Jumat, 25 Maret 2016

Suatu Hari, Bunga Kertas Krep dan Suatu Hal


Bismillah

Lama tidak tulas tulis tulus di sini. Kali ini saya sedang teringat dengan satu momen hari terkait "minat dan bakat" anak.

Ketika mengisi jadwal ekskul 'iqro' seperti biasa di TK, satu anak lelaki yang mendapat giliran tak juga kunjung keluar kelas untuk menemui saya. Dengan pikiran daripada membuang waktu, saya panggil anak lain dulu.

Lalu selang sekian menit, mungkin karena dipanggil terus menerus teman-temannya, anak itu--sebut saja Pasha--datang menghampiri saya, duduk di kursi yang biasanya. Dari awal berjalan keluar kelas sampai duduk tadi dia menangis, sesenggukan. Mirip saat remaja patah hati. Mata Pasha tak sedikit pun melirik ke arah saya--malu barangkali, padahal gayanya yang biasa itu; pecicilan, tidak mau diam, banyak bergurau. Sembari terus terisak, Pasha mulai melafalkan 'bismillah', tapi tetap dengan tangan yang sibuk menggaruk.

Mendengar isakannya tidak kunjung berhenti, saya hentikan dulu 'prosesi' belajar membaca huruf hijaiyah tersebut. Dan mengajaknya ngobrol. Tangan Pasha masih sibuk. Hampir semua jarinya lengket plus dipenuhi kertas krep warna warni. Teman-temannya yang malah menonton (biasa lah, ya, anak-anak), saya minta masuk kelas. Dalam keadaan berurai air mata, disaksikan berpasang mata, bahkan saya sendiri pun risih, tidak mau.

"Pasha kenapa?" Saya memulai obrolan, sambil berharap itu tidak akan terlalu lama.

"Aku-nggak-bisa ...," akhirnya keluar juga kata-kata. Masih terbata, sebab tangisan.

"Kan nanti dibantu ...," ujarku. Cemas, kalau tangisnya disebabkan takut pada saya. Iya, pertemuan lalu-lalu dia memang sering mengulang halaman yang sama.

"Bukan. Aku nggak bisa tempel-tempel kertas." Beberapa anak juga tahu-tahu sudah di pintu kelas. Membocorkan kejadian yang membuat Pasha sesenggukan. Kreasinya gagal melulu. Alhasil, barangkali dia tertekan. Sementara temannya sudah selesai, dia justru terus mengulang.

"Emang bikin apaan tadi di kelas?"

"Bunga." Saya perhatikan lagi jari-jari Pasha yang belepotan. Bunga macam bagaimana? Tanya hati. Kalau rumit, agaknya kasihan juga anak-anak TK kelas B ini. Seperti paham, satu anak berseru, menunjukkan bunga yang dimaksud.

Oh, rupanya bentuknya hanya pilinan kertas krep di sebatang lidi. (Seperti foto di atas). Sebetulnya masuk kategori sederhana. Tapi, bagi Pasha tidak.

"Aku nggak bisa," ucapnya lagi. Isakan sudah berkurang.

"Tapi nggak dimarahi Bu Guru, kan?"

"Nggak."

"Ya, udah, cup, jangan nangis lagi, ya?  Bu Guru juga nggak marah, kan? Nggak apa-apa sekarang nggak bisa. Besok mungkin bisa. Okey?" Hibur saya, sambil mengusap punggung-menepuk bahu.

Pasha menatap saya, mengangguk, tersenyum. 

"Daah, sekarang yook kita lanjut baca. Kasihan nanti teman lain nggak kebagian." Saya akhiri percobaan meredakan tangis itu.

*
Dari kisah Pasha yang tampaknya agak susah dalam hal kreasi kerajinan tangan, sekali lagi menjadi kesimpulan (pengingat diri sendiri) bahwa tiap anak tidak bisa disamakan alias berbeda minat dan bakatnya.

Saya sendiri bahkan termasuk yang 'lemah tangan' kalau sudah berurusan dengan kerajinan tangan. Semisal membuat ikat rambut dan sebangsanya dari benang wol ataupun benang rajut.

Itu yang terkategori anak sebagaimana umumnya. Lebih 'menarik' lagi dengan anak berkebutuhan khusus.

Saya juga menjadi belajar; membiarkan, membebaskan, mengikhlaskan kesukaan si kecil terhadap satu hal lebih dibanding hal lainnya. Namun, tetap saja, saya berprinsip mesti ada arahan. Dan minimal mengenalkan hal lain yang tidak terlampau disukai anak. Entah kegiatan, hobi sampai makanan.

Kalimat saat bercakap-cakap dengan si buah hati pun sedikit banyak berbeda. Kalau terhadap anak semisal Pasha bisa lembut seperti di atas. Maka pada si kecil--yang terkadang masih ada kata/kalimat yang dipahami dia sendiri, saya harus lebih lembut, banyak membujuk, memeluk. Atau sekali waktu malah sebaliknya, sedikit 'galak', menyesuaikan kondisi (ah, atau tepatnya, saat itu sedang minim kesabaran). Yang jelas, saya mengusahakan betapa kelak, di dunia yang ia tapaki saat-saat selanjutnya, ada banyak hal 'rumit' yang mesti dihadapi. Dia harus bisa mencoba mengerti keumuman dunia, alih-alih dunia yang memahami kekhususannya.

Lagi-lagi tentu semua sebagai tindakan preventif. Saya ingin si kecil tetap menjadi dirinya sendiri. Dengan kelebihan-kekurangannya. Dengan minat-bakatnya (yang bagaimanapun tetap bisa positif dan bermanfaat). Sebab akan sampai pada masanya orangtua memiliki batas dari membersamai sang anak.


Sleman, 25 Mac 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar