Sabtu, 24 Oktober 2015

Nyubi Boleh Nyoba Go For It

Bismillah.


Mudah-mudahan bukan sekadar cuap-cuap, tapi tetap ada “sesuatu”-nya, ya? Aamiin.


Go, Nyubi! Go for it!


Jadi begini lho, Mba Winda a.k.a Emak Gaoel, saya baru mencoba untuk mengaktifkan lagi kegiatan nge-blog. Saat membuat blog ini berbulan lalu, tujuannya untuk ikut lomba resensi. Berhubung syaratnya harus posting di blog, lahirlah Kirana Winata. ^_^





Sebelum posting resensinya, saya tulisin yang lain-lain dulu dong ya? Some of remeh temeh gitu, deh.  Biar gak kentara banget motifnya, he. Dan, aih, Alhamdulillah salah satu resensi yang diikutkan berhasil lolos, jadi Juara Terbaik II. Usai lomba saya usahakan isi Kirana Winata ini dengan tulisan-tulisan. Walau tidak rutin, malah bisa dibilang jaraaang banget. Kalau ada lomba mengharuskan posting blog, dengan sendirinya blog ini terisi. Pas enggak ada, ya libur.  ^^v


Terus kemarin dari satu info lomba blog, terdorong penasaran saya iseng ketik “Lomba Blog 2015” di google. Terdamparlah saya di satu blog siapa gitu, duh lupa, maaf (dan terimakasih). Isinya info beberapa lomba, yang ternyata banyak dan hadiahnya huwaw (hehe).




Semua ditelusurilah. Nah, salah satunya ke Blog Emak Gaoel. Lucunya, karena di-mention teman, saya sudah follow duluan Emak Gaoel di instagram untuk lomba sama, tapi kerepotan—gegara gaptek—pas mau ikutan, hingga lewatlah DL. -_\


Saya termasuk kategori yang semangat blogging-nya naik-turun, nih Emak Gaoel. Ditambah, jujur saya bingung, nulis apaan saja kalau nge-blog? Selain untuk lomba, resensi, puisi atau tulisan ala writer-wannabe lainnya? Intinya sering macet ide, heheu, tipe penulis pemula sekali. Sementara, dalam otak sih pengen punya tulisan yang khas, different from others kata urang Sunda-nya mah.


Asli nih pengen blog-nya ramai. (Biar tidak seperti di hutan, haruskah aku ke pasar? Eh?). So, biarpun motif awalnya gegara lomba, semoga selanjutnya better. Rajin nulis dan istiqomah.


Apa yang dikejar kemudian?


Dari beberapa contoh yang disebut EmakGaoel, boleh jadi semuanya pengen nih, Mak. Apalagi go to pilgrimage, surprise juga dari blogging bisa pergi haji. Misal ternyata saya pun bisa melalui blogging, Alhamdulillah. (amiin, aamiin) Walau mungkin masih nanti. Sekarang mah tahapannya begini nih, Mak.


Pertama, saya perbanyak tulisan dulu di blog Kirana Winata ini, syukur sembari diiringi kualitas, manfaat full barokah.


Kedua, kalau sudah banyak, target minimalnya 100 lebih tulisan (semoga dimudahkan), saya ubah ke domain pribadi, yang nantinya jadi “dotkom”langsung, kan, ya, Mak?


Ketiga, tentu tetap nulis, nulis dan nulis.


Tampak lama ya, Mak? Hihi, semoga selalu diparingi sabar kalau begitu.


Selama nge-blog—atau nge-net secara umumnya—yang masih seumur jagung jumlah tulisannya ini, saya dibantu aplikasi apa saja sih?


Duh, maaf cerita lagi. Belasan bulan sebelum ini, kalau internetan saya pakai komputer suami, curi-curi kesempatan, terus Alhamdulillah  bisa punya laptop (walau belum lunas. Aih, jujur). Alat ngenetnya modem. Suatu ketika teman yang memerhatikan saya suka nge-net, menyarankan biar ngenetnya bisa sambil mobile, “pakai hape aja, Din”. Terus lihat hape saya yang ala kadarnya, jenis paling murah dari salah satu brand, dikasihlah saya hape miliknya. Hape Smartfren.


Masih disimpan, gak tega buangnya :'(



Sejak itu, lumayanlah, setidaknya untuk mengunggah foto, kamera si smartfren lebih baik. Bisa sedikit lebih mudah berinternet dari segi foto-memoto saja sudah seneng banget. Sebelumnya kan kalau mau moto hadiah kuis yang sudah sampai rumah  pakai webcam laptop. Bentuk fotonya selalu mirip trapesium. Hehe. Tapi, Emak Gaoel, hari itu pun tiba. Ketika Smartfren kehujanan, lalu tak dapat diselamatkan. Hiks. Ngenet pun ngegalau lagi.


Berbulan kemudian, sehari sebelum ultah, ibu meghadiahi saya ponsel baru. (Alhamdulillah lagi). Ada yang sebut itu android, ada ponsel pintar, entah yang mana, sebab ternyata saya tak cukup pintar membedakan plus mengoptimalkan kinerja ponsel. Jadi sekarang, kalau ngenet, dibantu dia memang. Tapi utamannya pakai laptop. Maklum, Mak belum gape, apalagi urusan yang harus posting tulisan dengan jumlah kata/karakter/halaman yang banyak. Kok tidak bisa ya?


Jadi, mengkombinasikan antara fungsi ponsel-laptop, saya dibantu:

1.      Photo Grid, saya pakai untuk editing photo.

2.      Office suite, ini dipakai saat daring via ponsel untuk nyimpan tulisan/copas dari web. Semisal tips dan kiat menulis.


  



3.      Google chrome dan mozilla firefox



Dan saya ngiler sama Smartfren Andromax-nya. Kok? Jujur, Emak Gaoel, maksudnya biar nanti salah satunya untuk suami. Jadi, enggak ganggu saya, heheu. Biar dia juga tidak kuper-kudet-kunut—kurang nutrisi. :D Berhubung freelancer, pula hari gini semua serba harus via internet. Biar lancar. Aamiin.







* Tulisan ini diikutkan dalam:


Blog Competition, Go For It with Blog Emak Gaoel






Go For It Blog Competition

Rabu, 21 Oktober 2015

The Childhood of The Ririwit One


“Ririwit.”


Satu kata itu hampir selalu terucapkan bibir mereka bila saya sekeluarga mudik ke Cijulang, satu desa di Kabupaten Ciamis sana. Biasanya, kalau berkumpul, terutama kala Lebaran, ada saja kisah-kisah masa lalu yang saling berebut diluncurkan. Dan saya mendekati bosan mendengarnya. Karena lebih dari satu kerabat yang bila bertemu, langsung teringat ke masa kecil diri ini yang langganan sakit. Tepat! Ririwit itu istilah kami ‘urang Sunda’ untuk menyebut seseorang yang kerap terkena sakit (saat kecil). Mendengar ada beberapa dari sanak saudara menyebutkan hal itu, agaknya tidak bisa tidak saya harus percaya bila itu fakta.


Kalau mudik dulu konvoi pakai motor.
Saya, itu tuh yang paling manis kayak cokelat.



Konon sejak bayi berusia sekian bulan, saya sudah sering terkena sakit ini, itu, anu. Kalau dari cerita para tetua—lagi-lagi berdasarkan kesaksian mereka—one kind of deseases (enggak tega sebut penyakit) yang selalu hinggap di sekujur tubuh “The Ririwit One” ini, terutama bagian tangan-kaki, adalah koreng.


Saya alergi tingkat tinggi terhadap makanan berprotein tinggi, semisal ikan laut. Waaah, kalau pas daya tahan tubuh yang memang tidak seberapa ini merosot, sekali saja makan, bulir-bulir kuning kehijauan akan dengan cepat menghiasi epidermis. Sementara dari segi usia, si Dini masih balita. Alhasil yang ada, bersebab rasa nyat-nyit-nyut, Dini kecil rewel bukan kepalang. Nangis melulu. (Hiks, membayangkannya lagi saja memilukan.)


Digendong salah seorang bibi pas sakit.
Umur berapa tahun ya, ini?


Alergi terhadap protein menyebabkan para orangtua mau tak mau mesti bersabar tidak memberi saya makanan yang masuk kategori alergen tersebut, khusus saya saja. Padahal kan itu makanan bergizi. Tak heran tubuh si Dini melulu kecil, kurus.


Saking seringnya kena, dan obat dokter hanya berkala menyembuhkan, orang tua, uwa, bibi dan lainnya sampai-sampai harus mengikuti saran mengobati saya dengan mengonsumsi “fried snake”, pepes kadal dan semisal itu. (Pantas saja kalau sekarang tiap saya melintas ke semak-semak pas ada kadalnya, si dia langsung kabur atau enggak heran kalau sekarang lihat ekor kadal bergoyang saya exciting banget. He, ini asli hiperbola).


Hihi



Sekian tahun berikutnya, kami pindah dari Cijulang ke Cirebon (sebab SK tugas orangtua). Masih gegara satu alergi ini (ada alergi lain lagi), saat usia menjelang 5 tahun dan hendak didaftarkan ibu masuk ke Taman Kanak-kanak, si koreng kambuh lagi. Parahnya lebih-lebih dari biasanya, yang cuma menghias tangan-kaki. Kali itu dari kepala hingga kaki. Rambut galing pun terpaksa dibabat, karena nanahnya menyebabkan rambut lengket dan bau amis. Maksud dicukur juga untuk memudahkan mengobati kulit kepala.


Demi mempercepat proses kesembuhan, ibu melakukan saran beberapa tetangga, walau cara itu menyesakkan. Sobat mau tahu apa itu? Menutupi luka bernanah di kepala dengan abu rokok yang ‘fresh graduate’. Maksudnya abu rokok yang benar-benar baru dari hisapan rokok. Jadilah ibu seorang ‘perokok’ dadakan.


Ketika beberapa teman ramai berangkat sekolah, kepala saya masih sibuk ditutuli abu rokok oleh ibu. Rasanya bagaimana? Panas tentu.


Alhamdulillah. Sekarang kurang lebih begini.
Ini foto 5 tahun lalu, tapi saya selalu 'langsing' memang :D



Begitu sembuh, ibu ‘balas dendam’. Dia rajin mengolesi kulit kepala saya dengan santan dan jeruk nipis. Rambut galing yang terbabat pun bermunculan lagi. Bahkan, walaupun kemudian rambut saya tumbuh ikal, lebat dan hitam, ibu masih terus melakukan treatment tersebut.


Itulah sekelumit kisah masa kecil saya yang aslinya kompleks, hehe. Mudah-mudahan sih, tidak akan ada pengambuhan lagi. Aamiin.[]




Sleman, 8 Muharam 1437 H || 21 Oktober 2015




Kenapa Harus Malu? Local Brand Lebih Keren #SmescoNV


Seiring bergulirnya pasar global plus berkembangnya dunia (jaringan) internet, persaingan di dunia industri dan perdangangan juga semakin ketat. Akses memang lebih mudah dari sebelumnya. Namun kesulitan atau sebutlah tantangan pun lebih kompleks lagi.

Dari pengamatan sederhana saya, bangsa Indonesia yang masih masyhur dengan label ‘konsumtif’—terutama kaum hawa—kerap menjadi sasaran empuk pihak luar dengan produk-produk yang ditawarkan dan masuk ke dalam negeri. Lalu, seperti yang sama-sama kita ketahui famous brand itu menjadi ciri hingga fenomena sosial di sini. Beberapa di antara kita akan lebih merasa bangga dan percaya diri tinggi bila apa yang dikenakan mulai dari pucuk rambut hingga tumit beraroma kata-kata import, produk asal luar negeri, internasional, hingga keyword ‘dipakai artis holywood’.

Lalu, ke manakah produk nasional yang berakar dari produk lokal kita? Tanpa sepengetahuan atau informasi purna yang kita punya, ternyata banyak pekarya negeri yang asik berkreasi—sembari melekatkan kekhasan daerah, kemudian karyanya sampai berhasil diekspor ke luar negeri, menembus pasar internasional.

Nah, bagi saya itu baru keren. Akan tetapi, satu hal yang mesti pula diulik adalah bagaimana agar produk tadi bisa mendunia? Tentu ada proses, trial and failure mesti terjadi di awal-awal, tak dapat dihindari, itu lumrah.

Intermezzo sebentar, saya pernah mengawang-awang soal produk-produk luar yang sangat bergengsi. Begini isi pikiran saya: orang-orang sibuk mengincar satu produk luar, sebut satu misalnya sepatu, sementara peristiwa di belakang yang terjadi adalah, pihak luar itu membeli-mencari bahan mentah hingga setengah jadi yang berkualitas di negeri ini, dibawanya lalu diketok-magic di negaranya, setelah jadi, disebar (baca: dijual) kembali ke Indonesia tercinta, dengan harga aduhai. Dan saya menjadi geli sendiri dengan kemungkinan tersebut. Bukankah sebetulnya kualitas yang didapat pun dibangga-banggakan tadi berasal dari negeri sendiri? Tapi malah malu (atau kalaupun tetap ada bangga, kadarnya lebih susut dibanding memakai “punya orang” tadi), saat sandangnya hanya made in Kota Gede, misalnya.

Itu pula sesungguhnya PR yang mesti dipikirkan oleh kita (pemerintah, penyetok bahan mentah, perajin, pekarya dan semua personel/elemen penting terkait). Alih-alih mensukseskan usaha asing, mengapa tidak memberdayakan, meningkatkan kualitas usaha negeri sendiri? Duh, maaf, tentunya ini hanya pendapat saya yang seorang citizen pun netizen kelas teri. Tentu saya percaya, jika pemberdayaan itu ada dan terlaksana, barangkali pemerataannya yang lebih dieksekusi lagi. Hanya, saya kerap merasa ‘keram perut’ tiap mengetahui SDA negara dilirik pihak asing, lalu selanjutnya mereka olah-ubah dan lain sebagainya. Dan, kita sudah sumringah dengan ‘bayaran’ ala kadarnya.

Merek Boleh Lokal, Kualitas Internasional

Masih berkaitan dengan upgrading local brand. Menyebut frasa di atas saya teringat akan satu kabar tentang Bapak Ridwan Kamil, Wali Kota Bandung. Soal aksinya bekerja sama dengan Perancis melalui cara “menjual” Kota Bandung untuk meningkatkan pembangunan Kota Bandung sendiri. Jadi, alih-alih berhutang ke pihak asing demi mendapat modal besar yang dibutuhkan untuk membangun Kota Bandung, teknik mendagangkan (atau bahasa pribuminya jualan) produk-produk kreatif yang asli made in Bandung digunakan. Istilah kerennya yaitu dengan konsep Public Private Partnership (PPP). Yang mana akan ada satu lokasi di Perancis sebagai prototype Kota Bandung bertajuk “Little Bandung”.

Dan, kerjasamanya pun diterima dengan baik alias ‘deal’ dengan didapatkannya lokasi untuk Little Bandung itu di Jalan Rue Montmarte, berkolaborasi dengan Cafe Djawa. Hal sama juga dilakukan ke Amerika Serikat, namun untuk sektor pariwisata.


Terpikir dalam benak, bila dalam cara sama namun detil berbeda, hal itu juga bisa dilakukan kota-kota lain yang punya produk kreatif khas daerah masing-masing. Barangkali kota-kota di luar negeri akan ramai juga dengan prototype kota-kota yang ada di Indonesia. Lagi-lagi tentu ada tahapan meningkatkan mutu barang yang akan dijual.


Usaha Kecil Menengah dan Smesco

Sejenak mari tinggalkan upaya memperkenalkan local brand satu kota di atas. Bersebab tingkatan usaha bermacam, bervariatif dan berjenjang saya juga tertarik untuk sedikit obrol-obrol tentang Usaha Kecil Menengah, termasuk di dalamnya yang berupa skala rumahan. Saya pribadi bukan orang bertangan dingin di bidang kerajinan tangan, karena entah, sempat belajar membuat rajutan dari benang wol untuk dijadikan ikat rambut dan bandana saja melulu gagal. Tapi, saya selalu senang bila melihat ada yang pandai di bidang ini, seperti kakak dan teman saya sendiri. Berhubung hanya bisa mengagumi saya sisipkan juga dalam tulisan ini sebagai dukungan bagi teman-teman yang berkreasi semisal berikut:




Sumber: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10206875570441636&id=1648398276






Lalu membaca tentang SMESCO saya otomatis mengingat mereka. Agaknya tak banyak yang tahu soal Smesco, tekhusus di gawean karya tingkat kecil. Jadi barangkali smesco bisa lebih mempromosikan lagi pelayanan profesional bagi mereka yang membutuhkan. Sesuai tujuan dari Smesco

Bagi teman dan kerabat yang belum mengenal, baru mendengar persis seperti saya, mungkin bisa sedikit tahu dari paparan di sini. Tentang Smesco dan program-programnya yang saya kutip langsung dari alamat web SMESCO.

SMESCO merupakan kepanjangan dari "Small and Medium Enterprises and Cooperatives", atau KUKM Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.


Smesco Indonesia Company (SIC) berdiri pada Maret 2007 dengan tujuan: untuk mempromosikan produk-produk unggulan Indonesia kepada dunia Internasional. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka kami memberikan pelayanan profesional terbaik kepada seluruh mitra usaha kami baik lokal maupun asing.



Bisa dikatakan inilah program dan kegiatannya

  • Menyediakan sarana dan fasilitas pameran bagi KUKM
  • Mempromosikan dan memasarkan produk-produk unggulan Indonesia ke luar negeri melalui kegiatan Trading House
  • Melaksanakan kegiatan pelatihan bagi KUKM
  • Menampilkan produk-produk unggulan KUKM Indonesia di dalam gerai ritel UKM GALLERY
  • Sebagai pengelola gedung SMESCO INDONESIA yang menyewakan sebagian ruangan untuk area komersial seperti perkantoran dan sarana pendukung lainnya seperti Bank, ATM, Money Changer, Travel Agent, Mini Market, Restoran dan cafe.


Visi

Menjadi institusi profesional berskala internasional di bidang pemasaran produk - produk Koperasi dan UKM Indonesia yang mampu menjadikan SMESCO INDONESIA sebagai ikon pemberdayaan dan ikon industri kreatif KUKM.


Misi

Menjadi lembaga dengan layanan profesional yang memfasilitasi mitra usaha untuk menghasilkan produk-produk unggulan kelas dunia yang berkualitas tinggi dan mempromosikan Indonesia kepada mitra usaha lokal maupun internasional.


Saya harap yang tadinya malu dengan local brand,  bisa lebih percaya diri dibantu SMESCO, sehingga menjadi lebih keren.[]




Sleman, 20 Oktober 2015






Minggu, 18 Oktober 2015

Bukan Cuma Soal Mix, Chic dan Cantik


Barangkali semua sudah  atau pernah mendengar tentang kisah perjuangan pelajar muslimah dalam mempertahankan mengenakan jilbab (yang syar’i), kurang lebih di sekitar tahun 1990-an (mohon dikoreksi bila kurang tepat). Lalu, kita yang masa remajanya jauh bertahun setelah itu, bak membaca dongeng-dongeng atau legenda tatkala mengetahuinya.

Sebab kejadian-kejadian yang menimpa kakak-kakak kita dahulu, teramat dramatis. Persis sinetron masa kini. Ada yang harus kabur melalui jendela kamar; diusir orangtuanya sendiri; bersembunyi di rumah teman hingga jadi bulan-bulanan di sekolah. Bahkan oleh guru sendiri. Kegiatan belajar sampai ujian pun dipersulit. Semua kompak dengan satu tujuan: agar pilihan menjadikan jilbab sebagai ‘mahkota’ berangsur ‘koyak’, ‘terenggut’, dan ‘kalah’. Propaganda yang muncul pun ada saja. Dianggap aliran garis keras lah, golongan fundamentalis dan lain lagi. Padahal mereka hanya ingin menunaikan perintah Allah swt saja; menutup aurat sebenar mungkin. Pernah saya melihat album foto kenangan. Dan di sana terdapat foto seorang kakak muslimah memakai jilbab super lebar. Ujungnya menjulur hingga betis kaki. Dan bila diperhatikan, modelnya pun asli tak ada yang aneh atau neko-neko. Seperti itulah hijab syar’i mereka.

Lihat bagaimana sekarang? Jilbab tak ubah bagian dari fashion semata. Yang dimanfaatkan dengan membabi buta oleh para pelaku bisnis, demi melihat situasi-kondisi yang menggiurkan. Tutorial hijab pun bertebaran, entah berupa video maupun gambar. Lalu dengan gegas, semua pun tampil “berhijab”—katanya. Dan berlanjut, gaya kerudung mencontoh tutorial eksis di mana-mana.

Hakikat dari berhijab, yakni menutup aurat, tidak terlalu diindahkan, kasarnya tidak dianggap, dicuekin. Semua muslimah tak lagi susah seperti dulu, sebaliknya mudah malah. Muslimah siapapun-di manapun itu bisa dengan tenang-tenang saja “berhijab”. Sayang, itu tadi, seperti sindrom latah. Hanya karenan ikut-ikutan. Lain masa, kala ujian menerpa, kain penutup kepala raib entah ke mana. Bahkan, “terbuka”nya dengan drastis.

Melihat fenomena itu, saya sebagai salah satu muslimah kadang dilanda galau. Bukan galau sejenis kebingungan, bersebab actrees idola yang mula-mula berhijab, menutup aurat dengan rapat, tiba-tiba kemudian (maaf) ber-tank top. Bukan seperti itu. Tapi galau-gundah-gulana, di tengah hiruk pikuk jaman yang apa saja serba bisa terjadi ini, saya mencemaskan diri pribadi dan keluarga, berharap agar hidayah—katakanlah dulu dengan ‘mudah’ didapat—jangan sampai terkecoh. Ikut-ikutan latah trend “syar’i”, latah juga melepasnya tanpa beban moral dan tanggung jawab. Semoga tetap istiqomah. Begini tentu harapannya.

Kisah saya menutup aurat pun kurang lebih sama dengan muslimah lain. Ada proses, ada tahapan yang mesti dilalui pola pikir dan jiwa. Walaupun mungkin, lingkungan yang kondusif menjadikannya begitu mulus, tidak sampai berurai air mata dan bernanah-nanah seperti kakak-kakak dahulu. Namun, tetap, bisa memperoleh pencerahan itu adalah salah satu rezeki.






Ketika dunia muslimah dihebohkan dengan beragam ‘tutorial hijab’, saya sempat juga ikut mencoba belajar di rumah. Tapi, selalu berakhir dengan kembali ke gaya asal yang saya bisa. Khususnya bagi saya pribadi ternyata, selain gaya yang ribet (bagi saya), saya tidak merasakan nyaman. Seperti menjadi bukan diri sendiri. Aneh saja. Bahkan ketika saya mengikuti langsung, si kecil yang waktu itu masih belajar berbicara pun sudah mengatakan saya jelek. Dan menyodorkan jilbab langsungan sederhana yang menutup dada. Aksinya tersebut kontan membuat tertawa, dan saya langsung mencerabut kain kerudung yang berputar-putar di kepala dan leher. Ah, mungkin memang tidak cocok.




Alhasil, gaya berkerudung saya pun tetap seperti itu-itu saja. Jilbab langsungan menutup dada (saya belum memakai jilbab yang teramat lebar) di hampir semua kesempatan dan jilbab dari kain kerudung segi empat, yang tetap saya usahakan tidak transparan atau tetap menyebabkan leher kurus saya dapat diterawang. Misalpun memakai yang rada ribet, tetap yang paling sederhana, mudah dan bisa saya aplikasikan. Bahkan dari bilangan tahun lalu hingga sekarang (sekitar 11 tahun juga, sama deh dengan Mba Ruli) beberapa jilbab saya masih sama. Padu padan dengan pakaian pun menyesuaikan ketersediaan. Terkadang memakai baju terusan (aduh, kok lupa ya istilahnya, yang jelas konon bukan gamis, sebab gamis adalah pakaian untuk pria), lebih seringnya rok berpadu atasan sepanjang pinggang hingga betis.


Yang paling saya ingat untuk selalu istiqomah menutup aurat adalah:

“Seorang perempuan, bila belum menikah, dia akan menyelamatkan ayahnya dari terseret ke api neraka, dikarenakan aurat putrinya tertutup. Dan bila ia telah menikah, maka ia juga akan menghindarkan suaminya kelak dari terseret ke api neraka, dikarenakan aurat istrinya terjaga dari jamahan mata yang bukan mahramnya. Sehingga, bila statusnya telah menikah, auratnya menjadi penentu ‘nasib’ dua orang lelaki, yaitu ayah dan suaminya.”

Seperti itu kesimpulan yang kurang lebih dapat saya cerna. Sehingga, pernyataan harus tetap cantik dengan hijab, menjadi terbantahkan. Sebab sesungguhnya yang harus didahulukan adalah syar’i-nya. Bukan perihal mix and chic, unik dan cantik. Semoga ada manfaat dari tulisan sederhana ini meski seujung kuku. Mohon maaf kalau ada kata-kalimat yang tidak berkenan. Allohu’alam bishowwab.[]

Tulisan ini juga dalam rangka mengikuti event First Give Away oleh Ruli Retno, dengan tema "Jilbab yang Nyaman di Hati".





:)

Si Pemburu Pulsa




Julukan itu langsung ditudingkan seorang kawan dunia maya kepada saya, saat ikut “hadir” berkomentar di postingan lomba seorang teman lainnya. Betul, beberapa hadiahnya adalah sejumlah pulsa. Waaa, malu deh. Tapi, tidak juga sih. Jujur, saya termasuk manusia yang oke-oke saja dengan hadiah lomba (seringnya menulis sejenis fiksi mini, dkk) berupa pulsa. Tak masalah.


Sebab ... boleh sekalian saya cerita sedikit ya? (Banyak juga boleeeh, lapak sendiri kok, hehe). Ini alasannya:


Sejak semua akses serba bersentuhan dengan dunia digital dan tentu tak bisa lepas dari internet, maka ujungnya adalah pula berkaitan dengan pulsa. Kesimpulan ini sudah saya dapat sekian bulan ke belakang. Coba saja perhatikan, hampir semua hal pasti nyerempet-nyerempet ke pulsa. Punya HP dan otomatis ada sim card-nya, bakal lucu kalau tidak punya pulsa. Mau SMS atau MMS kan perlu itu. Apalagi menelepon. Serasa dapat zonk kalau tahu-tahu ada suara cantik yang mendadak bergema:


"Maaf, pulsa yang Anda miliki tidak cukup untuk melakukan panggilan ini. Segera isi ulang pulsa Anda!"


Eleuuuh, sampai hapal ... ketahuan jarang punya pulsa banyak nih. Haihihi :D


Terus masa sekarang, omong kosong kalau semua kalangan tidak berinteraksi dalam dunia maya, dunia media sosial. Minimal Facebook, pasti punya deh. Dari anak SD sampai Eyang Putri dan Eyang Kakung. Dan itu sudah masuk ke ranah berinternet. Dan itu butuh kuota. Dan kuota sama dengan pulsa. Aiiih, mudah-mudahan tidak bingung ya dengan kalimat yang muter-muter ini.


Jadi, kembali lagi ke soal lomba berhadiah pulsa, bagi saya sesuatu banget kalau bisa berhasil menjadi salah satu pemenangnya. Pulsa itu saya perlukan untuk mengisi kuota. Memperpanjang kembali usia saya berkelana di dunia maya. Ngapain? Cari-cari lagi lomba atau event lagi dong ah, hehe. Walaupun lebih sering gagalnya, tapi tetap semangat dan tidak kapok. Jadi, terus berputar seperti itu.


Well, alasan berinternet tidak melulu karena cari sesuatu bertajuk “sayembara”,“lomba”, atau “event” memang, bisa karena keperluan mencari referensi (yang lagi-lagi sumbernya banyak bertebaran via cyber world) dan ada juga manfaat yang dapat diambil untuk selanjutnya disimpan dalam memori otak dari beberapa postingan teman. Seperti soal kehidupan dan hakikatnya. Sebentar, mendadak jadi serius dan penuh filsafat nih agaknya kalau sudah bawa kosakata ‘hakikat’.


Kesimpulannya, semua butuh pulsa, dan kalau ada yang memberi gratis tidak akan menolak. Pulsa murah kan sekarang jarang juga. Setuju? :D


Sobat, dari mengikuti lomba-lomba saya pernah mendapatkan pulsa beragam jumlahnya. Pernah mendapat pulsa hingga seratus ribu rupiah, dua kali malah. Sungguh! Huwow banget, kan? Kalau sengaja beli sendiri sih, tampaknya tak mungkin. Uang seratus ribu itu kan bisa untuk kehidupan di dunia nyata saya, semisal beras, lauk-pauknya dan sebangsanya. Beruntung dengan mendapatkan hadial pulsa 5000 rupiah juga saya alami. Pokoknya, mendapatkan sesuatu entah banyak atau sedikit, Alhamdulillah. Saya masukkan ke dalam kategori rezeki yang tidak disangka.


Pulsa-pulsa yang didapat tadi biasanya berbentuk pulsa elektrik, jadi saya tinggal setor nomor ponsel dan menunggu pulsa masuk. Pernah juga sih, dari donatur pemberi hadiah pulsa memberikan berupa voucher fisik. Dia sms-kan kepada saya deretan angka untuk mencairkan pulsa tersebut. Karena jarang menggunakan layanan ini, saya sempat deg-degan juga, lho. Khawatir ada angka yang tidak terketik atau salah. Satu digit salah kan berpengaruh, bisa berabe. Jadi, saya harus teliti dan lama mengulang-ulang biar tidak terjadi kesalahan.


Lanjut ke acara hunting lomba, nih. Di tengah-tengah asyik ber-facebook ria, saya nemu postingan yang dibagi salah satu akun. Tentang apa itu, tentang kuis bagi-bagi pulsa gratis yang diadakan Pojok Pulsa. Tertariklah saya si pemburu pulsa ini, terus ikutan, deh. Dan, hasilnyaaa “Anda Belum Beruntung”, he. Tapi dari beberapa syarat dan ketentuan mengikuti kuis itu saya sampai ke informasi lomba ini. Dasar sok sibuk dan tipe Miss DeadLine, baru sekarang saya menuliskannya. Dengan chaos dan panik melekat. Apalagi pas tahu beberapa teman yang saya kenal telah jauh-jauh hari ikutan. Adududu.


Pojok Pulsa juga dikenal dengan nama Pulsa Murah Jakarta dan Pulsa Elektrik Jakarta. Membaca sebutan-sebutan itu, saya kira hanya melayani wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Tapi ternyata tidak.


By the way, kok tetiba ngegosipin Pojok Pulsa, emang dia apa-siapa, sih? Pulsa yang suka mojok kah? Ish, ish, ini nih... (semi copas dari alamat web-nya, ;) )


Pojok Pulsa adalah satu dari sekian banyak server pulsa elektrik nasional yang ada di Indonesia. Mereka telah melayani pelanggan selama 6 Tahun dengan pengalaman menangani puluhan juta transaksi pengisian voucher elektrik dan voucher fisik sampai saat ini.


Pemilik salah satu tagline “Jual Pulsa Tak Pernah Semudah Ini”, memiliki fitur-fitur menarik, seperti:

• Daftar Gratis Tanpa Biaya Sedikitpun
• Deposit Bebas Sesuai Kebutuhan
• Trx Via YM, Gtalk dan Facebook
• Harga Pulsa Bersaing dan Kompetitif
• SMS To End User
• Transaksi Tanpa Kode Produk
• Support Token PLN Prabayar
• Fasilitas Online Webreport
• Transaksi Non Stop 24 Jam
• Komplain Cepat dan Ramah
• Komisi Dapat Ditukar Kapanpun
• Support PPOB
• Bonus Transaksi Terbanyak
• Kuis dan Undian Berhadiah



Ternyata juga yang terbaru, transaksi di Pojok Pulsa sudah bisa menggunakan Whatsapp. Kalau Sobat tertarik atau penasaran dengan semua layanan barusan, mampir saja ke mari untuk info lebih jelas.


Sumber Gambar: pojokpulsa.co.id



“Mengapa harus kami?” tanya Pojok Pulsa. Dan berikut adalah alasan yang mereka kemukakan sendiri.



Kami merupakan server pulsa elektrik yang menyediakan fitur dan sarana isi ulang pengisian pulsa murah untuk semua Operator. Jika Anda menggunakan chip dari operator langsung, maka perlu banyak chip dan ponsel untuk tiap-tiap operator (Mkios, Mtronik, Dompet pulsa dll). Disinilah kami berperan, kami menyediakan sebuah sistem pengisian pulsa yang dapat menerima perintah langsung dari nomor ponsel Anda sendiri. Cara kerjanya ialah sebagai berikut:



Sumber Gambar: pojokpulsa.co.id



Aih, saya juga baru tahu kalau ada yang semacam ini. Juga, baru saja kemarin, kala sedang pegang HP di TK, salah satu guru bertanya kalau-kalau saya jual pulsa (jangan-jangan wajah saya berbakat jadi penjual pulsa nih, hehe). Mungkin beliau kehabisan dan sedang butuh. Tuh, kaan, semua butuh pulsa terbukti. Sayang, saya tidak berjualan pulsa. Apa mungkin nanti saya akan jualan pulsa? Pulsa Murah, yang tidak bikin pembeli resah? Entahlah.[]




Sleman, 18 Oktober 2015







:: Tulisan ini diikutkan dalam Lomba Blog Pojok Pulsa 2015 :: di sini



Semoga berkenan dengan tulisan di tanggal DL ini ya, Pojok Pulsa, ;)

Selasa, 13 Oktober 2015

Tentang Percaya Diri, Selective Mutism dan Speech Delay


Anak adalah anugerah tak terkira bagi manusia setelah dia menikah. Sebagaimana runutan keinginan yang duniawi setelah status dewasa disandang: lulus kuliah, bekerja, menikah, lalu memiliki anak. Sampai di sini pun keinginan-keinginan itu tetap berlanjut. Bukan sekadar kehadiran anak yang membuat hati puas, tentu bila anak itu kemudian tumbuh sehat, lincah, lucu, ceria, menggemaskan, pintar dan seabreg lainnya seputar itu. Dunia terasa sempurna betul sepertinya.


Namun, bagaimana bila kemudian anak yang notabene selain rezeki juga adalah titipan dari Sang Maha Pencipta, hanya beberapa atau bahkan mungkin tidak sama sekali berpredikat hal-hal tadi? Sedih. Tentu ini yang paling umum dan pasti terasa. Seperti yang saya alami. Dan semoga tulisan ini bukan berujung pada sekadar “curhatan memelas”. Melainkan ada manfaat yang dapat diambil. Tentang membersamai tumbuh kembang anak dengan kebutuhan yang lebih spesial dibanding anak sebaya lainnya.


Pada anak dengan kebutuhan khusus, banyak hal yang mesti ditelateni. Sebelum memasuki bahasan tentang bagaimana mengembangkan rasa percaya diri si anak, bagaimana dia mau bersentuhan dengan dunia luar di luar diri dan keluarganya adalah hal krusial. Sebab takkan mempan semua saran itu bila lingkungan awal si anak tidak dahulu dikondisikan. Dalam hal ini maksudnya adalah ada tahapan yang berbeda dan bisa jadi membutuhkan waktu tak singkat untuk semua itu.


Bila pada anak kebanyakan (tanpa kebutuhan khusus tertentu) segala proses membujuk itu ada kalanya susah, maka pada anak-anak ini kesulitan proses membujuk bisa berkali lipat. Sesuai kondisi masing-masing anak (meski tak dipungkiri, bahkan terhadap anak kebanyakan pun cara untuk membuat dia percaya diri tidak pula mudah).


Dan untuk membatasi bahasan, ‘kebutuhan khusus’ yang akan dicoba dikupas di sini (sesuai pengalaman penulis) adalah speech delay dan selective mutism. Untuk speech delay, sudah awam diketahui yaitu terlambat bicara; tahap belajar berbicara yang lebih lambat dari anak secara umum. Kedua, barangkali membaca kata mutism, pembaca akan langsung teringat pada kata ‘autism’. Saya kurang paham apa kaitannya tersebab belum banyak ‘research’, tapi dari kedekatan istilah dan sifat yang disandang anak, memang ada hubungan. Entah apakah ‘selective mutism’ ini merupakan cabang atau berdiri sendiri.


Untuk memperjelas bagi yang belum paham keterkaitan itu, saya coba paparkan bagaimanakah anak dengan kategori ‘selective mutism’ ini. Sekali lagi tentu di sini entah banyak atau sedikit, akan ada perbedaan, sesuai dengan pengalaman masing-masing orangtua. Makna sederhana dari selective mutism sendiri yaitu kondisi anak yang teramat pemalu, menarik diri dari ingar bingar kehidupan sosial. Kesulitan untuk menerima orang lain—selain orangtuanya—untuk dijadikan teman.


Saat sedikit lebih berkembang, yaitu kondisi anak mulai belajar menerima orang lain terkhusus sesama anak sebagai teman, dia tidak serta merta bersedia berteman dengan semuanya. Tapi sensor tak kasat mata si anak itu, akan menyeleksinya. Saya senang menggunakan istilah “chemistry”. Bukan tanpa alasan, sebab si anak memang dengan sendirinya, akan ‘nyambung’ dengan karakter anak yang setipe dengannya. Atau bisa jadi tidak setipe, tapi sensornya menangkap rasa nyaman-aman bersama sosok lain tersebut. Walau belum survey menggunakan pola statistik yang serius dan resmi, saya mengira-ngira bila anak berkondisi ini, agaknya umumnya memiliki karakter yang lebih pendiam dibanding anak pendiam ‘normal’. Kita mungkin bisa menyebut istilah lain dari chemistry tadi dengan ‘insting’, ya naluri. Naluri anak yang perlu memastikan jika teman barunya nyaman dan aman untuk dijadikan teman, akan bekerja. Sehingga bila anak kondisi ini bertemu anak yang kurang ‘menerima-mengakui’ kehadirannya yang tidak mencolok, sulit untuk cocok. Sebaliknya terhadap anak yang cocok chemistry-nya, dia sulit untuk lepas bahkan akhirnya cenderung possessive.





Ada beberapa hal pada ‘autism’ yang terdapat pada‘selective mutism’ juga speech delay yang terdeteksi (lalu dicocokkan dengan berbagai sumber jurnal yang membahas ‘keunikan’ ini) dari anak saya:

1. Sensitif terhadap bau. Atau menginderai semua benda yang baru ditemui dengan membauinya; dengan menempelkannya di hidung. Di masyarakat, anak/orang yang senang menempelkan sesuatu ke hidung kerap diolok mirip kucing. Bila ini terjadi pada si normal, mungkin kita yang menyinggung kebiasaannya ini tak terlalu berefek. Berbeda bila yang mengalami adalah si anak khusus. Mungkin kita merasa kata-kata kita biasa. Tapi meskipun daya tangkap anak terbatas dan atau usianya bisa jadi belum genap dua tahun, dia bisa paham dan menyadari apabila dia disinggung. Dan hal tersebut akan membuat perasaan/hati anak terluka.


2. Sensitif terhadap suara. Si anak tidak sanggup untuk mendengar suara dengan intonasi tinggi, keras. Reaksinya bila mendengar suara keras di luar ‘batas suara keras’ bagi pribadinya, dia akan reflek menutupkan tangan rapat-rapat ke telinga. Bila suara itu terlampau memekakkan, anak bahkan akan meringkuk dan menangis (keras).


3. Sensitif terhadap sentuhan. Bila anak lain tak masalah saat bagian tubuhnya terkhusus di area kepala/wajah, seperti pipi, dagu, hidung, rambut disentuh atau dibelai orang lain, tidak begitu dengan si special. Anak tipe ini sangat tidak menghendaki itu terjadi padanya. Sebabnya di atas tadi, dia masih belum mendeteksi apakah si teman orangtuanya, pula bisa kerabat/sanak saudara sendiri tersebut ‘aman’ atau tidak untuk dirinya. Bila kemudian selama minimal 2-6 jam, si orang asing ‘terdeteksi baik’, perlahan anak pun dengan sendirinya akan memberi tanda/gesture, bahwa dia ingin berteman (tampak mulai melirik penasaran hingga bergerak mendekati); bahwa si orang asing bisa memangkunya. Yang menjadi pertanda mula-mula, bila ia mau berteman dengan si wajah asing.


Sehingga dari memahami kondisi di atas, tahapan memupuk rasa percaya diri (sehingga minimal anak mau bergabung, duduk bersama, walau tetap tanpa banyak bicara) pada anak adalah sebagai berikut:

1. Obrolan yang kondusif.

Ambil contoh saat mengajaknya berbaur untuk bermain dengan teman sebaya, sering-sering diucapkan/dikenalkan pada anak, bahwa si X, Y dan Z anak baik. Mereka adalah ‘teman’. Jangan bosan untuk terus “berbisik” pada anak. Ujaran yang berupa perintah apalagi berintonasi keras, justru akan membuatnya urung dan mundur.


2. Pelukan hangat.

Frasa ini digunakan bukan sekadar pemanis bahasa. Tapi secara harfiah pun bermakna demikian. Anak disabilitas selalu memerlukan pelukan dengan kadar yang lebih banyak dan dengan waktu lebih lama dibandingkan dengan anak bukan disabilitas. Disebut pelukan hangat, sebab bila kita memeluknya tanpa perasaan, radarnya pun bekerja. Alhasil si anak enggan, menolak, menyudut. Dan terapi pelukan ini yang paling dominan dibutuhkan anak, untuk hal apapun. Termasuk ketika memotivasinya dengan kalimat positif agar mau berbaur (percaya diri), mau bermain bersama teman, mau lepas sebentar dari sang ibu, dan sebagainya.


3. Menyamakan irama tarikan napas.

Masih merupakan sambungan poin no.2. Ini saya lakukan saat tantrum anak tinggi. Bila sesudah dibujuk dengan obrolan berbisik, dia masih tidak mau lalu berujung pada tindakan berikut: tangan mengepal atau bersidekap, napas tersengal, kepala menunduk, menangis tertahan (tanpa suara) hingga melengking dan biasanya tidak mau dipeluk. Maka dekati dan paksa dekap—tapi tetap berhati-hati jangan sampai anak tersakiti. Pangku anak dengan dada sejajar. Perlahan atur napas, seirama dengan anak, setenang mungkin. Sampai tarikan napas anak tidak tersengal. Bila gagal atau anak berontak, melepaskan diri dari pelukan. Biarkan sejenak. Perlahan, bertahap dekati lagi dia, awali dengan usapan.


4. Membentengi dari sisi reliji

Saat dipeluk entah sambil duduk atau diayun sembari berdiri, selain diucapkan kalimat lemah lembut, sisipkan terapi membaca ayat atau surat pendek dari Al Quran. Bisa ayat kursiy atau doa perlindungan atau apapun. Saya sendiri lebih sering membacakan: ayat kursiy, doa perlindungan untuk anak dan 3 surat terakhir Al-Quran.


5. Memberikan waktu

Bila setelah dipeluk, dibujuk, anak belum juga mau membuka diri, biarkan. Jangan terburu-buru. Sebab kenyamanan anak dan kesediaan dari dalam dirinya sendiri lebih penting. Kita sebagai orangtua hanya perlu tanpa bosan mengajak, membujuk, bahkan bila kemudian perlu didampingi terus (berada dalam jarak pandang anak), lakukanlah. Meski lambat, walau laun, suatu hari nanti ada bekasnya. Setidaknya anak menyimpan memori, bahwa dia diperlakukan sepantasnya.


6. Sabar.

Ini kata saran atau tip yang paling membosankan dibaca, didengar atau diberikan, tapi tak pernah salah. Sabar berlaku untuk si orangtua. Sabar juga sepaket dengan kata ‘menerima’ dan ‘berdamai’ dengan kondisi-situasi yang ada. Sebab kemajuan 'anak khusus' tidak akan terjadi instan. Boleh jadi bilangan tahun, melewati masa yang disebut ‘golden age’ atau apapun itu. Biarlah. Tenangkan diri agar tidak terprovokasi. Anak kita memang berbeda-berkekurangan, tapi tetap akan ada sisi kelebihannya.


7. Berdoa.

Segala ikhtiar tanpa doa, rasanya barangkali kurang pas. Lebih-lebih soal anak. Tidak jarang pula saya yang terserang ‘tantrum’. Apalagi saat semua ‘chaos’ berkumpul dan menumpuk bersamaan. Menyelaraskan antara kebutuhan mendampingi anak, kebutuhan plus passion pribadi, sungguh perkara tak semudah kedipan mata, khususnya untuk diri saya, yang bahkan dari segi fisik pun mental sebagai orang tua banyak kekurangan. Ada kalanya pula anak tetap jadi sasaran racauan. Bila no 1 hingga 5 merupakan poin untuk diterapkan pada sang anak, maka no 1 hingga 7 adalah untuk si orangtua. Kerap juga terselip doa, seperti agar kelak buah hati yang "terlambat" ini dapat menyusul kemampuan-kemampuan yang dulu sempat tertinggal. Mungkin terdengar menggelikan dan kekanakan, tapi ah, bukankah doa ibu untuk anaknya adalah "mantra paling mujarab"?



Saya menjadi ingat kembali ketika putra berumur dua tahun, namun bahasa yang masih sering digunakan adalah gesture alias bahasa tubuh: menarik tangan/pakaian, menunjuk-nunjuk atau mengacungkan telunjuk. Dan, hanya bisa terdiam, tatkala teman sesama orang tua dari anak berusia dua tahun, bertanya:


“Anakmu sudah bisa apa? Anakku sudah bisa ‘say hello’ dan berpamitan,”


Aih, itu adalah pertanyaan paling ‘menyeramkan’ bagi saya. Satu alasannya tentu, putra saya tidak (belum) seperti itu.


Sungguh, tahapan tumbuh kembang anak memang berbeda. Namun, manakala kasus penyebab beda itu khusus, obrolan perbandingan-perbandingan tentang prestasi anak benar-benar salah satu hal yang dihindari. Barangkali tertangkap sebagai ekspresi tidak menerima, tapi justru ini dilakukan untuk menjaga perasaan diri sendiri. Sebab, di saat semua bahasan tumbuh kembang anak kerabat sekitar kita teramat ideal, dan anak kita tidak termasuk di dalamnya, cara aman dan nyaman terkhusus bagi psikologis sang ibu adalah dengan tidak mendengarnya. Bukan berarti menjadi tidak tahu. Tapi, seperti yang saya alami sendiri, saya memilih mencari dengan cara browsing internet atau dari bacaan media cetak, juga share dengan sesama ibu. Karena, selain diri sendiri siapa lagi yang dapat lebih memahami?





Dan saya tetap sumringah, tatkala “say hello” dan berpamitan itu baru bisa diungkapkan buah hati menginjak usia empat setengah tahun. Lalu, yang paling baru menjelang anak berusia 5 tahun, obrolannya dengan seekor belalang: "Hai, belalang, namamu siapa?" Jauh sekali bukan? Tapi, bagaimanapun segala proses belajar otodidak itu saya syukuri. (Mungkin sebaiknya ada tulisan terpisah mengenai proses belajar otodidak ini nanti). Allohu’alam.[]



Sleman, Agustus-Oktober 2015



Catatan:
- Kesimpulan pribadi dan memoria dari membaca berbagai sumber (Majalah Ummi, Tabloid, dll)
- Tidak untuk dijadikan rujukan umum
- Link jurnal secara tepat, tidak ingat, terkecuali www.autis.com