Dunia Literasi dan Tantangan Masa Kini
Kegiatan
literasi di Indonesia dinilai masih jauh tertinggal dibanding negara-negara
lain. Yang membuat sedih dan shok, bila di-ranking ternyata hanya menempati
posisi kedua dari bawah. Finlandia-lah yang berada di posisi pertama.
Ah, memang apa pentingnya sih soal ranking dan minat baca ini? Membaca identik dengan berpengetahuan, berpendidikan, jadi sederhananya tingkat membaca bisa dijadikan ukuran bagaimanakah tingkat pendidikan suatu bangsa tersebut.
Tentang betapa rendahnya minat ini sempat saya dengar dulu saat masih berstatus “pencari ilmu” (meski sampai sekarang pun masih tetap cari ilmu yaa ^^).
Ah, memang apa pentingnya sih soal ranking dan minat baca ini? Membaca identik dengan berpengetahuan, berpendidikan, jadi sederhananya tingkat membaca bisa dijadikan ukuran bagaimanakah tingkat pendidikan suatu bangsa tersebut.
Tentang betapa rendahnya minat ini sempat saya dengar dulu saat masih berstatus “pencari ilmu” (meski sampai sekarang pun masih tetap cari ilmu yaa ^^).
Keterpurukan
ini banyak sebab, yang bahkan beberapa di antaranya sejak dahulu pun sudah
eksis dan mirisnya hingga tahunan berganti masih belum bisa disingkirkan.
Sehingga tantangan terhadap dunia literasi masih tinggi.
Televisi
Masih Menguasai
Saya
amati secara kasar, dalam artian tanpa perangkat survey, masyarakat kita memang
masih candu dengan televisi. Ketimbang membaca, bagi sebagian besar masyarakat,
menonton televisi lebih dipilih untuk mengisi waktu luang, sebagai teman
bersantai dan sejenis itu. Kegiatan membaca masih mereka anggap dan kategorikan
sebagai hobi orang-orang tertentu. Bukan kegiatan "semua orang semua
kalangan".
Saya sempat dengar langsung dari sebutlah kawan ngobrol, saat mencoba menawarkan buku anak pertama, dia menolak dengan alasan anaknya tidak suka baca. Dan hal tersebut bukan suatu masalah besar baginya. Frasa "tidak suka baca" ini lumayan kerap juga saya dengar terlontar. Entah dengan raut wajah datar atau malah terang-terangan berekspresi "apa hebatnya dengan suka membaca?".
Saya sempat dengar langsung dari sebutlah kawan ngobrol, saat mencoba menawarkan buku anak pertama, dia menolak dengan alasan anaknya tidak suka baca. Dan hal tersebut bukan suatu masalah besar baginya. Frasa "tidak suka baca" ini lumayan kerap juga saya dengar terlontar. Entah dengan raut wajah datar atau malah terang-terangan berekspresi "apa hebatnya dengan suka membaca?".
Fenomena Media Sosial
Lalu, datanglah masa di mana gadget
dan media sosial bak menjadi Raja dan Ratu dalam kehidupan bersosial. Sebut
instagram salah satunya. Saya sempat merasa takjub jika membuka aplikasi ini
melalui ponsel. Entah barangkali disebabkan saya “suka baca”, sehingga (membuat
otomatis) akun-akun instagram yang tertangkap di beranda saya adalah akun dan
postingan soal buku. Book Giveaway, reading
challange, membaca bareng atau lomba resensi, dan banyak lagi variasinya.
Saya lihat pula buku-buku yang sedemikian cantik dan gaya foto-fotonya. Make me
envy lah hashtag-nya.
Nah, melihat itu—melupakan rasa iri dan cemburu terhadap seabrek aktivitas “all things connect with book” para sobat instagram, saya
mengira, sungguh-sungguh mengira, jika prosentase kegiatan literasi kita; minat
baca bangsa Indonesia sudah membaik. Merangsek ke peringkat pertengahan lah
setidaknya.
![]() |
(tabel ranking literasi dunia, sumber: pustakawanjogja[dot]com) |
Bisnis Perbukuan yang Gulung Tikar
Selain soal minat, ada pula kasus lain
yang semakin membuat miris. Contoh dekatnya saja, kota tempat saya berada;
Cirebon. Suatu hari saya bersama suami hendak ke toko buku. Satu toko buku yang
amat terkenal dengan jargon “toko buku diskon”. Sobat barangkali tahu ya? Baik,
lanjut lagi ceritanya, entah ada berapa kali kami menyusuri tepi jalan raya
itu. Sebab, kami ingat betul, letak toko buku tersebut di pinggir jalan.
Tersisip di antara gerai fashion dan food. Tapi, nihil. Tak ada. Di posisinya
yang saya ingat, justeru berdiri gedung lain. Diketahui kemudian, toko buku
diskon tersebut tutup. Gulung tikar. Sedih. Selanjutnya, baru beberapa bulan
kemarin, satu persewaan buku juga tutup. Setelah sekian tahun mencoba bertahan,
akhirnya mengikuti jejak beberapa persewaan buku lainnya yang juga tutup. Sedih
lagi.
Persewaan
buku yang disebut pertama adalah usaha yang dibuka kakak ipar bersama beberapa
temannya sealmamater SMA. Jadi, mereka, saat berstatus sebagai alumni
memutuskan untuk mendirikan persewaan buku. Salah satunya sebagai penghubung
silaturahmi. Apa daya, kini upaya mereka berkontribusi di dunia membaca pun
mesti usai. Saat kami ngobrol-ngobrol, konon sebab pengunjung yang semakin
jarang datang hingga akhirnya benar-benar tak berkunjung itu curiga besar
adalah gadget. Masih lebih mending, jika hanya beralih media baca. Seperti
menjadi fan webtoon atau wattpad. Tapi jika
kemudian media sosial hanya untuk sekadar chit chat, ini amat disayangkan.
Di
dunia penulis, kabar duka juga datang dari beberapa media cetak yang memutuskan
berhenti terbit. Ini berarti plus ruang literasi di dalamnya pun ikut raib.
Sehingga sebabkan satu ruang ekspresi untuk penulis berkurang lagi.
Pajak
Bahasan
terhangat di dunia literasi negeri belakangan hari ini. Setelah tahunan pajak
cukup mencekik, menandai hari literasi, penulis sekelas Tere Liye dan Dee
Lestari bersuara dan beraksi. Meminta keadilan mengenai pajak untuk penulis
utamanya. Sebab, sudahlah royalti kecil mesti kena pajak juga.
Meskipun 'protes' ini mewakili suara penulis secara umum, bila ditilik lagi pada hakikatnya harapan agar pajak ini ditiadakan atau setidaknya diminimalisir, juga akan berimbas pada harga jual buku. Yang berarti pembaca pun tidak perlu lagi mengeluh harga mahal saat hendak membeli buku. Yang berujung jadi enggan beli buku, yang akhirnya memberi pengaruh terhadap minat baca.
Tentu saja untuk bahasan satu ini tidak semudah jari saya mengetikkannya. Perlu waktu, dan pemikiran dalam serta rinci dari para ahli di bidang terkait. Hanya pendapat sederhana, jangan sampai soal pajak membuat dunia literasi negeri yang sudah miris semakin mengikis.
Meskipun 'protes' ini mewakili suara penulis secara umum, bila ditilik lagi pada hakikatnya harapan agar pajak ini ditiadakan atau setidaknya diminimalisir, juga akan berimbas pada harga jual buku. Yang berarti pembaca pun tidak perlu lagi mengeluh harga mahal saat hendak membeli buku. Yang berujung jadi enggan beli buku, yang akhirnya memberi pengaruh terhadap minat baca.
Tentu saja untuk bahasan satu ini tidak semudah jari saya mengetikkannya. Perlu waktu, dan pemikiran dalam serta rinci dari para ahli di bidang terkait. Hanya pendapat sederhana, jangan sampai soal pajak membuat dunia literasi negeri yang sudah miris semakin mengikis.
![]() |
Sumber: Facebook Tere Liye |
Masih banyak PR kita untuk meningkatkan minat baca.
Selain di atas, perihal bagaimana kita perlu memilihkan bahan bacaan yang tepat
untuk anak; memahamkan juga mengarahkan pada adik-adik kecil dan atau anak-anak
kita yang sudah mampu membaca tulisan agar membaca yang sesuai dengan usia
mereka pun adalah pekerjaan rumah lainnya. Sebab memastikan mereka tidak
kecolongan membaca bacaan jauh di atas usianya termasuk poin penting.[]
Cirebon, 17 September 2017
~~~~~
Cirebon, 17 September 2017
~~~~~
Tulisan ini diikutkan
dalam Postingan Tematik (PosTem)
#PostinganTematik
Diawali dari lingkungan keluarga, kita bisa menyediakan bacaan yang sehat dan bergizi untuk anak-anak kita. Semoga bisa menumbuhkan minat baca ya mbak :)
BalasHapusBetul. Setidaknya kita yg paham mencoba aktifkan dr keluarga sendiri. Aamin. Terima kasih kunjungannya, Mba ;)
Hapusterlepas dari polemik perbukuan, yang penting kita mah tetep nulis aja ya, Mba Dinu.
BalasHapusmencoba tetap menulis plus membaca tentunya. Keep moving forward, Mba Citra... ;)
HapusTernyata fenomena yang sama dengan yang kualami, dulu paling rajin ke persewaan buku tapi sekarang persewaan buku kesayangan juga tutup, tapi alhamdulillah berganti nih persewaan yang berkonsep dengan kafe (kesana langsung masuk perpusnya tanpa mampir kafenya ha ha ha). Kita harus memulainya dari keluarga sendiri gerakan literasi ini, menjadikan gerakan membaca jadi wabah dikeluarga kemudian melebar ke lingkungan sekitar.
BalasHapusDunia bacabaca saya begitu SD kls tinggi diawali dr tempat persewaan malah, jd agak gimana tahu banyak yg tutup. Sekarang punya cita-cita bikin cafebook gitu... ^^
HapusSedih ya Mbak, melihat rendahnya minat baca anak-anak, ditambah sikap orang tua yang tak mendukung, malah memaklumi begitu saja. Dan toko buku, apalagi penyewaan buku, semakin sepi peminat. Semoga tulisan ini sedikit memberi kontribusi untuk menyadarkan masyarakat betapa pentingnya menumbuhkan minat baca pada generasi penerus.
BalasHapusBanget Uni. Dan tidak bisa turut campur begitu dalam, soalnya sudah 'kebijakan' orangtua sendiri.
HapusPadahal persewaan itu berkontribusi sangat terhadap kegiatan baca, tp mesti kalah seiring waktu berjalan.
Aamiin, Uni.
Ngomong-ngomong tentang penyewaan buku, saya jadi ingat, dulu juga sempat membuka tempat penyewaan buku. Alhamdulillah, cukup ramai sehingga kami pun dapat uang jajan yang lumayan. Sayangnya, koleksi buku kami jadi rusak bahkan banyak yang tidak kembali. Karena prihatin dengan kondisi buku-buku tersebut, usaha itupun kami stop.
BalasHapusHihi, dilemanya di situ juga ya, Mba. Tidak semua bisa berkeperibukuan, hiks.
HapusGodaan media sosial saat ini memang sangat sexy.
BalasHapusBetul, termasuk saya sendiri sering tergoda, khususnya kl ada kuis dan giveaway, hihi.
HapusTelevisi dan gudget..duh, musuh besar dalam mendongkrak minat baca masyarakat mba.
BalasHapusSebetulnya bisa tidak jadi musuh, asal bisa seimbang yaaa. Tapi rupaya sulit. Saya sendiri sudah memensiunkan teve.
HapusMembaca adalah jendela dunia, agar dapat mengetahui isi dunia perlu membaca. Indonesia menjadi negara yang tertinggal jauh karena minat baca masyarakatnya yang rendah
BalasHapusBerasa tak percaya ya, tapi nyatanya begitu. Perjuangan dan PR untuk semua kalangan.
HapusIkut sedih dengan beberapa media cetak yang harus gulung tikar. Karna saya termasuk orang yang lebih mencintai bacaan cetak daripada online/e-book ;(
BalasHapusSama. Saya tetap lebih suka buku nyata daripada buku maya, :)
HapusIkut sedih dengan beberapa media cetak yang harus gulung tikar. Karna saya termasuk orang yang lebih mencintai bacaan cetak daripada online/e-book ;(
BalasHapusNah, tentang TV yang menguasai, saya kira itu umum terjadi di sini. Semua rumah punya TV bahkan banyak yang lebih dari satu. Tapi perpustakaan pribadi? I don't think so.
BalasHapusHiks, PR dunia literasi masih banyak ya, Mbak.
Dan tentang toko buku yang tutup itu,semoga akhirnya beralih jadi tokbuk online. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa cost-nya besar jika harus offline sementara pengunjung semakin berkurang. Terima kasih sudah berbagi ^^
Iya, saya ini di rumah semi sengaja pajang rak buku, berharap ada yang tertarik untuk ikut baca atau pinjam. Sambil berdoa dan berharap bukunya baik-baik saja, ^^
HapusSama-sama, Mba. Terima kasih juga sudah mampir :)
saat ini dunia penerbitan sedang lesu namun kita tidak boleh putus asa terus menulis dan menebar manfaat
BalasHapusYup, benar. Keep moving forward saja, ya, Mba? Semangat! ^^
HapusSedih banget perihal pajak royalti ini. Enggak kebayang kalau semakin banyak penulis besar akhirnya memutuskan untuk berhenti menerbitkan buku hanya karena pajak. Semoga segera ada jalan keluarnya ya.
BalasHapusSemoga solusinya tdk terlalu lama yaa. Penulis juga sama kan ya, butuh modal dlm menulis, ^^
HapusSebab memastikan mereka tidak kecolongan membaca bacaan jauh di atas usianya termasuk poin penting (Ini PR banget ya mba? semangat)
BalasHapusSangat, Mba. Beberapa bacaan kan "ngeri". Semoga anak2 kita tdk tergelincir ataupun terbawa yg negatif2. Aamiin.
HapusMari kita tetep nulis
BalasHapusYuuuuk, mariiii. Hi hi. ^^
HapusSaya pernah membaca beberapa curhatan blogger Jepang dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya. Mereka ini sudah terbiasa menghabiskan beberapa buku bacaan dalam seminggu. Ada yang 4 sampai 10 buku dalam seminggu. Saya sampai terkejut, karena bahkan saya saja butuh waktu lebih dari seminggu terkadang untuk menyelesaikan buku yang menurut saya bobot bacaannya lumayan.
BalasHapusDari sinilah saya bercermin dan mengangguk, memang minat baca saya pun masih rendah.
Saya juga pernah buka tempat penyewaan buku beberapa tahun lalu, Mbak. Pengunjungnya juga sepi! Bahkan yang datang itu protes sama jenis buku yang saya sediakan. Bukunya terlalu berat. Atau buku yang mereka cari genrenya nggak lolos sensor saya. Jadilah terpaksa kita tutup juga... ;)
BalasHapusKalau persewaan buku, saya juga heran kenapa banyak yang gulung tikar. Tapi kalau toko buku si "itu", saya pikir masih tetap digandrungi, ya. Meskipun sekarang banyak toko buku online juga yang untuk orang2 seperti saya merasa sangat dimanjakan. Tinggal klak klik buku datang. Nah, ini yang bikin boros, heheh
BalasHapusAlhamdulillah kalu soal TV anak-anak nggak terbiasa di rumah. Karena saya pun sudah sangat jarang menontonnya. Jadi teladan tetap orang tua.
BalasHapusUntuk tantangan penulis tak cuma pajak. Untuk tulisan di media cetak seringkali tak dibayar honornya itu sudah biasa di beberapa media..Kasihan nasib penulisnya:(
Sedih Mba... kondisi di Indonesia bikin miris :( Semoga kelak ada perbaikan dan nggak hanya TV sama medsos yang dipantengin generasi muda
BalasHapusMenulis dan membaca sudah tergerus budaya gadged.
BalasHapusPadahal membaca dan nulis itu sumber ilmu
Tantangan itu yang benar-benar harus dilewati ya. Sayang banget kalo gegara pajak atau faktor lain yg disebut di atas malah bikin semangat berloterasi jadi turun :(
BalasHapusSemoga ada solusi terbaik dan literasi makin membudaya. Aamin
Sekarang perpustakaan warga makin berkembang, TBM bergerak makin menjamr semoga itu bisa jadi solusi untuk meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia
BalasHapusTantangan banget ya buat orngtua menularkan minat baca pada anak2
BalasHapusTugas kita di jaman millenial ini semakin banyak ya mba. Semangat menularkan semangat membaca, minimal dari keluarga sendiri
BalasHapus