“Ririwit.”
Satu kata itu hampir selalu terucapkan bibir mereka bila saya
sekeluarga mudik ke Cijulang, satu desa di Kabupaten Ciamis sana. Biasanya,
kalau berkumpul, terutama kala Lebaran, ada saja kisah-kisah masa lalu yang
saling berebut diluncurkan. Dan saya mendekati bosan mendengarnya. Karena lebih
dari satu kerabat yang bila bertemu, langsung teringat ke masa kecil diri ini
yang langganan sakit. Tepat! Ririwit itu istilah kami ‘urang Sunda’ untuk
menyebut seseorang yang kerap terkena sakit (saat kecil). Mendengar ada beberapa
dari sanak saudara menyebutkan hal itu, agaknya tidak bisa tidak saya harus percaya
bila itu fakta.
Kalau mudik dulu konvoi pakai motor. Saya, itu tuh yang paling manis kayak cokelat. |
Konon sejak bayi berusia sekian bulan, saya sudah sering
terkena sakit ini, itu, anu. Kalau dari cerita para tetua—lagi-lagi berdasarkan
kesaksian mereka—one kind of deseases
(enggak tega sebut penyakit) yang selalu hinggap di sekujur tubuh “The Ririwit
One” ini, terutama bagian tangan-kaki, adalah koreng.
Saya alergi tingkat tinggi terhadap makanan berprotein
tinggi, semisal ikan laut. Waaah, kalau pas daya tahan tubuh yang memang tidak
seberapa ini merosot, sekali saja makan, bulir-bulir kuning kehijauan akan
dengan cepat menghiasi epidermis. Sementara
dari segi usia, si Dini masih balita. Alhasil yang ada, bersebab rasa nyat-nyit-nyut, Dini kecil rewel bukan
kepalang. Nangis melulu. (Hiks, membayangkannya lagi saja memilukan.)
Digendong salah seorang bibi pas sakit. Umur berapa tahun ya, ini? |
Alergi terhadap protein menyebabkan para orangtua mau tak mau
mesti bersabar tidak memberi saya makanan yang masuk kategori alergen tersebut, khusus saya saja. Padahal
kan itu makanan bergizi. Tak heran tubuh si Dini melulu kecil, kurus.
Saking seringnya kena, dan obat dokter hanya berkala
menyembuhkan, orang tua, uwa, bibi dan lainnya sampai-sampai harus mengikuti
saran mengobati saya dengan mengonsumsi “fried snake”, pepes kadal dan semisal
itu. (Pantas saja kalau sekarang tiap saya melintas ke semak-semak pas ada
kadalnya, si dia langsung kabur atau enggak heran kalau sekarang lihat ekor
kadal bergoyang saya exciting banget.
He, ini asli hiperbola).
Hihi |
Sekian tahun berikutnya, kami pindah dari Cijulang ke Cirebon
(sebab SK tugas orangtua). Masih gegara satu alergi ini (ada alergi lain lagi),
saat usia menjelang 5 tahun dan hendak didaftarkan ibu masuk ke Taman
Kanak-kanak, si koreng kambuh lagi. Parahnya lebih-lebih dari biasanya, yang cuma
menghias tangan-kaki. Kali itu dari kepala hingga kaki. Rambut galing pun
terpaksa dibabat, karena nanahnya menyebabkan rambut lengket dan bau amis. Maksud
dicukur juga untuk memudahkan mengobati kulit kepala.
Demi mempercepat proses kesembuhan, ibu melakukan saran
beberapa tetangga, walau cara itu menyesakkan. Sobat mau tahu apa itu? Menutupi
luka bernanah di kepala dengan abu rokok yang ‘fresh graduate’. Maksudnya abu rokok yang benar-benar baru dari
hisapan rokok. Jadilah ibu seorang ‘perokok’ dadakan.
Ketika beberapa teman ramai berangkat sekolah, kepala saya masih sibuk ditutuli abu rokok oleh ibu. Rasanya bagaimana? Panas tentu.
Alhamdulillah. Sekarang kurang lebih begini. Ini foto 5 tahun lalu, tapi saya selalu 'langsing' memang :D |
Begitu sembuh, ibu ‘balas dendam’. Dia rajin mengolesi kulit
kepala saya dengan santan dan jeruk nipis. Rambut galing yang terbabat pun
bermunculan lagi. Bahkan, walaupun kemudian rambut saya tumbuh ikal, lebat dan
hitam, ibu masih terus melakukan treatment
tersebut.
Itulah sekelumit kisah masa kecil saya yang aslinya kompleks,
hehe. Mudah-mudahan sih, tidak akan ada pengambuhan lagi. Aamiin.[]
Sleman, 8 Muharam 1437 H || 21 Oktober 2015
:: Tulisan Ini Diikutsertakan Dalam Pena Cinta First Giveaway
#GAPenaCinta ::