan di rimba
Sumatera, Bujang ikut serta dengan rombongan pemburu, ke Kota Provinsi. Sesuatu
yang ternyata telah dijanjikan oleh Samad, bapaknya, belasan tahun lalu. Bujang
sendiri memang menginginkan itu. Pergi dari talang, kampung halamannya. Pergi
menjauh dari bapaknya sendiri—yang diam-diam dia benci.
Dengan serentetan pesan itulah,
Bujang diijinkan Mamak pergi. Mamak juga berkali-kali menekankan pada putra
semata wayangnya tersebut, agar Bujang tidak sekalipun, tidak sedikitpun, mengisi
perutnya dengan sesuatu yang haram—makanan pun minuman. Alasan terbesarnya adalah
supaya kelak, bila masa itu tiba, jiwa Bujang dapat terpanggil pulang, setelah
apapun yang dia lakukan, setelah apapun yang dialaminya. Mamaknya sungguh sudah
paham kehidupan macam apa yang akan dijalani Bujang. Itulah mengapa, di
menit-menit terakhir kebersamaan mereka, Mamak terus membuatnya berjanji dan meyakinkan
diri agar itu dipegang teguh Bujang. Agar setidaknya ada ‘kebaikan’ dalam tubuh
anaknya.
Maka, jadilah Bujang si Babi Hutan
diangkat anak oleh Tauke Besar, pemimpin rombongan pemburu sekaligus Keluarga
Tong. Salah satu keluarga yang menjalankan shadow
economy. Dan termasuk yang berperan penting, di balik semua situasi politik
negeri. Di Kota Provinsi, Bujang rupanya disekolahkan oleh Tauke Besar, bahkan
tidak dibiarkan terluka. Hal yang mulanya tidak disukai Bujang. Karena dia menginginkan
beraksi seperti anggota Keluarga Tong lainnya. Menjadi tukang pukul,
sebagaimana keinginannya.
Bujang, anak talang di lereng Bukit
Barisan Sumatera, berusia 15 tahun, tak pernah sekolah, ternyata anak cerdas.
Maka dengan mudah dia dapat menyusul ketinggalan tiga masa pembelajaran.
Melewati SD, SMP dan SMA. Bahkan, kemudian dia juga dapat dengan lancar
melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Hingga mampu menyelesaikan
dua master di universitas luar negeri. Sembari belajar, Bujang Si babi Hutan
pun bergantian berlatih berlari bersama Kopong, ilmu ninja pada Guru Bushi dan
menembak pada Salonga.
Semua berjalan seiring meningkatnya
bisnis dunia hitam Keluarga Tong plus perubahan status keluarga tersebut yang
semakin besar. Dari Kota Provinsi, Bujang dan seluruh anggota Keluarga Tong pun
pindah ke Ibu Kota. Dari sinilah, alur cerita bergulir dan konflik mulai muncul.
Suatu hari, Mamak Bujang dikabarkan wafat melalui sepucuk surat yang dikirim
Bapak. Lalu menyusul dengan kematian bapak. Gesekan dengan Keluarga
Lin—kelompok penguasa bisnis dunia hitam atau shadow economy di Makau. Sampai puncaknya yaitu, pengkhianatan
dalam Keluarga Tong sendiri, oleh seseorang yang tak pernah disangka Bujang. Di
saat terjadi konflik tersebut, Tauke Besar yang memang sudah tua (70 tahun) dan
sakit-sakitan akhirnya meninggal. Dengan begitu, tiga lapis tameng ketakutan
yang Bujang akui sebagai kekuatannya, roboh. Memunculkan kembali rasa takut
yang hilang 20 tahun silam usai dia mengalahkan babi hutan terbesar di rimba Sumatera.
Yang mengherankan Bujang, momen kematian tiga orang terpentingnya kerap
berbarengan dengan kumandang adzan Shubuh. Menyebabkan dia bertambah benci pada
panggilan salat itu.
Membaca novel Pulang, mengingatkan pada
“Negeri Para bedebah” (yang belum saya baca lalu mengira-terka isinya seperti ini kurang lebih), khususnya di bagian tentang shadow economy. Penceritaan soal
bagaimana di hampir semua elemen penting negara, kekuasaan dunia hitam,
konspirasi dan seputar itu memegang peranan, membuat saya bertanya-tanya
sekaligus merasa ngeri. Dan meski tidak persis seperti dalam cerita, saya
memercayai beberapa hal itu memang terjadi, entah di bagian mana.
Disampaikan dengan alur maju mundur,
membuat novel ini menarik untuk diikuti. Tere Liye bisa dibilang piawai dalam
menutup tiap chapter dengan
mengundang penasaran di benak pembaca. Alhasil, novel setebal kurang lebih 400
halaman ini, asik dibuka lembar demi lembar. Apalagi dengan bumbu action ala film Holywood, gabungan
antara film mafia, James Bond dan ninja. Dengan alur yang bertahap menjadi
seru, mampu mengobati rasa bosan di bab-bab awal yang hampir membuat saya
mengira tone novel ini akan selambat
“Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin”.
Well, untung saja tidak.
Ada beberapa catatan saya dapatkan
usai membaca novel Pulang karya Tere Liye ini. Penggambaran tokoh Bujang minim.
Dari segi ciri khas fisik. Hanya disebutkan secara umum saja, semula remaja (talang)
yang terbiasa tanpa alas kaki menjelma pria dewasa yang gagah, kuat, tak
terkalahkan meski tidak tinggi besar. Ditambah selanjutnya cerdas, jenius
bahkan, menjadi sesuatu yang dipaksakan demi ketersambungan kisah dan takdir
sosok Bujang di sini. Mungkin bukan satu hal krusial, hanya mengingat ini kelas
novel, sepertinya ada cukup ruang untuk mengidentifikasi tokoh Bujang.
Setting khusus yang menyebut talang, Bukit
Barisan dan rimba Sumatera kurang tereksplor. Lain soal dengan setting seperti
Kota Provinsi dan Ibu Kota yang dalam penyebutannya tidak spesifik. Tapi cukup
memberi kesimpulan pada pembaca.
Berikutnya, mungkin ini lebih tepat
sebagai koreksi terhadap penyunting. Ada kesalah ketikan pada nama Parwez di
halaman 71. Di sana tertulis ‘Pawez’.
Terakhir, dan ini yang paling penting
dan kurang logis menurut saya, plus mengurangi ‘bintang’. Yaitu pada narasi di
halaman 349 hingga halaman 351. Sejak cerita dimulai, saya yakin betul kalau sudut
pandang penceritaan di novel Pulang ini menggunakan sudut pandang orang pertama
(PoV 1), Bujang sendiri. Namun di beberapa halaman awal ditemui dua-tiga
paragraf yang menunjukkan seolah Bujang tahu segalanya. Khusus di tiga halaman
yang saya sebut di atas, keganjilan itu amat terasa. Pada adegan di mana Bujang
menelepon White.
Masih mengenakan celemek,
White mendekat santai, lantas menerima gagang telepon. (hal. 349)
“Kau harus pergi berperang White!” Frans yang menjawabnya dengan suara
masih bergetar dari atas kursi dorong,
.... (hal. 350)
Aku memutus sambungan telepon. White meletakkan gagang telepon, dia
berteriak memanggil koki dan pelayan restorannya, bilang dia harus segera
pergi. (hal. 351)
Bagaimana mungkin Bujang bisa tahu White
mendekat meraih gagang telepon dalam keadaan masih memakai celemek, atau Frans
si Amerika—ayah White duduk di kursi dorong? Sebutlah Bujang sudah hapal dengan tempat (restoran)
di mana White dan Frans berada, tetap saja itu terasa ‘berlebihan’. Mengingat prinsip
penggunaan PoV-1 yang—sepengetahuan saya—terbatas. Tidak segala hal dapat
dipaparkan, hanya ketika seluruh panca indera si orang pertama tersebut
terlibat. Atau, ini teknik lain? Bila iya dan bisa begitu, agaknya saya ingin ngelmu pada Tere Liye tentang ini.
Satu hal kecil lain, soal “samurai
sejati”. Tampak terlalu cepat dan mudah diraih Bujang. Sedangkan sebelumnya
kondisi Si Babi Hutan itu terancam, tak berdaya lalu setelah hampir terkena
khanjar si pengkhianat, dia terdiam lama. Dan, tiba-tiba ... dia mengerti
semua, dia temukan jawaban dari semua pertanyaannya, dia mendapatkan kunci
utama ilmu tertinggi dalam samurai. Lebih-lebih pada ucapan Bujang: Aku telah menjadi samurai sejati. Malam ini.
(hal. 389). Seketika hati saya berkomentar, ya, ampun, Mak ... sombongnya Bujang ini.
Dari semua pendapat saya tadi, secara
keseluruhan novel ini bagus. Bahkan di bagian sampul belakang, di bawah barcode, tertulis ‘Penunjang Kepustakaan
Umum’.
Catatan lain, sesudah novel The Road
to the Empire karya Sinta Yudisia dulu yang dari kacamata saya begitu filmis dan
terbayang-bayang serunya bila berbentuk movie,
barangkali novel Pulang ini adalah yang berikutnya, yang termasuk saya setujui pula
kalau hendak dilayar-lebarkan. Empat bintang untuk Pulang! Salam sukses! J
Peresensi: Dini Nurhayati, Sleman – D.I.Y