Kamis, 22 Juni 2017

Perihal THR yang Kemudian Menjadi Harapan Hampir Semua Orang Jelang Lebaran

Perihal THR yang Kemudian Menjadi Harapan Hampir Semua Orang Jelang Lebaran

Sumber: Google


Ingin sedikit bahas saat kemarin siang ubral-obrol dengan abah saya. Ya itu, soal THR, juga gaji-gaji guru dan PNS lainnya yang sampai ada 13 (bahkan kemudian sekian tahun lalu ada isu akan ada juga gaji ke-14, welleh welleh hebringnya), padahal bulan setahun cuma ada 12 bilangan saja. Juga soal tunjangan, insentif dan perkara sejenis.

Saat disebut sumber-sumber keluarnya uang di atas tadi, sejenak kami merasa huwaw. Benar, betapa banyaknya, betapa menyenangkannya, betapa indahnya juga barangkali. Ya, coba saja disebut sembari melipat jari-jari tangan satu persatu. Huwaw bukan?

Apalagi jika jelang lebaran ini, wayah disodorkannya berurutan atau syukur-syukur bareng sekaligus. Ekspresi dan binar mata kita sudah mirip Aladdin yang masuk gua berisi harta qarun, mungkin.

"Tapi itu sekadar untuk menyenangkan hati, sesaat," kurang lebih pendapat abah saya. Lalu sambil berseloroh, "kalau abah yang jadi presiden... semua itu bakal tidak ada, dihapusss."

Aiih, teganya... gak asyik dong! Benak saya, sampai kemudian...

"Diganti dengan gaji yang jumlahnya berkali-kali lipat! Ngapain ada tunjangan anak, tunjangan istri, gaji 13, THR... cuma seencrat seencrit. Cuma... karena ada itu-ini kesannya banyak, cuma untuk bikin hati senang sebentar..." abah tertawa. Hooo, iyalah, betul juga, saya mengangguki frasa serba cuma tadi. Jika demikian setuju. Mengingat kebutuhan hidup selalu ada, selalu bertambah pula selalu naik harganya.

Obrolan kami bergulir ke gaji akhirnya. Misal seorang buruh akan digaji minimal seribu dolar. Iya, standarnya dolar! Sebab jika dipikir-pikir, bagaimanapun nilai dolar dan apapun yang terjadi dalam peta dunia niscaya mempengaruhi nilai rupiah. Jadi, sekalian saja semua diselaraskan dengan dolar (meski untuk hal serius, ini perlu dikaji lagi). Dan tentunya, semisal THR sudah masuk hitungan. Sehingga semua bergaji besar!

Kalau semua pegawai, karyawan, buruh digaji besar, agaknya tidak akan lagi menanti-nanti beberapa sumber uang yang seencrat seencrit tadi. Yaahh, begitulah obrolan kami. ^_^


#NulisRandom2017
For Day 21

21 Juni 2017

Sabtu, 17 Juni 2017

Aku Pantas Memiliki Pasangan Hidup yang Baik


※Aku Pantas Memiliki Pasangan Hidup yang Baik※

Sebab:

1. Aku tidak pernah bergaul sembarangan. Tidak pernah membiarkan diri dijamah semau orang. Aku dari dulu bukan orang yang neko-neko. (Ho ho)

2. Aku, bagaimanapun, selalu berusaha menjadi baik. Tidak membuat buruk reputasi nama keluarga. Karena Muslim, aku belajar dan mengusahakan konsisten menutup aurat. Aku pun tidak mendekati hal-hal yang menjerumuskan ke arah negatif. Bersikap santun dan serupa itu. Bukan hanya untuk 'terlihat' baik di mata orang, tapi memang aku butuh menjadi baik demi kebaikanku.

3. Terakhir, bisa disimpulkan aku orang baik. (Sebutlah cukup baik, agar tidak terlalu narsis). Tidak gampang menyakiti, menyinggung orang lain.  Tidak pula cari gara-gara atau masalah dengan mereka. Bila ada masalah, mengusahakan agar selesai.

Maka itulah, aku juga layak mendapat pasangan yang baik. Sebagaimana AlQuran sebut; "Perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik. Laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik". Dan, sekarang saat sudah mendapat pasangan, menjadi baik itupun tetap diusahakan dan dipertahankan. Selain sebagai istri juga sebagai ibu. Meski ada kalanya--sebab manusia memang karakter mulanya tidak sempurna--iman dan nilai-nilai kebaikan naik turun terjadi juga padaku. Semoga saja bisa istiqomah.
Aamiin.

#NulisRandom2017
For day 17

Photo source: friends

Selasa, 13 Juni 2017

Lima Binatang Peliharaan


Jika saya diberi kesempatan bebas memelihara seluruh binatang yang ada di dunia, 5 binatang ini yang sangat ingin saya pelihara:



1. Unta. Sebab saya kerap mendengar dalam kisah masa Rosululloh, yang menyebut-nyebut unta sebagai salah satu harta "bergerak". Rosululloh menikahi Siti Khodijah dengan mahar ratusan ekor unta. Entah berapa rupiah itu sekarang. Dan seperti yang sering disebut juga, yang ingin dipelihara adalah "unta merah". Tampaknya keren begitu.

2. Lebah madu. Sederhana alasan ingin memeliharanya. Madu termasuk makanan-minuman favorit dan tidak membosankan. Mau konsumsi setiap 1 jam sekalipun asik saja. Diminum langsung; dijadikan selai olesan roti; jadi pemanis teh bahkan hanya dicampurkan ke air bening hangat sudah nikmat. Yummy! Cuma, berhubung tidak murah, harus bisa mengatur minumnya. Jadi, biar tidak perlu beli, pelihara sendiri saja lebahnya. ^_^

3. Lumba-lumba. Sebab konon ujar para ahli terkait ini, gelombang (suaranya) bisa menerapi. Memberi efek tenang juga saat mengusapnya.

4. Burung Hantu. Buat jagain rumah, mungkin. Pernah lihat rumah yang memelihara burung hantu. Lalu saat ada orang asing melintas dengan gerak gerik mencurigakan dia, si makhluk nocturnal ini akan bersuara. Jadi, semalaman dia akan melek.

5. Griffin. Barangkali di antara lainnya, ini binatang yang paling kurang real. Bersebab sifatnya yang berupa binatang imajinatif. Binatang yang setengah bagian depan berupa elang, dan setengah singa ke bagian belakang (kalau tidak salah menyimpulkan). Tapi kalau ada boleh lah mau pelihara. Contoh griffin ini mungkin banyak yang sudah hapal. Yes, Buckbeak-nya si Hagrid. Untuk apa punya Griffin? Sebagai alat transportasi tentu. Saya sering mendadak ingin pergi ke tempat yang jauh. Alih-alih naik pesawat terbang atau kapal laut atau lainnya, saya akan menunggangi Griffin. Selain itu, Griffin ini kok mengingatkan ke kendaraan Rosululloh saat isro' mi'roj ya, yang oleh kebanyakan kita sebut burok. Apakah Griffin itu (sama dengan) burok? Allohu'alam.

#7daysKF
#basabasistore

#NulisRandom2017
For day 12

Sumber foto sebelum grid: Google

Rabu, 07 Juni 2017

Adzan Maghrib Romadhon


Romadhon, sang bulan puasa, bulan primadona jika boleh saya sebut, sudah berjalan sepertiganya. Sekarang, sebagai informasi, saat ini diketik sudah memasuki tanggal/hari ke-10 Romadhon. Dan saya yang memang kerap teringat banyak hal semasa kecil dulu, khususnya momen-momen Romadhon, kali ini teringat dengan almarhum Aki dan "adzan Maghrib-nya".

Sudah merupakan pemahaman global (dan ini sesuai dengan yang disyariatkan), jika waktu mulai berpuasa adalah secara simpelnya sejak adzan Shubuh berkumandang hingga adzan Maghrib.

Adzan Shubuh sebagai batas waktu selesainya sahur, yang di lingkungan kita 7-10 menit sebelumnya diisyaratkan melalui sirine. Dengan maksud supaya bersiap berhenti makan-minum dan tidak terlalu mepet ke adzan Shubuh.

Lalu kita pun secara reflek, bila adzan maghrib berkumandang, buru-buru menghadapi makanan atau mengambil gelas untuk minum.

Dan suatu hari di satu bulan Romadhon, adzan maghrib akhirnya berkumandang. Ketika itu kami sudah liburan dan berkumpul di rumah Aki.

Begitu "Allohu Akbar... Allohu Akbar..." kami para cucu bahkan orangtua kami seketika beranjak dari duduk yang menyebar. Meninggalkan kesibukan (atau keasyikan?) masing-masing. Gempita dan serentak menuju meja besar di mana bergelas-gelas takjilan terhidang.

Salah satu dari kami mengajak Aki untuk bangkit. Aki yang sedang duduk di kursi favoritnya (selalu di kursi paling ujung dekat pintu) lalu merespon, "Adzan itu panggilan untuk sholat. Bukan panggilan makan-minum". Hening. Kami membisu. Tidak ada yang berani membantah. Sebab, memang benar adzan merupakan ajakan untuk sholat. "Hayya 'ala sholah... Marilah kita sholat..." bukan "hayya nakul... hayya nasyrob...", "marilah kita makan... marilah kita minum...".

"Tapi kan, tanda berbuka puasa yang berarti boleh makan dan minum, dicirikan dengan adzan Maghrib tersebut?" Kami para cucu sempat berbisik-bisik. Sembari jadi malu sebab semangatnya bukan main kala menyeruput dan menyendoki es buah. Sementara Aki setelah terpekur mendengar adzan hingga selesai bangkit menuju belakang, ke kamar kecil atau sumur, entah yang mana tepatnya. Tapi tentu untuk berwudhu.

Kami kasak-kusuk soal Aki. Minimal ya membatalkan puasa dulu, begitu pikir para orangtua kami.

Hari ini, kenangan soal adzan Maghrib itu jadi pengingat. Betul adzan maghrib pertanda sahnya makan minum. Tapi mengingat waktu sholat maghrib yang cukup singkat, memang baiknya adalah sekadar membatalkan, minum segelas air dan kurma (jika ingin mengikuti sunnah Rosululloh). Jadi, jangan sampai terlalu bernafsu, lalu tahu-tahu... maghrib usai, sholat lalai. Astaghfirulloh.

Saya pun kadang, apalagi posisi sekarang ini tengah menyusui, sesudah adzan selekasnya minum. Dari air putih, susu, dan jika ada sirup bercampur buah. Lalu dilanjut makan, baru sholat.

Teringat almarhum Aki soal ini, kala saya tersadar betapa nafsunya saya "balas dendam". Romadhon kurang lebih masih ada 2/3 lagi. Ada kesempatan untuk benahi cara berbuka puasa. Buka sekadarnya untuk membasahi kerongkongan dan ganjal perut. Nanti usai maghrib dan isya (terawih) kegiatan isi perut itu toh bisa dilanjut lagi.

Bagaimana dengan busui nih? Ya, tentu bisa diatur, misal harus diisi nasi, barangkali setengah porsi dulu mesti cukup. Ketimbang minum-makan hingga sepuasnya, lalu sholat terburu-buru sebab mepet ke isya. :'(

Semoga tulisan yang sesungguhnya untuk pengingat dan dalam rangka menasihati diri sendiri ini, bisa bermanfaat juga untuk teman sekalian yang membaca. :)
Allohu'alam bishshowwab.

Cirebon, 5, 6, 7 Juni 2017
#NulisRandom2017
(untuk) Hari ke-5
#CatatanRomadhon1438H

Minggu, 04 Juni 2017

Yang Terbata Eja A Ba Ta


Menemui anak yang juga mengalami kekurangan dalam hal kelancaran berbicara (hm, bahasanya berputar banget untuk mengganti kata 'speech delay', karena sesungguhnya tidak berani juga untuk menyimpulkan, benar atau tidaknya, khawatir salah -_- ).

Entah apakah orangtuanya mengetahui atau tidak. Awalnya mengira dia hanya 'cadel', tapi seiring pertemuan demi pertemuan, langsung ngeh 'ini kurang lebih kasus yang sama'. Bisa jadi juga, orangtuanya semacam saya yang kurang pengetahuan dan telat menyadari.

Mungkin juga dipengaruhi oleh struktur giginya, menambah banyak kosa kata yang kurang bisa dipahami awam. Maka saya melakukan teknik yang sama padanya: membuat wajah dan matanya fokus untuk menatap gerak bibir, mencontohkan satu dua pelafalan huruf hijaiyah. Jangankan hijaiyah, alfabet biasa saja cukup menguras energi otak. Apalagi untuk huruf semisal tsa. Dan hari ini kami sibuk melafalkan huruf ja (sulung dari kembar tiga yang punya titik di perut) yang selalu ia baca 'sa' (huruf tsa sendiri ia baca 'sta'.dlsb). 
Memperlihatkan posisi lidah sedemikian rupa, sudah merupakan perjuangan tersendiri.


Saat akhirnya dia bisa (tentu belum sempurna betul, dan entah nanti dia masih ingat atau tidak), saya puji dia, dengan kegirangan yang luar biasa juga, dengan senyum lebar, mata pun saya pastikan berbinar. Dan dia hanya tersenyum kecil, tersipu. Dalam hal ini saya harus 'mesra' dengannya. Untungnya, kala itu, si pencemburu tidak ada. Misal ikut mendampingi, bisa rusak 'kemesraan' kami. And case not closed yet, perjuangan masih akan berlanjut.

Tiba-tiba pula saya teringat kala menuntun si pencemburu, untuk belajar iqro. Suara yang kurang bersemangat di balik punggung ada saja.

"Howwalaaa. Memang sudah bisa?"

Memang kali pertama yang dalam beberapa kali pertemuan, dia (sosok kedua, si pencemburu) malah mengganggu Mas-Mba yang lain, memukul satu-dua di antara mereka (yang maksudnya adalah membela seseorang yang dianggap teman). Alhasil karena hal itu, kunjungan belajar ditangguhkan, sambil perlahan diberi arahan. Sebenarnya, di rumah pun tentu diajari, tapi pilihan untuk ikut belajar dengan teman lainnya diambil berhubung kalau di rumah dapat diprediksi akan lebih teralihkan pada mainannya. Selain alasan berikutnya tentu untuk sosialnya. Sekarang si pencemburu itu, sudah lulus jilid 1. Bukan prestasi yang wah barangkali jika dibandingkan yang lain. Tapi, tetap itu satu prestasi tersendiri untuknya.

Dan dua anak ini, mendapat doa yang sama. Semoga kelak mereka menjadi generasi yang cerdas dan berakhlak mulia. Untuk itu, torehan pun tak bisa hanya sekali dua. Seusia mereka mulai (mau) belajar iqro saja sudah sesuatu (beberapa kali mogok, beberapa kali lainnya sambil menyiurkan 'Rayuan Pulau Jawa').  Karena bahkan saya sendiri baru belajar saat usia sekolah dasar.

Jadi teringat pula dengan motto paling perdana: Jadikan kekuranganmu sebagai kelebihanmu. Lagi-lagi, dengan memiliki kekurangan, kita akan berempati dengan kekurangan pada selain kita. So, baby boys, keep moving forward!


Mei 2015 - 4 Juni 2017

*Tulis ulang dengan suntingan
#CatatanGuruEkskul

#NulisRandom2017
Day 04

Selasa, 28 Maret 2017

Tentang Sesuatu di Rahimku


Sunatullah, dan memang seperti inilah kita sebagai manusia. Masih kanak ingin cepat menjadi orang dewasa. Saat lajang berharap segera ada yang meminang. Lalu apa yang dinanti-nanti setelah menikah; memiliki pasangan hidup? Tentu kehadiran sang buah hati. Namun, untukku perihal satu ini agaknya ada sedikit ujian dari Sang Maha.

Aku adalah anak pertama, sangat wajar bila orangtua manaruh harap dan menunggu-nunggu kehadiran cucu. Terutama ibu, apalagi dengan kondisi di mana teman-temannya telah menimang cucu beberapa. Itu menjadi suatu rasa yang sulit diungkap. Sementara suami berposisi sebagai bungsu dan satu-satunya anak lelaki dalam keluarganya. Keluarganya? Tentu sama menanti dan bisa jadi lebih dari itu, meskipun sudah ada cucu yang hadir lebih dulu. Pandangan tentang cucu dari anak lelaki selalu ditunggu sepertinya masih berlaku.

Kami sendiri pun bukan tanpa ikhtiar agar dikaruniai buah hati. Sampai-sampai, suami yang bekerja di atas kapal pesiar asing berani mengambil keputusan besar. Dia akhirnya memilih keluar dari tempatnya bekerja. Pulang untuk seterusnya ke Indonesia. Ada pendapat; bisa jadi kami belum kunjung dikaruniai titipan berupa anak sebab jarang bertemu, kerap terpisah ribuan kilometer dan dalam masa yang tidak sebentar. Untuk itulah dia mengalah. Banting setir, beralih berwiraswasta, membuka usaha sendiri: kios herbal. Tahun itu, usaha tersebut memang tengah naik daun. Maka, tak ada salahnya kami mencoba. Sementara aku tetap melanjutkan menjadi pegawai negeri di sebuah intansi kepemerintahan.

Setahun dua tahun, kondisi masih tetap sama. Hingga pertanyaan demi pertanyaan mulai memampiri benak. Ada di mana masalah bersarang? Siapa? Apa ada sesuatu dengan rahimku? Demi menemukan jawab, kami pun mulai berkonsultasi dengan dokter kandungan. Memeriksakan ini-itu. Seputar kesuburan dan semacamnya. Hasillnya? Secara umum kami baik-baik saja. Tidak ada masalah yang perlu dikhawatirkan soal itu. Baiklah… barangkali kaitannya memang hanya soal waktu yang tepat. Namun, aku dan suami sepakat tetap menjadwalkan pertemuan dengan dokter kandungan.

Di antara usaha yang belum terlihat hasilnya, berbagai nasihat keagamaan berdatangan. Aku simak sedemikian rupa, membuka hati dan pikiran agar sampai dengan baik. Tentang memperbanyak istighfar, perkuat doa, sering bersedekah dan sebagainya. Kami bahkan praktikkan semua hal itu. Selagi itu baik, kami tidak ragu mencoba. Barangkali dengan menyeimbangkan ikhtiar dari dua dimensi akan berbuah hasil.

Dan…, iya hari itu tiba! Ketika ‘datang bulan’ meleset jauh dari jadwalnya. Ketika testpack—benda paling fenomenal usai menikah—membentuk dua garis merah. Dalam hati, aku jingkrak-jingkrak merasakan kegembiraan. Kegembiraan dari sebuah penantian yang sama terpancar juga dari wajah suamiku, si calon ayah. Ada semangat baru muncul, mengiringi hari-hariku bekerja. Ada alasan menyenangkan untuk melalui setiap detik dengan ceria. Aku akhirnya akan menjadi seorang ibu, sebagaimana para wanita lain. Dan morning sickness, ahh begini rupanya sekumpulan rasa itu. Aku teramat “exciting”. Sampai kemudian menjelang usia kehamilan 8 minggu, ada tugas yang mengharuskanku bepergian ke kota lain.

Aku kelelahan pulang dari sana. Kecapaian sangat yang kemudian menyebabkan pendarahan. Sedikit, kupikir tidak terlalu bahaya. Tapi sekian menit kemudian, darah semakin menderas lalu… disusul segumpalan yang rasanya bagai terjatuh begitu saja dari perutku. Meluncur turun, menyusul kepingan darah sebelumnya. Bayiku? Itu calon bayiku!

Segera menuju rumah sakit, itu yang ada di kepala suami. Lalu, meski pedih dan semakin pedih begitu yang disangkakan benar terjadi, aku mesti menjalani rawat inap. Rahimku dibersihkan. Entah, apa harus merasa lega atau apa, sebab kejadian itu meluruhkan sekaligus segumpal janinku. Sehingga tidak perlu banyak tindakan untuk rahim ini, hanya pembersihan sisa-sisa yang masih menempel di dinding rahim. Sungguh, tetap saja itu membuatku sakit. Dan kemudian pasrah adalah satu-satunya yang mesti kulakukan terhadap musibah ini.

Saat itu, ada saja ucapan yang mampir ke telinga.

“Kalau sudah keguguran, biasanya nanti cepat hamil lagi.”

Entah itu mitos atau hanya sekadar kalimat untuk menghibur. Aku hanya mengaminkan lirih dalam lelah akibat menangis dan sakit. Aku diminta agar bed-rest total saat itu.

Barangkali Allah memang hendak menguji kesabaranku dan suami. Barangkali inilah karunia-Nya yang sempurna dan terindah. Barangkali inilah keajaiban. Benar, sekian bulan paska sesuatu dalam rahimku meluruh, aku dinyatakan positif. Ada calon janin lagi dalam rahimku. Dan, belajar dari kejadian sebelumnya, aku diperintahkan bed-rest total, lagi, oleh dokter. Aku benar-benar tidak diperkenankan mengerjakan banyak hal. Kandunganku rapuh, dan itu mesti dikuatkan, dan aku dalam masa-masa rawan tersebut tidak boleh bekerja sampai kandunganku sudah cukup kuat untuk kubawa serta. Suami pun menjadi ekstra hati-hati. Iya, setelah apa yang terjadi ditambah uraian ini-itu dari dokter, tak ada alasan untuk membantahnya. Termasuk obat-obat yang mesti kuminum, yang bahkan menyimpannya saja ada perlakuan khusus; harus dalam lemari pendingin. Apapun, ikhtiar demi keselamatan kami; aku dan calon bayiku.

Empat tahun, masa penantian itu. Dan, barangkali masih ada yang lebih lama dari kami dalam menanti kehadiran buah hati. Tetap saja itu adalah kumpulan jutaan detik, di mana aku sering terbayang tangan mungil yang meraih-raih wajahku, yang kudekap dan jaga meski harus bertaruh nyawa. Dan kini, empat tahun dari hari itu… sesuatu di rahimku telah bertumbuh, berkembang. Alhamdulillah atas segala sesuatu, untuk semua nikmat yang Maha Pengasih turunkan. Segala hal adalah atas kehendak-Nya. Dan apapun bentuknya, entah sedih entah senang, manusia tetap harus berprasangka baik terhadap rencana-Nya.[]


*Berdasar kisah yang dialami kerabat dekat. Ditulis dengan seijinnya. Untuk berpartisipasi dalam #GADianOnasis di sini

Jumat, 17 Juni 2016

Uang Lagi, Lagi-lagi Uang

Ketika Si Miskin ditawari satu di antara dua pilihan: sekolah gratis atau uang tunai? Hampir semua memprekdiksikan bahwa ia akan lebih memilih uang. Mengapa demikian? Karena bagi dia hal yang penting detik itu adalah uang. Mana saat mendapatkan uang, dia dapat membeli hal-hal yang diinginkannya dan paling khusus, dia bisa membeli makanan: membuat perutnya kenyang. Sehingga dia tidak lemas, pun cemas mati kelaparan.

Karena pikirnya, bila dia memilih sekolah gratis, itu takkan berarti apa-apa. Tidak terlintas bahwa ilmu begitu penting, bahwa usai menamatkan pendidikan dia punya kesempatan mendapatkan pekerjaan yang lebih layak dan baik. Apa gunanya belajar jika perut dalam keadaan “terkapar”? Maka akhirnya, hal utama dan pertama adalah perut kenyang, tidak keroncongan.

Jadi, tak bisa dipungkiri di dunia ini semua perlu uang. Semua yang dimaksud meliputi semua insan dan semua sisi kehidupan. Tak ada uang? Jangan berkeinginan macam-macam! Barangkali seperti itu kurang lebih secara kasarnya. Maka dari itu, menilik contoh kasus di atas, ada baiknya kalangan lain yang minimal dalam sehari masih bisa makan tiga kali, plus dengan lauk pauk cukup menarik, mestilah lebih bersyukur dan bijak saat hendak “membuang” uang-uangnya.

Entah Anda seorang kepala keluarga, ibu rumah tangga atau bahkan masih seorang mahasiswa/i, kelolalah uang yang Anda punya. Bagi yang tiap bulannya rutin menerima gaji,  “setoran”, atau “honor”, begitu terima gaji segera pos-kan uang tersebut sesuai tujuannya. Maksudnya adalah sebelum uang Anda dihabiskan untuk beberapa hal, amankan terlebih dahulu untuk pengeluaran penting seperti membayar tagihan air-listrik; sewa rumah atau kamar; makan-minum sehari-hari; SPP sekolah anak, dan lain sebagainya.

Jadi, pastikan Anda mempunyai beberapa amplop ukuran sedang dan tuliskan beberapa pengeluaran rutin bulanan termasuk juga biaya tak terduga pada setiap amplop. Misalnya:

Amplop 1, tulisi untuk: gas, air gallon, beras.
Amplop 2                    : tagihan air dan listrik
Amplop 3                    : bensin
Amplop 4                    : SPP/iuran sekolah, tabungan anak
Amplop 5                    : belanja harian,

Dan seterusnya. Bisa lebih banyak atau kurang (diringkas, bahkan bisa jadi hanya satu amplop/tempat simpanan) sesuai pengeluaran Anda masing-masing. Lalu, pada tiap-tiap amplop tersebut, ambil contoh amplop “Belanja”, bila perkiraan setiap hari mengeluarkan 20.000 ribu rupiah, maka untuk sebulan Anda harus mengamankan 600.000 rupiah di dalamnya. Cara yang sama juga berlaku untuk amplop-amplop lainnya.

Lalu bagaimana bila penghasilan kita tak tentu? Tidak rutin sebulan sekali dapat uang, tidak seperti yang berstatus pegawai kantoran? Misal yang berprofesi sebagai ‘freelancer’? Entah itu penulis, editor, illustrator, atau lainnya. Dalam sebulan uang yang didapat bisa jadi lebih besar dari pegawai kantoran tadi, tapi di lain hari bisa juga lebih sedikit, hingga minim bahkan.

Pengelolaan uang kita tentu harus lebih ketat lagi. Peng”aman”an uang melalui sistem “pos”ing seperti di atas barangkali akan lebih sedikit jumlah amplopnya, bagi menjadi 2 atau 3 amplop saja barangkali. Buat satu amplop “EXTRA” untuk menyimpan uang berlebih dalam sebulan itu saat kita mendapat honor yang berlimpah atau lebih banyak dari biasanya. Ini dalam rangka mengantisipasi keadaan yang akan datang, saat honor-honor kita terlambat dibayar atau mungkin saat sepi orderan. Amplop extra ini bisa jadi berupa rekening tabungan di bank.

Pertama memperoleh “setoran”, bagi uang kita untuk setiap sepertiga bulan atau per minggu. Yang paling menjadi inti dalam situasi seperti ini, adalah kita harus konsistesten dengan keadaaan keuangan kita. Bila kita hanya memperoleh 500.000 rupiah, berarti setiap minggunya hanya boleh mengeluarkan 125.000 rupiah. Jangan tergoda untuk membeli benda-benda yang dapat menguras isi kantong.

Lalu bagaimana bila ternyata kurang? Bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan harian sekalipun? Ini berarti, kita harus mempunyai cadangan sumber penghasilan lain dari freelance tadi, yaitu kerja part time atau apapun sesuai kapasitas kita. Resiko yang harus ditepati adalah mengenai waktu tidur atau santai yang harus lebih banyak dikorbankan demi ketepatan menyelesaikan orderan-orderan tersebut. Sehingga terhindar dari hari kosong tanpa uang.


Semoga kita, Anda dan saya terhindar dari hari tanpa memiliki uang untuk ditukar dengan beras, minyak, buah, ikan ataupun cemilan. Semoga kita dihindarkan dari keadaan kefaqiran, sebab nasihat agama mengatakan itu dapat mendekatkan pada kekufuran. Amiin. Wallohu'alam.