Senin, 28 September 2015

Si Bentolang

[Kontes Kreasi Bento Rumahan] Si Bentolang - Beruang Bento (Enggak Jadi) Malang

Oleh: Dini Nurhayati


Wah, straight to the point saja. Gegara Kontes Kreasi Bento Rumahan ini, saya jadi mendadak kreatif. Memang sebelumnya tidak kreatif? He, kalau disebut tidak kreatif sih tidak juga (alias tidak mau ngaku, kan malu). Yaa, kreatifnya sedikit naik level, gitu. Terimakasih Bund Fitriani untuk event-nya. Saya jadi belajar berkreasi. ^_^




Belakangan ini, sejak terganggu batuk yang hilang-muncul-hilang, Bilal agak menurun kuantitas makan nasinya. Dibutuhkan sabar plus-plus. Harus sambil dirayu, disuapi (padahal sudah bisa makan sendiri), seringnya harus dalam keadaan asyik bermain mobil-mobilan atau nonton film kartun, atau apalah. Padahal konon, kegiatan makan itu kan tidak boleh dibarengi kegiatan lain. Betul begitu tidak ya, sesungguhnya?


Sebelum ada event ini, saya pernah sekian kali membawakan si kecil bekal nasi, selain air minum putih yang wajib. Sebab seringnya, di rumah tidak sempat sarapan (karena malas). Paling banter segelas susu hangat seduhan sendiri, atau kalau pas ibu penjual susu kedelai lewat, beli itu. Terkadang, karena si kecil merajuk, susunya ada dua macam. Susu coklat seduhan sendiri dan susu kedelai putih (yang asli tanpa perisa tambahan). Isi plus tatanan bekal pun biasa-biasa saja.


Yang jadi favorit, menunya adalah nasi goreng, plus goreng tempe atau telur. Nasi dihamparkan dalam ‘lunch box’. Lalu ditumpuk lauk. Di tetesi kecap, sudah deh. Aslinya ada dua cetakan, yang dulu sangat sengaja diincar saat beli satu merk susu, berbonus cetakan tersebut, dan bentuk yang dipilih yaitu kelinci dan mobil. Tapi, saya kehilangan jejak, lupa nyelip di mana. Dulu, sempat dipakai juga untuk mencetak nasi, ala bento, walau dimakannya di rumah. Dan, terhenti, sebab saya pikir waktu itu, balita saya termasuk yang mudah makannya.Sehingga makanannya tidak perlu dibentuk apa-apa. Eh, sekarang, malah kebalikannya.


Oke. Kembali ke bento. Kali ini, sembari dipersiapkan untuk kontes kreasi( :D ), saya sengaja membuat tampilan bento Bilal lebih keren sedikit. Tepat hari ini baru masuk sekolah lagi, paska libur lebaran Idul Adha. Tadinya sih, ingin mengkreasikan nasi bentuk mobil, cuma itu tadi tidak ketemu. Akhirnya pakai cetakan agar-agar bentuk beruang. Sibuklah saya di dapur, tumben. Disambi jerang air untuk mandi Bilal, seduh susu coklat untuk iming-iming supaya dia mau mandi, juga seduh teh manis hangat untuk ayahnya dan saya sendiri, he.


Setelah berkutat belasan menit, (atau bahkan puluhan), jadi deh “Nasi Beruang” ini. Berikut isinya yang sederhanaaa banget plus berdasar pengetahuan alakadarnya:



Pertama, yang jadi alas adalah dadar telur. Tidak pakai irisan bawang atau bahan apapun, semisal sayur atau daging, alias plain (iya bukan ini istilahnya, ya?). Bumbunya hanya sedikit garam.


Kedua, nasi biasa. Maksudnya dimasak seperti biasanya di magic com, bukan nasi uduk atau nasi goreng, sebagaimana yang kerap di-request Bilal. Cuma, memang, nasi ini perpaduan dari beras putih dan beras merah. Dengan perbandingan 3:1. Itulah sebabnya warna nasi sedikit bersemu merah.Lalu, nasi dimasukkan kecetakan agar-agar bentuk boneka beruang. Ditekan-tekan sampai padat. Terus dikeluarkan, taruh di atas “karpet telur dadar” tadi.




Berlanjut ke menghias si beruang. Lumayan lama juga waktu yang saya butuhkan, sebab ornamen pembentuk beruang itu ukurannya sangat kecil. Matanya saya bentuk dari wortel. Dilakukan secara manual: mengiris bagian merah wortel, dengan pisau dapur sambil diputar, supaya mendapatkan bentuk bulat. Jika ada yang runcing meski sedikit, dipotong lagi.


Hidungnya saya cuil dari dadar telur, dibuat bentuk bulat/lingkaran kecil lagi, dengan cara yang sama seperti tadi. Mulutnya, saya bentuk dari brokoli bagian daun, diiris berbentuk segitiga. Lalu saya ambil bagian telur dadar yang melengkung, (pas digoreng berbentuk bulat) yang berbeda dengan yang dijadikan alas. Diiris mengikuti lengkungan, sambil tahan napas agar lebarnya sama, hihi. Ini untuk dililitkan, memperjelas bentuk wajah dan perut boneka beruang. Bawang Bombay (hasil dari tumisan) yang sengaja saya iris bundar, dipsangkan di ujung kaki beruang.



Menu ketiga, yaitu perpaduan wortel, brokoli, dan bawang Bombay, yang ditumis atau dimasak ala capcay. Campurannya ada rebusan daging sapi, yang disuir agak besar(karena sudah sangat empuk) dan dipotong seperti batang korek api. Ada satu alasan khusus terkait hal ini. Jadi, walau sudah usia TK, Bilal masih belum bisa 'makan' daging—entah ayam, lebih-lebih sapi. Maka kalau makan daging harus disuir-suir dulu, ukurannya pun harus pas, karena kalau tidak nasinya bisa berhasil masuk lambung, sementara si daging masih dikunyah, padahal sudah lembek, tapi tidak mampu dia telan.



Bumbu menu ini lagi-lagi hanya garam. Itupun berasal dari brokoli yang sebelumnya direndam dalam air yang dicampur sedikit garam, dengan maksud mengeluarkan ulat-ulat kecil nan hijau yang bersembunyi, (pas beli kelihatan ada ulat menyembul malu-malu). Semoga cara ini tidak salah. Kalau ternyata salah, mudah-mudahan ada yang berkenan memberitahu ilmu yang benar. Oh, iya, batang brokoli pun, kalau masak, selalu saya sertakan, tidak dibuang. Di lunch box Bilal, bentuknya saya potong, lagi-lagi ibarat batang korek api. Menjadi pagar tempat suiran daging.


So, this is it (ikutan gaya chef handal)! Inilah penampilan akhirnya.




Aih, supaya si kecil mau membawanya saja, harus struggle. Ujung-ujungnya dititipkan ke ibu gurunya sih, sambil ada kalimat pengantar, “Tadi baru makan nasi sedikit. ”Memang di sekolah diberi jajanan serupa penganan kecil. Maka, jarang ada anak yang bawa bekal dalam kotak nasi dari rumah. Jadi ini, agak ‘gambling’ juga. Begitu diterima gurunya, beres deh. Tinggal menunggu penampakan akhir si Nasi Beruang pulang sekolah nanti. Kalau box-nya kosong atau setidaknya berkurang, itu pertanda bekal disantap. Pula sebaliknya.





Dan …


Akhirnya begini ternyata.


Si Beruang Bentolang dan segenap background-nya berbaur akrab.




Tak berbentuk. ;-(


Rupanya, tak dibuka sama sekali oleh si kecil. Saat saya meracik pun dia memang tidak tahu. Baru saat diperlihatkan hasil jepretan, seperti apa nasi itu sebelumnya, dia tertawa-tawa, “Hiii, koklucu.” Maka isi lunch box pun disantap di rumah, disuapi.-_\ Eits, jangan gede rasa dulu, tetap dengan bujuk ala Rayuan Pulau Jawa.


Bekal belum habis, tapi ada request baru, “Bikin nasi yang pesawat terbang …,” ucapnya sambil mengacungkan cetakan agar-agar bentuk pesawat terbang.

Perjuangan belum berakhir, Bund. Tapi, minimal dari permintaan si baby boy satu itu agaknya kegiatan kreasi bento ini akan berlanjut, tidak hari ini saja …. Entahlah :D


Berita terakhir, Bentolang - Beruang Bento Malang itu akhirnya tidak jadi mengalami kemalangan. Alhamdulillah habis juga. :D




*Fin


#KontesKreasiBentoRumahan


“Postingan ini diikutkan dalam Kontes Kreasi Bento Rumahan” yang diselenggarakan oleh Fitriani Firmansyah

[Fiksi Mini]

:: Asep dan Ngadimin ::
Oleh: KW


"Mpun, Bu, rasah disendoki. Nganggo puniki mawon,"
Ngadimin menghentikan gerak ibu pemilik warteg, yang hendak menaruh sendok di atas piring pesanannya. Tiga jari Ngadimin diangkat ke udara; membuat gerakan mencapit. Hidangan di depan mata. Ngadimin menaikkan kaki kiri ke atas bangku kayu panjang.

"Nasi, Bu. Rames," ujar seseorang yang baru datang. Langsung memesan.

"Heee, njenengan, tho? Dhahar ...," Ngadimin memberi isyarat.

"Eh, Mas Ngadimin di sini juga ternyata. Sumuhun, Mas. Mangga duluan,"

"Piye, Kang Asep sampun lapor Pak RT?"

"Teu acan, sibuk keneh beberes geuning, Mas,"

"Hooo ... yo jo sui-sui lapor warga barunya tapi, Kang. Eh, njenengan gawene opo tho?"

"Aaah, tukang servis TV, radio, kipas angin ... sabangsa barang elektronik kitu lah, Mas Ngadimin." Asep menyuapkan sendok pertama yang sedari tadi menggantung.

"Weeeh, pas banget nek ngunu. TV-ku rusak. Aku jaluk tulung diservis, yo? Ora mahal-mahal biayane, lho! Karo tonggo dhewek kok yo ...,"

"Hehehe ... eta mah kumaha panyawatna si TV, Mas ...,"

"Hei, Kang Asep wes tho manut. Ben aman omah karo bojomu!" Ngadimin menepuk bahu Asep, matanya berkedip. "Mengko sore TV-ku tak terke,"

"Ng-nggih, Mas ...," Asep kikuk.

"Bu! Biasa yo ...," tangan pria kekar itu berisyarat seolah menulis sesuatu. Lalu, "eh, sik, Kang Asep bayari madangku yo? Perkenalan ...," bahu Asep ditepuk lagi. "Bu, sing wau dibayari Mase iki lho! Yuuk, suwun yoo ...."
Ngadimin melangkahi bangku panjang. Tangannya menarik celana jeans naik ke dekat perut yang buncit.

"Ari kitu sabaraha tadi, Bu? Habis berapa?" tanya Asep hati-hati.

"35.000 eh, Mas. Wong nambah pindo. Jadi habis tiga porsi sendiri tadi."
Asep meneguk ludah. Kemudian diraihnya segelas air putih, minum. Tapi tenggorokannya tetap kering. Ia ingat uang yang dikantongi hanya 50.000 rupiah. Ditambah makannya barusan, entah berapa total nanti. Istrinya sudah mewanti-wanti pula, untuk membeli beras barang sekilo.


Sleman, 7 Agustus 2015

Sabtu, 05 September 2015

Lukisan Hujan

Oleh: Kirana Winata

Sebetulnya aku sudah bosan berada di sini. Sebuah ruangan yang catnya dominan putih. Untung hordengnya berwarna hijau, jadi tidak terlalu seram. Tak ada bau yang sedap sama sekali, kecuali saat seorang kakak atau tante atau ibu dan seorang om atau bapak yang sama-sama berjas putih, menghampiri ranjangku. Tubuh mereka wangi membuatku malu dengan diri sendiri yang sepertinya telah berhari-hari tidak mandi.


Tak pernah ada sosok lain kulihat selain orang-orang itu. Bahkan wajahnya pun seringnya tertutupi masker hijau. Dulu aku baik-baik saja. Tapi, saat sedang asyik mengamen tiba-tiba aku diajak seseorang.

"Langka nih. Jarang yang cakep begini, pasti laku mahal."

Aku mendengar kalimat tadi dengan bingung. Lalu sejak itu aku berpindah-pindah dari tangan ke tangan orang berbeda. Hingga akhirnya aku sampai di kota yang sering berkabut ini.


"Dik Azzam sedang mikirin apa? Kok melamun?"

Kak Harum--aku tidak tahu namanya, mungkin dua jejer kata di dada sebelah kirinya adalah namanya. Tapi aku belum bisa baca, jadi kusebut saja dengan Kak Harum--sudah ada di samping ranjang. Tatapanku masih mencoba menerobos ke balik jendela yang buram. Di luar terintip gelap, kelam, kelabu; semua berkabut. Membuat tidak jelas, apa itu pagi, siang atau malam.


"Azzam mau main ke luar. Di sini bosan," jawabku belum menoleh.

"Tapi di luar masih gelap. Semua orang masih pakai masker ...," kata seseorang yang baru datang. Aku menyebut dia Om Wangi.


"Sampai kapan, dong?" tanyaku tak sabar.

"Sampai hujan turun. Semoga saja itu tidak lama lagi," Kak Harum tersenyum. Aku juga berusaha tersenyum. Tapi mungkin gerak bibirku tertutupi selang transparan yang melintang di bawah lubang hidung. Dan tiba-tiba aku punya ide cemerlang, menurutku.

***


"Itu lukisan hujan. Bagus enggak?" tanyaku lemah, ketika mereka datang lagi di kunjungan selanjutnya. Aku takjub sendiri menatapi kaca jendela di dekat ranjangku persis.


Sepanjang mereka tak ada, kutempeli jendela itu dengan kertas-kertas putih yang kusobek kecil-kecil dari buku tulis yang diberikan untukku berhari lalu. "Biar hujannya cepat datang. Terus asapnya hilang semua ... deh ...," tambahku. Dan aku langsung terpejam, mungkin karena terlalu lelah. Aku ingin tidur dulu. Siapa tahu besok, saat kubuka mata, pemandangan di luar jernih kembali. Sebab semua asap terguyur hujan.[]



*Tulisan ini diikutkan dalam GA yang diadakan kaylamubara.blogspot.co.id bekerja sama dengan LovRinz Publishing*


Judul buku yang diambil inspirasi:
Hujan di Atas Kertas dan Melukis Ka'bah

Rabu, 02 September 2015

[Resensi] Fesbuk dan Kumpulan Fragmen Kehidupan

Fesbuk dan Kumpulan Fragmen Kehidupan
Oleh: Kirana Winata



Judul buku : Fesbuk, Kumpulan Cerpen
Penulis : Muhammaad Subhan dan Aliya Nurlela
Penerbit : FAM Publishing
Cetakan : II, Agustus 2014
ISBN : 978-602-17404-8-4





Disajikan oleh dua penulis, kumpulan cerpen dalam buku ’Fesbuk’ ini mengusung banyak tema yang coba diungkapkan. Dari judul mulanya saya berpraduga cerita-cerita yang akan disampaikan oleh Muhammad Subhan dan Aliya Nurlela sama-sama berkaitan dengan media sosial yang paling digandrungi sekarang ini, Facebook. Tapi rupanya tidak.



Ada 12 cerpen di buku ini, yang menarik saya pada kesimpulan untuk menyebutkan bahwa cerita-cerita itu serupa fragmen kehidupan banyak manusia. Tentang cinta, sosial, reliji, hingga soal rasa entah bernama apa.


Pada cerpen Fesbuk, yang judulnya dipakai pula sebagai judul buku ini, saya cukup terkecoh. Mengira kalau di dalamnya adalah kisah tentang hubungan manusia yang kemungkinan besarnya seputar cinta via facebook. Ternyata adalah tuturan ‘tempat rajukan yang balik merajuk’. Meskipun banyak yang sudah mafhum, soal asal mula terkenalnya facebook dan hal lainnya, cukup informatif juga untuk pembaca. Mengambil sudut pandang si facebook sendiri yang bercerita, membuat cerpen ini unik dibanding cerpen lainnya, dari segi point of view. Sama halnya dengan PoV pada cerpen “Darah, Oh, Darah” yang mengusung tema kemanusiaan.



Lelaki Majnun”, mirip hikayat klasik tentang penggembala kambing yang suka berbohong tentang kedatangan serigala. Hanya setting tempat cerita ini adalah salah satu kampung di Sumatera Barat, konon. Plot dan alur pun serta merta mudah ditebak. Dan yang sedikit mengganggu sekadar pengulangan kata ‘dagang’ di paragraph-paragraf awal. Selebihnya hingga bagian ending, cerita si Boneng ini tetap enak dinikmati.



Dari 12 cerita yang tersaji beberapa cerpen yang begitu selesai membaca menimbulkan pertanyaan adalah pertama “Tukang Cerita”: membuat penasaran pada kisah sesungguhnya, bertanya-tanya siapa gerangan nama penulis yang dialiaskan ‘Abdul Hakim’ tersebut; novel apakah itu yang ditulis diangkat dari kisah nyata seorang ‘Soraya’? Kedua, “Cerita Tentang Senja di Pantai Padang”. Di sana Muhammad Subhan pandai menggiring pembaca dengan paparan setting tempatnya. Ujung dari membaca kisah ini pun sama, rasa penasaran terhadap gadis yang menantikan selalu kedatangan si lelaki laut. Benarkah kisah ini adanya? Entahlah. Berikutnya, “Rinai di Matamu Aliya”—suka dengan sad-ending-nya yang logis dan “Bells’ Palsy”. Saya dengan iseng menduga-duga bila dua cerpen ini sedikit menyinggung atau ada keterkaitan dengan fragmen yang sebenar dialami penulis, walau entah di bagian mananya.




Sementara cerpen yang kurang greget—tentu menurut saya pribadi—adalah “Selamanya Aishiteru”. Berkisah tentang sepasang kakak adik yang saling mengagumi; pula tidak saling tahu bila sesungguhnya mereka bukan saudara seayah dan atau seibu. Lanjaran perihal ini kurang. Sehingga saat ending-nya mereka menikah, kesannya 'drama' sekali. Hal yang dapat diambil manfaat dari cerpen ini yaitu soal kegigihan belajar atau menuntut ilmu sekurang apapun kondisi kita.




Selain beberapa cerpen yang disebut dan sedikit diulas di atas ada cerpen-cerpen lain yang sayang kalau dilewatkan. Terpenjara Luka, Kupu-kupu di Ruang Tamu, Nei dan Suatu Hari di Masjid Rumah Sakit. Kesemuanya merupakan kisah-kisah—meski bersahaja--yang dapat memberi inspirasi dan pelajaran bagi pembaca. Misalnya pembaca penasaran dapat bisa memastikan dengan membaca sendiri kisahnya. Lalu bila kita berbeda pendapat, dapatlah kita duduk bersama membedahnya. :)




Secara fisik buku, kertas yang digunakan cukup tepat. Tidak menyisakan kertas ataupun sampul yang ‘menganga’ saat selesai membuka lembaran demi lembarannya. Kekurangan dari buku Kumpulan Cerpen Fesbuk ini barangkali pada tampilan sampul depannya. Di antara buku-buku terbitan FAM Publishing agaknya ini yang terkesan sepi warna, sehingga kurang menarik pandangan netra (menurut saya yang selalu menyukai komposisi warna yang dinamis, terleih untuk kaver buku). Sebab hanya dominan biru. Jadi bila nanti buku ini cetak ulang—dan saya rasa cukup layak untuk itu—alangkah baiknya bila tampilan sampul depannya lebih berwarna.[]




Sleman, 30 Juli 2015


Minggu, 30 Agustus 2015

[Resensi] Novel ANIMUS, Seven Days

Tetra Ceritera dan Danau Angkara
Oleh: Kirana Winata

Judul buku : ANIMUS, Seven Days, A Tetralogy Novel
Penulis : Ajeng Maharani
Kategori : Fiksi, Novel (Dewasa)
Penerbit : LovRinz Publishing
Cetakan : II (kedua), Desember 2014
Tebal : xiv + 235 halaman
ISBN : 978-602-71451-0-8



Kebencian adalah satu elemen rasa yang pasti dimiliki setiap manusia. Namun bagaimana rasa itu dapat dikelola adalah benar-benar urusan pribadi manusia itu sendiri. Apakah ia dapat mengendalikan, mengalihkan atau membiarkan bertumbuh, lalu melahap jiwa si empunya? Itu adalah pilihan. Dan pada satu topik inilah cerita bermula; bertumpu.



Mula-mula menatap judul novel ini, saya sudah diserbu rasa penasaran, hingga pada akhirnya bisa memiliki dan membacanya tuntas, rasa ingin tahu itu pun terlolosi. Dan ending-nya mengakibatkan saya terkontaminasi rasa ‘benci’. Bagaimana tidak? Sebab sedari menyantap rangkaian huruf-huruf prolog hingga epilog, jantung saya dipermainkan sedemikian rupa: berkerenyut, rileks, berkerenyut lagi, terus dan menerus.





Ada empat kerat kisah yang tersaji dalam ANIMUS: “Dentum Hati”, “Cinta si Gadis Lumpur”, “Lelaki dan Danau Legenda” dan “Bunga”. Saya coba ulas salah satunya, yaitu yang pertama.



Dentum Hati” bertutur tentang seorang gadis bodoh—kalau boleh saya sebut—bernama Salsa. Artis panggung yang terjerat cinta buta pada Darsono, anggota dewan yang sudah berkeluarga. Dikarenakan kasus video syur yang menyebar dan tertuduh sebagai pelaku, diri Salsa dan hidupnya yang semula hanya dipenuhi nama Darsono bergulir kepada Pak Hakim lalu Sang Komandan. Baru, setelah tiga hari dalam mengusahakan keadilannya Salsa merasa bak bola ping-pong, ia memutuskan untuk juga berontak. Melepaskan diri dari jeratan-jeratan “orang penting” yang berjanji membebaskan Salsa dari tuduhan menyebarkan video, dengan melepas selapis demi selapis kehormatannya sebagai penebus.



Pembangkangan Salsa tersebut, selanjutnya meliukkan alur lain lagi. Dan mempertemukannya dengan tokoh bernama Ari. Pemuda 23 tahun yang pendiam, pincang (halaman 13) namun ternyata seorang pembunuh bayaran. Hal ganjil bagi saya sebagai pembaca untuk mencerna bila sosok Ari dapat melumpuhkan pria besar kekar. Sedikit melawan logika. Walaupun ada satu narasi yang menyebutkan, meski fisik Ari berkekurangan, dia kuat, tenaganya jangan disangka. Ya, bisa jadi. Sebab kemungkinan sumber dan suluh energinya adalah juga rasa benci.



Lalu bagaimana kelanjutan kisah Salsa? Korelasi macam apa yang terbentuk antara dia dan Ari? Tentu tidak akan saya paparkan dengan gamblang di sini. Tapi sedikit sebagai bocoran (seperti biasa bila saya menulis resensi), tiga kisah setelah Dentum Hati adalah bukan lanjutan dari kisah Salsa dan Ari. Tapi cerita yang bernar-benar baru, berbeda, tapi tetap saling berkaitan. Bingung?



Di “Cinta si Gadis Lumpur” yang menceritakan kisah cinta monyet dua remaja SMU, Yana si anak berpunya dan Nora anak gadis petani biasa, ada satu fragmen kehidupan Salsa-Ari. Di sini pun, kedok salah satu orang penting, pula berandil memengaruhi lika-liku hidup Salsa, dibuka; yang ternyata orangtua Yana, tepatnya bapaknya. Silakan tebak yang mana dia kira-kira: Darsono, Sang Komandan ataukah Tuan Hakim? Terselip juga pertemuan antara Nora dan Bunga dalam satu angkutan umum. Sebaliknya di Dentum Hati, bila pembaca cermat ada adegan/narasi percakapan Nora dan Yana yang terdengar Salsa di setting tempat bernama Taman Soka.



Sementara saat cerita beralih ke “Lelaki dan Danau Legenda” fokus hanya pada Guntur dan Cuwa. Lagi-lagi soal asmara. Terjalin antara Guntur si penebang kayu dengan Cuwa, gadis primadona setempat. Ada tersisip nama Bunga disebut di sini.



Sedangkan di kerat terakhir, yaitu “Bunga”, adalah penjelas alur kejadian-kejadian dari kisah ketiga di atas. Dalam paparan tentang Bunga inilah pembaca akan ngeh dengan perjalanan Bunga. Bermodal intuisi “ada sesuatu terjadi” dia menempuh jarak, menjelajah tempat demi tempat, mencari sang calon pendamping hidup sekaligus mencari Danau Sinabu.



Maka perihal legenda Danau Sinabu, si Danau Angkara itu, menurut saya benar-benar terasa keterkaitannya dengan prolog di awal—yang mana penghuni danau tersebut yang berbicara—baru di dua potong cerita terakhir. Alasannya, tiga tokoh yaitu Guntur, Cuwa dan Bunga sungguh bersinggungan dengan mitos Sinabu pun tentu dengan kebencian yang mengakar kuat dalam diri satu tokoh sentral di antara mereka. Ialah Cuwa yang mengidam-idamkan tuah Danau Sinabu, di mana nestapa, permintaan, harapan, kutukan dan ‘kebahagiaan’ berkumpul.



Sedangkan di dua cerita pertama, hanya menyoal kebencian saja. Tak bersinggungan di sini, dalam artian tidak ada di antara tokoh-tokohnya entah Salsa atau Ari atau Nora atau Yana yang teramat ingin mengadu ke Danau Sinabu. Sebagaimana halnya Cuwa, gadis desa lugu yang menurut saya kemudian terasuki aura negatif Sinabu. Menjadi sosok paling kelam di antara semua tokoh ANIMUS, seolah berkepribadian tak lagi tunggal.



Ditutup dengan tiga ending yang bersifat open-ending—sebab menurut saya sepertinya masih bisa dilanjut—ANIMUS yang berarti sama dengan kata ‘hate’, sukses mengaduk debur jantung dan perut saya menjadi bergejolak; mual; perih. Aih, saya harus meminta pertanggungjawaban Ajeng Maharani sang penulis kalau begini. Sebab bila ditambahkan kosa kata ‘kembung’, tidak ada hal lain selain indikasi dari maag saya yang kambuh. :)



Masih berkaitan dengan ‘cerita yang berlanjut’, membaca frasa ‘A Tetralogy Novel’ membuat saya mengira bila novel ANIMUS bertajuk Seven Days ini adalah bagian pertama dari total novel nantinya yang berjumlah empat. Saya mengartikan bebas frasa tersebut menjadi Novel Tetralogi. Persis seperti dwilogi, trilogi. Jadi di pikiran saya ANIMUS ini akan berseri.


:



Dari segi tekhnik, ANIMUS disampaikan dengan alur maju-mundur dan plot yang kompleks. Penceritaan pun dengan multi point of view alias sudut pandang. Bergantian antara sebagai orang ketiga dan orang pertama (aku). Untuk setting khususnya tempat, kesemuanya adalah murni hasil rekaan dan imajinasi penulis. Namun dari pemaparannya, seolah Pulau Maku-Maku, Tanjung Yaura, Taman Soka, hutan tempat Guntur bekerja dan lainnya mirip Pulau Sumatera atau Kalimantan. Lalu ditaburi diksi-diksi yang tak biasa, memang menjadikan novel ANIMUS ini punya khas tersendiri. Khas seorang penulisnya tentu, yang memang menyukai hal yang tidak klise, terlebih pada kosa kata. Ibu dari tiga anak ini, dari pantauan saya, memang menyenangi dan terlihat sering membiasakan karyanya ditulis dalam kosa kata bentuk padanan yang jarang digunakan orang lain. Ini satu kelebihan sekaligus kekurangan, sebab pembaca yang benar awam (bukan merupakan penulis pula) akan dibuat ‘mabuk’.



Lalu sekadar saran, saya mewanti-wanti agar pembaca yang benar-benar belum dewasa tidak dulu membaca novel ini. Setidaknya range usia pembaca yang cukup boleh adalah 20+ alias 20 tahun ke atas. Sebab di beberapa fragmen, diksi dalam narasinya saya rasakan terlampau “jujur”, semisal “menikmati”, “memakai” dan lainnya.



Satu hal lagi yang ingin saya titipkan kepada sang penulis, jikalau ANIMUS Seven Days ini hendak dilarung untuk kembali berlayar menggunakan “yacht“ di samudera lepas, kaver depan buku—bergambar permukaan danau berhias tanaman kering dan purnama—yang cenderung gelap semu kelabu ini mungkin ada baiknya diubah. Bisa dengan tetap menampilkan aksen kelam bila ingin isi novel tetap terwakilkan. Sebab bila ini saja berhasil cetak ulang apatah nanti. Semoga. Salam sukses.[]



Sleman, Dzulqodah 1436 H
30 Agustus 2015




#GA_ANIMUS


(995 kata)



Jumat, 31 Juli 2015

Lebaran Kedua Tahun Itu

Lebaran Kedua Tahun Itu
Oleh: Dinu Chan


Kullu nafsin dzaaiqotul mauut. Kalimat ini pasti sudah kita hapal betul. Bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mengalami kematian. Meninggalkan semua kefanaan hidup di dunia, menjemput keabadian yang lebih hakiki yaitu di akhirat. Terkadang ketika tema ini dibicarakan, semua seolah mimpi atau omong kosong saja. Tapi saat kabar kematian yang disiarkan dekat dengan kita, kesadaran otak kembali tertampar diingatkan. Menghembuskan nafas yang terakhir adalah sebuah keniscayaan.


Dan rasa tak percaya itupun hadir dalam kehidupanku. Sebelumnya tak pernah kualami kehilangan dalam keluargaku. Lebaran kala itu, kami sekeluarga sengaja pulang kampung lebih awal, toh hari sekolah sudah libur. Tak ada pula urusan-urusan yang dapat menahan orangtua kami lebih lama di kota perantauan.


Memang manusia tak pernah akan tahu kapan malaikat maut mengintip. Entah pada orang terdekat yang dicintainya atau terhadap dirinya sendiri. Tapi masa itu, ada rasa puas dalam hati masing-masing kami saat dapat benar-benar menghabiskan libur lebaran di kampung tercinta Desa Cijulang di Ciamis sana. Khususnya orangtua, yang dapat menemani, mengukir hari-hari indah bersama Kakek-Nenek lebih lama dari lebaran tahun lalu.


Pada hari Lebaran kedua atau tanggal 2 Syawal, puas berkeliling bersilaturahmi pada sanak famili yang tersebar di satu desa dan lainnya, sebagian kami memilih beristirahat sembari menanti adzan Dhuhur berkumandang. Sedangkan yang anak-anak memilih berbaring di atas lantai beralas tikar untuk menonton televisi atau santai-santai kembali menyantap kue lebaran yang masih ada.


Di belakang, suara timba yang dikerek sebentar-sebentar terdengar. Kakek tengah mencuci baju. Katanya besok dia harus kembali ke Kota Bandung ke kantor lamanya di POS&Giro kala itu disebut. Dia bermaksud menyiapkan semua untuk perjalanan besok. Dia paham seisi rumah pasti lelah, sehingga baju-bajunya yang hendak dibawa esok ia cuci sendiri. Aku masih melihat Kakek setelah Dhuhur, duduk di kursi favoritnya yaitu yang paling dekat dengan pintu. Menyaksikan cucu-cucu di depannya yang tengah asyik di depan televisi. Sekali-kali aroma balsam menguar tercium. Kakek oleskan ke bagian tubuhnya yang barangkali terasa pegal. Sampai kemudian tinggal aku dan adik perempuanku yang masih balita tersisa di ruangan itu. Kakek melambaikan tangannya, memberi kode untuk menghampiri. Aku mendekat. Rupanya dia meminta bantuan untuk memilinkan kertas berisi tembakau di atasnya. Rampung membentuk silinder kecil, Kakek raih untuk kemudian dinyalakannya ke dekat api lalu dihisapnya.


“Aki mah ngaroko wae sih? Kakek ko merokok saja sih?” Cuma itu yang dapat kukatakan pada sosok yang kerap membelikanku oleh-oleh berupa kaset lagu anak-anak setiap kali ia kembali dari Bandung. Sudah dituliskannya di sisi kaset nama lengkapku dengan huruf kapital: DINI NURHAYATI. Membuatku merasa hadiah kakek hanya untukku saja.


Dia hanya terdiam. Selanjutnya tiba-tiba dia rentangkan kedua tangannya ke arah adik perempuan yang sedari tadi memperhatikan terus, mengajaknya dalam pangkuan. Tapi adik menggeleng. Tangan kakek turun menyerah. Ia masuk kamar untuk beristirahat. Sementara nenek sudah lebih dulu merebahkan tubuh lelahnya di sana.


Menjelang maghrib, Uwa ketuk pintu kamar Kakek-Nenek. Hendak membangunkan Kakek karena ada tamu. Tapi Kakek terlelap. Sang tamu pun meminta agar Kakek tak usah dibangunkan, khawatir mengganggu, biar mereka pulang. Lain kali saja datang kembali. Selesai adzan Maghrib, Uwa masuk ke kamar, lagi-lagi tujuannya untuk membangunkan Kakek, waktunya sholat Maghrib.

“Apa gugah … bangun Pak ….”

Berkali-kali kata itu Uwa lontarkan sembari menggoyang tubuh kakek perlahan. Tapi Kakek masih bergeming. Kedua tangannya sudah saling bertumpuk di atas dada. Kemudian kulitnya diraba dan menghantarkan dingin luar biasa. Seketika itu orangtua-orangtua kami sadar Bapaknya telah tiada. Tidur lelap itu untuk selamanya. Maka putra-putra Kakek yang masih berada di Masjid dipanggil segera, diberitahukan kabar itu. Cucu-cucu Kakek yang masih kecil hanya dapat memasang wajah bingung melihat hilir mudik. Aku sendiri sudah bisa meneteskan air mata. Saat keramaian itu terdengar, aku tengah menyelesaikan rokaat terakhir sholat Maghrib. Doa selesai sholat pun terlantun khusus untuk almarhum. Saat Uwa mengambil jemuran di luar baru diketahui, Kakek tadi tak hanya mencuci bajunya saja, tapi juga baju semua anak-cucunya. Perasaan yang membuncah di dada kami pun semakin menjadi, diringi doa dan lantunan ayat Quran.[]


"Exchange, Publisihing Your Idea"






Note: Cerpen pernah masuk ke dalam buku antologi, terbitan Pena Indis Publishing dengan Judul Ada Baju Kami yang Kakek Cuci

Senin, 13 Juli 2015

Resensi Buku "Sang Maha Pengasih"

Judul : Sang Maha Pengasih: Kumpulan Kisah Anak Baik yang Mendapat Pertolongan Allah
Penulis : Annisa Widiyarti
Penerbit: Tiga Ananda, Imprint Tiga Serangkai
Cetakan : I, Maret 2015
Tebal : 24 halaman
ISBN : 978-602-366-011-7



Saat Fikri dan Alya sedang makan siang, tiba-tiba ada seekor kucing berbulu kuning masuk ke dalam rumah sembari terus mengeong. Karena merasa kasihan, Fikri pun memberi kucing tersebut tulang ikan. Si kucing berbulu kuning lantas berlari setelah mengambil dan menggigit tulang ikan tadi.


Selesai makan, Fikri dan Alya membantu ibu merapikan meja makan juga mencuci piring. Tiba-tiba terdengar lagi suara kucing mengeong. Ternyata kucing yang sama. Dia meminta tulang ikan lagi. Fikri dan Alya menjadi penasaran. Mengapa kucing ini meminta makan lagi?


Diam-diam Fikri dan Alya mengikuti si kucing yang berlari kembali setelah mendapat tulang ikan kedua kalinya. Nah, ada apa ya?

Kisah di atas berjudul "Kucing Dua Kali Meminta Makan". Selain cerita Alya, FIkri dan si kucing, ada 13 judul lain yang seru dan menarik.


Ada Dimas yang "Menolong Anak Kecil", "Meminta kepada Allah", "Gagal Berwisata?", "Hari Terakhir Ujian", "Rautan yang Rusak", "Mobil Impian", "Perlindungan dari Allah", "Pertolongan dari Allah", "Sedekah Iqbal", "Tablet Impian", "Tas Ojek Payung", Di Mana Uang SPP Hamdi" dan "Satu Kebaikan".


Pesan yang tersembunyi namun jelas dari kumpulan kisah ini adalah agar anak-anak menjadikan doa kepada Allah sebagai kebiasaan yang baik. Sebab Allah Sang Maha Pengasih, akan selalu menolong hamba-Nya, dengan cara yang tidak bisa disangka atau tak terduga. Sungguh Allah sayang kepada hamba-Nya.