Minggu, 18 Oktober 2015

Si Pemburu Pulsa




Julukan itu langsung ditudingkan seorang kawan dunia maya kepada saya, saat ikut “hadir” berkomentar di postingan lomba seorang teman lainnya. Betul, beberapa hadiahnya adalah sejumlah pulsa. Waaa, malu deh. Tapi, tidak juga sih. Jujur, saya termasuk manusia yang oke-oke saja dengan hadiah lomba (seringnya menulis sejenis fiksi mini, dkk) berupa pulsa. Tak masalah.


Sebab ... boleh sekalian saya cerita sedikit ya? (Banyak juga boleeeh, lapak sendiri kok, hehe). Ini alasannya:


Sejak semua akses serba bersentuhan dengan dunia digital dan tentu tak bisa lepas dari internet, maka ujungnya adalah pula berkaitan dengan pulsa. Kesimpulan ini sudah saya dapat sekian bulan ke belakang. Coba saja perhatikan, hampir semua hal pasti nyerempet-nyerempet ke pulsa. Punya HP dan otomatis ada sim card-nya, bakal lucu kalau tidak punya pulsa. Mau SMS atau MMS kan perlu itu. Apalagi menelepon. Serasa dapat zonk kalau tahu-tahu ada suara cantik yang mendadak bergema:


"Maaf, pulsa yang Anda miliki tidak cukup untuk melakukan panggilan ini. Segera isi ulang pulsa Anda!"


Eleuuuh, sampai hapal ... ketahuan jarang punya pulsa banyak nih. Haihihi :D


Terus masa sekarang, omong kosong kalau semua kalangan tidak berinteraksi dalam dunia maya, dunia media sosial. Minimal Facebook, pasti punya deh. Dari anak SD sampai Eyang Putri dan Eyang Kakung. Dan itu sudah masuk ke ranah berinternet. Dan itu butuh kuota. Dan kuota sama dengan pulsa. Aiiih, mudah-mudahan tidak bingung ya dengan kalimat yang muter-muter ini.


Jadi, kembali lagi ke soal lomba berhadiah pulsa, bagi saya sesuatu banget kalau bisa berhasil menjadi salah satu pemenangnya. Pulsa itu saya perlukan untuk mengisi kuota. Memperpanjang kembali usia saya berkelana di dunia maya. Ngapain? Cari-cari lagi lomba atau event lagi dong ah, hehe. Walaupun lebih sering gagalnya, tapi tetap semangat dan tidak kapok. Jadi, terus berputar seperti itu.


Well, alasan berinternet tidak melulu karena cari sesuatu bertajuk “sayembara”,“lomba”, atau “event” memang, bisa karena keperluan mencari referensi (yang lagi-lagi sumbernya banyak bertebaran via cyber world) dan ada juga manfaat yang dapat diambil untuk selanjutnya disimpan dalam memori otak dari beberapa postingan teman. Seperti soal kehidupan dan hakikatnya. Sebentar, mendadak jadi serius dan penuh filsafat nih agaknya kalau sudah bawa kosakata ‘hakikat’.


Kesimpulannya, semua butuh pulsa, dan kalau ada yang memberi gratis tidak akan menolak. Pulsa murah kan sekarang jarang juga. Setuju? :D


Sobat, dari mengikuti lomba-lomba saya pernah mendapatkan pulsa beragam jumlahnya. Pernah mendapat pulsa hingga seratus ribu rupiah, dua kali malah. Sungguh! Huwow banget, kan? Kalau sengaja beli sendiri sih, tampaknya tak mungkin. Uang seratus ribu itu kan bisa untuk kehidupan di dunia nyata saya, semisal beras, lauk-pauknya dan sebangsanya. Beruntung dengan mendapatkan hadial pulsa 5000 rupiah juga saya alami. Pokoknya, mendapatkan sesuatu entah banyak atau sedikit, Alhamdulillah. Saya masukkan ke dalam kategori rezeki yang tidak disangka.


Pulsa-pulsa yang didapat tadi biasanya berbentuk pulsa elektrik, jadi saya tinggal setor nomor ponsel dan menunggu pulsa masuk. Pernah juga sih, dari donatur pemberi hadiah pulsa memberikan berupa voucher fisik. Dia sms-kan kepada saya deretan angka untuk mencairkan pulsa tersebut. Karena jarang menggunakan layanan ini, saya sempat deg-degan juga, lho. Khawatir ada angka yang tidak terketik atau salah. Satu digit salah kan berpengaruh, bisa berabe. Jadi, saya harus teliti dan lama mengulang-ulang biar tidak terjadi kesalahan.


Lanjut ke acara hunting lomba, nih. Di tengah-tengah asyik ber-facebook ria, saya nemu postingan yang dibagi salah satu akun. Tentang apa itu, tentang kuis bagi-bagi pulsa gratis yang diadakan Pojok Pulsa. Tertariklah saya si pemburu pulsa ini, terus ikutan, deh. Dan, hasilnyaaa “Anda Belum Beruntung”, he. Tapi dari beberapa syarat dan ketentuan mengikuti kuis itu saya sampai ke informasi lomba ini. Dasar sok sibuk dan tipe Miss DeadLine, baru sekarang saya menuliskannya. Dengan chaos dan panik melekat. Apalagi pas tahu beberapa teman yang saya kenal telah jauh-jauh hari ikutan. Adududu.


Pojok Pulsa juga dikenal dengan nama Pulsa Murah Jakarta dan Pulsa Elektrik Jakarta. Membaca sebutan-sebutan itu, saya kira hanya melayani wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Tapi ternyata tidak.


By the way, kok tetiba ngegosipin Pojok Pulsa, emang dia apa-siapa, sih? Pulsa yang suka mojok kah? Ish, ish, ini nih... (semi copas dari alamat web-nya, ;) )


Pojok Pulsa adalah satu dari sekian banyak server pulsa elektrik nasional yang ada di Indonesia. Mereka telah melayani pelanggan selama 6 Tahun dengan pengalaman menangani puluhan juta transaksi pengisian voucher elektrik dan voucher fisik sampai saat ini.


Pemilik salah satu tagline “Jual Pulsa Tak Pernah Semudah Ini”, memiliki fitur-fitur menarik, seperti:

• Daftar Gratis Tanpa Biaya Sedikitpun
• Deposit Bebas Sesuai Kebutuhan
• Trx Via YM, Gtalk dan Facebook
• Harga Pulsa Bersaing dan Kompetitif
• SMS To End User
• Transaksi Tanpa Kode Produk
• Support Token PLN Prabayar
• Fasilitas Online Webreport
• Transaksi Non Stop 24 Jam
• Komplain Cepat dan Ramah
• Komisi Dapat Ditukar Kapanpun
• Support PPOB
• Bonus Transaksi Terbanyak
• Kuis dan Undian Berhadiah



Ternyata juga yang terbaru, transaksi di Pojok Pulsa sudah bisa menggunakan Whatsapp. Kalau Sobat tertarik atau penasaran dengan semua layanan barusan, mampir saja ke mari untuk info lebih jelas.


Sumber Gambar: pojokpulsa.co.id



“Mengapa harus kami?” tanya Pojok Pulsa. Dan berikut adalah alasan yang mereka kemukakan sendiri.



Kami merupakan server pulsa elektrik yang menyediakan fitur dan sarana isi ulang pengisian pulsa murah untuk semua Operator. Jika Anda menggunakan chip dari operator langsung, maka perlu banyak chip dan ponsel untuk tiap-tiap operator (Mkios, Mtronik, Dompet pulsa dll). Disinilah kami berperan, kami menyediakan sebuah sistem pengisian pulsa yang dapat menerima perintah langsung dari nomor ponsel Anda sendiri. Cara kerjanya ialah sebagai berikut:



Sumber Gambar: pojokpulsa.co.id



Aih, saya juga baru tahu kalau ada yang semacam ini. Juga, baru saja kemarin, kala sedang pegang HP di TK, salah satu guru bertanya kalau-kalau saya jual pulsa (jangan-jangan wajah saya berbakat jadi penjual pulsa nih, hehe). Mungkin beliau kehabisan dan sedang butuh. Tuh, kaan, semua butuh pulsa terbukti. Sayang, saya tidak berjualan pulsa. Apa mungkin nanti saya akan jualan pulsa? Pulsa Murah, yang tidak bikin pembeli resah? Entahlah.[]




Sleman, 18 Oktober 2015







:: Tulisan ini diikutkan dalam Lomba Blog Pojok Pulsa 2015 :: di sini



Semoga berkenan dengan tulisan di tanggal DL ini ya, Pojok Pulsa, ;)

Selasa, 13 Oktober 2015

Tentang Percaya Diri, Selective Mutism dan Speech Delay


Anak adalah anugerah tak terkira bagi manusia setelah dia menikah. Sebagaimana runutan keinginan yang duniawi setelah status dewasa disandang: lulus kuliah, bekerja, menikah, lalu memiliki anak. Sampai di sini pun keinginan-keinginan itu tetap berlanjut. Bukan sekadar kehadiran anak yang membuat hati puas, tentu bila anak itu kemudian tumbuh sehat, lincah, lucu, ceria, menggemaskan, pintar dan seabreg lainnya seputar itu. Dunia terasa sempurna betul sepertinya.


Namun, bagaimana bila kemudian anak yang notabene selain rezeki juga adalah titipan dari Sang Maha Pencipta, hanya beberapa atau bahkan mungkin tidak sama sekali berpredikat hal-hal tadi? Sedih. Tentu ini yang paling umum dan pasti terasa. Seperti yang saya alami. Dan semoga tulisan ini bukan berujung pada sekadar “curhatan memelas”. Melainkan ada manfaat yang dapat diambil. Tentang membersamai tumbuh kembang anak dengan kebutuhan yang lebih spesial dibanding anak sebaya lainnya.


Pada anak dengan kebutuhan khusus, banyak hal yang mesti ditelateni. Sebelum memasuki bahasan tentang bagaimana mengembangkan rasa percaya diri si anak, bagaimana dia mau bersentuhan dengan dunia luar di luar diri dan keluarganya adalah hal krusial. Sebab takkan mempan semua saran itu bila lingkungan awal si anak tidak dahulu dikondisikan. Dalam hal ini maksudnya adalah ada tahapan yang berbeda dan bisa jadi membutuhkan waktu tak singkat untuk semua itu.


Bila pada anak kebanyakan (tanpa kebutuhan khusus tertentu) segala proses membujuk itu ada kalanya susah, maka pada anak-anak ini kesulitan proses membujuk bisa berkali lipat. Sesuai kondisi masing-masing anak (meski tak dipungkiri, bahkan terhadap anak kebanyakan pun cara untuk membuat dia percaya diri tidak pula mudah).


Dan untuk membatasi bahasan, ‘kebutuhan khusus’ yang akan dicoba dikupas di sini (sesuai pengalaman penulis) adalah speech delay dan selective mutism. Untuk speech delay, sudah awam diketahui yaitu terlambat bicara; tahap belajar berbicara yang lebih lambat dari anak secara umum. Kedua, barangkali membaca kata mutism, pembaca akan langsung teringat pada kata ‘autism’. Saya kurang paham apa kaitannya tersebab belum banyak ‘research’, tapi dari kedekatan istilah dan sifat yang disandang anak, memang ada hubungan. Entah apakah ‘selective mutism’ ini merupakan cabang atau berdiri sendiri.


Untuk memperjelas bagi yang belum paham keterkaitan itu, saya coba paparkan bagaimanakah anak dengan kategori ‘selective mutism’ ini. Sekali lagi tentu di sini entah banyak atau sedikit, akan ada perbedaan, sesuai dengan pengalaman masing-masing orangtua. Makna sederhana dari selective mutism sendiri yaitu kondisi anak yang teramat pemalu, menarik diri dari ingar bingar kehidupan sosial. Kesulitan untuk menerima orang lain—selain orangtuanya—untuk dijadikan teman.


Saat sedikit lebih berkembang, yaitu kondisi anak mulai belajar menerima orang lain terkhusus sesama anak sebagai teman, dia tidak serta merta bersedia berteman dengan semuanya. Tapi sensor tak kasat mata si anak itu, akan menyeleksinya. Saya senang menggunakan istilah “chemistry”. Bukan tanpa alasan, sebab si anak memang dengan sendirinya, akan ‘nyambung’ dengan karakter anak yang setipe dengannya. Atau bisa jadi tidak setipe, tapi sensornya menangkap rasa nyaman-aman bersama sosok lain tersebut. Walau belum survey menggunakan pola statistik yang serius dan resmi, saya mengira-ngira bila anak berkondisi ini, agaknya umumnya memiliki karakter yang lebih pendiam dibanding anak pendiam ‘normal’. Kita mungkin bisa menyebut istilah lain dari chemistry tadi dengan ‘insting’, ya naluri. Naluri anak yang perlu memastikan jika teman barunya nyaman dan aman untuk dijadikan teman, akan bekerja. Sehingga bila anak kondisi ini bertemu anak yang kurang ‘menerima-mengakui’ kehadirannya yang tidak mencolok, sulit untuk cocok. Sebaliknya terhadap anak yang cocok chemistry-nya, dia sulit untuk lepas bahkan akhirnya cenderung possessive.





Ada beberapa hal pada ‘autism’ yang terdapat pada‘selective mutism’ juga speech delay yang terdeteksi (lalu dicocokkan dengan berbagai sumber jurnal yang membahas ‘keunikan’ ini) dari anak saya:

1. Sensitif terhadap bau. Atau menginderai semua benda yang baru ditemui dengan membauinya; dengan menempelkannya di hidung. Di masyarakat, anak/orang yang senang menempelkan sesuatu ke hidung kerap diolok mirip kucing. Bila ini terjadi pada si normal, mungkin kita yang menyinggung kebiasaannya ini tak terlalu berefek. Berbeda bila yang mengalami adalah si anak khusus. Mungkin kita merasa kata-kata kita biasa. Tapi meskipun daya tangkap anak terbatas dan atau usianya bisa jadi belum genap dua tahun, dia bisa paham dan menyadari apabila dia disinggung. Dan hal tersebut akan membuat perasaan/hati anak terluka.


2. Sensitif terhadap suara. Si anak tidak sanggup untuk mendengar suara dengan intonasi tinggi, keras. Reaksinya bila mendengar suara keras di luar ‘batas suara keras’ bagi pribadinya, dia akan reflek menutupkan tangan rapat-rapat ke telinga. Bila suara itu terlampau memekakkan, anak bahkan akan meringkuk dan menangis (keras).


3. Sensitif terhadap sentuhan. Bila anak lain tak masalah saat bagian tubuhnya terkhusus di area kepala/wajah, seperti pipi, dagu, hidung, rambut disentuh atau dibelai orang lain, tidak begitu dengan si special. Anak tipe ini sangat tidak menghendaki itu terjadi padanya. Sebabnya di atas tadi, dia masih belum mendeteksi apakah si teman orangtuanya, pula bisa kerabat/sanak saudara sendiri tersebut ‘aman’ atau tidak untuk dirinya. Bila kemudian selama minimal 2-6 jam, si orang asing ‘terdeteksi baik’, perlahan anak pun dengan sendirinya akan memberi tanda/gesture, bahwa dia ingin berteman (tampak mulai melirik penasaran hingga bergerak mendekati); bahwa si orang asing bisa memangkunya. Yang menjadi pertanda mula-mula, bila ia mau berteman dengan si wajah asing.


Sehingga dari memahami kondisi di atas, tahapan memupuk rasa percaya diri (sehingga minimal anak mau bergabung, duduk bersama, walau tetap tanpa banyak bicara) pada anak adalah sebagai berikut:

1. Obrolan yang kondusif.

Ambil contoh saat mengajaknya berbaur untuk bermain dengan teman sebaya, sering-sering diucapkan/dikenalkan pada anak, bahwa si X, Y dan Z anak baik. Mereka adalah ‘teman’. Jangan bosan untuk terus “berbisik” pada anak. Ujaran yang berupa perintah apalagi berintonasi keras, justru akan membuatnya urung dan mundur.


2. Pelukan hangat.

Frasa ini digunakan bukan sekadar pemanis bahasa. Tapi secara harfiah pun bermakna demikian. Anak disabilitas selalu memerlukan pelukan dengan kadar yang lebih banyak dan dengan waktu lebih lama dibandingkan dengan anak bukan disabilitas. Disebut pelukan hangat, sebab bila kita memeluknya tanpa perasaan, radarnya pun bekerja. Alhasil si anak enggan, menolak, menyudut. Dan terapi pelukan ini yang paling dominan dibutuhkan anak, untuk hal apapun. Termasuk ketika memotivasinya dengan kalimat positif agar mau berbaur (percaya diri), mau bermain bersama teman, mau lepas sebentar dari sang ibu, dan sebagainya.


3. Menyamakan irama tarikan napas.

Masih merupakan sambungan poin no.2. Ini saya lakukan saat tantrum anak tinggi. Bila sesudah dibujuk dengan obrolan berbisik, dia masih tidak mau lalu berujung pada tindakan berikut: tangan mengepal atau bersidekap, napas tersengal, kepala menunduk, menangis tertahan (tanpa suara) hingga melengking dan biasanya tidak mau dipeluk. Maka dekati dan paksa dekap—tapi tetap berhati-hati jangan sampai anak tersakiti. Pangku anak dengan dada sejajar. Perlahan atur napas, seirama dengan anak, setenang mungkin. Sampai tarikan napas anak tidak tersengal. Bila gagal atau anak berontak, melepaskan diri dari pelukan. Biarkan sejenak. Perlahan, bertahap dekati lagi dia, awali dengan usapan.


4. Membentengi dari sisi reliji

Saat dipeluk entah sambil duduk atau diayun sembari berdiri, selain diucapkan kalimat lemah lembut, sisipkan terapi membaca ayat atau surat pendek dari Al Quran. Bisa ayat kursiy atau doa perlindungan atau apapun. Saya sendiri lebih sering membacakan: ayat kursiy, doa perlindungan untuk anak dan 3 surat terakhir Al-Quran.


5. Memberikan waktu

Bila setelah dipeluk, dibujuk, anak belum juga mau membuka diri, biarkan. Jangan terburu-buru. Sebab kenyamanan anak dan kesediaan dari dalam dirinya sendiri lebih penting. Kita sebagai orangtua hanya perlu tanpa bosan mengajak, membujuk, bahkan bila kemudian perlu didampingi terus (berada dalam jarak pandang anak), lakukanlah. Meski lambat, walau laun, suatu hari nanti ada bekasnya. Setidaknya anak menyimpan memori, bahwa dia diperlakukan sepantasnya.


6. Sabar.

Ini kata saran atau tip yang paling membosankan dibaca, didengar atau diberikan, tapi tak pernah salah. Sabar berlaku untuk si orangtua. Sabar juga sepaket dengan kata ‘menerima’ dan ‘berdamai’ dengan kondisi-situasi yang ada. Sebab kemajuan 'anak khusus' tidak akan terjadi instan. Boleh jadi bilangan tahun, melewati masa yang disebut ‘golden age’ atau apapun itu. Biarlah. Tenangkan diri agar tidak terprovokasi. Anak kita memang berbeda-berkekurangan, tapi tetap akan ada sisi kelebihannya.


7. Berdoa.

Segala ikhtiar tanpa doa, rasanya barangkali kurang pas. Lebih-lebih soal anak. Tidak jarang pula saya yang terserang ‘tantrum’. Apalagi saat semua ‘chaos’ berkumpul dan menumpuk bersamaan. Menyelaraskan antara kebutuhan mendampingi anak, kebutuhan plus passion pribadi, sungguh perkara tak semudah kedipan mata, khususnya untuk diri saya, yang bahkan dari segi fisik pun mental sebagai orang tua banyak kekurangan. Ada kalanya pula anak tetap jadi sasaran racauan. Bila no 1 hingga 5 merupakan poin untuk diterapkan pada sang anak, maka no 1 hingga 7 adalah untuk si orangtua. Kerap juga terselip doa, seperti agar kelak buah hati yang "terlambat" ini dapat menyusul kemampuan-kemampuan yang dulu sempat tertinggal. Mungkin terdengar menggelikan dan kekanakan, tapi ah, bukankah doa ibu untuk anaknya adalah "mantra paling mujarab"?



Saya menjadi ingat kembali ketika putra berumur dua tahun, namun bahasa yang masih sering digunakan adalah gesture alias bahasa tubuh: menarik tangan/pakaian, menunjuk-nunjuk atau mengacungkan telunjuk. Dan, hanya bisa terdiam, tatkala teman sesama orang tua dari anak berusia dua tahun, bertanya:


“Anakmu sudah bisa apa? Anakku sudah bisa ‘say hello’ dan berpamitan,”


Aih, itu adalah pertanyaan paling ‘menyeramkan’ bagi saya. Satu alasannya tentu, putra saya tidak (belum) seperti itu.


Sungguh, tahapan tumbuh kembang anak memang berbeda. Namun, manakala kasus penyebab beda itu khusus, obrolan perbandingan-perbandingan tentang prestasi anak benar-benar salah satu hal yang dihindari. Barangkali tertangkap sebagai ekspresi tidak menerima, tapi justru ini dilakukan untuk menjaga perasaan diri sendiri. Sebab, di saat semua bahasan tumbuh kembang anak kerabat sekitar kita teramat ideal, dan anak kita tidak termasuk di dalamnya, cara aman dan nyaman terkhusus bagi psikologis sang ibu adalah dengan tidak mendengarnya. Bukan berarti menjadi tidak tahu. Tapi, seperti yang saya alami sendiri, saya memilih mencari dengan cara browsing internet atau dari bacaan media cetak, juga share dengan sesama ibu. Karena, selain diri sendiri siapa lagi yang dapat lebih memahami?





Dan saya tetap sumringah, tatkala “say hello” dan berpamitan itu baru bisa diungkapkan buah hati menginjak usia empat setengah tahun. Lalu, yang paling baru menjelang anak berusia 5 tahun, obrolannya dengan seekor belalang: "Hai, belalang, namamu siapa?" Jauh sekali bukan? Tapi, bagaimanapun segala proses belajar otodidak itu saya syukuri. (Mungkin sebaiknya ada tulisan terpisah mengenai proses belajar otodidak ini nanti). Allohu’alam.[]



Sleman, Agustus-Oktober 2015



Catatan:
- Kesimpulan pribadi dan memoria dari membaca berbagai sumber (Majalah Ummi, Tabloid, dll)
- Tidak untuk dijadikan rujukan umum
- Link jurnal secara tepat, tidak ingat, terkecuali www.autis.com

Senin, 28 September 2015

Si Bentolang

[Kontes Kreasi Bento Rumahan] Si Bentolang - Beruang Bento (Enggak Jadi) Malang

Oleh: Dini Nurhayati


Wah, straight to the point saja. Gegara Kontes Kreasi Bento Rumahan ini, saya jadi mendadak kreatif. Memang sebelumnya tidak kreatif? He, kalau disebut tidak kreatif sih tidak juga (alias tidak mau ngaku, kan malu). Yaa, kreatifnya sedikit naik level, gitu. Terimakasih Bund Fitriani untuk event-nya. Saya jadi belajar berkreasi. ^_^




Belakangan ini, sejak terganggu batuk yang hilang-muncul-hilang, Bilal agak menurun kuantitas makan nasinya. Dibutuhkan sabar plus-plus. Harus sambil dirayu, disuapi (padahal sudah bisa makan sendiri), seringnya harus dalam keadaan asyik bermain mobil-mobilan atau nonton film kartun, atau apalah. Padahal konon, kegiatan makan itu kan tidak boleh dibarengi kegiatan lain. Betul begitu tidak ya, sesungguhnya?


Sebelum ada event ini, saya pernah sekian kali membawakan si kecil bekal nasi, selain air minum putih yang wajib. Sebab seringnya, di rumah tidak sempat sarapan (karena malas). Paling banter segelas susu hangat seduhan sendiri, atau kalau pas ibu penjual susu kedelai lewat, beli itu. Terkadang, karena si kecil merajuk, susunya ada dua macam. Susu coklat seduhan sendiri dan susu kedelai putih (yang asli tanpa perisa tambahan). Isi plus tatanan bekal pun biasa-biasa saja.


Yang jadi favorit, menunya adalah nasi goreng, plus goreng tempe atau telur. Nasi dihamparkan dalam ‘lunch box’. Lalu ditumpuk lauk. Di tetesi kecap, sudah deh. Aslinya ada dua cetakan, yang dulu sangat sengaja diincar saat beli satu merk susu, berbonus cetakan tersebut, dan bentuk yang dipilih yaitu kelinci dan mobil. Tapi, saya kehilangan jejak, lupa nyelip di mana. Dulu, sempat dipakai juga untuk mencetak nasi, ala bento, walau dimakannya di rumah. Dan, terhenti, sebab saya pikir waktu itu, balita saya termasuk yang mudah makannya.Sehingga makanannya tidak perlu dibentuk apa-apa. Eh, sekarang, malah kebalikannya.


Oke. Kembali ke bento. Kali ini, sembari dipersiapkan untuk kontes kreasi( :D ), saya sengaja membuat tampilan bento Bilal lebih keren sedikit. Tepat hari ini baru masuk sekolah lagi, paska libur lebaran Idul Adha. Tadinya sih, ingin mengkreasikan nasi bentuk mobil, cuma itu tadi tidak ketemu. Akhirnya pakai cetakan agar-agar bentuk beruang. Sibuklah saya di dapur, tumben. Disambi jerang air untuk mandi Bilal, seduh susu coklat untuk iming-iming supaya dia mau mandi, juga seduh teh manis hangat untuk ayahnya dan saya sendiri, he.


Setelah berkutat belasan menit, (atau bahkan puluhan), jadi deh “Nasi Beruang” ini. Berikut isinya yang sederhanaaa banget plus berdasar pengetahuan alakadarnya:



Pertama, yang jadi alas adalah dadar telur. Tidak pakai irisan bawang atau bahan apapun, semisal sayur atau daging, alias plain (iya bukan ini istilahnya, ya?). Bumbunya hanya sedikit garam.


Kedua, nasi biasa. Maksudnya dimasak seperti biasanya di magic com, bukan nasi uduk atau nasi goreng, sebagaimana yang kerap di-request Bilal. Cuma, memang, nasi ini perpaduan dari beras putih dan beras merah. Dengan perbandingan 3:1. Itulah sebabnya warna nasi sedikit bersemu merah.Lalu, nasi dimasukkan kecetakan agar-agar bentuk boneka beruang. Ditekan-tekan sampai padat. Terus dikeluarkan, taruh di atas “karpet telur dadar” tadi.




Berlanjut ke menghias si beruang. Lumayan lama juga waktu yang saya butuhkan, sebab ornamen pembentuk beruang itu ukurannya sangat kecil. Matanya saya bentuk dari wortel. Dilakukan secara manual: mengiris bagian merah wortel, dengan pisau dapur sambil diputar, supaya mendapatkan bentuk bulat. Jika ada yang runcing meski sedikit, dipotong lagi.


Hidungnya saya cuil dari dadar telur, dibuat bentuk bulat/lingkaran kecil lagi, dengan cara yang sama seperti tadi. Mulutnya, saya bentuk dari brokoli bagian daun, diiris berbentuk segitiga. Lalu saya ambil bagian telur dadar yang melengkung, (pas digoreng berbentuk bulat) yang berbeda dengan yang dijadikan alas. Diiris mengikuti lengkungan, sambil tahan napas agar lebarnya sama, hihi. Ini untuk dililitkan, memperjelas bentuk wajah dan perut boneka beruang. Bawang Bombay (hasil dari tumisan) yang sengaja saya iris bundar, dipsangkan di ujung kaki beruang.



Menu ketiga, yaitu perpaduan wortel, brokoli, dan bawang Bombay, yang ditumis atau dimasak ala capcay. Campurannya ada rebusan daging sapi, yang disuir agak besar(karena sudah sangat empuk) dan dipotong seperti batang korek api. Ada satu alasan khusus terkait hal ini. Jadi, walau sudah usia TK, Bilal masih belum bisa 'makan' daging—entah ayam, lebih-lebih sapi. Maka kalau makan daging harus disuir-suir dulu, ukurannya pun harus pas, karena kalau tidak nasinya bisa berhasil masuk lambung, sementara si daging masih dikunyah, padahal sudah lembek, tapi tidak mampu dia telan.



Bumbu menu ini lagi-lagi hanya garam. Itupun berasal dari brokoli yang sebelumnya direndam dalam air yang dicampur sedikit garam, dengan maksud mengeluarkan ulat-ulat kecil nan hijau yang bersembunyi, (pas beli kelihatan ada ulat menyembul malu-malu). Semoga cara ini tidak salah. Kalau ternyata salah, mudah-mudahan ada yang berkenan memberitahu ilmu yang benar. Oh, iya, batang brokoli pun, kalau masak, selalu saya sertakan, tidak dibuang. Di lunch box Bilal, bentuknya saya potong, lagi-lagi ibarat batang korek api. Menjadi pagar tempat suiran daging.


So, this is it (ikutan gaya chef handal)! Inilah penampilan akhirnya.




Aih, supaya si kecil mau membawanya saja, harus struggle. Ujung-ujungnya dititipkan ke ibu gurunya sih, sambil ada kalimat pengantar, “Tadi baru makan nasi sedikit. ”Memang di sekolah diberi jajanan serupa penganan kecil. Maka, jarang ada anak yang bawa bekal dalam kotak nasi dari rumah. Jadi ini, agak ‘gambling’ juga. Begitu diterima gurunya, beres deh. Tinggal menunggu penampakan akhir si Nasi Beruang pulang sekolah nanti. Kalau box-nya kosong atau setidaknya berkurang, itu pertanda bekal disantap. Pula sebaliknya.





Dan …


Akhirnya begini ternyata.


Si Beruang Bentolang dan segenap background-nya berbaur akrab.




Tak berbentuk. ;-(


Rupanya, tak dibuka sama sekali oleh si kecil. Saat saya meracik pun dia memang tidak tahu. Baru saat diperlihatkan hasil jepretan, seperti apa nasi itu sebelumnya, dia tertawa-tawa, “Hiii, koklucu.” Maka isi lunch box pun disantap di rumah, disuapi.-_\ Eits, jangan gede rasa dulu, tetap dengan bujuk ala Rayuan Pulau Jawa.


Bekal belum habis, tapi ada request baru, “Bikin nasi yang pesawat terbang …,” ucapnya sambil mengacungkan cetakan agar-agar bentuk pesawat terbang.

Perjuangan belum berakhir, Bund. Tapi, minimal dari permintaan si baby boy satu itu agaknya kegiatan kreasi bento ini akan berlanjut, tidak hari ini saja …. Entahlah :D


Berita terakhir, Bentolang - Beruang Bento Malang itu akhirnya tidak jadi mengalami kemalangan. Alhamdulillah habis juga. :D




*Fin


#KontesKreasiBentoRumahan


“Postingan ini diikutkan dalam Kontes Kreasi Bento Rumahan” yang diselenggarakan oleh Fitriani Firmansyah

[Fiksi Mini]

:: Asep dan Ngadimin ::
Oleh: KW


"Mpun, Bu, rasah disendoki. Nganggo puniki mawon,"
Ngadimin menghentikan gerak ibu pemilik warteg, yang hendak menaruh sendok di atas piring pesanannya. Tiga jari Ngadimin diangkat ke udara; membuat gerakan mencapit. Hidangan di depan mata. Ngadimin menaikkan kaki kiri ke atas bangku kayu panjang.

"Nasi, Bu. Rames," ujar seseorang yang baru datang. Langsung memesan.

"Heee, njenengan, tho? Dhahar ...," Ngadimin memberi isyarat.

"Eh, Mas Ngadimin di sini juga ternyata. Sumuhun, Mas. Mangga duluan,"

"Piye, Kang Asep sampun lapor Pak RT?"

"Teu acan, sibuk keneh beberes geuning, Mas,"

"Hooo ... yo jo sui-sui lapor warga barunya tapi, Kang. Eh, njenengan gawene opo tho?"

"Aaah, tukang servis TV, radio, kipas angin ... sabangsa barang elektronik kitu lah, Mas Ngadimin." Asep menyuapkan sendok pertama yang sedari tadi menggantung.

"Weeeh, pas banget nek ngunu. TV-ku rusak. Aku jaluk tulung diservis, yo? Ora mahal-mahal biayane, lho! Karo tonggo dhewek kok yo ...,"

"Hehehe ... eta mah kumaha panyawatna si TV, Mas ...,"

"Hei, Kang Asep wes tho manut. Ben aman omah karo bojomu!" Ngadimin menepuk bahu Asep, matanya berkedip. "Mengko sore TV-ku tak terke,"

"Ng-nggih, Mas ...," Asep kikuk.

"Bu! Biasa yo ...," tangan pria kekar itu berisyarat seolah menulis sesuatu. Lalu, "eh, sik, Kang Asep bayari madangku yo? Perkenalan ...," bahu Asep ditepuk lagi. "Bu, sing wau dibayari Mase iki lho! Yuuk, suwun yoo ...."
Ngadimin melangkahi bangku panjang. Tangannya menarik celana jeans naik ke dekat perut yang buncit.

"Ari kitu sabaraha tadi, Bu? Habis berapa?" tanya Asep hati-hati.

"35.000 eh, Mas. Wong nambah pindo. Jadi habis tiga porsi sendiri tadi."
Asep meneguk ludah. Kemudian diraihnya segelas air putih, minum. Tapi tenggorokannya tetap kering. Ia ingat uang yang dikantongi hanya 50.000 rupiah. Ditambah makannya barusan, entah berapa total nanti. Istrinya sudah mewanti-wanti pula, untuk membeli beras barang sekilo.


Sleman, 7 Agustus 2015

Sabtu, 05 September 2015

Lukisan Hujan

Oleh: Kirana Winata

Sebetulnya aku sudah bosan berada di sini. Sebuah ruangan yang catnya dominan putih. Untung hordengnya berwarna hijau, jadi tidak terlalu seram. Tak ada bau yang sedap sama sekali, kecuali saat seorang kakak atau tante atau ibu dan seorang om atau bapak yang sama-sama berjas putih, menghampiri ranjangku. Tubuh mereka wangi membuatku malu dengan diri sendiri yang sepertinya telah berhari-hari tidak mandi.


Tak pernah ada sosok lain kulihat selain orang-orang itu. Bahkan wajahnya pun seringnya tertutupi masker hijau. Dulu aku baik-baik saja. Tapi, saat sedang asyik mengamen tiba-tiba aku diajak seseorang.

"Langka nih. Jarang yang cakep begini, pasti laku mahal."

Aku mendengar kalimat tadi dengan bingung. Lalu sejak itu aku berpindah-pindah dari tangan ke tangan orang berbeda. Hingga akhirnya aku sampai di kota yang sering berkabut ini.


"Dik Azzam sedang mikirin apa? Kok melamun?"

Kak Harum--aku tidak tahu namanya, mungkin dua jejer kata di dada sebelah kirinya adalah namanya. Tapi aku belum bisa baca, jadi kusebut saja dengan Kak Harum--sudah ada di samping ranjang. Tatapanku masih mencoba menerobos ke balik jendela yang buram. Di luar terintip gelap, kelam, kelabu; semua berkabut. Membuat tidak jelas, apa itu pagi, siang atau malam.


"Azzam mau main ke luar. Di sini bosan," jawabku belum menoleh.

"Tapi di luar masih gelap. Semua orang masih pakai masker ...," kata seseorang yang baru datang. Aku menyebut dia Om Wangi.


"Sampai kapan, dong?" tanyaku tak sabar.

"Sampai hujan turun. Semoga saja itu tidak lama lagi," Kak Harum tersenyum. Aku juga berusaha tersenyum. Tapi mungkin gerak bibirku tertutupi selang transparan yang melintang di bawah lubang hidung. Dan tiba-tiba aku punya ide cemerlang, menurutku.

***


"Itu lukisan hujan. Bagus enggak?" tanyaku lemah, ketika mereka datang lagi di kunjungan selanjutnya. Aku takjub sendiri menatapi kaca jendela di dekat ranjangku persis.


Sepanjang mereka tak ada, kutempeli jendela itu dengan kertas-kertas putih yang kusobek kecil-kecil dari buku tulis yang diberikan untukku berhari lalu. "Biar hujannya cepat datang. Terus asapnya hilang semua ... deh ...," tambahku. Dan aku langsung terpejam, mungkin karena terlalu lelah. Aku ingin tidur dulu. Siapa tahu besok, saat kubuka mata, pemandangan di luar jernih kembali. Sebab semua asap terguyur hujan.[]



*Tulisan ini diikutkan dalam GA yang diadakan kaylamubara.blogspot.co.id bekerja sama dengan LovRinz Publishing*


Judul buku yang diambil inspirasi:
Hujan di Atas Kertas dan Melukis Ka'bah

Rabu, 02 September 2015

[Resensi] Fesbuk dan Kumpulan Fragmen Kehidupan

Fesbuk dan Kumpulan Fragmen Kehidupan
Oleh: Kirana Winata



Judul buku : Fesbuk, Kumpulan Cerpen
Penulis : Muhammaad Subhan dan Aliya Nurlela
Penerbit : FAM Publishing
Cetakan : II, Agustus 2014
ISBN : 978-602-17404-8-4





Disajikan oleh dua penulis, kumpulan cerpen dalam buku ’Fesbuk’ ini mengusung banyak tema yang coba diungkapkan. Dari judul mulanya saya berpraduga cerita-cerita yang akan disampaikan oleh Muhammad Subhan dan Aliya Nurlela sama-sama berkaitan dengan media sosial yang paling digandrungi sekarang ini, Facebook. Tapi rupanya tidak.



Ada 12 cerpen di buku ini, yang menarik saya pada kesimpulan untuk menyebutkan bahwa cerita-cerita itu serupa fragmen kehidupan banyak manusia. Tentang cinta, sosial, reliji, hingga soal rasa entah bernama apa.


Pada cerpen Fesbuk, yang judulnya dipakai pula sebagai judul buku ini, saya cukup terkecoh. Mengira kalau di dalamnya adalah kisah tentang hubungan manusia yang kemungkinan besarnya seputar cinta via facebook. Ternyata adalah tuturan ‘tempat rajukan yang balik merajuk’. Meskipun banyak yang sudah mafhum, soal asal mula terkenalnya facebook dan hal lainnya, cukup informatif juga untuk pembaca. Mengambil sudut pandang si facebook sendiri yang bercerita, membuat cerpen ini unik dibanding cerpen lainnya, dari segi point of view. Sama halnya dengan PoV pada cerpen “Darah, Oh, Darah” yang mengusung tema kemanusiaan.



Lelaki Majnun”, mirip hikayat klasik tentang penggembala kambing yang suka berbohong tentang kedatangan serigala. Hanya setting tempat cerita ini adalah salah satu kampung di Sumatera Barat, konon. Plot dan alur pun serta merta mudah ditebak. Dan yang sedikit mengganggu sekadar pengulangan kata ‘dagang’ di paragraph-paragraf awal. Selebihnya hingga bagian ending, cerita si Boneng ini tetap enak dinikmati.



Dari 12 cerita yang tersaji beberapa cerpen yang begitu selesai membaca menimbulkan pertanyaan adalah pertama “Tukang Cerita”: membuat penasaran pada kisah sesungguhnya, bertanya-tanya siapa gerangan nama penulis yang dialiaskan ‘Abdul Hakim’ tersebut; novel apakah itu yang ditulis diangkat dari kisah nyata seorang ‘Soraya’? Kedua, “Cerita Tentang Senja di Pantai Padang”. Di sana Muhammad Subhan pandai menggiring pembaca dengan paparan setting tempatnya. Ujung dari membaca kisah ini pun sama, rasa penasaran terhadap gadis yang menantikan selalu kedatangan si lelaki laut. Benarkah kisah ini adanya? Entahlah. Berikutnya, “Rinai di Matamu Aliya”—suka dengan sad-ending-nya yang logis dan “Bells’ Palsy”. Saya dengan iseng menduga-duga bila dua cerpen ini sedikit menyinggung atau ada keterkaitan dengan fragmen yang sebenar dialami penulis, walau entah di bagian mananya.




Sementara cerpen yang kurang greget—tentu menurut saya pribadi—adalah “Selamanya Aishiteru”. Berkisah tentang sepasang kakak adik yang saling mengagumi; pula tidak saling tahu bila sesungguhnya mereka bukan saudara seayah dan atau seibu. Lanjaran perihal ini kurang. Sehingga saat ending-nya mereka menikah, kesannya 'drama' sekali. Hal yang dapat diambil manfaat dari cerpen ini yaitu soal kegigihan belajar atau menuntut ilmu sekurang apapun kondisi kita.




Selain beberapa cerpen yang disebut dan sedikit diulas di atas ada cerpen-cerpen lain yang sayang kalau dilewatkan. Terpenjara Luka, Kupu-kupu di Ruang Tamu, Nei dan Suatu Hari di Masjid Rumah Sakit. Kesemuanya merupakan kisah-kisah—meski bersahaja--yang dapat memberi inspirasi dan pelajaran bagi pembaca. Misalnya pembaca penasaran dapat bisa memastikan dengan membaca sendiri kisahnya. Lalu bila kita berbeda pendapat, dapatlah kita duduk bersama membedahnya. :)




Secara fisik buku, kertas yang digunakan cukup tepat. Tidak menyisakan kertas ataupun sampul yang ‘menganga’ saat selesai membuka lembaran demi lembarannya. Kekurangan dari buku Kumpulan Cerpen Fesbuk ini barangkali pada tampilan sampul depannya. Di antara buku-buku terbitan FAM Publishing agaknya ini yang terkesan sepi warna, sehingga kurang menarik pandangan netra (menurut saya yang selalu menyukai komposisi warna yang dinamis, terleih untuk kaver buku). Sebab hanya dominan biru. Jadi bila nanti buku ini cetak ulang—dan saya rasa cukup layak untuk itu—alangkah baiknya bila tampilan sampul depannya lebih berwarna.[]




Sleman, 30 Juli 2015


Minggu, 30 Agustus 2015

[Resensi] Novel ANIMUS, Seven Days

Tetra Ceritera dan Danau Angkara
Oleh: Kirana Winata

Judul buku : ANIMUS, Seven Days, A Tetralogy Novel
Penulis : Ajeng Maharani
Kategori : Fiksi, Novel (Dewasa)
Penerbit : LovRinz Publishing
Cetakan : II (kedua), Desember 2014
Tebal : xiv + 235 halaman
ISBN : 978-602-71451-0-8



Kebencian adalah satu elemen rasa yang pasti dimiliki setiap manusia. Namun bagaimana rasa itu dapat dikelola adalah benar-benar urusan pribadi manusia itu sendiri. Apakah ia dapat mengendalikan, mengalihkan atau membiarkan bertumbuh, lalu melahap jiwa si empunya? Itu adalah pilihan. Dan pada satu topik inilah cerita bermula; bertumpu.



Mula-mula menatap judul novel ini, saya sudah diserbu rasa penasaran, hingga pada akhirnya bisa memiliki dan membacanya tuntas, rasa ingin tahu itu pun terlolosi. Dan ending-nya mengakibatkan saya terkontaminasi rasa ‘benci’. Bagaimana tidak? Sebab sedari menyantap rangkaian huruf-huruf prolog hingga epilog, jantung saya dipermainkan sedemikian rupa: berkerenyut, rileks, berkerenyut lagi, terus dan menerus.





Ada empat kerat kisah yang tersaji dalam ANIMUS: “Dentum Hati”, “Cinta si Gadis Lumpur”, “Lelaki dan Danau Legenda” dan “Bunga”. Saya coba ulas salah satunya, yaitu yang pertama.



Dentum Hati” bertutur tentang seorang gadis bodoh—kalau boleh saya sebut—bernama Salsa. Artis panggung yang terjerat cinta buta pada Darsono, anggota dewan yang sudah berkeluarga. Dikarenakan kasus video syur yang menyebar dan tertuduh sebagai pelaku, diri Salsa dan hidupnya yang semula hanya dipenuhi nama Darsono bergulir kepada Pak Hakim lalu Sang Komandan. Baru, setelah tiga hari dalam mengusahakan keadilannya Salsa merasa bak bola ping-pong, ia memutuskan untuk juga berontak. Melepaskan diri dari jeratan-jeratan “orang penting” yang berjanji membebaskan Salsa dari tuduhan menyebarkan video, dengan melepas selapis demi selapis kehormatannya sebagai penebus.



Pembangkangan Salsa tersebut, selanjutnya meliukkan alur lain lagi. Dan mempertemukannya dengan tokoh bernama Ari. Pemuda 23 tahun yang pendiam, pincang (halaman 13) namun ternyata seorang pembunuh bayaran. Hal ganjil bagi saya sebagai pembaca untuk mencerna bila sosok Ari dapat melumpuhkan pria besar kekar. Sedikit melawan logika. Walaupun ada satu narasi yang menyebutkan, meski fisik Ari berkekurangan, dia kuat, tenaganya jangan disangka. Ya, bisa jadi. Sebab kemungkinan sumber dan suluh energinya adalah juga rasa benci.



Lalu bagaimana kelanjutan kisah Salsa? Korelasi macam apa yang terbentuk antara dia dan Ari? Tentu tidak akan saya paparkan dengan gamblang di sini. Tapi sedikit sebagai bocoran (seperti biasa bila saya menulis resensi), tiga kisah setelah Dentum Hati adalah bukan lanjutan dari kisah Salsa dan Ari. Tapi cerita yang bernar-benar baru, berbeda, tapi tetap saling berkaitan. Bingung?



Di “Cinta si Gadis Lumpur” yang menceritakan kisah cinta monyet dua remaja SMU, Yana si anak berpunya dan Nora anak gadis petani biasa, ada satu fragmen kehidupan Salsa-Ari. Di sini pun, kedok salah satu orang penting, pula berandil memengaruhi lika-liku hidup Salsa, dibuka; yang ternyata orangtua Yana, tepatnya bapaknya. Silakan tebak yang mana dia kira-kira: Darsono, Sang Komandan ataukah Tuan Hakim? Terselip juga pertemuan antara Nora dan Bunga dalam satu angkutan umum. Sebaliknya di Dentum Hati, bila pembaca cermat ada adegan/narasi percakapan Nora dan Yana yang terdengar Salsa di setting tempat bernama Taman Soka.



Sementara saat cerita beralih ke “Lelaki dan Danau Legenda” fokus hanya pada Guntur dan Cuwa. Lagi-lagi soal asmara. Terjalin antara Guntur si penebang kayu dengan Cuwa, gadis primadona setempat. Ada tersisip nama Bunga disebut di sini.



Sedangkan di kerat terakhir, yaitu “Bunga”, adalah penjelas alur kejadian-kejadian dari kisah ketiga di atas. Dalam paparan tentang Bunga inilah pembaca akan ngeh dengan perjalanan Bunga. Bermodal intuisi “ada sesuatu terjadi” dia menempuh jarak, menjelajah tempat demi tempat, mencari sang calon pendamping hidup sekaligus mencari Danau Sinabu.



Maka perihal legenda Danau Sinabu, si Danau Angkara itu, menurut saya benar-benar terasa keterkaitannya dengan prolog di awal—yang mana penghuni danau tersebut yang berbicara—baru di dua potong cerita terakhir. Alasannya, tiga tokoh yaitu Guntur, Cuwa dan Bunga sungguh bersinggungan dengan mitos Sinabu pun tentu dengan kebencian yang mengakar kuat dalam diri satu tokoh sentral di antara mereka. Ialah Cuwa yang mengidam-idamkan tuah Danau Sinabu, di mana nestapa, permintaan, harapan, kutukan dan ‘kebahagiaan’ berkumpul.



Sedangkan di dua cerita pertama, hanya menyoal kebencian saja. Tak bersinggungan di sini, dalam artian tidak ada di antara tokoh-tokohnya entah Salsa atau Ari atau Nora atau Yana yang teramat ingin mengadu ke Danau Sinabu. Sebagaimana halnya Cuwa, gadis desa lugu yang menurut saya kemudian terasuki aura negatif Sinabu. Menjadi sosok paling kelam di antara semua tokoh ANIMUS, seolah berkepribadian tak lagi tunggal.



Ditutup dengan tiga ending yang bersifat open-ending—sebab menurut saya sepertinya masih bisa dilanjut—ANIMUS yang berarti sama dengan kata ‘hate’, sukses mengaduk debur jantung dan perut saya menjadi bergejolak; mual; perih. Aih, saya harus meminta pertanggungjawaban Ajeng Maharani sang penulis kalau begini. Sebab bila ditambahkan kosa kata ‘kembung’, tidak ada hal lain selain indikasi dari maag saya yang kambuh. :)



Masih berkaitan dengan ‘cerita yang berlanjut’, membaca frasa ‘A Tetralogy Novel’ membuat saya mengira bila novel ANIMUS bertajuk Seven Days ini adalah bagian pertama dari total novel nantinya yang berjumlah empat. Saya mengartikan bebas frasa tersebut menjadi Novel Tetralogi. Persis seperti dwilogi, trilogi. Jadi di pikiran saya ANIMUS ini akan berseri.


:



Dari segi tekhnik, ANIMUS disampaikan dengan alur maju-mundur dan plot yang kompleks. Penceritaan pun dengan multi point of view alias sudut pandang. Bergantian antara sebagai orang ketiga dan orang pertama (aku). Untuk setting khususnya tempat, kesemuanya adalah murni hasil rekaan dan imajinasi penulis. Namun dari pemaparannya, seolah Pulau Maku-Maku, Tanjung Yaura, Taman Soka, hutan tempat Guntur bekerja dan lainnya mirip Pulau Sumatera atau Kalimantan. Lalu ditaburi diksi-diksi yang tak biasa, memang menjadikan novel ANIMUS ini punya khas tersendiri. Khas seorang penulisnya tentu, yang memang menyukai hal yang tidak klise, terlebih pada kosa kata. Ibu dari tiga anak ini, dari pantauan saya, memang menyenangi dan terlihat sering membiasakan karyanya ditulis dalam kosa kata bentuk padanan yang jarang digunakan orang lain. Ini satu kelebihan sekaligus kekurangan, sebab pembaca yang benar awam (bukan merupakan penulis pula) akan dibuat ‘mabuk’.



Lalu sekadar saran, saya mewanti-wanti agar pembaca yang benar-benar belum dewasa tidak dulu membaca novel ini. Setidaknya range usia pembaca yang cukup boleh adalah 20+ alias 20 tahun ke atas. Sebab di beberapa fragmen, diksi dalam narasinya saya rasakan terlampau “jujur”, semisal “menikmati”, “memakai” dan lainnya.



Satu hal lagi yang ingin saya titipkan kepada sang penulis, jikalau ANIMUS Seven Days ini hendak dilarung untuk kembali berlayar menggunakan “yacht“ di samudera lepas, kaver depan buku—bergambar permukaan danau berhias tanaman kering dan purnama—yang cenderung gelap semu kelabu ini mungkin ada baiknya diubah. Bisa dengan tetap menampilkan aksen kelam bila ingin isi novel tetap terwakilkan. Sebab bila ini saja berhasil cetak ulang apatah nanti. Semoga. Salam sukses.[]



Sleman, Dzulqodah 1436 H
30 Agustus 2015




#GA_ANIMUS


(995 kata)