Barangkali semua sudah atau pernah
mendengar tentang kisah perjuangan pelajar muslimah dalam mempertahankan
mengenakan jilbab (yang syar’i), kurang lebih di sekitar tahun 1990-an (mohon
dikoreksi bila kurang tepat). Lalu, kita yang masa remajanya jauh bertahun
setelah itu, bak membaca dongeng-dongeng atau legenda tatkala mengetahuinya.
Sebab kejadian-kejadian yang menimpa kakak-kakak kita dahulu, teramat
dramatis. Persis sinetron masa kini. Ada yang harus kabur melalui jendela
kamar; diusir orangtuanya sendiri; bersembunyi di rumah teman hingga jadi
bulan-bulanan di sekolah. Bahkan oleh guru sendiri. Kegiatan belajar sampai
ujian pun dipersulit. Semua kompak dengan satu tujuan: agar pilihan menjadikan
jilbab sebagai ‘mahkota’ berangsur ‘koyak’, ‘terenggut’, dan ‘kalah’.
Propaganda yang muncul pun ada saja. Dianggap aliran garis keras lah, golongan
fundamentalis dan lain lagi. Padahal mereka hanya ingin menunaikan perintah
Allah swt saja; menutup aurat sebenar mungkin. Pernah saya melihat album foto
kenangan. Dan di sana terdapat foto seorang kakak muslimah memakai jilbab super
lebar. Ujungnya menjulur hingga betis kaki. Dan bila diperhatikan, modelnya pun
asli tak ada yang aneh atau neko-neko. Seperti itulah hijab syar’i mereka.
Lihat bagaimana sekarang? Jilbab tak ubah bagian dari fashion semata. Yang
dimanfaatkan dengan membabi buta oleh para pelaku bisnis, demi melihat situasi-kondisi
yang menggiurkan. Tutorial hijab pun bertebaran, entah berupa video maupun gambar.
Lalu dengan gegas, semua pun tampil “berhijab”—katanya. Dan berlanjut, gaya
kerudung mencontoh tutorial eksis di mana-mana.
Hakikat dari berhijab, yakni menutup aurat, tidak terlalu diindahkan,
kasarnya tidak dianggap, dicuekin. Semua muslimah tak lagi susah seperti dulu,
sebaliknya mudah malah. Muslimah siapapun-di manapun itu bisa dengan
tenang-tenang saja “berhijab”. Sayang, itu tadi, seperti sindrom latah. Hanya karenan
ikut-ikutan. Lain masa, kala ujian menerpa, kain penutup kepala raib entah ke
mana. Bahkan, “terbuka”nya dengan drastis.
Melihat fenomena itu, saya sebagai
salah satu muslimah kadang dilanda galau. Bukan galau sejenis kebingungan,
bersebab actrees idola yang mula-mula berhijab, menutup aurat dengan rapat,
tiba-tiba kemudian (maaf) ber-tank top. Bukan seperti itu. Tapi galau-gundah-gulana,
di tengah hiruk pikuk jaman yang apa saja serba bisa terjadi ini, saya mencemaskan
diri pribadi dan keluarga, berharap agar hidayah—katakanlah dulu dengan ‘mudah’
didapat—jangan sampai terkecoh. Ikut-ikutan latah trend “syar’i”, latah juga
melepasnya tanpa beban moral dan tanggung jawab. Semoga tetap istiqomah. Begini
tentu harapannya.
Kisah saya menutup aurat pun kurang
lebih sama dengan muslimah lain. Ada proses, ada tahapan yang mesti dilalui
pola pikir dan jiwa. Walaupun mungkin, lingkungan yang kondusif menjadikannya
begitu mulus, tidak sampai berurai air mata dan bernanah-nanah seperti
kakak-kakak dahulu. Namun, tetap, bisa memperoleh pencerahan itu adalah salah
satu rezeki.
Ketika dunia muslimah dihebohkan
dengan beragam ‘tutorial hijab’, saya sempat juga ikut mencoba belajar di
rumah. Tapi, selalu berakhir dengan kembali ke gaya asal yang saya bisa.
Khususnya bagi saya pribadi ternyata, selain gaya yang ribet (bagi saya), saya
tidak merasakan nyaman. Seperti menjadi bukan diri sendiri. Aneh saja. Bahkan ketika
saya mengikuti langsung, si kecil yang waktu itu masih belajar berbicara pun
sudah mengatakan saya jelek. Dan menyodorkan jilbab langsungan sederhana yang
menutup dada. Aksinya tersebut kontan membuat tertawa, dan saya langsung
mencerabut kain kerudung yang berputar-putar di kepala dan leher. Ah, mungkin
memang tidak cocok.
Alhasil, gaya berkerudung saya pun tetap seperti itu-itu
saja. Jilbab langsungan menutup dada (saya belum memakai jilbab yang teramat
lebar) di hampir semua kesempatan dan jilbab dari kain kerudung segi empat,
yang tetap saya usahakan tidak transparan atau tetap menyebabkan leher kurus saya
dapat diterawang. Misalpun memakai yang rada ribet, tetap yang paling sederhana,
mudah dan bisa saya aplikasikan. Bahkan dari bilangan tahun lalu hingga
sekarang (sekitar 11 tahun juga, sama deh dengan Mba Ruli) beberapa jilbab saya
masih sama. Padu padan dengan pakaian pun menyesuaikan ketersediaan. Terkadang
memakai baju terusan (aduh, kok lupa ya istilahnya, yang jelas konon bukan
gamis, sebab gamis adalah pakaian untuk pria), lebih seringnya rok berpadu
atasan sepanjang pinggang hingga betis.
Yang paling saya ingat untuk selalu
istiqomah menutup aurat adalah:
“Seorang perempuan, bila belum
menikah, dia akan menyelamatkan ayahnya dari terseret ke api neraka,
dikarenakan aurat putrinya tertutup. Dan bila ia telah menikah, maka ia juga
akan menghindarkan suaminya kelak dari terseret ke api neraka, dikarenakan aurat
istrinya terjaga dari jamahan mata yang bukan mahramnya. Sehingga, bila
statusnya telah menikah, auratnya menjadi penentu ‘nasib’ dua orang lelaki,
yaitu ayah dan suaminya.”
Seperti itu kesimpulan yang kurang
lebih dapat saya cerna. Sehingga, pernyataan harus tetap cantik dengan hijab,
menjadi terbantahkan. Sebab sesungguhnya yang harus didahulukan adalah syar’i-nya.
Bukan perihal mix and chic, unik dan cantik. Semoga ada manfaat dari tulisan
sederhana ini meski seujung kuku. Mohon maaf kalau ada kata-kalimat yang tidak
berkenan. Allohu’alam bishowwab.[]
Tulisan ini juga dalam rangka
mengikuti event First Give Away oleh Ruli Retno, dengan tema "Jilbab yang Nyaman
di Hati".
:)
Waah pas aq intip blog yg punya giveaway-nya, banyak juga ya hadiah na..
BalasHapusBtw, coba ditambah ssuatu fitur yang kita bisa tau brp org membaca blog kita (entah apa namanya.. poho :p
Iya, mupeng kan? Hehe. Itu yg di foto kan "shawl" oren yg dr teh Dian thea, ingat tak?
BalasHapusSoal terakhir nanti cb gugling caranya, deh.
Ikutan juga tho? Hehe. Semangaat.
BalasHapusHehe, iya Mba Khu, pas kapan kan Mba Ruli-nya nge-post di Muslimah Blogger (kl tak salah), ikut intip. Aiiih, ternyata ada beberapa nama yg dikenal sdh pada ikutan, mupeng jg deh. Ini juga hampir gagal posting bersebab kuota habis, fyuhhhh
Hapus