Minggu, 14 Juni 2015

Giveaway "Ramadhan in Love": Taushiyah Nihil Sentimentil yang Menyentil

Petuah Nihil Sentimentil yang Menyentil
Oleh: Dini Nurhayati

Ramadhan tahun kemarin agaknya terlalu meninggalkan kesan untuk bisa dilupakan. Bagi beberapa teman mungkin masih ingat, tahun kemarin (2014), berita soal Palestina mencuat kembali ke permukaan. Dan telinga ini sejujurnya sudah cukup akrab dengan kabar-kabar yang menyoal mereka sejak masa kuliah dulu.


Namun perputaran jaman sedikit banyak mengubah juga alur kehidupan. Update tentang bumi Al Quds yang merupakan kiblat pertama umat Islam tersebut, mulai luput dari mendapat perhatian. Betul, hati turut berduka. Tapi tergerogoti rasa asing entah bernama apa.


Lalu, saat di kesunyian membaca-baca lagi kabar seputar Palestina, kesungguhan rasa yang sempat hilang itu muncul kembali. Benar-benar baru terbit keinginan untuk berbagi, meski sedikit yang dimampui.


Dan seolah menggiring kesadaran, ada satu selebaran yang terbaca. Tentang acara bertajuk taushiyah menjelang berbuka puasa bersama. Acara tersebut akan menghadirkan seorang syaikh yang berasal dari Palestina. Tujuan acara memang untuk menggalang dana. Membantu penduduk Palestina.


Tertarik saya pun mengikuti acara itu. Bahkan taushiyah itu disampaikan oleh sang syaikh. Tapi dari penuturan beliau—dibantu diterjemahkan seorang ustad—yang menceritakan bagaimana situasi di sana, sungguh tak ada nada serupa memelas. Sebaliknya justru.


Kami yang hadir kala itu hanya diingatkan untuk bersyukur. Betapa ibadah puasa dan amalan lainnya di bulan Ramadhan dapat kami kerjakan dengan suasana yang tenang dan damai. Tanpa perlu ada rasa cemas, tersebab langit yang rajin dihujani rudal. Tanpa rasa takut tentang anggota keluarga yang sekali-kali waktu bisa saja terampas, akibat terkena serangan. Entah peluru nyasar ataupun memang target incaran.


Benar, amat jarang bersyukurnya jiwa ini untuk hal-hal kecil. Bila saja keadaan sebagaimana yang terjadi di Palestina dialami, belum tentu diri dan iman kuat menjalani. Terlebih saat bulan puasa. Ramadhan kemarin selalu menjadi pengingat diri untuk senantiasa bersyukur dan menghalau kikir dalam diri.[]





“Tulisan ini diikutsertakan dalam giveaway Ramadhan in Love”

Jumat, 17 April 2015

Asal Mula Suara Burung Hantu dan Burung Gagak

[Cerita Anak]

Asal Mula Suara Burung Hantu dan Burung Gagak*
Oleh: Dinu Chan


Hai, Adik-adik, jumpa lagi dengan Kak Nur di dongeng Bangun Tidur.
Lihat nih, Kak Nur sudah siap dengan boneka jari, akan bercerita apa ya kira-kira?

Oke, episod kali ini berkisah tentang Burung Hantu dan Burung Gagak yang bersahabat, tapi sayangnya kemudian bermusuhan.

Alkisah di Angkasa Biru akan diadakan Festival Uji Kekompakan antar sahabat, dengan penuh semangat Burung Hantu dan Burung Gagak turut pula mendaftar.

Setelah menunggu ribuan detik sembari bertengger di dahan, giliran mereka tiba dan sembilan pertanyaan pun berhasil dijawab.

Tapi, pada pertanyaan kesepuluh ... Burung Gagak salah menjawab pertanyaan juri,
“Apa warna bayangan?”

Burung Gagak menyebut putih, sedangkan Burung Hantu menyebut hitam, alhasil mereka gagal di Uji Kekompakan tersebut.

“Tuh …, terbukti aku yang benar kan? Huuu ...,” ujar Burung Hantu di satu siang terik menunjuk bayangan hitam mereka.

“Enggak,” jawab Burung Gagak keras kepala, kepalanya menengadah menatap langit, lalu terbang meninggalkan Burung Hantu. Namun anehnya sejak itu dia tak mau lagi bermain di siang hari. Apalagi di atas tanah. Burung Gagak selalu mencari dahan pohon untuk bertengger. Dia tidak ingin bayangannya terlihat.





Sedangkan Burung Hantu tak henti pula mengikuti untuk mengolok:
“Huuu … huuu … huuu …”





Dan akan dibalas Burung Gagak dengan,
“Gak … gak … gak …”

Begitulah terus menerus. Jika ada Burung Hantu, coba Adik-adik dengarkan, bagaimana suaranya. Dan kalau menjelang malam hari Burung Gagak mulai terbang berputar-putar di langit, coba perhatikan, seperti apa dia bersuara?



Sleman, 18 Maret 2015
*Memang asli mengarang. Tidak menyadur atau mengadopsi dari kisah manapun.
Semoga berkenan. :)


Sumber gambar:
Google
diamenia.blogspot.com

Selasa, 07 April 2015

Flash Fiction: Potret Keluarga

Potret Keluarga
Oleh: Dini Nurhayati






Pernah ada kehangatan di rumah ini. Setidaknya itu yang berhasil tetangkap rasa hati, tatkala netra melekat pada satu bingkai besar di ruang tengah. Empat anggota keluarga kecil dengan bibir melengkung sempurna.


Di depan si ayah, berdiri si anak gadis. Sedangkan di depan ibu, berdiri si anak lelaki berpipi gembil. Saling memeluk.


“Apa tidak sebaiknya foto itu diturunkan saja, Ma?”

Pa mendekat, menjejeri.

“Hmm, kalau sementara seperti itu dulu, tidak apa-apa, kan, Pa?”

“Sudah sebulan rumah ini menjadi milik kita …,”

“Aku senang melihat raut-raut tulus itu. Meski di hati, sesak pun menyelinap.” Pa mengusap punggungku. “Konon, pernikahan mereka sudah melewati usia perak, sebelum kemudian karam ….”

“Semoga anak gadisnya mengambil ini dalam waktu dekat. Sayang juga bila harus berakhir di tong sampah …,”


“Hm,” anggukku, hening sejenak, “Pa …?”


“Ya …,”


“Kita tak usah memajang foto keluarga, ya?”


“Kau yakin, Ma? Kalau nanti ada anak-anak yang hadir, bagaimana? Tentu kau mau juga ada potret keluarga, bukan?”



“Sepertinya tidak.”[]



End


Sleman, 7 April 2015



____________________

Flashfiction ini diikutsertakan dalam Tantangan Menulis Flash Fiction - Tentang Kita Blog Tour

http://www.redcarra.com/tantangan-menulis-ff-tentang-kita-blog-tour/?utm_source=dlvr.it&utm_medium=facebook


Sumber gambar: Google

Rabu, 01 April 2015

Bukan Pangeran Impian

Suami saya adalah seorang antimainstream. Tak umum. Tidak sama dengan suami kebanyakan. Ini kalau dihubungkan dengan judul di atas. Jadi betul, memang bukan impian. layaknya mimpi gadis belia yang sudah pasaran. Seperti tampan, romantis, bla bla bla ... lalu ujungnya adalah berkuda putih. Aih ... ke mana hendak mencarinya, gadis belia?

Pertemuan kami unik. Karena tak pernah ada kisah pertemuan antara suami-istri yang tidak unik, bukan? Selama ini, dalam obrolan ringan semi santai, dia pernah mengungkapkan, hal yang menyambung satu ingatan terhadap saya adalah hujan berpetir. Ini berkaitan dengan masa-masa ta'aruf kami.

Dalam proses pencariannya akan seorang istri, apa yang sedang dijalaninya banyak kala terlupa. Tersita dengan keasyikan menghadapi pinsil dan kertas (hingga sekarang pun masih, prioritas yang ditemuinya adalah mereka). Lalu saat hendak ke mana, tujuannya beristri disadarkan berulang kali. Itu tadi, dengan petir saat hujan turun.

Lalu di mana letak unik tersebut?

Saat pertama kali bertandang (ke Cirebon), dia sudah merasa familiar dengan keluarga saya. Padahal tentu baru itulah pertemuan kami-kami ini. Bahkan dari penuturannya selanjutnya paska menikah, sempat dia bermimpi dan bersenda gurau dengan anggota keluarga, minus saya.

Kemudian, saya ketahui juga cerita dari bapak mertua,jika asal-usul asli buyut mereka adalah dari Cirebon pula. Lagi-lagi, pepatah yang mengatakan dunia hanya selebar daun kelor atau dunia itu sempit, benar adanya.

Bukan tanpa selisih, kami mengarungi kehidupan berumah tangga.Karena bagaimanapun background, sifat dan kebiasaan kami banyak berbeda. Dia tak pernah se-charming bayangan saya akan suami romantis. Yup, dia memang tak romantis. Sama sekali. Tapi, kami selalu sepakat, bersyukur saling dipertemukan masing-masing. Saat beberapa insan di luar sana masih dalam gulana pencarian pasangan halal.

Saya bersyukur juga, karena sosoknya yang asli jawa tidak 'jawa'. Dalam artian tak pernah sungkan ataupun segan membantu hal-hal yang konon sudah bertajuk itu adalah 'tugas total' wanita atau seorang istri tepatnya. Seperti memasak, satu misalnya. Jujur, khusus masakan tertentu, racikannya lebih maknyuss dari yang saya garap. Ternyata, saat melajang dulu, dia memang sudah sangat biasa memasak, walau hanya beberapa yang dia minati. Ah, no wonder ...

Jadi, menu semisal oseng-osengan dan sambal, dialah jagonya. Malah, kalau 'semangat' memasaknya tiba-tiba muncul, tanpa banyak bicara (yang mana memang sudah karakter dasarnya yakni pendiam super) dia akan memasak ini-itu. Paling sebelumnya bertanya, ada bahan apa yang nganggur. Usai siap santap alias rampung, hehehe ... bagaikan seorang anak yang baru pulang setelah bermain, saya tinggal ambil piring. Isi nasi, menyendok lauk yang sudah tersedia dan menyantapnya dengan nikmat. Barangkali amat sangat sederhana, hanya oseng dan sambal terasi (kerupuk sebagai pelengkap seringnya beli), tapi ... maknyuss pemirsa. Asal jangan meminta dia masak sayur saja, ah juga tidak dengan ikan dan daging-dagingan, dia pasti kelabakan. Di bagian inilah saya akan ambil alih kemudi dapur. Walau jenis masakan yang dihasilkan tak pernah luar biasa. Sebatas digoreng.

'Ala kulli hal Alhamdulillah. Di antara debat-debit hampir sengit, cekcok-ceksoun kecil dan aral rintang lain yang sekali tiga mengemuka, kami selalu mencoba terus belajar saling mengisi. Ya, sesungguhnya proses belajar itu takkan pernah usai.[]


Meramaikang http://www.lovrinz.com/2015/03/giveaway-rahasia-hati-suami.html?m=1#more

Minggu, 15 Maret 2015

Mengejar Afifah Afra: From Cirebon to Yogya


Sekitar 7-8 tahun lalu, siang terik …

Saya begitu terburu-buru mendatangi satu tempat yang masih bagian dari kampus. Karena lokasinya memang dekat dari rumah, meski berlomba dengan waktu, jarak ditempuh dengan berjalan kaki. Status saya saat itu adalah mahasiswi di ujung tanduk yang kurang bersahabat dengan dateline ‘menggubah’ skripsi. Satu UKM kampus tempat belajar berorganisasi—oke saya sebut saja, LDK alias Lembaga Dakwah Kampus—mengadakan seminar kepenulisan. Bersama siapa? Tebakan Anda benar. Afifah Afra.

Sambil berjalan semi lari-lari kecil, muncul tekad dalam hati. Saya harus datang. Harus bertatap wajah dengannya. Sebuah buku sudah dilesakkan pula ke dalam tas. Sebentar dikeluarkan, karena merasa aman bila buku penting itu digenggam saja. Tapi kemudian retsleting tas dibuka, buku pun kembali meluncur ke sana. Ya, ampun. Saya gugup ternyata. Tangan juga sudah sedikit basah.

Sampai di dalam gedung, setelah menulis nama di daftar kehadiran dan bersapa ria dengan beberapa teman, dengan terpaksa saya duduk di kursi bagian belakang. Baru beberapa menit alas kursi tercium, sudah harus kembali beranjak. Sesi stimulasi akan dimulai.

Setelah posisi nyaman, kepala langsung menarik-narik leher. Berkoordinasi dengan mata, mencari sosok sang penulis. Aaah, itu dia rupanya. Kalem, lembut, dengan bibir yang selalu tersenyum dan berkacamata sebagaimana saya—saat itu. Barulah kemudian tangan mengeluarkan pena dan kertas untuk mulai mengikuti pelatihan di sesi terakhir.

Alih-alih meninggikan konsentrasi, otak justru semakin tak bersinergi. Karena tengah berpikir bagaimana caranya di akhir acara nanti bisa menerobos ke depan. Berebut dengan peserta lain untuk menyabotase sesaat Afifah Afra. Menyodorkan De Winst, menodongnya menorehkan tandatangan.

Seperti yang sudah disampaikan di postingan sebelumnya, De Winst adalah novel pertama buah karya Afifah Afra yang saya punya. Jalan memiliki novel ini saya sebut cukup rumit. Kok bisa? Beginilah kisah ‘behind the scene’-nya.

Tentang seorang sahabat yang ‘memamerkan’ satu buku baru, dan membolehkan saya membacanya lebih dulu sebelum dia, bukan kebetulan semata. Saat buku masih di tangan, ada satu info lomba menulis resensi yang mampir ke mata saat membuka-buka majalah Annida. Sekarang saya pikir info itu seperti sengaja disodorkan ke hadapan. Atau entahlah. Karena salah satu pilihan judul buku yang bisa diresensi adalah De Winst. Novel yang baru beberapa hari selesai dibaca, masih fresh banget.

Maka kemudian, berhubung si empunya buku hendak membaca, saya kembalikan De Winst ini. Dan begitu muncul kesempatan ke toko buku, saya cari kembarannya. Tak susah menemukannya. Karena memang buku baru terbit pula meroket menjadi best seller.

Langkah berikutnya adalah ke warung internet, browsing. Mencari tahu selengkap-lengkapnya soal resensi dan meresensi—yang masih asing bagi saya—buku khususnya. De Winst pun dibaca ulang, sekali lalu sekali lagi. Terakhir sembari mencatat poin-poin penting, hasil pikiran yang timbul ketika membaca.

Rampung ditulis, jadilah resensi paling pertama dalam hidup. Lalu dengan berdebar dikirimkan dengan tujuan ikut serta lomba tadi. Dan di majalah Annida juga, berhari kemudian, saya temukan nama yang tak asing. Tercetak di posisi paling bawah pengumuman hasil lomba menulis resensi. Dengan yakin itu adalah nama diri ini. Karena Kota Cirebon tersebut di belakangnya. Menyerta juga judul resensi “De Winst: Kisah Cinta Berbalut Ideologi”.

Amat sesuai dengan incaran. Incaran kok cuma harapan? Karena saya tahu betul kemampuan menulis yang benar-benar bau kencur saat itu. Tatkala melingkari target pun seperti pungguk merindukan bulan. Jadi pas berhasil, bangganya bukan main. Harapan III aja bangga? Ah, bukan soal harapan III, tapi satu kata di depannya—“Juara”—yang jadi penyemangat kala itu. Bahwa saya pun adalah pemenang. Termasuk ‘Sang Juara’. Terlebih, mengingat ini adalah tulisan perdana.

Saking senangnya, saya sms Wahyu Anggraeni, yang meminjamkan buku tadi. Emoticon senyum dan kartun jejingkrakan bawaan si HP kala itu meramaikan isi sms. (Jadi keingetan sama si White nih.) Membaca lebih dulu novel sebelum tahu info lomba resensinya, sangat mujarab ternyata. Penghayatan yang sudah didapat, memudahkan menuangkan rasa-rasa yang timbul ke bentuk tulisan.

To be continue …


*Afifah Afra: Pengejaran, Kenangan dan Angan-angan*

Kamis, 12 Maret 2015

ADA AFRA DALAM SETIAP KARYANYA


Malu rasanya kalau saya harus mengaku sebagai pembaca setia karya-karya Afifah Afra. Karena, meski pahit tapi harus disampaikan, saya tak sesetia itu. Baru beberapa judul saja yang sudah saya baca. Dan sebagai kesimpulan awal, karya-karya seorang Afifah Afra dapat saya katakan khas memang. Dalam hal ini yang saya maksud adalah genre fiksi. Novel terutama.

Kekhasan itu berupa konsisten. Dari karya berikut: Bulan Mati di Javasche Orange, Katastrofa Cinta dan Tetralogi De Winst, kekuatan setting kerap ditemui. Apakah itu setting tempat atau waktu. Dan saya sangat menyukai dua hal ini.

Waktu; novel Afifah Afra, bila dalam pengamatan saya, teramat senang menggunakan setting waktu masa lampau. Jaman penjajahan misalnya. Atau setting yang bercampur. Ini berkaitan dengan alur, yaitu mundur-maju atau maju-mundur. (Saya berusaha sekeras mungkin agar tidak menuliskan cantik … cantik … :D ).

Tempat; teknik penceritaan salah satu penulis favorit saya ini, sering berhasil membuat saya terlempar serta ke setting yang dominan dengan sense of past. Lengkap dengan tempat-tempatnya. Terlebih apabila sudah menyenggol-nyenggol kosa kata Leiden, Juvrow, Inlander, Guden Morgen hingga maatschappij. Mohon maaf kalau salah tulis. Kalau di halaman belakang—bagian biodata penulis—tidak disebutkan Yeni Mulati adalah seorang lulusan Ilmu Biologi, saya pasti akan sangat dengan sukarela dan mentah-mentah percaya, misalkan dia lulusan Sastra Belanda. Dan, agaknya Afifah Afra sungguh memang tak dapat dipisahkan dari ‘Belanda.’


Ulasan Karya

Novel pertama yang hendak saya bicarakan adalah Katastrofa Cinta. Dari judulnya saja, unik, menarik. Kita banyak mendengar kata cinta. Tapi, katastrofa? Apa itu? Apa salah satu istilah dalam ilmu Biologi? Silakan bertanya-tanya. Saya begitu tercabik-cabik membaca novel ini. Openingnya beranalogi tentang kayu. Manusia kayu kalau tak salah. Sebagai bocoran salah satu settingnya adalah kejadian tahun 1998. Ya, setting tempat novel ini Indonesia. Menyoal seonggok huru-hara saat itu. Lalu, fragmen demi fragmen silih berganti. Pun bolak-balik. Membuat hati tertohok di bagian ending. Sebuah akhir yang seolah kalimat lanjutan dari bagian opening cerita. Kelihaian dalam menyembunyikan identitas para tokoh pun nyaris rapi.

De Winst adalah novel pertama Afifah Afra yang saya punya. Jalan memiliki novel ini pun boleh disebut rumit. Mulanya seorang sahabat di kampus ‘memamerkan’ satu buku baru, dihadiahi seseorang katanya. Barangkali, karena tahu begitu ‘loving’nya saya dengan bacaan genre novel. Buku barunya tersebut saya pinjam dan bawa pulang setelah diijinkan. Lalu setelah mengembalikanya, saya cari ke toko buku.

De Winst berisi serangkaian kisah yang saling bertaut—cinta, sosial, silang budaya, politik—yang berporos pada satu musabab. Sebagaimana artinya, yaitu pabrik gula. Pusat para pribumi berpeluh mengais rejeki. Namun pastinya dimanfaatkan besar-besaran. Tak pernah ada penghargaan yang sungguh-sungguh untuk kerja keras pribumi.

Lika-liku konflik yang apik namun mengalir, menjadikan De Winst asyik dan ringan dibaca. Sampai-sampai tiga tokoh yang terperangkap dalam pusaran kisah cinta segitiga menari-nari di benak. Khusunya karakter Raden Ajeng Sekar Pembayun, meski perempuan tapi heroik dan Raden Mas Rangga Puruhita yang menggemaskan. Kuat sekali penokohan tentang mereka. Hingga saya percaya, kisah mereka adalah nyata.

Novel De Winst ini, seperti telah disebut di atas adalah sebuah tetralogi. Jadi dapat dipastikan akan ada 4 judul yang berpangkal pada sang Den Mas sebagai tokoh utama nan sentral. Setting masa penjajahan Belanda atau pra-kemerdekaan, khususnya bagi saya selalu sangat menarik. Sebab, sejarah secara tak langsung dimamah juga. Apalagi tokoh-tokoh pendukung yang muncul benar-benar tokoh sejarah. Menyebut Bung Karno lah, Bung Hatta lah, dan lainnya.

Selanjutnya ada De Liefde. Buku kedua dari tetralogi De Winst. Di sini mengisahkan perjuangan Rangga, meski dalam pembuangan. Sekaligus menjawab tanya sebuah ‘twist ending’ dalam De Winst. Sama dengan buku pertama, saya masih merasakan kenikmatan plus aroma khas laksana meminum seduhan cokelat bubuk Van Houten hangat, ketika membaca De Liefde.

Lalu berikutnya, paska berbulan dalam pencarian ditambah bagai di tengah kegelapan—karena sangat tidak update dari segi kabar internet—Da Conspiracao, si buku ketiga, saya peroleh juga. Tepat di gelaran Islamic Book Fair Yogya. Dan mempertemukan kembali saya dengan Afifah Afra untuk kali kedua.


Saran, Kritik?

Kembali ke topik. Membaca Da Conspiracao, yang ketebalannya saya taksir melebihi dua buku pendahulunya, sedikit tersendat di bagian awal-awal. Entah mengapa, berat nian. Dalam hal ini saya ingin meminta maaf pada sang penulis. Karena saya merasa agak alot ketika mengunyah kata ke kalimat menuju paragraf. Apakah faktor diri yang meski merayap mendapat tambahan ilmu dan belajar banyak tentang tulisan, pula mulai sok-nya, membawa pengaruh? Duh, semoga ini bukan suatu bentuk kesombongan. Karena beginipun, tetap, ilmu menulis saya dibanding seorang Afifah Afra masih seujung kuku. Dari jari kelingking pula.

Maka, saya mencoba membebaskan diri dari efek tiba-tiba menjadi seorang editor manakala membaca. Kembali berusaha menghayati cerita sebagai pembaca, seperti sebelumnya. Sebagaimana ketika membaca De Winst pertama kali, lalu De Liefde. Tapi … gagal. Berulang kalimat panjang dan mungkin kesalahan ketik sungguh mengaburkan rasa penasaran yang biasanya menggebu.

Berlembar kemudian saya temui, ada perubahan sudut pandang dalam bercerita. Yang dominan di chapter-chapter setelah prolog. Sudut pandang orang pertama. Antara tokoh Rangga Puruhita dengan Tan Sun Nio. Dan belum sampai tengah buku, saya sudah curiga, di Da Conspiracao ini akan terselip suatu kisah antara mereka berdua. Tentu yang membaca ini paham apa maksudnya. (Saya mencurigai diri sendiri, jika saya cemburu). Ada pula yang mengusik, di De Winst saya ingat nama panjang Sekar disebut Pembayun, tapi di sini menjadi Prembayun. Tetap, dari segi konflik. Sama menariknya. Kali ini membawa-bawa bajak laut. Dari judulnya, meski tidak fasih berbahasa Belanda, saya tahu ini soal konspirasi.


Harapan

Dan barangkali saya terlampau dibutakan oleh cinta pertama terhadap De Winst. Sehingga sebagai pembaca, ujung semua indera teramat sangat ingin, di buku keempat nanti—yang saya pribadi belum tahu akan berjudul apa, De Aguia Leste kah?—sensasi itu kembali lagi. Menghapus kekeluan dan menghindarkan dari membaca skipping, khususnya di bagian mula-mula.

Terakhir, tentang Bulan Mati di Javasche Orange, selain kepastian soal Belanda, saya tak berani banyak mengungkapkan. Karena meski ini buku paling senior dibanding empat judul lain yang disebut di sini. Juga membuat saya penasaran dulu karena boomingnya, saya baru memperolehnya. Karena jodoh baru menyapa antara saya dan BMJO sekarang. Pun untuk membacanya bersaing dengan hal lain.


Salam hangat untuk Afifah Afra, semoga selalu dapat melahirkan karya yang membahana, menginspirasi, bermanfaat namun tetap sesuai khas-nya seorang Afifah Afra.[]


Sleman, 8 Februari 2015

Re-Post from:Facebook
https://www.facebook.com/notes/dinu-chan/ada-afra-dalam-setiap-karyanya/10153069836484520


Note: Nantikan resensi novel Da Conspiracao dan Bulan Mati di Javasche Orange (Insyaa Alloh)
:)

Senin, 09 Maret 2015

Sekelumit Dendam di Ketinggian 3676

Sekelumit Dendam di Ketinggian 3676
Oleh: Dini Nurhayati

Judul buku : Altitude 3676, Takhta Mahameru
Penulis : Azzura Dayana
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Cetakan, Tahun Terbit : ke-1, Juli 2013
Kategori : Fiksi Dewasa (Novel)

Rumit. Jujur, saya katakan cukup rumit untuk mengupas novel ini. Masalahnya, karena sudah menyabet penghargaan karya terbaik di ajang perbukuan: Islamic Book Fair Award, Kategori Fiksi Dewasa. Maka, dengan melepaskan segala atribut dan gelarnya, pun mengesampingkan fakta bahwa tentu telah banyak resensi novel ini tersebar, saya memaksa mengulas sedikit banyak tentang Altitude 3676 dari kacamata pribadi.





Sejak membaca judulnya, saya sudah sangat curiga jika di dalam Altitude 3676 tersirat perjalanan-perjalanan; backpacking sang penulis. Saya tentu—secara tidak langsung—akan mendapati jejak traveling seorang Azzura Dayana, keliling Indonesia. Dan untuk hal ini, sedari di blog Multiply dulu telah saya ketahui memang, bila Azzura Dayana teramat sangat cinta dengan aktivitas jelajah tempat. Terlebih, yang tak biasa untuk seorang wanita. Pun karenanya saya kerap merasa iri hingga sanubari, sebab ada saja batasan untuk itu. Bahkan dalam jurnal perjalanan saja, tulisannya telah merupa seumpama kisah dalam novel. Jadi, ya, saya sudah mengenal tulisan-tulisan Azzura Dayana yang khas sejak di Multiply. Akun kami berteman kala itu, tapi tak yakin betul misal dia mengingat saya. Namun, saya terlalu melankoli untuk melupakan beberapa pertemanan kecil.

Altitude 3676 berpusat pada satu titik. Tentang seorang tokoh bernama Raja Ikhsan yang hampir tanpa diketahui sesiapa menyematkan dendam kesumat dalam dada. Soal kematian ibunya yang janggal. Dari sinilah semua berpangkal dan berujung. Dengan puncak Semeru sebagai saksinya. Ya, Ikhsan yang dikenal sebagai pendaki ulung menuju Semeru paska kematian sang ibu. Lalu di tempat yang sama, Puncak Mahameru, ia akhiri rasa itu.

Sudah begitu saja ceritanya? Ah, tentu tidak. Berlatar belakang kisah Ikhsan inilah, sedepa demi sedepa perjalanan Faras dimulai. Penyebabnya pun tak terduga. Yaitu emai-email ‘kiriman’ Ikhsan paska mereka bertemu sebanyak 3 kali dalam tahun berbeda, namun kemudian tak ada kabar hingga hampir dua tahun setelahnya. Akan tetapi di pertemuan terakhir itulah Ikhsan yang terkenal sedikit memiliki teman sebab karakternya yang congkak plus cenderung penyendiri, berkisah soal ibu dan keseluruhan cerita kelamnya berkaitan dengan keluarga si ayah. Khusunya terhadap ibu tirinya. Total ada 3 pertanyaan yang dilempar Ikhsan pada Faras. Akan tetapi Faras belum hendak menjawabnya. Termasuk pertanyaan ketiga soal dendam dan pembalasan.

Maka berbekal foto kiriman Ikhsan via e-mail Faras bertekad menemui Ikhsan untuk menjawab semua. Tiga pertanyaan? Apa saja? Saya sungguh tak berniat membeberkan di sini. Saya bocorkan satu lagi saja, selain dendam, yaitu 11 alasan mengapa Ikhsan harus sholat.

Kelamnya seorang Ikhsan rupanya betul-betul dalam. Kolaborasi dari perasaan luka, kecewa, teraniaya, kerinduan, kesepian dan cinta. Semua sukses membentuknya menjadi pribadi yang tak mau mengucapkan kata maaf dan terimakasih.

Bagaimana lengkapnya? Kali ini saya sungguh berniat untuk membuat Teman yang belum membaca penasaran. Tapi, satu bocoran lagi. Dibanding ketika saya membaca novel-novel awal Azzura Dayana, seperti Birunya Langit Cinta dan Gadis Sang Panjaga Telaga, Altitude 3676 memberikan pesona lain. Kekuatan dalam setting tempat. Alasannya, tentulah karena penulis mendatanginya, mengalami sendiri. Walau di novel lainnya pun ia sama menyambangi setting novelnya, mengeksplor dalam-dalam. Seperti di Birunya Langit Cinta yang bahkan membuat saya geram. Saya merasa kecolongan, karena Dayana mampu mengesankan satu sudut Kota Cirebon dan keratonnya, seolah dia adalah penduduk asli. Sementara sayalah yang telah menghabiskan sebagian banyak masa di sana. Benar-benar membuat ‘naik pitam’.

Altitude 3676 ini beralur maju-mundur. Dengan point of view penceritaan orang pertama, tapi dalam tutur tokoh berbeda. Berseling antara Faras, Mareta-adik seayah Ikhsan-lalu Ikhsan. Penulis membiarkan pembaca mengetahui laju kisah bak potongan puzzle ini sendiri dari tiga tokoh itu. Dan ijinkan saya menyebut, Altitude 3676 ini adalah sastra yang berpromosi keindahan Indonesia habis-habisan. Khususnya pada yang menjadi setting di sini: Borobudur, Sulawesi, Makasssar, Ranu Pane dan puncaknya adalah Mahameru. Juga tentang kapal pinisi yang tersohor. Bertaburan juga dengan kata-kata mutiara dan lirik lagu pun nasyid yang dalam makna.

Hanya sedikit luka kecil yang saya temukan. Pertama, kata “enggak” yang terselip di halaman 328. Padahal bolak-balik saya pastikan sebelumnya kata yang banyak digunakan adalah tidak atau tak. Kedua, ada di paragraf pertama halaman 367. Di sana yang tengah bertutur adalah Faras, namun menjadi janggal saat dia berkata-kata mengenai Ikhsan yang menolak harta dan jabatan dari sang ayah. Karena Faras menjadi seolah tahu segalanya. Ketiga, saya masih mencium kepingan seorang Azzura Dayana, khususnya di dua tokoh, Faras dan Ikhsan.

Terakhir, saya sangat ‘membolehkan’ sebagai kata lain dari berharap, Altitude 3676 diangkat ke layar lebar. Mengingatkan saya pada harap yang sama terhadap novel The Road to the Empire-nya Sinta Yudusia dan Tetralogi De Winst-nya Afifah Afra.

Sebagai penutup ijinkan saya berbisik, kalau kau mendapati seorang Azzura Dayana melakukan perjalanan, tanpa melupakan kamera DSLR-nya, tunggu saja. Karena setelahnya pasti ada karya manis—semanis senyumnya—yang tertuang dari goresan tintanya.[]

Sleman, 9 Maret 2015

Photo source: Google