Tampilkan postingan dengan label Romadhon. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Romadhon. Tampilkan semua postingan

Minggu, 25 Juni 2017

Apakah 27 Ramadhan Kemarin, Malamnya Adalah Lailatul Qodar?

Pertanyaan tersebut berputar-putar dalam benak. Sampai-sampai 'pertanyaan Mark Zuckerbeg' saya jawab dengan kalimat tanya itu. Saking saya pikirkan.



Mulanya tanggal 27 Ramadhan pagi hingga siang, waktu seolah terhenti. Jika hendak 'hyperbole', jika diibaratkan makhluk hidup, bumi dan segalanya isinya bagai sedang menahan napas.

Angin tidak terasa berembus kencang, seperti sehari sebelumnya. Langit memang mendung, tapi begitu saja terus, tanpa berlanjut dengan turunnya hujan. Tenang, damai... tak terdengar juga gemuruh di langit. Paling mengherankan, yang saya alami, yang biasanya di dalam rumah banyak nyamuk, dari malam hingga menjelang pagi tidak terasa gigitan mereka pun dengungannya tak terdengar. Lalu, anehnya, esoknya serbuan nyamuk kembali seperti biasa.

Itulah mengapa, setelah mengingat-ingat beberapa hal yang tidak biasa tadi, ketika siang saya tiba-tiba terpikirkan tentang malam seribu bulan. Dari ciri-cirinya, mirip dengan yang dijabarkan beberapa sumber. Mengenai ketepatannya, hanya Alloh pemilik alam yang mengetahui dan berhak menurunkannya. Allohu'alam bishowwab.

25 Juni 2017
1 Syawal 1438 H

#NulisRandom2017
For day 25

Kamis, 22 Juni 2017

Sekerat Surat dari Masa Lalu

Dear Dinu,

Salam hangat dan manis yang paling untukmu. Semoga kau sedang berbahagia, sehat wal afiat dan segalanya 'on the track', seperti yang selalu kau harap dari dulu.

Ketika kau membaca ini, di satu hari yang acak, mungkin kau sudah berusia kepala empat atau lima atau enam. Tapi aku sangat yakin, kau masih, mmmh begitulah... seperti anak esde. Duh, maafkan soal menyebut seperti anak esde barusan ya? Maksudnya, kau masih dan akan selalu terlihat imut. Semoga saat itu, suamimu tidak lagi melulu protes dan berwajah masam dengan keimutanmu itu--ingat ketika ada berapa kali kau mencangklong tas punggung hijaumu lalu berjalan sendirian tanpa suami dan anakmu, sehingga disangka masih mahasiswi? Kukira itu takkan terjadi lagi, sebab tentunya meski kau masih imut dan awet muda, wajahmu mulai dihampiri garis-garis usia. Itu lumrah dan fitrah manusia bukan? Tak perlu ambil pusing. Yang penting, kau tidak lupa tersenyum bahkan kepada dirimu sendiri. Yang penting, kau bahagia. Dan barangkali, sekaranglah masa yang tepat untuk bahagia. Anak-anak tentunya sudah remaja, sudah cukup dewasa lah untuk bisa mengurusi keperluan dirinya sendiri. Semoga segala nilai kebaikan, tentang iman dan poin-poin kehidupan yang kau kabarkan masih dan terus mereka jaga hingga akhir hayat. Aamiin.

Dear Dinu,
Aku banyak berharap, kau tidak lagi sama, dalam beberapa hal saja tapi ya. Semisal tidak lagi panikan, tidak mudah resahan, tidak cepat gundahan. Tahu tidak, Dear? Terkadang soal hidup, kita hanya perlu menjalaninya saja. Tidak perlu memenuhi pikiran dengan segala kerumitan. Sungguh, kau butuh banyak dan lebih banyak lagi relaksasi. Menenangkan urat-urat, aliran darah, isi kepala yang kerap berontak meminta tempat. Terkadang soal hidup, Dear, adalah kematian, nyenyat, tanpa ingar bingar, tanpa keluh kesah, tanpa gelisah.

Dear Dinu,
Maafkan kata-kata barusan itu. Terdengar sok tahu, bukan? Sungguh, maksudku hanya ingin kau lebih tenang dan senang menjalani hidupmu. Oh, ya... dan berupa-rupa kisah di masa lalu, sudah biarkanlah, relakanlah, toh sudah terjadi, sudah berlalu. Saatmu untuk menatap masa depan.

Salam hangat dan sayang yang paling,
Darimu di masa lalu.

#7daysKF
For day 07

#NulisRandom2017
For day 22

#Ramadhan

Perihal THR yang Kemudian Menjadi Harapan Hampir Semua Orang Jelang Lebaran

Perihal THR yang Kemudian Menjadi Harapan Hampir Semua Orang Jelang Lebaran

Sumber: Google


Ingin sedikit bahas saat kemarin siang ubral-obrol dengan abah saya. Ya itu, soal THR, juga gaji-gaji guru dan PNS lainnya yang sampai ada 13 (bahkan kemudian sekian tahun lalu ada isu akan ada juga gaji ke-14, welleh welleh hebringnya), padahal bulan setahun cuma ada 12 bilangan saja. Juga soal tunjangan, insentif dan perkara sejenis.

Saat disebut sumber-sumber keluarnya uang di atas tadi, sejenak kami merasa huwaw. Benar, betapa banyaknya, betapa menyenangkannya, betapa indahnya juga barangkali. Ya, coba saja disebut sembari melipat jari-jari tangan satu persatu. Huwaw bukan?

Apalagi jika jelang lebaran ini, wayah disodorkannya berurutan atau syukur-syukur bareng sekaligus. Ekspresi dan binar mata kita sudah mirip Aladdin yang masuk gua berisi harta qarun, mungkin.

"Tapi itu sekadar untuk menyenangkan hati, sesaat," kurang lebih pendapat abah saya. Lalu sambil berseloroh, "kalau abah yang jadi presiden... semua itu bakal tidak ada, dihapusss."

Aiih, teganya... gak asyik dong! Benak saya, sampai kemudian...

"Diganti dengan gaji yang jumlahnya berkali-kali lipat! Ngapain ada tunjangan anak, tunjangan istri, gaji 13, THR... cuma seencrat seencrit. Cuma... karena ada itu-ini kesannya banyak, cuma untuk bikin hati senang sebentar..." abah tertawa. Hooo, iyalah, betul juga, saya mengangguki frasa serba cuma tadi. Jika demikian setuju. Mengingat kebutuhan hidup selalu ada, selalu bertambah pula selalu naik harganya.

Obrolan kami bergulir ke gaji akhirnya. Misal seorang buruh akan digaji minimal seribu dolar. Iya, standarnya dolar! Sebab jika dipikir-pikir, bagaimanapun nilai dolar dan apapun yang terjadi dalam peta dunia niscaya mempengaruhi nilai rupiah. Jadi, sekalian saja semua diselaraskan dengan dolar (meski untuk hal serius, ini perlu dikaji lagi). Dan tentunya, semisal THR sudah masuk hitungan. Sehingga semua bergaji besar!

Kalau semua pegawai, karyawan, buruh digaji besar, agaknya tidak akan lagi menanti-nanti beberapa sumber uang yang seencrat seencrit tadi. Yaahh, begitulah obrolan kami. ^_^


#NulisRandom2017
For Day 21

21 Juni 2017

Rabu, 07 Juni 2017

Adzan Maghrib Romadhon


Romadhon, sang bulan puasa, bulan primadona jika boleh saya sebut, sudah berjalan sepertiganya. Sekarang, sebagai informasi, saat ini diketik sudah memasuki tanggal/hari ke-10 Romadhon. Dan saya yang memang kerap teringat banyak hal semasa kecil dulu, khususnya momen-momen Romadhon, kali ini teringat dengan almarhum Aki dan "adzan Maghrib-nya".

Sudah merupakan pemahaman global (dan ini sesuai dengan yang disyariatkan), jika waktu mulai berpuasa adalah secara simpelnya sejak adzan Shubuh berkumandang hingga adzan Maghrib.

Adzan Shubuh sebagai batas waktu selesainya sahur, yang di lingkungan kita 7-10 menit sebelumnya diisyaratkan melalui sirine. Dengan maksud supaya bersiap berhenti makan-minum dan tidak terlalu mepet ke adzan Shubuh.

Lalu kita pun secara reflek, bila adzan maghrib berkumandang, buru-buru menghadapi makanan atau mengambil gelas untuk minum.

Dan suatu hari di satu bulan Romadhon, adzan maghrib akhirnya berkumandang. Ketika itu kami sudah liburan dan berkumpul di rumah Aki.

Begitu "Allohu Akbar... Allohu Akbar..." kami para cucu bahkan orangtua kami seketika beranjak dari duduk yang menyebar. Meninggalkan kesibukan (atau keasyikan?) masing-masing. Gempita dan serentak menuju meja besar di mana bergelas-gelas takjilan terhidang.

Salah satu dari kami mengajak Aki untuk bangkit. Aki yang sedang duduk di kursi favoritnya (selalu di kursi paling ujung dekat pintu) lalu merespon, "Adzan itu panggilan untuk sholat. Bukan panggilan makan-minum". Hening. Kami membisu. Tidak ada yang berani membantah. Sebab, memang benar adzan merupakan ajakan untuk sholat. "Hayya 'ala sholah... Marilah kita sholat..." bukan "hayya nakul... hayya nasyrob...", "marilah kita makan... marilah kita minum...".

"Tapi kan, tanda berbuka puasa yang berarti boleh makan dan minum, dicirikan dengan adzan Maghrib tersebut?" Kami para cucu sempat berbisik-bisik. Sembari jadi malu sebab semangatnya bukan main kala menyeruput dan menyendoki es buah. Sementara Aki setelah terpekur mendengar adzan hingga selesai bangkit menuju belakang, ke kamar kecil atau sumur, entah yang mana tepatnya. Tapi tentu untuk berwudhu.

Kami kasak-kusuk soal Aki. Minimal ya membatalkan puasa dulu, begitu pikir para orangtua kami.

Hari ini, kenangan soal adzan Maghrib itu jadi pengingat. Betul adzan maghrib pertanda sahnya makan minum. Tapi mengingat waktu sholat maghrib yang cukup singkat, memang baiknya adalah sekadar membatalkan, minum segelas air dan kurma (jika ingin mengikuti sunnah Rosululloh). Jadi, jangan sampai terlalu bernafsu, lalu tahu-tahu... maghrib usai, sholat lalai. Astaghfirulloh.

Saya pun kadang, apalagi posisi sekarang ini tengah menyusui, sesudah adzan selekasnya minum. Dari air putih, susu, dan jika ada sirup bercampur buah. Lalu dilanjut makan, baru sholat.

Teringat almarhum Aki soal ini, kala saya tersadar betapa nafsunya saya "balas dendam". Romadhon kurang lebih masih ada 2/3 lagi. Ada kesempatan untuk benahi cara berbuka puasa. Buka sekadarnya untuk membasahi kerongkongan dan ganjal perut. Nanti usai maghrib dan isya (terawih) kegiatan isi perut itu toh bisa dilanjut lagi.

Bagaimana dengan busui nih? Ya, tentu bisa diatur, misal harus diisi nasi, barangkali setengah porsi dulu mesti cukup. Ketimbang minum-makan hingga sepuasnya, lalu sholat terburu-buru sebab mepet ke isya. :'(

Semoga tulisan yang sesungguhnya untuk pengingat dan dalam rangka menasihati diri sendiri ini, bisa bermanfaat juga untuk teman sekalian yang membaca. :)
Allohu'alam bishshowwab.

Cirebon, 5, 6, 7 Juni 2017
#NulisRandom2017
(untuk) Hari ke-5
#CatatanRomadhon1438H