Sunatullah,
dan memang seperti inilah kita sebagai manusia. Masih kanak ingin cepat menjadi
orang dewasa. Saat lajang berharap segera ada yang meminang. Lalu apa yang
dinanti-nanti setelah menikah; memiliki pasangan hidup? Tentu kehadiran sang
buah hati. Namun, untukku perihal satu ini agaknya ada sedikit ujian dari Sang
Maha.
Aku
adalah anak pertama, sangat wajar bila orangtua manaruh harap dan
menunggu-nunggu kehadiran cucu. Terutama ibu, apalagi dengan kondisi di mana
teman-temannya telah menimang cucu beberapa. Itu menjadi suatu rasa yang sulit
diungkap. Sementara suami berposisi sebagai bungsu dan satu-satunya anak lelaki
dalam keluarganya. Keluarganya? Tentu sama menanti dan bisa jadi lebih dari
itu, meskipun sudah ada cucu yang hadir lebih dulu. Pandangan tentang cucu dari
anak lelaki selalu ditunggu sepertinya masih berlaku.
Kami
sendiri pun bukan tanpa ikhtiar agar dikaruniai buah hati. Sampai-sampai, suami
yang bekerja di atas kapal pesiar asing berani mengambil keputusan besar. Dia
akhirnya memilih keluar dari tempatnya bekerja. Pulang untuk seterusnya ke
Indonesia. Ada pendapat; bisa jadi kami belum kunjung dikaruniai titipan berupa
anak sebab jarang bertemu, kerap terpisah ribuan kilometer dan dalam masa yang
tidak sebentar. Untuk itulah dia mengalah. Banting setir, beralih berwiraswasta,
membuka usaha sendiri: kios herbal. Tahun itu, usaha tersebut memang tengah
naik daun. Maka, tak ada salahnya kami mencoba. Sementara aku tetap melanjutkan
menjadi pegawai negeri di sebuah intansi kepemerintahan.
Setahun
dua tahun, kondisi masih tetap sama. Hingga pertanyaan demi pertanyaan mulai
memampiri benak. Ada di mana masalah bersarang? Siapa? Apa ada sesuatu dengan
rahimku? Demi menemukan jawab, kami pun mulai berkonsultasi dengan dokter kandungan.
Memeriksakan ini-itu. Seputar kesuburan dan semacamnya. Hasillnya? Secara umum
kami baik-baik saja. Tidak ada masalah yang perlu dikhawatirkan soal itu. Baiklah…
barangkali kaitannya memang hanya soal waktu yang tepat. Namun, aku dan suami
sepakat tetap menjadwalkan pertemuan dengan dokter kandungan.
Di
antara usaha yang belum terlihat hasilnya, berbagai nasihat keagamaan
berdatangan. Aku simak sedemikian rupa, membuka hati dan pikiran agar sampai
dengan baik. Tentang memperbanyak istighfar, perkuat doa, sering bersedekah dan
sebagainya. Kami bahkan praktikkan semua hal itu. Selagi itu baik, kami tidak
ragu mencoba. Barangkali dengan menyeimbangkan ikhtiar dari dua dimensi akan
berbuah hasil.
Dan…,
iya hari itu tiba! Ketika ‘datang bulan’ meleset jauh dari jadwalnya. Ketika
testpack—benda paling fenomenal usai menikah—membentuk dua garis merah. Dalam
hati, aku jingkrak-jingkrak merasakan kegembiraan. Kegembiraan dari sebuah
penantian yang sama terpancar juga dari wajah suamiku, si calon ayah. Ada
semangat baru muncul, mengiringi hari-hariku bekerja. Ada alasan menyenangkan
untuk melalui setiap detik dengan ceria. Aku akhirnya akan menjadi seorang ibu,
sebagaimana para wanita lain. Dan morning sickness, ahh begini rupanya
sekumpulan rasa itu. Aku teramat “exciting”. Sampai kemudian menjelang usia
kehamilan 8 minggu, ada tugas yang mengharuskanku bepergian ke kota lain.
Aku
kelelahan pulang dari sana. Kecapaian sangat yang kemudian menyebabkan pendarahan.
Sedikit, kupikir tidak terlalu bahaya. Tapi sekian menit kemudian, darah semakin
menderas lalu… disusul segumpalan yang rasanya bagai terjatuh begitu saja dari
perutku. Meluncur turun, menyusul kepingan darah sebelumnya. Bayiku? Itu calon
bayiku!
Segera
menuju rumah sakit, itu yang ada di kepala suami. Lalu, meski pedih dan semakin
pedih begitu yang disangkakan benar terjadi, aku mesti menjalani rawat inap.
Rahimku dibersihkan. Entah, apa harus merasa lega atau apa, sebab kejadian itu
meluruhkan sekaligus segumpal janinku. Sehingga tidak perlu banyak tindakan
untuk rahim ini, hanya pembersihan sisa-sisa yang masih menempel di dinding
rahim. Sungguh, tetap saja itu membuatku sakit. Dan kemudian pasrah adalah
satu-satunya yang mesti kulakukan terhadap musibah ini.
Saat
itu, ada saja ucapan yang mampir ke telinga.
“Kalau
sudah keguguran, biasanya nanti cepat hamil lagi.”
Entah
itu mitos atau hanya sekadar kalimat untuk menghibur. Aku hanya mengaminkan
lirih dalam lelah akibat menangis dan sakit. Aku diminta agar bed-rest total
saat itu.
Barangkali
Allah memang hendak menguji kesabaranku dan suami. Barangkali inilah
karunia-Nya yang sempurna dan terindah. Barangkali inilah keajaiban. Benar,
sekian bulan paska sesuatu dalam rahimku meluruh, aku dinyatakan positif. Ada
calon janin lagi dalam rahimku. Dan, belajar dari kejadian sebelumnya, aku
diperintahkan bed-rest total, lagi, oleh dokter. Aku benar-benar tidak
diperkenankan mengerjakan banyak hal. Kandunganku rapuh, dan itu mesti
dikuatkan, dan aku dalam masa-masa rawan tersebut tidak boleh bekerja sampai
kandunganku sudah cukup kuat untuk kubawa serta. Suami pun menjadi ekstra
hati-hati. Iya, setelah apa yang terjadi ditambah uraian ini-itu dari dokter,
tak ada alasan untuk membantahnya. Termasuk obat-obat yang mesti kuminum, yang bahkan menyimpannya saja ada perlakuan khusus; harus dalam lemari pendingin. Apapun, ikhtiar demi keselamatan kami; aku dan calon bayiku.
Empat
tahun, masa penantian itu. Dan, barangkali masih ada yang lebih lama dari kami
dalam menanti kehadiran buah hati. Tetap saja itu adalah kumpulan jutaan detik,
di mana aku sering terbayang tangan mungil yang meraih-raih wajahku, yang
kudekap dan jaga meski harus bertaruh nyawa. Dan kini, empat tahun dari hari
itu… sesuatu di rahimku telah bertumbuh, berkembang. Alhamdulillah atas segala
sesuatu, untuk semua nikmat yang Maha Pengasih turunkan. Segala hal adalah atas
kehendak-Nya. Dan apapun bentuknya, entah sedih entah senang, manusia tetap
harus berprasangka baik terhadap rencana-Nya.[]
*Berdasar
kisah yang dialami kerabat dekat. Ditulis dengan seijinnya. Untuk
berpartisipasi dalam #GADianOnasis di sini