Tetra Ceritera dan Danau Angkara
Oleh: Kirana Winata
Judul buku : ANIMUS, Seven Days, A Tetralogy Novel
Penulis : Ajeng Maharani
Kategori : Fiksi, Novel (Dewasa)
Penerbit : LovRinz Publishing
Cetakan : II (kedua), Desember 2014
Tebal : xiv + 235 halaman
ISBN : 978-602-71451-0-8
Kebencian adalah satu elemen rasa yang pasti dimiliki setiap manusia. Namun bagaimana rasa itu dapat dikelola adalah benar-benar urusan pribadi manusia itu sendiri. Apakah ia dapat mengendalikan, mengalihkan atau membiarkan bertumbuh, lalu melahap jiwa si empunya? Itu adalah pilihan. Dan pada satu topik inilah cerita bermula; bertumpu.
Mula-mula menatap judul novel ini, saya sudah diserbu rasa penasaran, hingga pada akhirnya bisa memiliki dan membacanya tuntas, rasa ingin tahu itu pun terlolosi. Dan ending-nya mengakibatkan saya terkontaminasi rasa ‘benci’. Bagaimana tidak? Sebab sedari menyantap rangkaian huruf-huruf prolog hingga epilog, jantung saya dipermainkan sedemikian rupa: berkerenyut, rileks, berkerenyut lagi, terus dan menerus.
Ada empat kerat kisah yang tersaji dalam ANIMUS: “Dentum Hati”, “Cinta si Gadis Lumpur”, “Lelaki dan Danau Legenda” dan “Bunga”. Saya coba ulas salah satunya, yaitu yang pertama.
“Dentum Hati” bertutur tentang seorang gadis bodoh—kalau boleh saya sebut—bernama Salsa. Artis panggung yang terjerat cinta buta pada Darsono, anggota dewan yang sudah berkeluarga. Dikarenakan kasus video syur yang menyebar dan tertuduh sebagai pelaku, diri Salsa dan hidupnya yang semula hanya dipenuhi nama Darsono bergulir kepada Pak Hakim lalu Sang Komandan. Baru, setelah tiga hari dalam mengusahakan keadilannya Salsa merasa bak bola ping-pong, ia memutuskan untuk juga berontak. Melepaskan diri dari jeratan-jeratan “orang penting” yang berjanji membebaskan Salsa dari tuduhan menyebarkan video, dengan melepas selapis demi selapis kehormatannya sebagai penebus.
Pembangkangan Salsa tersebut, selanjutnya meliukkan alur lain lagi. Dan mempertemukannya dengan tokoh bernama Ari. Pemuda 23 tahun yang pendiam, pincang (halaman 13) namun ternyata seorang pembunuh bayaran. Hal ganjil bagi saya sebagai pembaca untuk mencerna bila sosok Ari dapat melumpuhkan pria besar kekar. Sedikit melawan logika. Walaupun ada satu narasi yang menyebutkan, meski fisik Ari berkekurangan, dia kuat, tenaganya jangan disangka. Ya, bisa jadi. Sebab kemungkinan sumber dan suluh energinya adalah juga rasa benci.
Lalu bagaimana kelanjutan kisah Salsa? Korelasi macam apa yang terbentuk antara dia dan Ari? Tentu tidak akan saya paparkan dengan gamblang di sini. Tapi sedikit sebagai bocoran (seperti biasa bila saya menulis resensi), tiga kisah setelah Dentum Hati adalah bukan lanjutan dari kisah Salsa dan Ari. Tapi cerita yang bernar-benar baru, berbeda, tapi tetap saling berkaitan. Bingung?
Di “Cinta si Gadis Lumpur” yang menceritakan kisah cinta monyet dua remaja SMU, Yana si anak berpunya dan Nora anak gadis petani biasa, ada satu fragmen kehidupan Salsa-Ari. Di sini pun, kedok salah satu orang penting, pula berandil memengaruhi lika-liku hidup Salsa, dibuka; yang ternyata orangtua Yana, tepatnya bapaknya. Silakan tebak yang mana dia kira-kira: Darsono, Sang Komandan ataukah Tuan Hakim? Terselip juga pertemuan antara Nora dan Bunga dalam satu angkutan umum. Sebaliknya di Dentum Hati, bila pembaca cermat ada adegan/narasi percakapan Nora dan Yana yang terdengar Salsa di setting tempat bernama Taman Soka.
Sementara saat cerita beralih ke “Lelaki dan Danau Legenda” fokus hanya pada Guntur dan Cuwa. Lagi-lagi soal asmara. Terjalin antara Guntur si penebang kayu dengan Cuwa, gadis primadona setempat. Ada tersisip nama Bunga disebut di sini.
Sedangkan di kerat terakhir, yaitu “Bunga”, adalah penjelas alur kejadian-kejadian dari kisah ketiga di atas. Dalam paparan tentang Bunga inilah pembaca akan ngeh dengan perjalanan Bunga. Bermodal intuisi “ada sesuatu terjadi” dia menempuh jarak, menjelajah tempat demi tempat, mencari sang calon pendamping hidup sekaligus mencari Danau Sinabu.
Maka perihal legenda Danau Sinabu, si Danau Angkara itu, menurut saya benar-benar terasa keterkaitannya dengan prolog di awal—yang mana penghuni danau tersebut yang berbicara—baru di dua potong cerita terakhir. Alasannya, tiga tokoh yaitu Guntur, Cuwa dan Bunga sungguh bersinggungan dengan mitos Sinabu pun tentu dengan kebencian yang mengakar kuat dalam diri satu tokoh sentral di antara mereka. Ialah Cuwa yang mengidam-idamkan tuah Danau Sinabu, di mana nestapa, permintaan, harapan, kutukan dan ‘kebahagiaan’ berkumpul.
Sedangkan di dua cerita pertama, hanya menyoal kebencian saja. Tak bersinggungan di sini, dalam artian tidak ada di antara tokoh-tokohnya entah Salsa atau Ari atau Nora atau Yana yang teramat ingin mengadu ke Danau Sinabu. Sebagaimana halnya Cuwa, gadis desa lugu yang menurut saya kemudian terasuki aura negatif Sinabu. Menjadi sosok paling kelam di antara semua tokoh ANIMUS, seolah berkepribadian tak lagi tunggal.
Ditutup dengan tiga ending yang bersifat open-ending—sebab menurut saya sepertinya masih bisa dilanjut—ANIMUS yang berarti sama dengan kata ‘hate’, sukses mengaduk debur jantung dan perut saya menjadi bergejolak; mual; perih. Aih, saya harus meminta pertanggungjawaban Ajeng Maharani sang penulis kalau begini. Sebab bila ditambahkan kosa kata ‘kembung’, tidak ada hal lain selain indikasi dari maag saya yang kambuh. :)
Masih berkaitan dengan ‘cerita yang berlanjut’, membaca frasa ‘A Tetralogy Novel’ membuat saya mengira bila novel ANIMUS bertajuk Seven Days ini adalah bagian pertama dari total novel nantinya yang berjumlah empat. Saya mengartikan bebas frasa tersebut menjadi Novel Tetralogi. Persis seperti dwilogi, trilogi. Jadi di pikiran saya ANIMUS ini akan berseri.
:
Dari segi tekhnik, ANIMUS disampaikan dengan alur maju-mundur dan plot yang kompleks. Penceritaan pun dengan multi point of view alias sudut pandang. Bergantian antara sebagai orang ketiga dan orang pertama (aku). Untuk setting khususnya tempat, kesemuanya adalah murni hasil rekaan dan imajinasi penulis. Namun dari pemaparannya, seolah Pulau Maku-Maku, Tanjung Yaura, Taman Soka, hutan tempat Guntur bekerja dan lainnya mirip Pulau Sumatera atau Kalimantan. Lalu ditaburi diksi-diksi yang tak biasa, memang menjadikan novel ANIMUS ini punya khas tersendiri. Khas seorang penulisnya tentu, yang memang menyukai hal yang tidak klise, terlebih pada kosa kata. Ibu dari tiga anak ini, dari pantauan saya, memang menyenangi dan terlihat sering membiasakan karyanya ditulis dalam kosa kata bentuk padanan yang jarang digunakan orang lain. Ini satu kelebihan sekaligus kekurangan, sebab pembaca yang benar awam (bukan merupakan penulis pula) akan dibuat ‘mabuk’.
Lalu sekadar saran, saya mewanti-wanti agar pembaca yang benar-benar belum dewasa tidak dulu membaca novel ini. Setidaknya range usia pembaca yang cukup boleh adalah 20+ alias 20 tahun ke atas. Sebab di beberapa fragmen, diksi dalam narasinya saya rasakan terlampau “jujur”, semisal “menikmati”, “memakai” dan lainnya.
Satu hal lagi yang ingin saya titipkan kepada sang penulis, jikalau ANIMUS Seven Days ini hendak dilarung untuk kembali berlayar menggunakan “yacht“ di samudera lepas, kaver depan buku—bergambar permukaan danau berhias tanaman kering dan purnama—yang cenderung gelap semu kelabu ini mungkin ada baiknya diubah. Bisa dengan tetap menampilkan aksen kelam bila ingin isi novel tetap terwakilkan. Sebab bila ini saja berhasil cetak ulang apatah nanti. Semoga. Salam sukses.[]
Sleman, Dzulqodah 1436 H
30 Agustus 2015
#GA_ANIMUS
(995 kata)