Kamis, 31 Agustus 2017

Mempelajari Ujaran Orang Yogyakarta Eps. 2

Bismillah

Salaam Sobat,
Di sekian postingan lalu, saya ada membahas tentang kalimat 'negatif' di mana kata jangan bertemu dengan kata tidak, sehingga justeru menjadi positif. Nah, kali ini pengen sok-sokan membedah lagi. Tentang ucapan ketika anak sakit.

Kemarin, selama di Sleman-DIY, cukup sering saya mendengar para orangtua menyebut "baru sakit" ketika anak mereka sakit.

Kok, begitu saja dibuat aneh? Hehe, bukan aneh, hanya saja lagi-lagi ini terkait pengalaman saya pribadi. Di kota di mana saya tumbuh, sebutan yang kerap dilontarkan adalah, "sedang sakit". Nah, saya--seperti bedah kalimat sebelumnya--mulai berpikir dan mencoba mengulik apa perbedaannya secara maknawi.

Baru dan sedang, jelas kata yang berbeda. Lalu disambungkan dengan kata sakit, semakin berbeda tentunya.

"Baru sakit" dan "sedang sakit". Menyebut baru sakit, atau baru rewel yang saya amati lebih karena agar yang sakit dan atau rewel tersebut tidak berlanjut sakit terus. Sehingga, ketika ada yang bertanya--meskipun misalnya sudah sekitar 2/3 hari sakitnya--para orangtua tetap menjawab baru sakit.

Berbeda bila menggunakan "sedang sakit". Seolah bila terus menerus disebut demikian, berpegaruh juga terhadap kesembuhan dan kesehatan yang sakit. Lagi-lagi, pada akhirnya kembali ke soalan tentang bahwa ucapan adalah doa. Begitu kurang lebih.


Cirebon, Agustus 2017

#ODOP29
#ODOP
#BloggerMuslimahIndonesia





Rabu, 30 Agustus 2017

Mencemburui Ibadah Orang Lain

Mencemburui Ibadah Orang Lain



Kumelihat sekumpulan orang, gurat kefanaan dunia tak kentara di keningnya.  Berona segar sekaligus tegar, itu yang ada di wajah mereka. Sama berpeluh, sama bermata lelah, sama menguapnya. Tak sama suara rongga saat mengeluarkan si uap: mulutku ber"kaaak" terbuka lebar lalu sebulir dua, air menitik di sudut kornea. Sedang mereka, ada gerak punggung tangan yang sigap menutupnya.

Kumelihat sekumpulan orang, kekecewaan tak pernah hinggap lama di hatinya. Berpanjang-lebar pakaian, gamis, jilbab mereka. Tak berkeras ingin lekukan dada, pinggang dan pinggul dipuja-puji siapa juga. Tak beralasan sebabkan gerak menghambat. Sama bekerja, sama mencari rupiah. Tak sama gelombang di ubun-ubunnya. Kepala dan kepalanku tak pernah merasa cukup, merasa harus bisa mengendalikan hingga akhir. Sedang mereka, merasa cukup dengan yang dicoba, lalu melepas, berpasrah perihal akhirnya.

Aku cemburu pada mereka.


Cirebon, Agustus 2017

#ODOP28
#ODOP

Senin, 28 Agustus 2017

#DapurBundi: Kue Pukis Imut

#DapurBundi: Kue Pukis Imut

Bismillah

Hari ini Ahad yang cukup cerah. Angin pun tidak terlalu kencang bertiup seperti hari sebelumnya. Atau karena saya tidak ke mana-mana ya, di dalam rumah saja, keluar cuma sampai depan pagar rumah ketemu Mang Sayur.

Nah, dari sejak malamnya sudah niat kepengin praktek bikin kue. Alhamdulillah, bahan pun sudah lengkap. Ini ngumpulin bahan saja nyicil lho, hehe, padahal bahan segitu doang. Sebab faktor lupa juga sih.

Hasil akhirnya.
Meses cokelatnya melimpaaah.


Well, oke cukup chit chat-nya deh. Seperti judulnya, postingan kali ini saya isi dengan cerita praktek tadi siang. Coba-coba membuat Kue Pukis ala-ala yang setengah bulat dan imut. Resep dapat dari medsos, tapi saya modif. Cukup mudah, yuuk yang penasaran simak caranya.

Bahan:
1. 100gr Tepung terigu serba guna. Saya pakai takaran sekitar 10 sendok makan (sdm)
2. 75gr gula pasir. Kalau saya cuma sekitar 2sdm saja
3. 150ml susu cair--SKM
4. 1 butir telur ayam
5. 1/2 sdt garam
6. 1/2 sdt baking powder *
7. 1/2 sdt baking soda *
8. 1 sdm margarin, lelehkan/cairkan
9. 1 sdm minyak sayur
10. Secukupnya margarin untuk olesan cetakan
11. Meses cokelat, untuk topping


*Bisa di-skip. Gantinya dengan menambahkan telur. Sebab ini tujuannya untuk mengembangkan adonan.

Cara membuat:
1. Campur semua bahan satu persatu. Biasanya yang pertama adalah kocok telur dan gula. Lanjutkan dengan bahan lain. Hingga rata dan lembut.

Berhubung tidak punya whisk atau mixer, saya pakai blender. ^^



2. Diamkan sekitar 10 menit.


3. Sementara adonan didiamkan, siapkan cetakan takoyaki. Panaskan dengan api sedang cenderung kecil. Lalu, olesi setiap lubangnya dengan margarin.

4. Masukkan adonan ke setiap lubang.



5. Tunggu hingga bagian tengah tidak terlalu basah--tapi juga jangan sampai keburu kering, taburi dengan meses cokelat. Topping bisa diganti sesuai selera ya. Misal keju parut atau di potong kecil bentuk dadu; bisa juga irisan pisang.

6. Tunggu lagi sampai adonan seperti berbuih. Kemudian tutup cetakan takoyaki. Api tetap kecil ya, Sobat.

Kalau bagian tepinya sudah terlihat agak cokelat, cek bagian tengah, tusuk dengan lidi. Kalau saya pakai tusuk sate ukuran kecil.

Jika kering pertanda matang, angkat, taruh ke wadah.

Lakukan hingga adonan habis. Sajikan dengan bahagia, lanjut serbu bareng keluarga. ^^

Oh, iya, dari adonan di atas bisa menghasilkan 20-22 pukis.

Selamat mencoba dan menikmati.


Cirebon, Agustus 2017


#ODOP27
#ODOP
#BloggerMuslimahIndonesiawww.bloggermuslimah.id

Minggu, 27 Agustus 2017

Menyebabkan Orang Terlambat Salat

Menyebabkan Orang Terlambat Salat (Duh, Dosa Tidak, Ya?)

Hal di atas terjadi ketika bulan puasa Juni kemarin ini. Biasaaa, antar tetangga kan memang suka obrol-obrol, mumpar-mampir atau sharing apalah (sungguh?).

Saya sudah agak lupa (lupa melulu banyak dosa nih :'( ) kronologi tepatnya. Bakda maghrib, lepas berbuka puasa, saya mampir ke tetangga. Sepertinya hendak ikut menitip sesuatu. Sebab hampir setiap pagi dia pergi belanja ke warung sayur mayur. Biasanya yang saya titip semisal beli bawang merah, cabe merah, dan tomat. Sebab terkadang di bakul sayur keliling--yang mana lewatnya agak siang--suka kehabisan jika pas butuh.

Tidak tahunya obrolan melompat ke sana ke mari. Dan saya tidak tahu tetangga saya itu ternyata belum salat maghrib. Sampai dia berujar:

"Ehh, saya tuh belum sholat maghrib. Bentar ya?"

Semi shock, saya pun membalas.

"Laahhh, iya atuh sok sholat. Saya pulang dulu."

Sekian menit sampai rumah, azan isya berkumandang. Dan ini ashli (pake shod ^^v) membuat saya ngelamun galau gundah gulana. Keesokannya, saat ada kesempatan nangga lagi--ambil titipan sih agaknya--saya sekalian mencurahkan kegelisahan hati. Betapa sangat merasa bersalahnya saya (deu ya bahasane).

"Si ibu mah, tadi malam pas saya datang kenapa gak duluan bilang belum sholat?" Tutur saya kurang lebih. "Begitu sampai rumah sekian menit, kan itu azan isya. Saya kepikiran si ibu sholatnya sempat gak? Saya berdosa dong nih..."

Si ibu tetangga senyum meringis lihat perwajahan saya berekspresi mengenaskan.

"Hehe, iya emang mepet banget. Begitu salam, eh adzan," responnya, "saya yang salah sih, keasyikan makan ini-itu. Sholat maghribnya di-entar entar. Mestinya jangan, ya?" Dia malah bertanya.

"Saya sering juga sih, pas berbuka, sebab berasa lapar banget, habis takjil langsung lanjut makan nasi." Jujur saya sampaikan. Iya memang begitu. Busui tho yooo, jangan heran tingkat kelaparannya, hehe. "Tapi ala kadarnya saja sih, setengah porsi. Terus jeda sholat dulu. Udah sholat, cemal cemil lagi, atau makan berat lagi. Udah isya juga makan nasi lagi...." Saya tertawa di ujung kalimat. Ngeri juga sih kalau diamati sendiri, 10-15 menit setelah makan masa sudah pengen makan lagi. Sambil mengingat-ingat dan memastikan diri jika saya berdoa sebelum dan sesudah makan.

Tidak mau kejadian hal serupa lagi, saya titip pesan,

"Misal saya datang ke sini pas ibu baru mau sholat, lain kali bilang saja, Bu. Tidak apa-apa. Gampang bisa balik lagi. Daripada saya jadi penyebab orang telat sholat...,"

Iya, terkadang karena sungkan atau merasa tidak enak, kita pilih menerima tamu. Tapi, saya pun misal sudah bersiap hendak salat, lalu tiba-tiba ada yang ketuk pintu, saya temui, tanyakan ada apa. Kalau butuh waktu agak panjang saya sampaikan, "saya mau sholat dulu". Jadi, kepada orang lain pun demikian. Jangan sampai gitu, membuat orang terlambat sholat lagi. Dosa sendiri saja entah sudah seberapa, jangan ditambahi lagi dengan hal-hal seperti tadi atuh lah. Astaghfirulloh.

Diri memang belum baik secara paripurna. Tapi berusaha terus menjadi lebih baik sih sesuatu yang berstatus harus kudu mesti.


Cirebon, Agustus 2017


#ODOP26
#ODOP

Tunas Kelapa Itu Lambangnya

Tunas Kelapa Itu Lambangnya

"Pramuda pramudi... pramuka belum mandi..."

Siapa yang ingat yel yel sindiran di atas? Kalau Sobat akrab banget dengan yel yel barusan, berarti (bisa jadi) kita seangkatan. Eh? Hehe.

Yup, bagi yang masa sekolah (terutama di zaman) SD-nya ikutan kegiatan Pramuka yakni
Praja Muda Karana, mesti ngeh dengan yel yel tadi. Ada kalanya kita yang jadi objek. Lain masa, kita yang 'poyokin' teman. Dengan catatan, timing-nya mesti tepat, yaitu pas pulang dari kegiatan Pramuka sore-sore. Belum mandi, toh? Heheu. Yang pasti, jadi seru-seruan, dibawa asik saja gitu.

Membahas Pramuka, yang hari lahirnya (tepatnya konon ini tanggal diresmikannya) jatuh pada 14 Agustus, saya teringat seru dan asyiknya bisa jadi salah satu anggota kepanduan ini. Walau jujur nih, di bagian latihan baris berbaris, sering bikin bosan.

Dari Pramuka, yang membuat saya suka pertama kali adalah kegiatan KIR, kalau tidak salah sebut ya. Yaitu saat indera kecap dan atau indera penciuman kita dites. Asik dan menarik bagi saya sebab kayak main tebak-tebakan. ^_^ Belum lagi, jadi bisa icip-icip something by free. Suatu ketika, di satu momen kegiatan pramuka ada lomba antar regu, tadinya perwakilan untuk lomba KIR bukan saya. Tapi yang ditunjuk rupanya ada halangan, entah saya lupa ada apa. Pokoknya, kemudian saya yang digiring masuk ke ruangan khusus sembari mata ditutupi kain. Fortunately, dari sekian benda yang disuruh icip banyak betulnya. Jadi, walau awalnya gemeter sebab jadi peserta mendadak, endingnya bisa mengharumkan nama regu. Lalu, yang mulanya ogah-ogahan menjadi anggota pramuka, akhirnya semangat. Meski tetap siih, di bagian menghapal Satya Darma Pramuka, mengkeret. Takut disuruh maju ke depan, berhubung tak kunjung hapal. Soalnya, bagi saya saat itu kalimatnya bikin bingung. (^_^)

Dan dari pramuka, yang menyebalkan satu lagi adalah semaphur (betul tidak ini tulisannya?). Iyap, sama kasusnya, gak hapal-hapal. Padahal suka banget dan pengen banget ngebat-bet bendera semaphur, Tampak keren. Tapi yang PALING hapal cuma huruf A. Sisanya... confusing. Haha.

Well, kalau didaftar ini kegiatan/acara yang saya suka:
1. Berkemah
2. Mencari Jejak
3. Baris berbaris (yang kadang bosen itu, bolak balik terus kalau belum kompak sempurna ^^)
4. KIR
5. Tali temali, seperti membuat tandu.

Yang rada bikin keki (senang, antusias belajarnya tapi sebel gak hapal-hapal, jadi mesti buka 'primbon'):
1. Semaphur
2. Sandi morse
3. Sandi rumput

Sekarang, hanya tinggal kenangan dan ambil manfaatnya.


Cirebon, Agustus 2017

#ODOP13
#ODOP
#BloggerMuslimahIndonesia

Sabtu, 12 Agustus 2017

[KISAH] Ini Masalah Hati

Sumber: Facebook




Seorang pejabat tingkat kota mecurahkan segala perhatian pada putra kesayangannya. Terbayang, bila pergi ke suatu tempat dia lah yang selalu teringat. Bila melihat satu kesenangan, dia pula lah yang hadir lewat pelupuk mata, untuk dibawakan ini-itu. Taukah seperti apa gerangan anak ini? Tersebutlah bahwa sikapnya jauh dari santun, acap kali membuat orang tua mengelus-elus dada, ugal-ugalan, dsb. Apa si Ayah kecewa? Sepertinya tak ada di muka bumi ini orang tua yang senang dan tenang-tenang saja melihat anaknya melenceng dari jalur seharusnya. Meski tak tampak di luar, sesungguhnya di dalam remuk redam. Lalu? Ini masalah hati, walaupun kelakuan si anak amboi selalu meresahkan, perhatian dan kasih sayang tetap tak luput untuk diberikan. Apakah dia anak semata wayang? Tidak! Ada putra-putri yang lainnya. Malahan anak-anak si Pejabat yang lain ini bagi masyarakat sekitar - dan bagi orang tuanya tentu - tampak lebih menyenangkan. Selain sikapnya yang penuh sopan santun, prestasi selalu mereka ukir, tak banyak tingkah pula. Lagi-lagi ini masalah hati, ternyata se'hebat' apapun mereka tak membuat porsi kasih sayang si Pejabat bertambah pada mereka. Hmm, mendengar hal ini saya cuma bisa termenung. 



Dalam dunia pergaulan, hati juga yang menjadikan si A dekat dengan E dan bersahabat dengan U. Lalu tanpa harus konsperensi pers lagi mereka menjadi satu geng. Termasuk yang terjadi pada individu-individu lain saat mereka merasa lebih cocok bergabung dengan kelompok ini, kumpulan anu, grup itu, dan sebagainya. Terbukti dengan adanya bermacam-macam geng di dunia gaul kita. Kecondongan perasaan dalam hati rupanya memimpin sekali lagi. Maka akan ditemui (misalnya) ada 'geng motor', kelompok diskusi sastra Melayu, fans club Harry Potter, "group Blogger" tertentu, paguyuban penikmat kuliner, dlsb. Apakah yang menyatukan mereka disana? Hati. Ya, dalam bersahabat seseorang bisa memiliki multi geng dalam kesehariannya. Seperti hubungan antara kita dengan d’geng dan teman lainnya. Dan tidak berarti kita melulu bersama-sama terus dengan teman-teman geng ini. Namun dalam hal-hal tertentu entah mengapa pada mereka lah tempat kita berasyik ria mengobrol, saling curhat, jalan2 dan melakukan kegiatan bareng lain. Begitulah bila hati bicara. Hanya bagaimana cara diri kita saja yang pandai mengarahkannya agar hati dapat lebih cenderung gaul dengan geng bermutu. Itulah yang membedakan kekuatan kepribadian kita. Menyadari hal ini, saya pun kembali melamun. Terlintas tanya, bagaimana perasaan kawan lain yang tak kudekap tanpa hati?


Termasuk kisah Rosululloh. Dari seluruh istri Rosululloh saw, Siti Khodijah lah yang paling sering disebut-sebut kelebihan dan kebaikannya. Meski beliau telah lama berpulang ke Rahmatulloh. Sehingga – kita sangat tau dengan kisah ini – menimbulkan rasa cemburu teramat sangat dalam diri ‘Aisyah. Dan diantara para istrinya yang masih hidup (kala itu) ‘Aisyah lah teristimewa, yang mendapat rasa sayang lebih banyak dibanding istri-istri lainnya. Apakah istri Rosululloh yang lain tersebut tidak mempunyai kelebihan? Tidak tentu saja. Ini hanya masalah hati. Bahkan Rosululloh pun memiliki seseorang khusus yang hatinya lebih cenderung padanya. Ya, karena beliau saw pun seorang manusia.


Lalu, salahkah hati jika demikian? Rasanya tak adil mengetahui putra-putri si Pejabat yang berprestasi, hanya diperhatikan ‘ala kadarnya’ oleh ayah mereka. Juga untuk kasus yang sama yang terjadi pada putra-putri lain, dan jumlahnya lumayan. Agaknya tak nyaman di hati saat kita ingin dekat dengan seorang teman, namun ternyata dia tak ‘memilih’ kita untuk menjadi karibnya. Sepertinya ada yang keliru, bila ternyata istri-istri Rosululloh dengan rela dan ikhlas membiarkan ‘Aisyah mendapatkan kesempatan berlama-lama dengan Rosululloh saw lebih dari mereka. Sebentuk pengorbanan akan pemahaman hati. Kedengarannya menyedihkan bukan? Tapi sekali lagi, ini masalah hati. Tidak ada yang salah dengan hati sebagaimana yang terjadi pada cinta. Ini Cuma soal kecenderungan hati. Bila ternyata dari beberapa sisi kehidupan seperti contoh di atas – keluarga, sahabat, teman hidup – sedikit yang cenderung pada kita, tak perlu disalahkan. Protes kecil mungkin kadang terjadi dan bisa dilakukan. Namun jika tak mebuahkan hasil jangan kecewa. Sebisa mungkin pahami saja. 


Karena Hati tidak bisa dibohongi rupanya. Sebagaimana kala manusia dihimpit permasalahan hebat luar biasa (dan salah satunya mungkin persoalan diatas), hati secara jujur membutuhkan “the power” yang lebih dahsyat lagi dari bertubi-tubi masalah yang datang. Kekuatan dahsyat yang dapat membantunya. Keluar dari lorong gelap itu. Maka, ketika itu terjadi, hati dengan jujur akan meminta bantuan pada Sang Maha Memiliki Kekuatan tersebut – Alloh swt. Sehingga saat itu, manusia akan spontan ‘memanggil’ Robb-nya. Lalu bersimpuh. Menundukkan kepala. Mengalunkan permohonan lewat lantunan doa-doa panjang ditemani linangan air mata. Satu saja harapannya: agar satu-satunya tempat kepada siapa hatinya cenderung mengarah berkenan mengabulkan “proposal” si pemohon. Entah itu penyesalan dari sebuah kesalahan, penantian cinta ataupun pengharapan akan sebuah cita-cita. Wallohu’alam bishshowab... 



~salah satu tafakur diri ...~ 


Cirebon, 12 Agustus 2017

#ODOP12
#ODOP
#BloggerMuslimahIndonesia

Blogger Muslimah

Obaa-san: Tentang Nenek Tercinta

Ada satu rumah yang bagiku merupakan rumah dimana tersimpan begitu banyak peristiwa dari zaman ke zaman. Rumah yang akan menjadi rumah kenangan. Rumah ini adalah rumah tempat Nenek dan Almarhum Kakek tinggal: berkegiatan dan merajut mimpi. Dari pernikahan mereka lahirlah seorang anak perempuan dan dua anak lelaki: Uwa, Bapak, dan Almarhum Paman. Aku suka dengan gaya rumah ini. Sederhana namun tak bosan dipandang mata. Atapnya tinggi dan temboknya kuat- ciri khas bangunan-bangunan peninggalan zaman penjajahan. Tanpa disadari karena rumah Kakek inilah aku bercita-cita memiliki sebuah rumah dengan atap yang tinggi sehingga udara (oksigen) yang berkeliaran di dalam rumah begitu banyak dan akan membuat nafas para penghuninya lega selalu.

Sejak Kakek masih hidup, sedikitnya setahun sekali keluargaku pulang kesini, momen yang digunakan biasanya saat libur Lebaran Idul Fitri. Hal itu dilakukan sampai sekarang. Ketika anak-anak Kakek sudah menjadi Kakek-Nenek, ketika cucu beliau bertambah jumlahnya menjadi sembilan, ketika kami empat dari cucu Kakek telah berkeluarga dan dikaruniai keturunan. Enam cicit Kakek kini.

Dan Nenek adalah satu-satunya penyimpan lengkap kenangan mengenai apa yang terjadi di rumah ini, berikut kotanya Cijulang yang pernah tak tersebutkan dalam peta Indonesia. Belakangan, ketika Cukang Taneuh yang kemudian dikenal dengan Green Canyon mulai dikenal penyuka travelling, namanya mulai tampak di peta Indonesia.

Namun, karena sakit yang diderita Nenek juga pikun, kisah-kisah yang dialami kakek-nenek mulai dari yang bertema perjuangan heroik sampai romansa kisah cinta tak bisa didengar langsung dari nara sumbernya dengan baik. Cerita-cerita ketika Nenek gadis dahulu terkadang terlontar begitu saja, meloncat-loncat dari satu cerita ke yang lainnya. Beberapa justru kami dengar dari luar. Ada satu teman senior seperjuangan Nenek yang pernah berujar bahwa di zamannya Nenek adalah primadona salah satu bagian desa di Cijulang, Cingirih namanya. Kulit Nenek yang putih bersih, tubuhnya yang semampai dan wajahnya yang ayu membuat beberapa pemuda beradu tanding untuk memperebutkannya. Sampai kemudian tinggallah dua orang pemuda yang masih bersaing ketat. Keduanya berbeda bertolak belakang. Namun pada akhirnya pilihan Nenek jatuh pada pemuda diam yang kalem, sederhana dan sedikit dingin. Dialah almarhum Kakek. Di usia senjanya jauh sebelum Nenek sangat pikun seperti sekarang ini, Nenek  masih suka bersikap romantis selayaknya pasangan muda saja. Tapi Kakek yang sebaliknya-tidak romantis- kerap ‘menolak’ perlakuan penuh cinta Nenek. “Sudah tua, malulah” begitu ujarnya.

Dari cara Nenek memoles diri, terlihat dia memang begitu menjaga penampilan sejak gadis. Meski telah berusia lanjut, wajahnya masih putih berseri. Ini rahasianya. Bedak yang digunakan untuk memupuri wajahnya adalah produk yang berasal dari ramuan alami. Sari Pohaci namanya. Bentuknya berupa butiran-butiran kecil lonjong berwarna putih. Dalam satu bungkus Sari Pohaci kira-kira ada sepuluh sampai dua puluh butir. Biasanya Nenek memindahkannya ke dalam wadah – yang aku ketahui kemudian adalah tempat krim rambut. Mungkin tempat krim rambut Kakek yang sudah habis atau tak terpakai. Setiap selesai mandi Nenek mamakai Sari Pohaci dengan cara meremukkan satu butir hingga lembut di tangan lalu dipoleskan ke seluruh permukaan wajahnya. Mengetahui aku tengah memerhatikannya, Nenek menawarkan padaku sambil hendak memulaskan Sari Pohaci yang masih ada di tangan. Aku menggeleng, menolak. Tapi di suatu hari aku diam-diam membuka wadah Sari Pohaci tersebut dan mencobanya. Fhuh, ternyata sama sekali tak wangi. Baunya biasa saja, aga apek malah. Mungkin justru di situlah letak asli dan alaminya.

Nenek masih bisa mengaji. Maksudnya walau sudah terbata-bata, irama dan lagunya ketika membaca AlQuran tetap mengalun teratur. Aku menebak-nebak, sepertinya lagu yang dilantunkan Nenek adalah dari tempat dia biasa ikut mengaji, bisa jadi sejak dia gadis dulu kala. Nenek sering menyebut-nyebut namanya: Kalang Sari. Irama mengaji yang khas, karena hanya aku dengar dari penduduk di desa Cijulang sana. Nenek juga masih melaksanakan sholat 5 waktu. Persis tepat waktu. Lalu pada setiap libur Lebaran berikutnya, kami mendapai sholat yang dilakukan Nenek begitu lama dan panjang. Ibu termasuk yang sering memerhatikan beliau.

“Nenek sholat udah lebih dari empat rokaat, lama pisan” kata ibu.

“Sama sholat sunnahnya mungkin, Bu” ujarku

“Masa digabung begitu…” balas Ibu.

Dan satu demi satu tahun berganti, bertambah. Nenek menjadi benar-benar lupa untuk sholat juga mengaji.
Ada satu yang kemudian termasuk Nenek senangi lakukan, yaitu menyanyikan sebuah lagu berbahasa Jepang. Agaknya ini adalah lagu yang diajarkan pada masa pendudukan Jepang terhadap Bangsa Indonesia dulu. Mungkin bukan hanya ini saja. Tapi entah, lagu inilah yang hanya diingat Nenek. Ingatan yang tiba-tiba muncul di tengah kepikunannya. Jika Nenek sedang merasa senang, dia akan begitu saja menyanyikannya. Kami para cucunya sampai terbawa hapal juga, saking seringnya Nenek bernyanyi.

Pada suatu malam terjadi pemadaman aliran listrik dadakan. Sesudah lampu-lampu tempel tergantung di tembok Kakak Sepupu pertama memancing Nenek untuk bernyanyi. Maka dengan spontan Nenek kembali mengalunkan lagu “Ooyashima” favoritnya diiringi kami cucu-cucunya yang ikut bernyanyi sambil bertepuk tangan. Kami bahkan sampai mengulangnya dua kali. Begitu selesai Nenek tertawa kecil senang. Semua yang ada pun bertepuk tangan sambil berekspresi senang. Setelahnya hanya terdengar helaan napas ringan dari beberapa kami. Dalam cahaya yang remang tersebut, sungguh aku melihat senyum-senyum yang tersungging itu berujung pada kesedihan. Ironi.

Aku sempat ber-andai-andai. Kalau saja Nenek sehat, kemungkinan besar aku akan berlama-lama bercengkerama dengannya. Bertanya banyak hal, apapun yang ingin aku ketahui. Kisah Nenek saat gadis yang ikut berjuang melawan penjajah. Berpindah-pindah tempat. Masuk ke hutan. Kisah cintanya dengan Kakek mungkin. Lalu lagu-lagu berbahasa Jepang yang selalu membuatku penasaran.


#Missing_So_Much :’(


Cirebon, 12 Agustus 2017



#ODOP11
#ODOP
#BloggerMuslimahIndonesia